(2)
Air matanya berlinang, saat Iyadh mengamati
kepergian mereka. Pipi dan jenggotnya basah. Tampaknya beliau sedang
menyadari bahwa Allah Maha Besar. Bacaan Al-Qur’annya dihentikan karena
ditanya, “Kenapa tuan menangis?.”
Dengan lembut, beliau menjawab, “Hai Putra
Tsabit! Demi Allah, mereka Pahlawan Agama. Jika seorang mereka nanti menjadi
korban perang, apa yang akan saya katakan di Hadapan Allah azza wajalla?.”
Jawabannya membuat Zaid bin Tsabit terharu dan menangis.
Langkah mereka berhenti karena jalan digunakan
lewat oleh pemimpin Gereja yang disebut Al-Bathriq, yang didampingi oleh
orang Arab beragama Nasharani. Dia tampak angkuh, karena membawahi arak-arakan
Pasukan berkuda berjumlah 100.000 personil.
Dengan sombong arak-arakan tersebut
mengalir cukup lama, di depan Pasukan Muslimiin. Mendekati pagar
batas Tenda Besar Mewah tempat Raja Al-Bathlius.
Raja berbusana mewah gemerlapan itu, duduk di
atas tahta. Beberapa pejabat tinggi yang disebut Hajjab (Pembantu raja yang membatasi kaum yang akan menghadap raja), Nawwab (Komisaris), dan
Arbabuddaulah (Pembantu raja yang mengurusi tata-tertib), berdiri untuk
berkata, “Kalian sudah sampai pada Suradiq
(Pagar Batas) raja. Sekarang turun dari kuda kalian! Peraturan selanjutnya,
letakkan pedang kalian!” pada Mughirah dan rombongannya.
Dengan hati berdebar, Mughirah menjawab, “Tentang
turun dari kuda, bisa kami lakukan. Tapi tentang pedang, takkan kami lepaskan!
Karena merupakan senjata agar disegani! Ini sudah menjadi adat kebiasaan kami,
membawa senjata!.”
Hajjab pergi untuk melaporkan pada
raja, “Mereka menentang baginda.”
Raja perintah, “Biarkan mereka masuk dengan pedang!.”
Dengan suara keras, Hajjab perintah,
“Masuk!.”
Para Sahabat Rasulillah SAW (rombongan Mughirah)
turun dari kuda, untuk berjalan kaki. Kuda mereka diserahkan pada
pelayan-pelayan.
Dengan percaya diri, mereka berjalan ke dalam. Pedang
mereka menjuntai hingga menggores tanah. Mereka berjalan masuk, membelah pasukan yang berkerumun di depan raja. Kerumunan pasukan yang dilewati penuh, hingga singgasana raja.
Yang terpampang mulai depan rombongan Mughirah, hingga
arah singgasana raja, hiasan indah berupa sejumlah kain sutra menjuntai dari
atas kebawah, tataan bantal-bantal bagus berjajar di atas sejumlah kasur. Di
bawahnya dilambari sejumlah permadani. Semuanya serba mewah. Raja tampak duduk
di atas singgasana.
Pemandangan yang sangat mewah itu membuat
rombongan Mughirah bertakbir dengan suara keras, hingga mengejutkan hadirin. Benci
dan heran tampak dari raut muka mereka.
Perintah Hajjab, “Cium bumi
untuk menyembah Raja!” dikeraskan mengejutkan.
Tapi Mughirah dan rombongannya tidak
menghiraukan. Bahkan dengan lantang, Mughirah menjawab, “Yang boleh disembah
dengan sujud, hanya Tuhan yang pantas disembah! Demi umur saya, saya dulu juga
melakukan demikian! Namun melalui Utusan, Muhammad SAW, Allah melarang kami
melakukan demikian! Sesama manusia tidak boleh menyembah!.”
Dengan terperangah, Hajjab dan lainnya
diam. Perhatian hadirin tertuju pada raja yang perintah, agar sejumlah kursi
mewah dari emas dan perak, dirapikan untuk menghormat Mughirah dan Rombongan.
Sejumlah kursi indah telah ditata, namun Mughirah
dan Rombongannya tidak mau duduk. Bahkan menyuruh pelayan-pelayan agar
menyingkirkan kursi dan permadani mewah yang akan diinjak. Seperti yang telah mereka
lakukan saat mulai memasuki ruangan agung tersebut. Semua permadani yang akan
diinjak, disingkirkan.
