(Bagian ke-120 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Bathriq
Memperkosa
Mahan
kembali menuju lautan pasukannya yang telah bertambah lebih dari sejuta pria.
Dalam dewan perang itu sejumlah pejabat tinggi militer, para bathriq, para
rahib, dan para ulama Nasrani berkumpul untuk menemani Mahan makan-makan.
Di
pesta yang dihadiri oleh pejabat tinggi itu Mahan tak menyentuh makanan sama
sekali. Hatinya gundah karena mimpi yang dialami dan disampaikan dengan
berbisik oleh bathriq itu terus hadir dalam benaknya. Sebetulnya sejak awal,
Mahan lebih senang jika tidak ditunjuk sebagai Panglima Besar, yang harus
memimpin perang lebih dari sejuta pasukan berkuda itu. Dia lebih senang
berdamai dengan kaum Arab meskipun harus membayar pajak dan hina. Tetapi hampir
semua petinggi militer memohon agar peperangan melawan kaum Arab dilaksanakan.
Sejumlah
petinggi militer dan tokoh besar agama memberanikan diri mendekati untuk
bertanya pada Raja Mahan, “Apa yang membuat yang mulia tidak berselera makan?.
Kalau karena tewasnya pasukan tuan yang berjumlah banyak, besok kita akan
mengamuk agar menang. Memang terkadang perang
dimulai kalah duluan. Kalau pasukan kita telah menyerbu mereka dengan serempak
pasti mereka akan mati semuanya.”
Perkataan
Mahan sangat berwibawa, “Saya juga yakin kalian bisa menang. Karena di antara
kalian ada yang tidak memurnikan agama dan berbuat aniaya lah sehingga pasukan
Arab bisa mengalahkan pasukan kita.”
Dengan marah dan menangis, lelaki bertangan buntung menyela
mengejutkan, “Yang mulia! Saya telah hidup lama, beragama
seperti tuan. Saya pemilik 100 ekor kambing yang digembala oleh anak
laki-laki saya. Seorang bathriq bawahan tuan telah memukulkan tiang dari pagar
rumahnya pada seekor kambing saya untuk dirampas, untuk memenuhi kebutuhannya.
Pasukan bathriq itu menyerang sisa-sisa kawanan kambing saya yang sedang
merumput. Istri saya melaporkan pada anak laki-laki saya, bahwa semua kambing
saya dirampas oleh pasukan bathriq. Bathriq aniaya itu marah dan menangkap
istri saya untuk dipaksa dimasukkan ke rumahnya. Karena lama
tidak keluar, anak laki-laki saya mendekati rumah itu. Ternyata bathriq
itu memperkosa istri saya. Anak saya berteriak minta tolong, namun justru
dihajar untuk dibunuh. Saya datang untuk menyelamatkan anak dan istri, namun
saya justu ditebas pedang. Tangan saya putus ketika menangkis pedang itu. Lihat
ini potongan tangan saya.”
Lelaki
itu menunjukkan potongan tangannya pada Raja Mahan.
Kemarahan
Mahan meledak menakutkan hadirin. Pada lelaki dari kaum taklukan yang telah
beragama Nashrani itu, Mahan bertanya, “Kau tahu bathriq yang mana yang telah
menganiayamu?.”
Lelaki
itu berkata, “Ini orangnya,” sambil menunjuk seorang.
Mata
Mahan melotot mengamati bathriq dengan marah. Si Bathriq
marah karena dilaporkan pada atasannya; sejumlah bathriq juga marah karena
membela pimpinan mereka dan karena juga dilaporkan.
Lelaki malang bertangan buntung itu dihajar oleh kawanan bathriq.
Meskipun telah terkulai dan bermandi darah, lelaki itu ditebas pedang bahkan
dipotong-potong oleh kawanan bahriq yang kesetanan itu.
Mahan
menyaksikan kekejaman itu dengan matanya. Kemarahan Mahan memuncak dan
meledak-ledak, “Kalian hina! Demi kebenaran Al-Masih, kalian akan rusak!
