Abu Qilabah dan Anbasah
murid Anas bin Malik RA. Tetapi Anbasah
mengakui, “Abu
Qilabah lebih dhabith kemanqulannya, mengenai Al-Qasamah, daripada dirinya. Bukhari
meriwayatkan tentang ini.
Dalam pengajian akbar yang diselenggarakan oleh
raja terbesar sejagad di Syam; tersingkap Mutiara Hikmah yang tidak
pernah diketahui oleh kebanyakan orang. Tentu saja hal itu membuat Raja
Umar bin Abdil-Aziz dan Umaroul Ajnad, bahkan umumnya hadirin terkesima.[1]
Memang awalnya Abu Qilabah
yang menunjukkan Mutiara Hikmah itu ditentang keras oleh keluarga raja. Tetapi akhirnya menang dalam berhujah karena
benar-benar menguasai (dhabith) pada dalil yang disampaikan.
Umar bin Abdil-Aziz menjadi raja pengganti Sulaiman
bin Abdil-Malik, pada tahun 99 Hijriyah (716 M) karena usulan Roja bin Chaiwah (رجاء بن حيوة).[2]
Raja (Amirul Mukminiin) Umar bin Abdil-Aziz sangat wirai (hati-hati dalam menentukan kebijakan). Karena rajin mengaji, pada masa pemerintahannya
banyak Mutiara Hikmah yang terungkap, sehingga
agama Islam benar-benar hidup. Termasuk Mutiara Hikmah yang terungkap
saat itu, mengenai menghukum dengan dasar sumpah 50 orang penuduh. Sejak
zaman Jahiliah, seorang yang disumpahi oleh 50 orang, bahwa telah
membunuh orang, bisa didenda 100 unta. Sekitar tahun 7 Hijriah, bnabi SAW juga
menyatakan, “Kalau 50 orang kalian berani bersumpah bahwa orang Yahudi itu
telah membunuh saudara kalian, mereka akan saya tarik denda (100 unta).”
Bukhari meriwayatkan pengajian akbar itu, di dalam kitab
shahihnya. Saat itu pengajian dihadiri oleh pejabat tinggi yang disebut Umaroul
Ajnad atau Ruusul Ajnad. Diperkirakan yang menghadiri pengajian saat itu, ratusan ribu:
6899-
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ الأَسَدِيُّ ، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ ،
حَدَّثَنِي أَبُو رَجَاءٍ مِنْ آلِ أَبِي قِلاَبَةَ ، حَدَّثَنِي أَبُو قِلاَبَةَ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَبْرَزَ سَرِيرَهُ يَوْمًا لِلنَّاسِ ثُمَّ
أَذِنَ لَهُمْ فَدَخَلُوا فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي الْقَسَامَةِ قَالَ نَقُولُ
الْقَسَامَةُ الْقَوَدُ بِهَا حَقٌّ وَقَدْ أَقَادَتْ بِهَا الْخُلَفَاءُ قَالَ
لِي مَا تَقُولُ يَا أَبَا قِلاَبَةَ وَنَصَبَنِي لِلنَّاسِ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَكَ رُؤُوسُ الأَجْنَادِ وَأَشْرَافُ الْعَرَبِ أَرَأَيْتَ
لَوْ أَنَّ خَمْسِينَ مِنْهُمْ شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ مُحْصَنٍ بِدِمَشْقَ أَنَّهُ
قَدْ زَنَى لَمْ يَرَوْهُ أَكُنْتَ تَرْجُمُهُ. قَالَ : لاَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ
لَوْ أَنَّ خَمْسِينَ مِنْهُمْ شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ بِحِمْصَ أَنَّهُ سَرَقَ
أَكُنْتَ تَقْطَعُهُ وَلَمْ يَرَوْهُ قَالَ : لاَ قُلْتُ فَوَاللَّهِ مَا قَتَلَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَطُّ إِلاَّ فِي إِحْدَى ثَلاَثِ خِصَالٍ
رَجُلٌ قَتَلَ بِجَرِيرَةِ نَفْسِهِ فَقُتِلَ ، أَوْ رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ
إِحْصَانٍ ، أَوْ رَجُلٌ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَارْتَدَّ ، عَنِ
الإِسْلاَمِ فَقَالَ الْقَوْمُ أَوَلَيْسَ قَدْ حَدَّثَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَطَعَ فِي السَّرَقِ وَسَمَرَ الأَعْيُنَ ثُمَّ
نَبَذَهُمْ فِي الشَّمْسِ فَقُلْتُ أَنَا أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثَ أَنَسٍ ،
حَدَّثَنِي أَنَسٌ أَنَّ نَفَرًا مِنْ عُكْلٍ ثَمَانِيَةً قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعُوهُ عَلَى الإِسْلاَمِ فَاسْتَوْخَمُوا الأَرْضَ
فَسَقِمَتْ أَجْسَامُهُمْ فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ : أَفَلاَ تَخْرُجُونَ مَعَ رَاعِينَا فِي إِبِلِهِ فَتُصِيبُونَ مِنْ
أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا قَالُوا بَلَى فَخَرَجُوا فَشَرِبُوا مِنْ
أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَصَحُّوا فَقَتَلُوا رَاعِيَ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم وَأَطْرَدُوا النَّعَمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمْ فَأُدْرِكُوا فَجِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ بِهِمْ
فَقُطِّعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ وَسَمَرَ أَعْيُنَهُمْ ثُمَّ نَبَذَهُمْ
فِي الشَّمْسِ حَتَّى مَاتُوا قُلْتُ وَأَىُّ شَيْءٍ أَشَدُّ مِمَّا صَنَعَ
هَؤُلاَءِ ارْتَدُّوا ، عَنِ الإِسْلاَمِ وَقَتَلُوا وَسَرَقُوا فَقَالَ
عَنْبَسَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَاللَّهِ إِنْ سَمِعْتُ كَالْيَوْمِ قَطُّ فَقُلْتُ
أَتَرُدُّ عَلَيَّ حَدِيثِي يَا عَنْبَسَةُ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ جِئْتَ
بِالْحَدِيثِ عَلَى وَجْهِهِ وَاللَّهِ لاَ يَزَالُ هَذَا الْجُنْدُ بِخَيْرٍ مَا
عَاشَ هَذَا الشَّيْخُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ قُلْتُ وَقَدْ كَانَ فِي هَذَا سُنَّةٌ
مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَيْهِ نَفَرٌ مِنَ الأَنْصَارِ
فَتَحَدَّثُوا عِنْدَهُ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَقُتِلَ
فَخَرَجُوا بَعْدَهُ فَإِذَا هُمْ بِصَاحِبِهِمْ يَتَشَحَّطُ فِي الدَّمِ
فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ
صَاحِبُنَا كَانَ تَحَدَّثَ مَعَنَا فَخَرَجَ بَيْنَ أَيْدِينَا فَإِذَا نَحْنُ
بِهِ يَتَشَحَّطُ فِي الدَّمِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
بِمَنْ تَظُنُّونَ ، أَوْ تَرَوْنَ قَتَلَهُ قَالُوا نَرَى أَنَّ الْيَهُودَ
قَتَلَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى الْيَهُودِ فَدَعَاهُمْ فَقَالَ آنْتُمْ قَتَلْتُمْ
هَذَا ؟ قَالُوا : لاَ قَالَ أَتَرْضَوْنَ نَفَلَ خَمْسِينَ مِنَ الْيَهُودِ مَا
قَتَلُوهُ فَقَالُوا مَا يُبَالُونَ أَنْ يَقْتُلُونَا أَجْمَعِينَ ثُمَّ
يَنْتَفِلُونَ قَالَ أَفَتَسْتَحِقُّونَ الدِّيَةَ بِأَيْمَانِ خَمْسِينَ مِنْكُمْ
قَالُوا مَا كُنَّا لِنَحْلِفَ فَوَدَاهُ مِنْ عِنْدِهِ قُلْتُ وَقَدْ كَانَتْ
هُذَيْلٌ خَلَعُوا خَلِيعًا لَهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَطَرَقَ أَهْلَ بَيْتٍ
مِنَ الْيَمَنِ بِالْبَطْحَاءِ فَانْتَبَهَ لَهُ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَحَذَفَهُ
بِالسَّيْفِ فَقَتَلَهُ فَجَاءَتْ هُذَيْلٌ فَأَخَذُوا الْيَمَانِيَ.