Seorang pemimpin Gereja yang disebut Bathriq
membentak, “Kalian tamu tidak sopan! Tidak sujud pada Raja! Tidak mau menginjak
permadani dan kasur di depan Raja!.”
Mughirah menjawab, “Kami lebih mementingkan sopan
pada Allah, daripada pada kalian! Tanah lebih suci daripada kasur kalian!
Rasulullah SAW bersabda ‘bumi dijadikan Masjid Suci, untuk saya’. Bahkan Allah
berfirman ‘Kami telah mencipta kalian dari bumi, dan akan mengembalikan
kalian ke bumi. Dan akan mengeluarkan kalian dari bumi, diwaktu yang lain ({مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا
نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى} [طه:55])’.”
Pembicaraan antara rombongan Mughirah dan Raja Al-Bathlius,
berlangsung, tanpa penerjemah. Karena raja sangat mahir berbahasa Arab.
Raja bertitah, “Silahkan duduk terserah di mana yang kalian sukai.”
Jawaban Mughirah, “Sebaiknya Anda turun dari
singgasana untuk duduk di atas tanah bersama kami? Atau kami duduk di atas
singgasana bersama Anda? Karena kami juga telah dijadikan kaum Mulia oleh Allah
melalui Islam” mengejutkan raja dan semua hadirin.
Dengan benci, Raja mempersilahkan, “Duduklah
bersama Saya.”
Tentu saja hadirin terheran-heran. Bahkan banyak
sekali yang benci. Kebencian bertambah, saat mereka menyaksikan Mughirah dan
rombongannya duduk bersama raja, di atas singgasana. Yang berdekatan dengan
raja, Mughirah.
Setelah memandang para tamu semuanya, Raja Al-Bathlius
bertitah, “Mana kalian yang akan mewakili berbicara?.”
Semua rombongan menunjuk Mughirah, dan duduk
sambil memegang pedang.
Raja memandang Mughirah untuk bertanya, “Siapa
namamu?.”
Mughirah menjawab, “Abdullah Mughirah.”
Raja berkata, “Saya sungkan kalau mendahului
berbicara.”
Mughirah menjawab, “Berbicarah! Jangan sungkan!
Saya juga sudah mempersiapkan untuk pembicaraan ini.”
Al-Bathlius bertitah,
“Segala puji hanya untuk Allah yang telah menjadikan Junjungan kami Al-Masih,
sebagai Nabi paling utama, kerajaan kami kerajaan paling utama, dan kami
sebagai penguasa dunia paling utama.”
Mughirah menghentikan, “Diam dulu!.”
Al-Hajjab dan Annawab membentak, “Kau tidak sopan! Menghentikan Sabda Raja!.”
Mughirah justru berkata lebih keras, “Segala Puji
hanya untuk Allah yang telah membimbing kami pada Islam! Telah menjadikan kami
kaum Mulia, melalui UtusanNya Muhammad, yang semoga dianugerahi Sholawat dan Salam paling istimewa! Yang telah membimbing kami dari kesesatan! Dan telah
menyelamatkan kami dari Kebodohan! Menuju Shirathal-Mustaqiim! Kami
sebaik-baik umat yang muncul di bumi! Beriman pada nabi kami dan nabi kalian!
Bahkan kami beriman pada semua Nabi AS! Dia telah menjadikan pimpinan kami
berkedudukan sama dengan kami! Kalau dia merasa berkuasa dan berani
menyeleweng! Kami turunkan jabatannya! Kami hanya memandang hebat, jika dia
bertaqwa! Dan yang telah menjadikan kami sebagai kaum yang menganjurkan berbuat
baik, dan melarang melakukan kejahatan! Dan agar kami mengakui dosa lalu
bertobat! Dan agar hanya menyembah Allah, tidak menduakan! Kalau seorang kami
memiliki dosa menjulang seperti gunung, tapi mau bertobat, pasti diterima! Jika
sampai wafat tetap Muslim, pasti masuk surga!.”