Kalian ingin mengalahkan pasukan Arab! Namun
perbuatan kalian memalukan! Tak takutkah kalian jika besok di hari kiamat
kalian akan dikisos?. Allah juga akan menindak dan mengambil kebaikan kalian
untuk diberikan pada kaum yang memerintahkan kebaikan dan menghalang-halangi
kemungkaran? Demi Allah derajat kalian di hadapanku seperti anjing-anjinag!
Kalian akan merasakan akibat penganiayaan kalian ini semuanya, hingga kalian
akan mendapatkan kehinaan!.”
Mahan
berpaling dari mereka dengan wajah dan mata merah.
Majlis
itu telah sepi. Tinggal seorang bathriq yang mendekat
dan berbicara pada Mahan, “Yang mulia, demi Allah pasukan ini akan bernasib
seperti yang tuan katakan. Kita akan kalah. Sungguh semalam saya telah bermimpi
melihat sejumlah lelaki turun dari langit berkendaraan kuda kelabu. Mereka
mengelilingi pasukan Arab dengan membawa pedang istimewa yang terhunus; kita
berada di dekat mereka. Pasukan kita yang keluar dari barisan ditebas pedang
oleh mereka, hingga kebanyakan pasukan kita tewas.”
Mahan
terperangah karena sebelumnya juga ada bahriq yang bermimpi seperti itu. Mulai
dari sejak itu hingga malam kelam, Mahan kesulitan tidur karena berpikir keras
mengenai yang harus dilakukan pada pasukan Muslimiin.
Di
pagi yang gelap itu barisan pasukan Muslimiin telah rapi. Mereka melihat pasukan
Romawi bimbang dan grogi. Membuat keyakinan
mereka akan menang semakin besar menguat. Walau begitu Abu Ubaidah
mengingatkan, “Biarkan, jangan diserang. Menyerang orang lemah kelakuan orang
rendah.”
Empat
raja bawahan Raja Mahan berkumpul: 1), Raja Qanathir. 2), Raja Jarjir. 3), Raja
Dirjan. 4), Raja Qurin.
Empat
raja itulah yang diperintah oleh Raja Mahan agar memimpin pasukan berjumlah
lebih sejuta. Mereka berempat menunggu kehadiran Raja Mahan yang akan diminta
agar memberi idzin mereka memulai menyerang
pasukan Arab. Jawaban Mahan mengejutkan, “Bagaimana mungkin saya akan menyerang
kaum dengan pasukan yang aniaya?. Jika kalian hebat! Seranglah
mereka untuk membela kerajaan dan menyelamatkan wanita kalian!.”
Mereka
menjawab, “Hari ini kami bertekat akan menyerang mereka. Demi kebenaran
Al-Masih, mereka semua akan kami sapu dari kota Syam, meskipun untuk itu kami
harus mati. Sumpah dan utuslah kami sekarang juga agar menyerang mereka. Jika
tuan ingin melihat kami berempat yang lebih lihai dalam memimpin perang;
utuslah kami bergantian, agar bisa dinilai. Jika pasukan Arab kalah, harta
mereka akan kami rampas untuk dikembalikan lagi pada tempat semula. Hanya saja
untuk sementara peperangan diistirahatkan biar pasukan Arab sengsara dulu.”
Mahan
berkata, “Ya, usulan kalian saya terima. Sekarang istirahatlah hingga saya
kirim surat pada Raja Hiraqla mengenai rencana ini.”
Mahan
menulis surat:
Amma
ba’du:
Yang mulia, saya berdoa semoga Allah menolong dan memberi kejayaan tuan. Tuan
telah mengutus saya memimpin pasukan yang jumlah mereka tidak bisa dihitung.