Arti (selain
isnad)nya:
Abu
Qilabah bercerita
pada Abu Roja (أَبُو رَجَاءٍ), “Sungguh Umar bin
Abdil-Aziz pernah mengeluarkan singgasananya (dari balairung), untuk menerima kehadiran rakyat (jamaah pengajian akbar).
Beliau
mempersilahkan agar rakyat sama masuk (aula) untuk ditanya, “Bagaimana kalian
menyatakan kedudukan qosamah di dalam hukum?.”
Para hadirin
menjawab, “Penarikan denda (100 unta dari tertuduh) atas dasar Qosamah
adalah benar. Sungguh para Khalifah telah menarik denda (100
unta dari tertuduh) dengan dasar Qosamah.”
Umar bin
Abdil-Aziz berkata, “Bagaimana menurutmu?
Tentang
pengertian itu ya Aba Qilabah?” Sambil menyuruh Abu Qilabah berdiri, agar dilihat pejabat dan rakyat.
Abu
Qilabah menjawab, “Ya
Amiral Mulminiin, di sisi tuan, Ruusul
Ajnad (رُؤُوسُ الأَجْنَادِ) dan para tokoh
masyarakat. Bagaimana pandangan tuan kalau 50 orang dari mereka menyampaikan
persaksian bahwa, seorang lelaki berstatus nikah di Damaskus telah
berzina. Namun mereka tidak menyaksikan sendiri (maksudnya tidak
ada buktinya). Beranikah baginda merajam lelaki tertuduh itu?.”
Raja Umar
bin Abdul-Aziz menjawab, “Tidak berani.”
Abu
Qilabah bertanya,
“Bagaimana pendapat baginda kalau 50 orang menyampaikan persaksian (dengan
besumpah) bahwa lelaki di Chims (Homs) telah mencuri. Apakah tuan berani
memotong tangan orang tertuduh itu?
Padahal 50
penuduh yang bersumpah itu tidak menyaksikan (menunjukkan bukti)?.”
Beliau
menjawab, “Tidak berani.”
Abu
Qilabah berkata,
“Demi Allah, Rasulullah SAW pun mutlak belum pernah membunuh orang iman kecuali
karena tiga perkara:
1.
Membunuh dengan tindakan nyatanya.
2.
Berzina setelah setatus nikah.
3. Memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan murtad dari Islam.”
Sejumlah kaum membantah Abu
Qilabah, “Bukankah Anas bin Malik RA pernah menyampaikan Hadits ‘sesungguhnya
Rasulullah SAW telah memotong (tangan) dan menyelaki mata (dengan besi panas)? Lalu membuang mereka ke terik
matahari, karena pencurian?’.”
Abu Qilabah menjawab, “Justru saya lah yang akan menjelaskan
Hadits Anas bin Malik itu, pada kalian:
‘Anas pernah
menceritakan padaku bahwa, sungguh sekelompok orang dari
kampung Ukl, berjumlah delapan, telah datang untuk berbaiat sebagai
pernyataan Islam, pada Rasulallah SAW’.
Mereka
merasa kurang nyaman terhadap cuaca di kota itu, hingga
badan mereka sakit. Mereka melaporkan demikian itu pada Rasulallah SAW.