Wajah Al-Bathlius memucat dan tercengang
sejenak. Lalu bertitah, “Segala Puji hanya untuk Allah yang telah menguji kami
dengan ujian paling baik. Dan membuat kaya, setelah kami dulu misikin. Dan
telah memberi Pertolongan pada kami, mengalahkan kaum zaman dahulu. Kaum kalian
yang dulu, datang pada kami, belanja gandum dan bahan makan lainnya,
Mereka bersukur, karena kami layani dengan baik. Tiba-tiba kalian datang kemari
dengan kelakuan tidak seperti mereka. Sejumlah pria kami kalian bunuh, dan
sejumlah wanita kami kalian tawan. Bahkan harta dan kekayaan kami kalian
rampas! Sejumlah kota, dan kastil, kalian rebut! Bahkan kalian ingin mengusir
kami dari tempat tinggal kami! Padahal dulu kalian ini kaum Paling Miskin! Makanan
kalian hanya gandum, dan kalian kumal! Setelah merasakan makanan kami dan
merampas harta kami, kalian jadi betah. Padahal kami memiliki pasukan sangat banyak. Senjata
kami juga lengkap. Pendukung kami juga banyak. Negeri kami dibentengi dinding
tebal dan tinggi. Kami tahu pasti, penyebab kalian berani pada kami, karena
kalian telah menguasai negeri-negeri, Syam, Iraq, Yaman, dan Hijaz. Kalian
telah berbuat kerusakan besar di negeri kami. Kalian telah merobohkan sejumlah
negeri dan kastil kami. Busana kalian sekarang juga sudah mewah. Sejumlah putri
raja dan bathriq, kalian jadikan pelayan. Makanan lezat yang dulu belum
pernah kalian rasakan, di sini bisa kalian nikmati. Bahkan emas, perak, dan
harta kekayaan berharga mahal, telah kalian rampas. Sejumlah mutiara dan berlian
juga kalian rampas. Meskipun kalian telah merampas harta milik kami dan kaum kami,
namun kami mengikhlaskan untuk kalian. Kami tak akan menuntut kalian. Dan
takkan menindak kejahatan kalian, berupa pembunuhan keluarga dan perampasan
harta milik kami. Tapi ada saratnya! Kalian harus segera pergi meninggalkan
negeri-negeri kami! Kalau kalian mau, kami akan segera membuka simpanan
kekayaan kami! Tiap kalian, akan kami beri hadiah uang emas 100 dinar, pakaian
dari sutra, dan surban yang dihias emas. Khusus untuk komandan kalian ini,
1.000 dinar uang emas, 10 surban, dan 10 pakaian. Semua komandan yang tidak ada
di sini, juga akan diberi hadiah yang sama. Khusus untuk sang Khalifah, 10.000
dinar, 100 pakaian dari sutra, dan 100 surban. Semua ini akan kami berikan, jika
kami telah yakin kalian takkan menyerang kami.”
Mugirah diam memperhatikan Al-Bathlius
berbicara. Lalu menjawab, “Saya telah mendengarkan ucapan anda. Sekarang
dengarkan ucapan saya! Segala Puji hanya untuk Allah yang Maha Esa MahaPemaksa, Maha Tunggal, Maha Segalanya. Mutlak tidak berputra, mutlak tidak
diputrakan. Dan mutlak tak ada satu pun yang menyamai Dia.”
Al-Bathlius menyanjung,
“Ini ucapanmu yang paling baik.”
Mughirah meneruskan, ”Saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah. Dan Muhammad SAW Utusan Allah. Dia
Hamba dan Utusan yang diridhoi, dan pilihan.”
Al-Bathlius membantah, “Saya
tidak tahu bahwa Muhammad SAW Utusan Allah. Pepatah mengatakan ‘manusia pasti
mengagumi tokoh agamanya’.”
Dia mengamati Mughirah untuk berkata, “Kapan waktu
paling utama?.”
Mughirah menjawab, “Ketika seorang tidak maksiat
pada Allah.”
Setelah terkejut, Al-Bathlius berkata,
“Kau benar! Saya baru sadar bahwa kau pandai! Apa kaummu ada yang pandai dan
cerdas seperti kau?.”
Mughirah menjawab, “Jumlah kaum Pandai di
kalangan kami, 1.000 orang. Hingga tak perlu lagi mereka minta
pertimbangan orang lain. Kaum pandai yang kami tinggal kemari, lebih banyak
lagi. Mereka akan segera kemari.”
Setelah terperangah, Al-Bathlius bertnya,
“Yang kami ketahui selama ini tidak demikian. Laporan yang masuk pada kami
‘kalian kaum Bodoh’.”
Setelah menahan marah, Mughirah menjawab, “Memang
dulu kami demikian. Lalu Allah mengutus Muhammad SAW, agar membimbing dan
mengajar kami.”
Al-Bathlius tertegun, karena
berita yang masuk, jauh dari kenyataan yang ada. Ternyata Mughirah sangat
pandai, dan pemberani.
Pesan penulis, “Makanya jangan langsung percaya,
jika mendengar berita. Agar tidak merugikan atau membuat sengsara orang lain.”