(Bagian ke-2 dari seri tulisan Cinta Berbuah Indah)
Ibnu Abbas berkata,
“Akhirnya kami datang di Madinah sebelum bulan Dzul-Chijjah berakhir. Di hari itu, kami bergegas berangkat
jum’atan, di saat matahari telah condong ke barat.[1]Di
sana aya berjumpa Said bin Zaid bin Amer bin Nufail yang sedang duduk lurus
sudut mimbar. Saya segera duduk di sekitar itu, lututku menyentuh lututnya.
Umar bin Al-Khatthab
keluar ke arah mimbar.
Di saat menyaksikan Umar menghadap mimbar;
saat itu pula, saya berkata pada Said bin Zaid, “Sungguh di sore ini, dia pasti
akan menyampaikan makalah yang belum pernah dia sampaikan sejak menjadi
Khalifah.”
Sontak Said bin Zaid
marah padaku: “Ada apa dengan perkataanmu beliau akan mengucapkan yang
belum pernah diucapkan?.”
Umar duduk di atas
mimbar.
Ketika para mu’adzin
telah diam; Umar berdiri untuk menyanjung Allah mengenai KeahlianNya:
“Ammaa ba’d, sungguh saya akan menyampaikan makalah yang
telah dipersiapkan untuk kalian. Saya tidak tahu barangkali ini sebagai
persiapan dari ajal kematian saya. Barang siapa mampu mengingat dan mewadahi, silahkan menyampaikan, sampai di mana dia berkendaraan. Namun barang siapa khawatir tidak mampu
mengingat, maka tidak saya halalkan bohong atas namaku:
Sungguh Allah telah
mengutus Muhammad SAW dengan hak, dan telah menurunkan Kitab
kepadanya. Termasuk yang diturunkan oleh Allah di dalamnya, ayat rajam. Kami telah membaca, ingat dan memahami.
Rasulullah telah melaksanakan rajam; kami pun telah melaksanakan. Namun saya
khawartir jika zaman telah panjang melanda manusia nanti, akan ada orang
berkata ‘demi Allah! Kami tidak menemukan ayat rajam dalam Kitab Allah’. Akhirnya mereka tersesat
karena meninggalkan hukum yang telah Allah tentukan.[2]
Rajam di dalam Kitab Allah, hak atas orang yang zina, kaum lelaki maupun wanita yang telah menikah:
ketika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan. Selanjutnya, sungguh kami dulu pernah membaca sebagian Bacaan Al-Qur’an: أَنْ
لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ ، فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ
آبَائِكُمْ. Atau bacaan tersebut: إِنَّ
كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ.
Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda
‘jangan mengkultuskan aku! Seperti ‘Isa bin Maryam dikultuskan!
Katakan dia Hamba dan Rasul Allah’.
Selanjutnya, berita bahwa seorang kalian berkata ‘demi
Allah kalau Umar wafat, saya pasti berbai’at pada fulan’ telah sampai padaku. Jangan sampai orang salah! Dalam membuat pernyataan ‘pembai’atan Abi
Bakr RA yang sangat cepat saja, nyatanya telah sempurna’. Ingat! Kenyataannya memang demikian! Karena sungguh Allah telah melindungi pembai’atan
tersebut. Tak seorang pun dari kalian yang lehernya tuqtha’u, yakni diputus,
semisal Abi Bakr.”
Maksud Umar ‘karena
keagungan, kebaikan serta kepandaian Abu Bakr sempurna, maka kalau leher-leher kaum
dipanjangkan agar dapat membandingi ketinggiannya, tetap juga takkan sampai, meskipun
leher-leher mereka putus. Karena derajat Abu Bakr terlalu tinggi.
Umar melanjutkan ‘barang
siapa berbai’at pada seorang, tidak melalui musyawarah Muslimiin, maka orang
yang keliru berbai’at dan dibai’at tersebut harus dibunuh.
Dan sungguh di saat Allah mewafatkan Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kita;
kaum Anshar melakukan kelakuan yang berbeda dengan kita, dan semuanya telah
berkumpul di halaman luas keluara besar Sa’idah. Ali, Zubair dan yang menyertai mereka berdua, tidak bergabung pada kami. Kaum Muhajir telah bergabung pada Abu Bakr.
Kemudian saya berkata ‘ya Aba Bakr! Mari kita
pergi menuju saudara-saudara kita kaum Anshar ini’.
Kami pun segera datang menuju mereka. Di tengah
perjalanan, kami bertemu dua pria shalih.[3]Mereka
berdua menjelaskan pada kami, mengenai tujuan kaum yang berkumpul tersebut. Mereka berdua berkata ‘kalian mau kemana hai kaum
Muhajirin?’.
Kami menjawab ‘akan menuju saudara kami, kaum Anshar ini’.
Mereka berdua berkata ’jangan kalian dekati
mereka! Laksanakan perkara kalian!’.
Saya menjawab ‘demi Allah, kami harus datang sungguh
pada mereka’.