Rasulullah
bersabda ‘maukah kalian keluar bersama penggembala kami, menuju untanya ? Agar
kalian bisa mengambil susu dan kencingnya (sebagai obat)’ ?.
Mereka
menjawab ‘tentu’.
Mereka
keluar bersama penggembala, untuk minum susu dan kencing unta.
Setelah sehat, mereka membunuh penggembala Rasulillah SAW, dan menggiring
binatang ternak (berjumlah 15 ekor) itu. [3]
Beliau SAW
perintah agar tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dipotong. Rasulallah SAW
menyelaki mata dengan besi panas dan membuang ke terik matahari, hingga mereka tewas.”
Abu Qilabah bertanya, “Mana lagi kejahatan yang lebih dahsyat
daripada perbuatan mereka:
1. Murtad dari
Islam.
2. Membunuh.
3. Merampok ?.”
Dengan takjub, Ambasah bin Sa’id berkata, “Demi
Allah ! Mutlak saya belum pernah mendengar penjelasan Hadits yang sejelas ini.”
Abu Qilabah bertanya, “Masyak kau akan membantah Hadits yang saya
sampaikan ini ya Anbasah?.”
Anbasah menjawab, “Tidak, karena kau telah menyampaikan
Hadits ini dengan tepat sekali. Demi Allah pasukan ini tak henti-henti baik, selama Syaikh (Abu Qilabah)
ini hidup di pertengahan mereka.”
Abu Qilabah berkata, “Memang ada Sunnah
Rasulillah SAW mengenai hal ini: Sekelompok kaum Anshor masuk ke rumah
Rasulillah SAW, untuk bercerita di sisi beliau. Tiba-tiba seorang lelaki dari
mereka keluar, namun lalu dibunuh oleh orang. Sekelompok kaum Anshor
tersebut keluar, untuk mencari korban. Ternyata korban yang
dicari, meninggal, berlumuran darah.
Sekelompok kaum Anshor kembali menghadap Rasulallah
SAW, untuk berkata, “Ya Rasulallah, sahabat kami yang ikut berbincang-bincang
tadi, keluar (dan hilang) dari perkumpulan kami. Setelah
kami temukan, ternyata meninggal, berlumuran darah.”
Rasulullah SAW keluar untuk bersabda, “Siapakah yang
kalian sangka sebagai pelakunya ?”
Atau, “Orang yang telah membunuh ?.”
Mereka menjawab, “Jelas kaum Yahudi, yang telah membunuh.”
Rasulullah SAW perintah agar kaum Yahudi didatangkan, untuk ditanya, “Bukankah kalian yang membunuh ini?.”
Pada para sahabat, Rasulullah bertanya, “Apa kalian ridho
terhadap sumpah 50 orang Yahudi ? Yang isinya mereka
tidak membunuh ?.”
Kaum Anshor menjawab, “Mereka membunuh pada kita
semuanya pun tak peduli, lalu pasti mengingkari.”
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kalian mendapatkan
hak menarik denda , dengan bersumpah 50 orang kalian ?.”
Mereka menjawab, “Kami jelas tidak mau bersumpah (pada
yang tidak kami saksikan).”
Rasulullah SAW memberi denda pada korban itu, dari diri Rasulullah SAW.”
Abu Qilabah berkata, “Di zaman Jahiliah dulu, kaum Hudzail juga
pernah mengeluarkan seorang dari kumpulan mereka. Orang tersingkir itu mendatangi
sebuah keluarga di Yaman, yang tinggal di Batcha (dataran
rendah), pada malam hari. Ada lelaki yang terjaga lalu melemparkan pedang, untuk membunuh orang yang datang di malam tersebut.
Kaum Hudzail berdatangan untuk menangkap lelaki dari
Yaman, pembunuh orang mereka.