Saya telah bergerak menuju halaman pasukan Arab untuk memberi makanan, namun
mereka tidak mau menerima. Saya telah minta damai, namun mereka tidak mau. Saya
telah menyuap agar mereka pergi, namun mereka bersikeras. Sungguh pasukan Raja
grogi sekali melihat mereka. Saya takut jika rasa grogi ini akan berkembang,
karena pasukan kami telah melakukan sejumlah penganiayaan. Saya telah
mengumpulkan orang-orang pandai demi abadinya kerajaan tuan, untuk menyatukan
tekat bulat. Akhirnya kami sepakat: 1), Akan menyerbu mereka dengan serempak,
dengan serbuan yang bertubi-tubi selama sehari penuh. 2), Kami tidak boleh lari
meskipun harus mati menerima keputusan Allah. Jika Allah nanti membuat musuh
mengalahkan kami, maka terimalah keputusan
Allah itu. Sadarilah bahwa dunia pasti akan menjauhi tuan. Jangan menyesali
yang lepas dari kekuasaan tuan. Jangan merasa memiliki pada yang tuan kuasai.
Sekarang silahkan tuan mengungsi ke kastil dan negri tuan yang di
Qusthanthiniyyah (القسطنطينية). Lindungilah rakyat tuan dengan baik, niscaya Allah berbuat
baik pada tuan. Sayangilah rakyat tuan, niscaya Allah menyayang tuan.
Merendahlah karena Allah, niscaya Allah mengangkat tuan. Allah tidak senang
orang-orang yang sombong. Sebetulnya pimpinan Arab bernama Khalid telah saya
panggil untuk dibunuh, tapi akhirnya saya menyadari bahwa pelaku kecurangan
justru akan celaka. Akhirnya saya menyadari bahwa pasukan Arab menang karena
menegakkan keadilan dan kebenaran.
والسلام
Surat dilipat, lalu diberikan pada
sejumlah orang, agar diantarkan pada Raja Hiraqla.
Telah seminggu peperangan istirahat. Abu Ubaidah menyuruh sejumlah
mata-mata agar mempelajari penyebab pasukan Romawi tidak melancarkan serangan.
Selama sehari semalam mata-matanya pergi ke kubu Romawi.
Mata-mata melaporkan, “Karena Raja Mahan telah kirim surat pada
Raja Hirqla, dan sedang menunggu jawabannya.”
Khalid berkata, “Itu berarti Mahan takut kita, sekarang mari kita
serbu!.”
Pasukan Muslimiin menyaksikan Abu Ubaidah menjawab, “Jangan tergesa-gesa.
Tergesa-gesa karena pengaruh syaitan.”
Sejak dulu Abu Ubaidah memang sangat penyabar dan mementingkan
kesopanan.
Setelah istirahat perang telah delapan hari, Mahan memanggil lelaki dari Lakhm (لَخْم) untuk diperintah, “Menyusuplah pada kaum Arab itu untuk mengumpulkan berita penting yang harus kau
laporkan padaku!.”
Mata-mata telah masuk ke pertengahan pasukan Muslimiin untuk
mengumpulkan berita, selama sehari semalam. Tugas bisa dilakukan dengan baik
karena tidak ada yang mencurigai padanya. Ternyata Jamaah itu mementingkan
kedamaian. Yang mereka amalkan: shalat, membaca Al-Qur’an, dan bertasbih. Tidak
ada orang bertikai maupun penganiayaan.
Dia memberanikan diri mendekati Abu Ubaidah RA. Ternyata panglima perang itu justru
kelihatan lemah. Terkadang Abu Ubaidah duduk, terkadang berbaring. Jika waktu
shalat tiba, Abu Ubaidah berwudhu; para muadzin mengumandangkan adzan. Abu
Ubaidah mengimami shalat pada mereka.
Mata-mata heran ketika melihat gerakan shalat Abu Ubaidah diikuti
oleh jamaah semuanya.
Lalu berkata dalam hati, “Ini ketaatan baik yang akan berdampak kemenangan.”
Mata-mata kembali menghadap Mahan untuk melaporkan semua yang
disaksikan: “Yang mulia, ternyata mereka berpuasa di siang hari, shalat di
malam hari, memerintahkan kebaikan, dan melarang perbuatan mungkar. Kalau malam
seperti rahib, kalau siang seperti singa jantan. Mereka menegakkan hukum: Seandainya seorang tokoh
mencuri, pasti telah
dipotong tangannya. Kalau ada yang zina pasti telah dirajam. Nafsu mereka
dipaksa agar mengikuti kebenaran. Panglima mereka justru seperti orang yang tak
berdaya, tapi sangat ditaati. Yang menarik perhatian, ketika mereka shalat: Jika pimpinannya berdiri; semua
berdiri. Jika duduk; semua duduk. Hobi mereka justru berperang, cita-cita
mereka mati syahid. Ternyata mereka tidak menyerbu karena menunggu serangan
kita.”
Mahan berkata, “Mereka ada kemungkinan menang. Namun saya akan
melancarkan tipu muslihat atas mereka.”
Mata-mata bertanya, “Apa rencana tuan?.”
Mahan menjawab, “Bukankah kau sendiri yang telah berkata ‘mereka
takkan mendahului menyerang kita?’. Agar kita berbuat aniaya?.”
Mata-mata menjawab, “Betul.”
Mahan berkata, “Saya takkan menyerang mereka untuk mengulur waktu,
agar mereka lengah. Saat itulah kami akan meyerang mendadak.”
Mahan mengumpulkan para pejabat tinggi untuk membagikan
panji-panji dan Salib-salib.
Membagi panji berjumlah banyak, dan Salib sejumlah 120 memakan
waktu yang lama. Tiap orang yang
diberi Salib, memimpin 10.000 pasukannya yang berderet memanjang ke belakang.
Qanathir raja yang pangkatnya sama dengan Raja Mahan, menerima
Salib pertama kali. Dia ditugaskan memimpin pasukan sebelah kanan.
Salib kedua diberikan pada Raja Dirjan yang diperintah agar
memimpin kaum Armenia, Najed, Nubia, Rusia, dan Shaqaliqah.
Salib ketiga diberikan pada putra saudara perempuan Mahan yang
diperintah memimpin kaum Perancis, Hiraqliyah, Qayashirah, Yarful, Dauqas.
Kepada Raja Jablah yang memimpin kaum Nashrani dari
Lakhm, Judzam, Ghassan, dan Dhabbah, Raja Mahan memberi panji dan Salib, dan
perintah jika terjadi peperangan ‘agar yang menyerang pertama kali’.
Pada Jabalah, Mahan berpesan, “Kalian kaum Arab; musuh kita kaum
Arab. Yang mematahkan besi, besi yang lebih kuat.”
Lalu Mahan membagi panji-panji pada masing-masing barisan.
Ketika fajar telah menyingsing, dan ufuk timur memerah, tugas
Mahan telah selesai. Selanjutnya Mahan perintah agar dibuatkan bangunan darurat
yang diletakkan di atas gunung, untuk mengawasi pasukan Muslimiin dan pasukan
Mahan sendiri.
Tempat itu dijaga oleh 1.000 pasukan berkuda di kanannya, yang
memanggul pedang terhunus. Di sebelah kiri tempat itu juga dijaga pasukan
berkuda, yang berjumlah sama dengan yang sebelah kanan, juga berpedang
terhunus. Hanya saja pasukan berkuda yang di sebelah kiri bangunan itu para
pejabat militer yang duduk di atas kursi.
Mahan berkata, “Pasti pasukan Arab, benci melihat kehebatan kita
ini. Persiapan kita lengkap, sedangkan mereka tak memiliki yang patut
dibanggakan. Jika kalian melihat mereka lengah, seranglah dengan serempak dari
segala penjuru. Jumlah mereka sangat sedikit dibanding jumlah pasukan kita!.”
Pagi indah datang lagi; ufuk timur disinari oleh sang fajar. Seorang lelaki menyerukan
iqamat. Abu Ubaidah yang tak tahu bahwa keamanannya terancam itu mengimami
shalat subuh. Orang yang selalu menyerahkan urusannya pada Allah itu setelah
membaca Al-Fatichah, membaca surat Al-Fajr. Dalam surat Al-Fajr yang agung itu
Allah menanyakan pada nabi SAW mengenai: 1), Apakah beliau pernah mengerti
kisah kaum Ad (Iram) yang (saat itu) kekuatannya mutlak tak ada manusia yang membandingi. 2), Kaum
Tsamud yang mampu memotong batu besar di jurang. 3), Kaum Firaun yang memiliki
pasak-pasak penyiksa. Kejahatan tiga kaum itu telah membuat menderita pada
sejumlah penduduk negara. Akhirnya Tuhan nabi menuangkan cambuk siksaan atas
mereka.