Kami meneruskan perjalan hingga sampai pada
mereka, di halaman luas keluarga besar Sa’idah.
Ternyata di sana ada lelaki berselimut di
pertengahan mereka. Saya bertanya ‘siapa ini?’.
Mereka menjawab ‘Sa’du bnu Ubadah’.
Saya bertanya ‘ada apa dia?’.
Mereka menjawab ‘sedang terserang penyakit
panas’.
Setelah kami duduk sejenak; juru bicara mereka
ber-tasyahud dan memuji Kehebatan Allah, selanjutnya berkata ‘ammaa ba’d: Kami Penolong Allah dan Pasukan Islam; sementara
kalian kaum Muhajirin, jamaah biasa. Kalian kelompok kecil yang memisahkan diri dari
kaum kalian’.
Ternyata mereka bertujuan akan melepaskan
kami dari asal kami, dan menyingkirkan dari perkara. Begitu dia diam; saat itu pula saya telah hampir
berbicara. Saya telah mempersiapkan makalah yang menakjubkan
yang akan saya
sampaikan di hadapan Abu
Bakr. Saya telah mempersiapkan dengan matang. Ketika
saya telah hampir melepaskan pembicaraan; saat itu pula Abu Bakr berkata
‘sebentar’.
Sontak saya jadi sungkan, dan tak mau membuat dia tersinggung dan marah.
Tak lama kemudian Abu Bakr berbiara. Ternyata
dia lebih arif dan lebih sopan dari pada saya. Demi Allah, kalimat menakjubkan
yang telah kupersiapkan, tidak dia tinggalkan dalam pembicaraan tersebut. Hanya saja, dengan kejeniusannya, dia mengutarakan semisal itu, atau lebih bagus daripada perkataan saya,
hingga dia diam. Saat itu dia berkata ‘kebaikan yang telah
kalian katakan mengenai kalian, memang tepat disematkan pada kalian.[4] Namun
ini perkara (kepemimpinan) takkan dikenal kecuali sebagai hak kaum Quraisy.
Merekalah kaum yang nasab dan desanya lebih tengah bagi bangsa Arab. Sungguh
saya telah menyetujui sepenuhnya, seorang dua pria ini: Berbai’atlah pada siapa mereka berdua
yang kalian kehendaki!’.
Sontak Abu Bakr memegang tanganku dan tangan Abu
’Ubaidah bin Al-Jarrach. Dia duduk di antara kami berdua. Sontak rasa salutku terhadap Abu
Bakr surut karena ucapan tersebut. Demi Allah, sejak dulu, saya diajukan untuk dipukul leherku, takkan mendekatkan saya pada dosa yang lebih menyenangkan, daripada memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu
Bakr. (Maksudnya sama-sama kuanggap berdosa, namun dipukul leherku lebih kusengi; daripada
memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu Bakr). Allahumma kecuali
jika Kau menghias-hiaskan pada diriku ketika saya akan mati, yang saat ini tidak saya jumpai.
Seorang lelaki Anshar
berkata ‘saya batang-kayu yang digunakan menggaruk gatal, dan untaian buah yang
menjadi besar.[5][6] Dari kami ada pemimpin; dari kalian ada
pemimpinnya kaum Quraisy’.
Suara ricuh dan celoteh menjadi banyak dan
ribut. Beberapa orang ada yang bersuara tinggi, hingga saya khawatir terjadi perselisihan.
Saya segera berkata ‘bentangkan tanganmu ya
Aba Bakr’. Tak lama kemudian, dia membentangkan tangannya. Sontak saya berbai’at kepadanya.
Kaum Muhajiriin menyusul
berbai’at padanya. Selanjutnya kaum Anshar juga berbai’at padanya.
Kami bergegas menuju Sa’du bnu ‘Ubadah; seorang
mereka berkata ‘kalian (sama dengan) membunuh Sa’du bnu ‘Ubadah?’.
Saya menjawab ‘Allah yang membunuh Sa’du bnu
‘Ubadah’.
‘Sungguh’ (lanjut Umar) ‘demi Allah, berdasarkan
kenyataan yang kami saksikan; kami tak menjumpai perkara yang lebih kuat dari pada pembai’atan Abu
Bakr. Saat itu, kami khawatir jika kaum berpecah di saat belum
dilakukan bai’at. Khawatir jika ada yang
melakukan pembai’atan di belakang kami’. Karena bisa jadi, kami akan berbai’at
pada mereka dengan tanpa kami ridhoi; bisa jadi kami akan menentang mereka
hingga terjadi kerusakan. Oleh karena itu barang siapa berbai’at pada lelaki dengan tanpa
musyawarah dengan Muslimiin, maka tidak boleh diikuti, baik yang berba’iat
maupun yang dibai’at. Keduanya melakukan kekeliruan yang mengarah untuk
dibunuh'."[7]
Sebetulnya khutbah
Jum’ah Umar terakhir tersebut, tidak hanya melukiskan Umar sangat mengalah
pada ra’iyah atau Jamaah, tetapi lebih dari itu. Dia sangat mementingkan musyawarah, sangat menghormati Abu Bakr, sangat
menghormati pejuang-pejuang Islam lainnya, mementingkan perdamaian dan persatuan.
Kalau rakus, tamak, atau arogan, saat itu Umar bisa mendapatkan kekayaan sebanyak
apapun, karena saat itu dua kerajaan raksasa Romawi dan Farisi telah
dilumpuhkan olehnya. Harta kekayaan dua kerajaan tersebut masuk ke Sabilillah
banyak sekali, hingga ‘Umar jusrtu menangis melihat
kenyataan tersebut. Dalam Lisanul-Arab dan Tajul-Urus dijelaskan:
Ketika kekayaan Raja
Kisra disetorkan pada Umar, dia berdoa ‘ya Allah! Hamba mohon pada-Mu jika
hamba terjebak. Sebab sungguh hamba mendengar Kau berfirman -سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ - Mereka
akan Kami jebak dari mana mereka tidak tahu’.[8]
Apakah yang mendorong
Umar menjadi orang sebaik itu? Tentu saja karena Ketaqwaan. Taqwa dan sabar,
terkadang diistilahkan Ichsan dalam AQur’an: إِنَّهُ مَنْ
يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ – Sesungguhnya
barang siapa bertaqwa dan bersabar, maka pasti Allah takkan menyia-nyiakan pahala kaum
Ichsan tersebut.[9]
Bertaqwa dan bersabar
pula yang membuat seorang mampu menahan diri. Karena di saat itu, Allah
merahmati, sehingga dia mampu menahan nafsunya.
Perlu diingat bahwa
ayat di atas merupakan khutbah Nabi Yusuf عَلَيْهِ
السّلَام yang disampaikan pada kakak-kakaknya, di saat mereka terperanjat oleh kenyataan
bahwa; akhirnya Yusuf عَلَيْهِ السّلَام menjadi
orang besar; di saat Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام menumbangkan kejahatan dengan cinta-kasih. Allah mengabadikan khutbah tersebut di dalam
Al-Qur’an, sebagai Pelajaran untuk Muhammad dan umatnya صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ.
Dan ketika Nabi
Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ mengamalkan
ayat tersebut; ternyata betul sekali, yakni berdampak seperti Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام. Hanya saja dampaknya jauh lebih besar dan
lebih indah. Kalau saja manusia tahu bagaimana Allah memberi Anugrah besar pada Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام dan Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, setelah mereka berdua bertaqwa dan bersabar, mungkin
mereka akan meninggalkan semua usaha. Selanjutnya bergegas atau berlari menuju
ketaqwaan dan kesabaran.[10] Apalagi
mereka yang intelek atau ilmuan, yang kesadaran atau
kepandaiannya di atas manusia pada umumnya.[11]
Cinta berbuah Indah ini hanya sebuah judul. Sebetulnya yang
dimaksud Rahmah berbuah Indah. Tetapi karena ada yang berpandangan
rahmah adalah cinta, maka judulnya menjadi begitu. Adapun yang akan dibahas:
1.
Petik dan Hidangkan Buah
Cinta.
2.
Buah Cintakasih untuk
Penghuni Bumi
3.
Taburan Cintakasih untuk
Para Sahabat.
·
Pemimpin Batasi Diri
·
Agar tidak Salah Faham
·
Himbauan.
·
Doa.
Bab I
Petik dan Hidangkan Buah Cinta
Yang paling berhak
dicintai melebihi segala-galanya, Allah dan Rasulullah Muhammad صَلّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ. Yang pernah bersabda, “ثَلاَثٌ مَنْ
كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ
إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِى النَّارِ – Ada tiga perkara yang jika
bersarang pada seorang maka dia jumpai manisnya iman:
1. Allah dan Rasul-Nya
lebih menyenangkan padanya daripada mereka berdua.
2. Pendorong dia senang seorang, tak lain kecuali karena Allah.
3.
Benci kembali pada kekufuran, sebagaimana benci dicampakkan
kedalam api.” [HR Bukhari].
Ternyata Allah sendiri
juga menyatakan, “قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ – Katakan ‘jika kalian telah cinta
Allah maka ikutilah saya! Allah akan mencintai kalian dan akan mengampuni dosa-dosa
kalian. Dan Allah Maha Pengampun Maha Penyayang’.”
Berdasarkan Firman Allah dan Sabda Rasulullah di atas, buah dari cinta terhadap Allah dan
Rasul-Nya, disenangi Allah, diampuni dosa-dosanya, dan di
saat itu pula dia memasuki wilayah indah, yang di situ, dia merasakan manisnya iman, hingga keimanan
dia yang kokoh tersebut membuat dia takkan murtad. Bagi orang yang cinta dunia, memang Firman dan Sabda tersebut kurang
menarik. Mereka akan tertarik jika telah tahu buah dari cinta Allah dan Rasul, ternyata tidak hanya akan dipetik di akhirat
saja, tetapi juga di dunia.
Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ sabar dan pandai karena Al-Qur’an wahyu Allah. Termasuk
pelajaran yang membuat Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ pandai
menghadapi orang jahat, pandai bertutur-kata, pandai menyembunyikan kejelekan
demi keindahan, adalah Surat Yusuf.[12] Karena Surat tersebut diturunkan di
saat Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ dan para sahabatnya susah berat, oleh
tekanan dan penganiayaan kaum kafir yang sesungguhnya saudara mereka sendiri.
Di luar dugaan, ternyata Allah menghibur
mereka dengan menurunkan Surat yang mengandung pelajaran akhlaq tersebut. Di
sana dijelaskan bahwa Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام yang dianiaya oleh kakak-kakaknya,
akhirnya menjadi raja di Mesir. Raja menurut Allah dan Rasul-Nya adalah
penguasa.[13] Artinya bisa jadi saat itu dia
menjadi perdana menteri Mesir, walloohu a’lam.
Buah dari kebaikan,
kesabaran dan cinta-kasih Yusuf atas penganiayaan mereka:
1.
Mereka surprise karena ternyata orang
sangat tampan dan agung tersebut adik mereka sendiri.
2.
Ternyata kesalahan besar
mereka diampuni di saat mereka lemah dan hina.
3.
Kebutaan ayah mereka
sembuh, di samping karena mukjizat Yusuf, mungkin juga karena surprise
oleh kenyataan Yusuf AS yang sangat dirindukan ternyata tidak hanya masih
hidup, tetapi telah menjadi orang besar.
4.
Ya’qub AS terkejut, ternyata orang tampan nan agung tersebut, putranya.
5. Dalam perjumpaan agung tersebut tentunya banyak
sekali yang berandai-andai: “Oh betapa bahagianya jika saya yang menjadi
Yusuf.”
Ibnu Katsir
menyampaikan penjelasan yang membuat kita terperangah takjub, mendasari Firman Allah.[14] Kurang
lebih artinya begini:
Ketika mereka telah memasuki ruangan; Yusuf AS
segera memberi tempat-layak pada dua orang tuanya, dan berkata, “Masuklah kalian ke Mesir dengan
aman in syaa Allah.”
Dan dia mengangkat dua orang tuanya di atas
singgasana.
Mereka meroboh untuk bersujud-hormat kepadanya.
Dia AS berkata, “Ya ayahku, inilah takwil mimpiku. Sungguh Tuhanku telah mewujudkan
dengan benar.
Dan sungguh Dia telah
berbuat baik padaku, setelah mengeluarkan aku dari penjara dan telah mendatangkan kalian dari desa; setelah
syaitan mengganggu antara saya dan saudara-saudara saya. Sungguh Tuhanku Maha
lembut pada yang Dia kehendaki. Sungguh Dia Maha Alim Maha Bijak.”
Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang Kunjungan dan Berpindahnya Nabi Ya’qub ke Mesir. Ketika Nabi Yusuf عَلَيْهِماَ السّلَام menyuruh saudara
dan seluruh keluarganya, agar berpindah ke Mesir, saat itu seluruh keluarga
besar Nabi Ya’qub hingga yang akhir, dibawa semuanya.
Mereka berangkat dari kota Kan’an menuju kota
Mesir. Ketika telah diberi tahu bahwa kehadiran mereka telah dekat, Yusuf
segera keluar-rumah, menyambut kedatangan mereka.
Sang raja sendiri
perintah agar menteri-menteri dan tokoh-tokoh masyarakat keluar rumah, untuk
mendampingi Yusuf menyambut kedatangan Nabiyyullah Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ.
Dilaporkan, “Sungguh sang raja sendiri juga
keluar dari istana untuk menyambut. Namun berita ini asybah, yakni
kurang meyakinkan.”
Diperkirakan, karena Nabi Yusuf AS
sebagai perdana-menteri, para pejabat tinggi, serta tokoh-tokoh masyarakat,
menyambut kedatangan rombongan Nabi Ya’qub AS. Maka rakyat pun
berbondong-bondong menyaksikan peristiwa agung tersebut. Apa lagi saat itu
rakyat Mesir tahu bahwa ekonomi Mesir yang mestinya tumbang; telah
terselamatkan oleh Nabi Yusufعَلَيْهِ السّلَامُ yang agung.
Mungkin masa paceklik
selama tujuh tahun saat itu, telah membuat kota-kota selain Mesir kekeringan berat, sehingga
banyak manusia dan binatang mati kelaparan. Kalau dilogika bahwa orang-orang
Kan’an datang ke Mesir untuk mencari bahan makan, berarti paceklik saat itu
melanda wilayah yang sangat luas.
