(Bagian ke-62 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Perang Abul-Quds tahun 13 Hijriyyah keatas, sangat masyhur di kalangan kaum Muslimiin Timur Tengah. Al-Waqidi sejarawan Islam menulis pernyataan pelaku sejarah tersebut, yaitu bernama Abdullah bin Unais:[1]
Sejak dulu saya cinta Ja’far dan putranya yang bernama Abdullah. Ketika Abu Bakr As-Shiddiq ayah tiri Abdullah wafat; Abdullah telah tumbuh dewasa; Ibu Abdullah berduka-cita. Pasukan Muslimiin dari Madinah telah diberangkatkan ke Damaskus sebelum Abu Bakr wafat.
Abdullah bin Ja’far minta agar Umar memberi idzin dia berangkat menyusul menuju Damaskus. Abdullah berkata padaku, “Hai putra Unais! Saya ingin ditemani oleh 20 pasukan berkuda menuju kota Syam untuk berjihad. Mau ikut nggak?.”
Saya menjawab, “Tentu.”
Abdullah telah mendapat teman 20 pasukan berkuda. Dia berpamitan pada Ali dan Umar RA untuk segera pergi ke Damaskus. Sebelum ke Damaskus dia pergi ke Tabuk. Dia bertanya, “Hai putra Unais, bukankah kau tahu letak makam ayahku?.”
Saya menjawab, “Tentu.”
Dia berkata, “Saya ingin sekali ziarah ke sana.”
Saya menghantar dia bersama rombongan menuju makam Ja’far. Sebelumnya, saya juga menunjukkan tempat Ja’far berperang dan gugur. Di sisi makam yang diberi tanda batu-batuan itulah Abdullah menangis dan mendoakan agar ayahnya mendapat rahmat. Kami berada di sana selama dua pagi. Ketika kami meninggalkan tempat; Abdullah menangis dan wajahnya merah bagai parfum Za’faron.
Saya bertanya, “Ada apa?.”
Dia menjawab, “Semalam saya bermimpi bertemu ayah. Dia berbusana dua hullah hijau, bermahkota, bersayap dua, membawa pedang terhunus berwarna hijau, untuk diserahkan padaku. [2] Dia berpesan ‘hai anakku, perangilah musuh-musuhmu dengan pedang ini. Kau takkan sampai kemari kecuali dengan berjihad’.
Dalam mimpi itu seakan-akan saya berperang hingga akhirnya pedang ayah yang kubawa tumpul.
Rombongan kami bergabung pada pasukan Abu Ubaidah RA di Damaskus. Di sana Abdullah diutus oleh Abu Ubaidah agar memimpin Perang Abul-Quds. Ketika Abdullah tidak tampak karena dikepung musuh banyak sekali; saya memacu kuda secepat-cepatnya menuju Abu Ubaidah di Damaskus.
Abu Ubaidah bertanya, “Khabar gembira kan?.”
Saya berkata, “Tolonglah Abdullah bin Ja’far dan pasukannya,” lalu melaporkan kejadian yang ada.
Abu Ubaidan berkata, “Innaa lillaahi wa innaa ilaiHi raaji’uun.[3] Masyak Abdullah bin Ja’far dan pasukannya mendapat musibah besar di awal kekuasaanmu?,” pada dirinya sendiri.
Dia menoleh dan berkata pada Khalid, “Hai ayah Sulaiman! Saya minta demi Allah! Susullah Abdullah bin Ja’far! Kaulah yang akan membereskan urusan ini.”
Khalid berkata, “Sayalah in syaa Allah yang akan membereskan urusan ini. Sebetulnya saya telah menunggu-nunggu perintah.”
Abu Ubaidah berkata, “Saya sungkan kau.”
Khalid menjawab, “Demi Allah, meskipun hanya anak kecil, kalau pimpinan saya pasti saya taati. Apa lagi pada kau yang beriman dan Islamnya lebih dulu daripada saya. Bahkan kau diberi nama Al-Amiin (الأمين/orang kepercayaan) oleh Rasulullah. Sampai kapanpun saya takkan membandingimu. Saya mempersaksikan padamu bahwa diriku saya tempatkan di Jalan Allah, dan takkan menentangmu, dan takkan memimpinmu selama-lamanya.”
[1] Tulisan ini dan sebelumnya termasuk jawaban fitnah yang menyatakan bahwa ada dendam antara Umar dan Khalid.
[2] Seperti pakaian ihrom.
[3] Artinya: sungguh kita milik Allah, dan sungguh kita akan kembali pada-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar