(Bagian ke-71 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Saat Ishthokhor datang; Abu Ubaidah RA sedang mengimami shalat asar pada Muslimiin. Ishthokhor dan rombongannya terperangah mengamati mereka shalat asar berjamaah. Setelah shalat selesai, sejumlah lelaki Muslimiin mendatangi mereka untuk bertanya, “Kalian siapa? Dari mana?.”
Ishthokhor menjawab, “Saya seorang yang diutus menyampaikan surat.”
Mereka menghantar Ishthokhor dan rombongannya menghadap Abu Ubaidah. Ishthokhor bersiap-siap sujud; Abu Ubaidah mencegah, “Kita sama-sama hamba Allah! Hanya ada yang bertuntung, ada yang celaka. ‘Adapun orang-orang yang celaka, maka di dalam neraka. Bagi mereka teriakan dan tersengal. Mereka kekal di dalamnya selama beberapa langit dan bumi tetap’(Qs Hud: 106-107).”[1] Ishthokhor terperangah mendengar jawaban Abu Ubaidah. Beberapa saat mulutnya terkunci hingga Khalid mengejutkan dengan pertanyaan, “Tujuanmu apa? Dan kau utusan siapa?.”
Dia Menjawab, “Ishtshokhor! Apakah kau pimpinan kaum ini?.”
Khalid menjawab, “Bukan! Inilah yang menjadi pimpinan kami,” sambil menunjuk Abu Ubaidah.
Isthokhor berkata, “Saya utusan pimpinan dua kota Qinasrin dan Awashim,” lalu mengeluarkan surat untuk diberikan pada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah menerima dan membaca surat di pertengahan kaum Muslimiin. Khalid tergolong yang menyimak isi surat itu dengan serius. Dalam surat itu dijelaskan tentang keadaan kota, jumlah pasukan berkuda yang banyak, ancaman atas Muslimiin, dan akan datangnya bala bantuan dari Raja Hiraqla. Khalid berkata keras, “Demi yang telah menolong dan telah menjadikan kita sebagai umat Muhammad SAW yang suci (الطاهر)! Sungguh arah kalimat yang tersusun dalam surat ini bukan untuk mengajak damai! Bahkan justru ingin berperang,” pada Abu Ubaidah dan kaum Muslimiin.
Khalid RA menggertak pada Ishthokhor dan rombongannya, “Kalian telah merencanakan pengkhianatan pada kami. Jika pasukan gubernur kalian telah siap! Kalian yang pertama kalian menyerbu kami! Jika kami menang kalian lari pada Hiraqla raja kalian! Kalau betul tujuan kalian demikian! Kami juga mempersiapkan perang atas kalian! Sementara perjanjian damai selama setahun bisa dikabulkan! Kalau pasukan dari Hiraqla datang kami siap melawan! Ketika itu golongan kalian yang tetap tinggal dikotanya berarti benar-benar ingin damai dengan kami.”
Ishthokhor menjawab, “Sungguh kami menyetujui usulan kalian! Sekarang juga tulislah perjanjian antara kita.”
Khalid diperhatikan kaum Muslimiin, meminta pada Abu Ubaidah, “Wahai pimpinan! Tulislah pernyataan damai atas mereka selama setahun penuh, mulai dari bulan Dzul-Qo’dah tahun 14 Hijriyah.”
Abu Ubaidah melaksanakan usulan Khalid, menulis surat pernyataan berdamai pada penduduk Qinasrin dan Awashim. Setelah penulisan surat selesai, Ishthokhor berkata pada Abu Ubaidah, “Wahai yang mulia, tentukanlah batas kota kami. Di sisi kota kami adalah kota Chalab. Jangan keliru menyerang penduduk kota kami.”
Abu Ubaidah menjawab, “Saya akan perintah seorang agar menentukan batas-batas wilayah.”
Isthokhor berkata, “Wahai yang mulia, kami akan menggambar Raja Hiraqla di perbatasan wilayah kami yang tidak boleh kalian masuki.”
Abu Ubaidah menjawab, “Silahkan,” lalu memberikan suratnya.
Abu Ubaidah menyeru kaum Muslimiin, “Barang siapa di antara kalian melihat panji yang digambari seorang! Jangan memasuki wilayah itu! Yang diserbu penduduk kota Chalab saja! Saudaranya yang belum tahu agar diberi tahu!.”
Ishthokhor pulang untuk menemui bathriq Luqa penguasa Qinasrin untuk menyampaikan laporan, dan menyerahkan surat dari Abu Ubaidah. Yang paling membuat Ishthokhor tersinggung adalah ucapan Khalid saat mendampingi Abu Ubaidah.
Bathriq penguasa Qinasrin merasa senang karena surat permohonan damainya dikabulkan oleh Abu Ubaidah. Sang bathriq perintah seorang agar menggambar Raja Hiraqla, untuk dipasang di atas tiang yang tinggi. Panji bergambar Raja Hiraqla di atas tahta, berkibar-kibar tertiup angin besar.
Pasukan Muslimiin menyerbu kota Chalab, Amaq, dan Anthoqiyah. Mereka menghindari kota Qinasrin dan Awashim yang sudah diberi batas panji bergambar Raja Hiraqla. Sa’du bin Ubadah (سعد بن عبادة) berkata, “Syarat perdamaian itu: penduduk Qinasrin dan Awashim harus memberi 4.000 dinar uang Romawi, dan 100 auqiyah (nama satuan takaran Arab. )[2] Dan 1.000 pakaian dan perkakas dari Chalab, dan 1.000 wasaq (nama satuan takaran Arab) bahan makan pada kaum Muslimiin.” [3]
[1] {فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ*خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ} [هود: 106, 107]. Artinya: krus satu auqiyah dalam ini Hadits, 40 dirham. Penjelasan ini tidak diperselisihkan.
Artinya: Ausuq ialah jamak dari wasq (yang difathah huruf awalnya dan disukun huruf keduanya. Ada yang menjelaskan dikasroh huruf awalnya), yaitu 60 shok.