Lutan Insan menyaksikan
Al-Alusi menjelaskan
sedikit berbeda: Telah dijelaskan di dalam beberapa sumber bahwa Nabi Yusuf dan
sang raja keluar didampingi 7.000 pasukan, para pejabat tinggi, bahkan seluruh
bangsa Mesir. Mereka menyambut kedatangan Nabi Ya’qub.[15]
Mereka menyaksikan
Nabi Ya’qub AS
hadir dengan berjalan,
bertumpu Yahudza yang berjalan di sisinya. Nabi Ya’qub menyaksikan kuda-kuda
dan manusia berjumlah banyak sekali. Dia berkata, “Hai Yahudza, apakah ini Raja
Fir’aun Mesir?.”
Yahudza menjawab,
“Bukan, ayahku. Dialah putramu bernama Yusuf.”
Sebuah sumber
menjelaskan ‘Yusuf diberi tahu’: “Sungguh kau akan menjumpai dia; dan dia akan
menjumpai
kau sesuai yang kau
lihat.”
Ketika Yusuf akan
menyambut dengan ucapan Salam; ada yang mencegah, agar tahu bahwa Ya’qub lebih
mulia bagi Allah Ta’ala dari pada dia, karena yang mengucapkan Salam
pertama kali. Ya’qub segera memeluk dan mencium Yusuf AS dan berkata, “As-Salamu
‘alaik, hai yang menghilangakan kesusahan-kesusahanku.”[16]
Sebuah sumber
menjelaskan: “Yusuf berkata pada ayahnya, ‘ayahku, kau telah menangisi saya, hingga buta pandanganmu. Apakah ayah tak tahu
bahwa hari kiamat akan mengumpulkan kita?.”
Ya’qub berkata,
“Betul, tetapi saya khawatir agamamu rusak, sehigga kita akan terhalang bertemu.”
Menurut Ibnu Hisyam Al-Kalb:
Banjir besar telah
melanda, hinggga membongkar kubur di kota Yaman.[17]Dalam
kubur tersebut ada mayat wanita yang masih utuh. Diperkirakan dulunya dia
wanita kaya-raya. Ada tujuh mikhnaq, yakni jenis mutiara putih
yang menghiasai lehernya. Dua tangan dan dua kakinya mengenakan gelang-gelang
yang ditata: di atas betis, di bawah betis, di pergelangan tangan, di lengan,
yang masing-masingnya berjumlah tujuh. Semua jarinya mengenakan cincin-perhiasan
bermata berlian yang harganya sangat mahal. Di sisi kepalanya ada peti, berisi harta kekayaan penuh. Di dalamnya ada
papan bertulis, “Dengan Nama-Mu ya Allah Tuhan kota Himyar. Hamba Tachah
binti Dzi Syufar. Hamba telah mengutus seorang agar membeli bahan makan
berjumlah banyak pada Nabi Yusuf perdana menteri Mesir, namun dia terlambat pulang sangat
lama. Akhirnya saya mengutus seorang kasim agar membawa satu mud perak, agar ditukarkan satu mud gandung yang telah
ditumbuk; namun tak ada yang memiliki gandum yang saya maksud.[18] Dia aku utus agar membeli gandum yang telah ditumbuk; dengan satu mud
emas, namun ia pulang tak membawa hasil. Dia kuutus membeli gandum yang telah ditumbuk, dengan bahriy, yakni intan indah sekali dari
laut, yang di leherku, namun dengan itu tak juga mendapatkan. Karena geregetan
dan kesal, hamba menyuruh agar intan tersebut ditumbuk, tentu
saja tetap juga tak bermanfaat pada hamba, hingga akhirnya hamba mati kering
kelaparan. Maka barang siapa mendengar tentang diriku, hendaklah mendoakan rahmat untukku, atau menjadikan aku sebagai ibarat. Jika dia muslimah saya
berdoa untuknya semoga Allah memberi rahmat yang luas hingga membuat dia
lupa kelaparan atau kekeringannya. Siapapun wanita yang mengenakan perhiasanku, takkan mati kecuali seperti kematianku.”
Kisah yang pasti shahih
adalah yang ada dalam Al-Qur’an. Di sana dijelaskan ‘saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir’ untuk membeli bahan makan. Keterangan ini
penjelasan yang cukup, yakni berarti paceklik di saat itu melanda wilayah
sangat luas. Itu berarti Yusuf berjasa besar sekali pada masyarakat sangat
luas, karena Mesir dan sekitarnya selamat dari bencana tersebut melalui
petunjuknya.[19]
Diperkirakan orang-orang yang menonton rombongn Nabi Ya’qub AS
datang ke Mesir, sangat banyak sekali. Jika sang raja hingga keluar
istana, mungkin karena pengaruh terlalu banyak manusia yang keluar, untuk menyaksikan.
Kalau peristiwa
tersebut dianggap keindahan yang dipetik dan dihidangkan oleh Yusuf ke hadapan
sang raja dan manusia pada umunya, maka sebetulnya itu baru keindahan
lahiriyah. Sementara mutiara-keindahan yang hakiki dari kebaikan Yusuf dan
Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ, justru berada pada
Kisah Al-Qur’an tentang Yusuf, Ya’qub عَلَيْهِماَ
السّلَامُ, dan keluarga mereka.