Di zaman Umar bin Al-Khatthab, mereka mendatangi Umar
di musim haji, untuk melaporkan lelaki (pembunuh) dari Yaman. Mereka berkata, “Dia telah membunuh orang
kami.”
Lelaki Yaman membantah, “Sungguh mereka (tak berhak
membela, karena) telah mengeluarkan dia dari kumpulan
mereka.”
Umar bin Al-Khatthab berkata, “Agar ada 50 orang
Hudzail yang bersumpah, belum pernah melepaskan korban yang tewas itu
dari kelompok mereka.”
Empatpuluh sembilan lelaki Hudzail bersumpah bahwa, orang Yaman itu telah membunuh orang mereka.
Seorang lelaki dari Syam yang datang, diminta oleh mereka
agar bergabung bersumpah.
Namun dia
menebus (kewajiban) sumpahnya, dengan uang
seribu dirham.
Mereka memasukkan lelaki lain, agar
mewakili lelaki yang menyetorkan uang serubu dirham. Tangan lelaki penerima uang,
digandengkan dengan saudara lelaki korban.
Kaum Hudzail berkata, “Kami pergi bersama 50 lelaki
yang bersumpah.”
Ketika telah sampai daerah Nakhla (نَخْلَةَ), mereka dilanda hujan. Mereka masuk ke dalam gua di
gunung, untuk berteduh. Mulut gua runtuh menimpa 50 orang yang telah bersumpah, hingga semuanya tewas.
Dua lelaki bergandengan tangan itu lepas dan lari,
namun sebuah batu dari atas gunung jatuh, mengejar mereka berdua. Kaki
saudara lelaki korban, tertabrak batu hingga patah. Dia bertahan hidup selama
setahun, lalu tewas.
Abu Qilabah berkata, “Memang sungguh Abdul-Malik bin Marwan dulu, pernah mempersilahkan kisos, atas seorang lelaki, dengan
dasar qosamah, namun lalu menyesal setelah tindakannya. [5] Lalu
perintah agar daftar nama 50 orang yang telah bersumpah, dihapus dari kitab besar bernama Diwan (الدِّيوَانِ). Dan mempersilahkan mereka pulang ke Syam.”
Yu Sane dan Liti berkata, “Sejak itu raja dan kaum
Muslimiin tahu bahwa, membunuh orang iman hukumnya haram, kecuali yang telah melakukan salah satu dari tiga
pelanggaran, yang disebutkan di atas.”
Dila dan Tina berkata, “Sebelum itu pejabat tinggi
kerajaan, ada yang beranggapan, membunuh orang yang menentang
pimpinan, halal, sehingga Chajjaj bin Yusuf (الْحَجَّاجُ
بْنُ يُوسُفَ) berani membunuh 120.000 orang.”[6]
Tengah bertanya, “Apa dasar perkiraan pengikut
pengajian itu ratusan ribu?.”
Tina menjawab, “Dalam Hadits di atas disebutkan oleh Abu Qilabah bahwa, pengajian
itu dihadiri oleh Ruusul Ajnad (رُؤُوسُ
الأَجْنَادِ) dan para tokoh masyarakat. Kesenangan mengaji kaum
Muslimiin pada saat itu, tinggi. Kehadiran tokoh besar
masyarakat membuat mereka bertambah semangat mengikuti pengajian. Kehadiran Ruusul Ajnad (رُؤُوسُ الأَجْنَادِ)
di dalam pengajian itu, menambahi semangat rakyat dalam mengaji. Apa
lagi pengajian itu dipimpin langsung oleh raja terbesar sejagad saat
itu.”
Elan dan Iti bertanya, “Siapakah Ruusul Ajnad (رُؤُوسُ الأَجْنَادِ) saat itu h?.”
Liti menjawab, “Allahu a’lam, yang pasti kalau
pada zaman Umar bin Al-Khatthab Ruusul Ajnad (رُؤُوسُ
الأَجْنَادِ) yang kadang diistilahkan Umaraul Ajnad (أمراء الأجناد) itu:
1. Abu Ubaidah
bin Al-Jarrach.