Lalu Allah menjelaskan, “Sungguh Tuhanmu niscaya dalam keadaan
waspada.”
Dan seterusnya.
Bacaan yang indah menggetarkan itu aneh sekali. Dalam kekhusukan
Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin yang penuh itu, mereka terkejut oleh suara,
“Kalian akan menaklukkan lawan! Demi Tuhan
kejayaan! Siasat yang mereka lancarkan takkan bermanfaat sedikikitpun! Allah
memberi kabar gembira ‘kalian akan menang’ melalui surat yang dibaca oleh Imam
kalian ini!.”
Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin
menjalankan shalat dengan merinding dan kekhusukan maksimal.
Di rakaat kedua Abu Ubaidah membaca Al-Fatichah dan surat
As-Syams. Pembacaan yang dilantunkan dengan memukau itu menggetarkan semua
Jamaah shalat subuh. Surat As-Syams berisi sumpah Allah:
Demi matahari dan terangnya
Demi bulan ketika mendekatinya.
Demi siang apabila menampakkannya
Demi malam ketika menutupinya
Demi langit dan pembangunnya.
Demi bumi dan yang menyempurnakannya
Demi jiwa dan yang menyempurnakannya
Lalu memberikan ilham jelek dan dan ketaqwaannya
Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya
Dan sungguh rugi orang yang membuat dirinya durhaka
Kaum Tsamut telah mendustakan karena kedurhakaan mereka
Ketika itu lebih celakanya mereka berbuat aniaya
Rasulullah pun berkata pada mereka
Perhatiknlah Unta Allah ini dan minumannya
Namun mereka mendustakan dia dan menyembelih unta
Akhirnya Tuhan mereka menghancurkan meratakan pada mereka
Dan tak mengkhawatirkan akibat mereka.
Lagi-lagi Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin yang sedang bergetar khusuk di dalam shalat
subuh terkejut oleh suara, “Kalimat harapan itu sempurna! Dan tindakan akan segera
terwujud! Ini sebagai
pertanda yang pasti!.”
Seusai shalat subuh pasukan Muslimiin riuh. Abu Ubaidah bertanya,
“Apakah kalian mendengar kalimat tadi?.”
Mereka menjawab, “Mendengar!,” dengan serempak.
Ada yang berkata, “Kami mendengar perkataan dalam dua rekaat
(‘begini begini’).”
Abu Ubaidah berkata, “Ini bisikan kemenangan! Berbahagialah menyambut
petolongan Allah! Demi Allah, Allah akan menolong kalian dengan mengujankan
cambuk adzab pada mereka, sebagaimana dulu Allah pernah mengadzab bangsa kuno
yang durhaka.”
Pasukan Muslimiin memperhatikan Abu Ubaidah berkata, “Semalam saya
bermimpi yang saya takwilkan bahwa; perang ini akan kita menangkan, karena kita akan dibantu para
mlaikat.”
Muslimiin sama bertanya, “Mimpi itu bagaimana? Semoga Allah
berbuat baik pada tuan.”
Abu Ubaidah berkata, “Dalam mimpi itu saya melihat kita di dekat
musuh. Tiba-tiba kita dikerumuni sejumlah pasukan berwajah tampan berbusana
putih. Busana mereka membiaskan cahaya yang menyilaukan mata. Mereka bersurban
hijau, membawa panji-panji berwarna kuning, berkuda kelabu. Mereka berkata
‘kalian mampu mengalahkan mereka. Allah akan menolong kalian’.
Sejumlah pasukan kita dipanggil untuk diberi minum dari gelas yang
mereka bawa. Begitu pasukan kita menggempur; pasukan Romawi porak-poranda dan berlarian.”