Bukti bahwa kisah dalam Al-Qur’an tersebut adalah mutiara-keindahan hakiki, akan abadi. Meskipun dunia ini hancur-lebur karena gempa
kiamat; namun Ayat-Ayat yang mengkisahkan Yusuf dan Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ dan lainnya, akan abadi.
Jika telah masuk
surga, maka orang-orang iman akan disuruh membaca Al-Qur’an yang
dulu-kala sering dibaca, sambil menaiki tangga. Jika telah selesai,
maka disuruh berhenti dan memasuki surga yang lebih tinggi dari pada jatah
surganya.
Nabi صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلّمَ bersabda:
“يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ
تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا –
Akan dikatakan pada orang yang menguasai Al-Qur’an ‘bacalah sambil naik tangga!
Tartilkanlah membacanya!
Sebagaimana kau dulu di
dunia, membaca dengan tartil. Sungguh tempat
tinggalmu di sisi akhir Ayat yang akan kau baca nanti’.” [HR Tirmidzi].
[1] Diperkirakan perhatian jamaah Jum’ah pada khutbah saat itu lebih serius atau tegang, karena kemarahan Umar saat di Makkah, dan karena ucapan Ibnu Abbas pada Said bin Zaid bin Amer bin Nufail.
[2] Dulu pernah ada ayat rajam: الشَّيْخ وَالشَّيْخَة إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّة, namun telah dimansukh secara tilawah. [Fatchul-Bari juz 14 halaman 233].
[3] Mereka berdua Ma’nu bin Adi dan Uwaim bin Sa’idah.
[4] Ada pernyataan Abu Bakr yang menjadi pelajaran berharga: “Demi Allah hai kaum Anshar, sungguh kami tidak mengingkari keutamaan kalian dan pengorbanan kalian untuk Islam, demikian pula hak kalian yang tinggi di atas kami.” [Fatchul-Bari 19/257 Maktabatus-Syamilah].
[5] Dia bernama Chubab bin Al-Mundzir.
[6] Dalam kitab aslinya ditulis: جُذَيْلُهَا الْمُحَكَّكُ ، وَعُذَيْقُهَا الْمُرَجَّبُ. Maksudnya dia puas dengan pertemuan ini.
[7] Bisa jadi ini karena kepandaian Umar RA yang sempurna dalam rangka mengajarkan berdemokrasi, wallahu a’lam. Memang Ibnu Abbas tidak menjelaskan mereka berdebar-debar karena tidak perlu. Tetapi bagi Ibnu Abbas dan para sahabat penting lainnya dipastikan (in sayaa Allah) berdebar-debar karena disampaikan orang sangat besar dan agung menanggapi ucapan keliru seorang.
[8] قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه لما حُمِلَ إِليه كُنُوزُ كِسْرَى اللهم إِني أَعوذ بك أَن أَكونَ مُسْتَدْرَجاً فإِني أَسمعك تقول سنستدرجهم من حيث لا يعلمون
[9] Qs Yusuf ayat 90.
[10] Dalil yang menjelaskan bahwa dulu Islam pernah berjaya karena barakah dari Al-Qur’an dan Al-Hadits banyak. Bukhari meriwayatkan Hadits panjang yang nilainya sangat tinggi yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa saat itu, maksudnya sekitar tahun tujuh-puluh-tiga Hijriyyah Islam telah berjaya. Apalagi setelah itu:
عَنْ أَبِى الْمِنْهَالِ قَالَ لَمَّا كَانَ ابْنُ زِيَادٍ وَمَرْوَانُ بِالشَّأْمِ ، وَوَثَبَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ ، وَوَثَبَ الْقُرَّاءُ بِالْبَصْرَةِ ، فَانْطَلَقْتُ مَعَ أَبِى إِلَى أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَيْهِ فِى دَارِهِ وَهْوَ جَالِسٌ فِى ظِلِّ عُلِّيَّةٍ لَهُ مِنْ قَصَبٍ ، فَجَلَسْنَا إِلَيْهِ فَأَنْشَأَ أَبِى يَسْتَطْعِمُهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ يَا أَبَا بَرْزَةَ أَلاَ تَرَى مَا وَقَعَ فِيهِ النَّاسُ فَأَوَّلُ شَىْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ إِنِّى احْتَسَبْتُ عِنْدَ اللَّهِ أَنِّى أَصْبَحْتُ سَاخِطًا عَلَى أَحْيَاءِ قُرَيْشٍ ، إِنَّكُمْ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ كُنْتُمْ عَلَى الْحَالِ الَّذِى عَلِمْتُمْ مِنَ الذِّلَّةِ وَالْقِلَّةِ وَالضَّلاَلَةِ ، وَإِنَّ اللَّهَ أَنْقَذَكُمْ بِالإِسْلاَمِ وَبِمُحَمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى بَلَغَ بِكُمْ مَا تَرَوْنَ ، وَهَذِهِ الدُّنْيَا الَّتِى أَفْسَدَتْ بَيْنَكُمْ ، إِنَّ ذَاكَ الَّذِى بِالشَّأْمِ وَاللَّهِ إِنْ يُقَاتِلُ إِلاَّ عَلَى الدُّنْيَا.