2. Yazid bin
Abi Sufyan.
3. Khalid bin
Al-Walid.
4. Syurachbil
bin Chasanah.
5. Amer bin
Al-Ash.
Setelah itu tentunya Ruusul Ajnad berganti, mengikuti kebijakan raja.
Pada zaman Abu Bakr, yang
memimpin ruusul ajnad (رُؤُوسُ الأَجْنَادِ), Khalid bin Al-Walid. Beberapa saat setelah dibai’at menjadi Khalifah, Umar mengganti Abu Ubaidah sebagai pimpinan Ruusul
Ajnad (رُؤُوسُ الأَجْنَادِ), dan
mengeser kedudukan Khalid di bawahnya. Penggantian itu ditentang keras oleh
keluarga Khalid, dengan alasan Khalid telah berjasa besar merebut wilayah Syam
yang sangat luas dengan pedang, keberanian dan kecerdasannya.
Beberapa saat setelah itu, Umar
menjelaskan dengan kelembutan, cinta kasih dan bijaksana, mengenai alasan
penggantiannya, hingga semua bisa menerima dengan senang hati.”
فِي رِوَايَة اِبْن عَوْن " قَالَ لَا هَكَذَا حَدَّثَنَا أَنَس
" وَهَذَا دَالّ عَلَى أَنَّ عَنْبَسَةَ كَانَ سَمِعَ حَدِيث الْعُكْلِيِّينَ
مِنْ أَنَس . وَفِيهِ إِشْعَار بِأَنَّهُ كَانَ غَيْر ضَابِط لَهُ عَلَى مَا
حَدَّثَ بِهِ أَنَس فَكَانَ يَظُنّ أَنَّ فِيهِ دَلَالَة عَلَى جَوَاز الْقَتْل
فِي الْمَعْصِيَة وَلَوْ لَمْ يَقَع الْكُفْر ، فَلَمَّا سَاقَ أَبُو قِلَابَةَ
الْحَدِيثَ تَذَكَّرَ أَنَّهُ هُوَ الَّذِي حَدَّثَهُمْ بِهِ أَنَس فَاعْتَرَفَ
لِأَبِي قِلَابَةَ بِضَبْطِهِ ثُمَّ أَثْنَى عَلَيْهِ.
Artinya:
Di dalam riwayat Ibnu Aun tertulis:
“Dia berkata ‘tidak ! Anas menceritakan Hadits pada
kami demikian ini’. Dan ini menunjukkan bahwa Anbasah
pernah mendengar Hadits tentang kaum Ukl itu dari Anas. Dalam riwayat tersebut
dijelaskan bahwa Anbasah tidak dhabith
(menguasai) Hadits gurunya, Anas. Dia tadinya meyakini bahwa
Hadits itu merupakan dalil bahwa, boleh membunuh orang yang maksiat, walaupun belum sampai pada kekufuran. Begitu Abu Qilabah membedah Hadits itu; dia ingat bahwa
Hadits itulah yang pernah disampaikan oleh Anas pada dia dan teman-temannya.
Dia pun mengakui bahwa Abu Qilabah dhabith
dan menyanjung padanya.”
ما ترى في ولدي دواد؟ قال الرجاء: رأيك. قال: فكيف ترى في عمر بن العزيز؟ قال رجاء: فقلت: أعلمه والله خيراً فاضلاً سليماً. قال سليمان: هو على ذلك ولئن وليته ولم أول أحداً سواه لتكونن فتنة ولا يتركونه أبداً يلي عليهم إلا أن يجعل أحدهم بعده، وكان عبد الملك قد عهد إلى الوليد وسليمان أن يجعلا أخاهما يزيد ولي عهد، فأمر سليمان أن يجعل يزيد بن عبد الملك بعد عمر، وكان يزيد غائباً في الموسم