Dari Abil-Minhal:
“Ketika Ibnu Ziyad dan Marwan di kota Syam (sebagai penguasa di sana); Ibnu Az-Zubair bergerak di Makkah; Qurraa’ (jamaah penghafal Al-Qur’an) di kota Basrah juga bergerak (maksudnya terjadi perselisihan besar bahkan petempuran sengit antar beberapa kubu tersebut, sehingga banyak orang Islam justru susah sekali. Termasuk di antara mereka yang susah, ayah Abul-Minhal.”
(Abul-Minhal meneruskan, “Saya dan ayahku segera berangkat menuju Abu Barzah (sahabat Nabi). Akhirnya saya benar-benar sampai ke rumah Abu Barzah Al-Aslami, bahkan akhirnya kami sempat masuk ke rumahnya, di saat dia sedang berteduh di bawah naungan rumah susunnya yang terbuat dari bambu. Setelah kami duduk bersanding dengannya; ayahku segera minta hidangan berupa uraian Hadits ‘ya Aba Barzah, bukankah kau menyaksikan kejadian yang telah menimpa orang-orang?’.
Awal ucapan dia yang kudengar adalah ‘ya golongan orang-orang Arab! Sebagaimana yang telah kalian ketahui bahwa kalian dahulu keadaannya hina, sedikit, dan tersesat. Sungguh Allah telah menyelamatkan kalian melalui Islam dan Muhmmad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلّمَ. Hingga akhirnya Allah menyampaikan kalian pada kenyataan yang kalian saksikan. Dan ini dunia telah merusak hubungan antar kalian. Sungguh itu yang di Syam demi Allah tidak berperang kecuali karena dunia’.”
[11]Allah sendiri menjelaskan bahwa orang pandai mudah menyadari keadaan karena selalu memperhatikan keadaan alam sekitarnya:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Sungguh mengenai terjadinya beberapa langit dan bumi, dan silih-bergantinya malam dan siang, niscya menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) khususnya bagi para pemilik akal. Yaitu orang-orang yang ingat Allah dengan berdiri dan duduk, dan di atas lambung-lambung mereka. Dan berfikir mengenai terjadinya beberapa langit dan bumi. (Mereka berkata “Tuhan kami! Kau tidak mencipta ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau! Oleh itu selamatkanlah kami dari siksa neraka.”
Al-Baab yang di sini diartikan akal adalah bentuk jamak dari lubb. Arti tepatnya akal-budi yang tinggi sehingga tidak mudah terpengaruh.
[12] قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ – Mereka berkata, “Jika dia mencuri; sungguh saudara dia sebelum ini juga pernah mencuri.”
Sontak Yusuf merahasiakan jawaban; tidak melahirkannya pada mereka, “Kalian lebih jelek tempatnya; dan Allah lebih tahu mengenai apa yang kalian jelaskan.”
Kalau jawaban ini terdengar oleh mereka pasti berakibat tidak baik, dan mengurangi nilai dari akhlaq Yusuf, yakni tidak mampu menyimpan kejelekan yang mestinya disimpan. Achmad meriwayatkan: عَنْ عَائِشَةَ ، اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا : السَّامُ عَلَيْكَ ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : بَلِ السَّامُ عَلَيْكُمْ ، وَاللَّعْنَةُ ، قَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ ، قَالَتْ : أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا ؟ قَالَ : فَقَدْ قُلْتُ : وَعَلَيْكُمْ – Dari ‘A’isyah, “Sekelompok orang Yahudi memasuki rumah Nabi untuk berkata ‘Assaamu’alaik’, yang artinya semoga kau mati. ‘A’isyah berkata ‘justru kalian yang semoga saam’, maksudnya semoga mati ‘dan semoga terkena laknat’.
Nabi bersabda ‘ya ‘A’isyah, sungguh Allah عَزَّ وَجَلَّ cinta kelembutan dalam perkara semuanya’. Dia menjawab ‘apakah tuan tidak mendengar perkataan mereka?’.
Nabi SAW bersabda ‘sungguh saya telah berkata ‘wa’alaikum’,” artinya semoga kalian juga demikian.
Jawaban Nabi yang menyembunyikan doa jelek lebih indah dari-pada jawaban ‘A’isyah yang menon-jolkan dua doa jelek.
[13] Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا – Dan Dia pernah menjadikan kalian sebagai raja-raja.” Ibnu Abbas menjelaskan agar orang-orang tidak bingung atau keliru dalam memahami Firman tersebut, “Maksudnya memiliki pelayan, istri dan rumah.”
[14] { فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى يُوسُفَ آوَى إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99) وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نزغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (100) } يخبر تعالى عن ورود يعقوب، عليه السلام، على يوسف، عليه السلام، وقدومه بلاد مصر، لما كان يوسف قد تقدم إلى إخوته أن يأتوه بأهلهم أجمعين، فتحملوا عن آخرهم وترحلوا من بلاد كنعان قاصدين بلاد مصر، فلما أخبر يوسف، عليه السلام، باقترابهم خرج لتلقيهم، وأمر [الملك] أمراءه وأكابر الناس بالخروج [مع يوسف] لتلقي نبي الله يعقوب، عليه السلام، ويقال: إن الملك خرج أيضا لتلقيه، وهو الأشبه.
[15] وجاء في بعض الأخبار أنه عليه السلام خرج هو والملك في أربعة آلاف من الجند والعظماء وأهل مصر بأجمعهم لاستقباله فتلقوه عليه السلام وهو يمشي يتوكأ على يهوذا فنظر إلى الخيل والناس فقال : يا يهوذا أهذا فرعون مصر قال : لا يا أبت ولكن هذا ابنك يوسف قيل له : إنك قادم فتلقاك بما ترى ، فلما لقيه ذهب يوسف عليه السلام ليبدأه بالسلام فمنع ذلك ليعلم أن يعقوب أكرم على الله تعالى منه فاعتنقه وقبله وقال : السلام عليك أيها الذاهب بالأحزان عنى ، وجاء أنه عليه السلام قال لأبيه : يا أبت بكيت علي حتى ذهب بصرك ألم تعلم أن القيامة تجمعنا؟ قال : بلى ولكن خشيت أن تسلب دينك فيحال بيني وبينك
[16] Al-Baghawi menjelaskan di dalam Tafsirnya, “Mereka berdua menangis.” Mungkin karena terlalu bahagia.
[17] حفرَ السيلُ عن قبرٍ باليمنِ فيه امرأةٌ في عنقها سَبعُ مَخانقَ جمع مِخنقٍ وهي المِحس من دُرٍّ أبيضَ وفي يديها ورجليها من الأسورةِ والخلاخيلِ والدماليجِ سبعةٌ وفي كل إصبعٍ خاتمٌ فيه جوهرةٌ مُثمنةٌ أي ذاتُ قيمةٍ وعند رأسها تابوتٌ مملوءٌ مالاً ولوحٌ فيه مكتوبٌ ما نصه : باسمكَ اللهم إله حميرَ أنا تاحةُ بنتُ ذي شُفرٍ بعثتُ مائرنا إلى يوسفَ أي عَزيزِ مِصرَ فأبطأ علينا فبعثتُ لاذتي بالذال المُعجمة وهو من يلوذُ بها ممن يَعزّ عليها من حشمها وحشمِ أبيها بمُدٍّ من ورقٍ أي فِضةٍ لتأتيني بمدٍّ من طحينٍ فلم تجدهُ فبعثتُ بمدٍّ من ذَهبٍ فلم تجدهُ فبعثتُ بمدٍّ من بحريٍّ منسوب إلى البحرِ وهو اللؤلؤ الجيد وفي بعض النُّسخِ : من نحري بالنون والياءُ للإضافةِ أي من الحليِ كان في نحري وهو أنفسُ شيءٍ عنده والأولُ أولى والله أعلم ويدل له قولها : فأمرتُ به فطحنَ لأنّ غيره من الحُلي لا يقبلُ الطحنَ قاله شيخنا فلم تجدهُ فأمرتُ به فَطحنَ فلم أنتفعْ به فاقتفلتُ أي يبستُ جُوعاً من اقتفل افتعل من القفل وهو اليبس أو معناه هلكتُ كما سيأتي فمنْ سِمعَ بي فليرْحمني أي فليرقَّ لي أو ليعتبرْ بي أو المراد منه الدُّعاءُ لها بالرحمةِ كما هو مطلوب من المتأخر للمتقدمِ فإن كانت مُسلمةً فنسأل الله لها الرحمةَ الواسعة حتى تنسى جوعتها قاله شيخنا وأيةُ امرأةٍ لبستْ حلياً من حُليي فلا ماتتْ إلا ميتتي . إلى هنا تمامُ القصةِ التي فيها عِبرةٌ لأولى الأبصارِ واعتابرٌ لذوي الأفكار
[18] Kasim berasal dari bahasa Arab “حَشِيمٌ,” yang artinya pelayan bodoh, pemalu, rendahan, yang sering dibentak-bentak.
[19] Nabi Yusuf memberi petunjuk, “تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلا قَلِيلا مِمَّا تَأْكُلُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلا قَلِيلا مِمَّا تُحْصِنُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ - Kalian menanam terus-menerus selama tujuh tahun. Apa yang telah kalian panen, biarkanlah di dalam tangkainya kecuali sedikit dari yang kalian makan. Lalu setelah itu akan datang tujuh tahun yang berat yang akan memakan pada yang kalian telah mendahulukannya, kecuali sedikit dari yang kalian timbun. Lalu setelah itu akan datang tahun yang di dalamnya manusia ditolong dan memeras.”
0 komentar:
Posting Komentar