(Bagian ke-25 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Di Najdin ada lautan manusia bersenjata. Tenda-tenda didirikan berjajar banyak sekali. Suara mereka bagaikan hujan lebat mengguyur bumi. Pasukan Wardan yang berjumlah 90.000 itu berada di suatu sisi; kaum Muslimiin di sisi lain berjumlah jauh labih sedikit.
Ketika Wardan melihat para sahabat Rasulillah SAW telah berkumpul untuk saling membantu, segera mengumpulkan para pejabat tinggi kerajaan dan para batriq[1]. Wardan menyampaikan khutbah, “Hai keturunan Ashfar semuanya, ketahuilah bahwa Raja minta tolong agar kalian menghabisi kaum itu. Jika kali ini kita gagal, maka tak akan ada lagi kekuatan yang mampu menghabisi mereka untuk kita selamanya. Dan itu berarti kerajaan dan perempuan-perempuan kita mereka kuasai. Maka dalam peperangan akbar ini kalian agar bersabar. Seranglah mereka dengan kompak jangan bercerai-berai!. Setiap tiga orang bertugas menyerang seorang dari mereka. Berserahlah pada Salib yang kalian bawa agar menolong kalian!.”
Khalid berjalan di pertengahan para sahabatnya. Dia bertanya, “Hai Muslimiin, siapa mau membuat mereka grogi pada kita?.”
Dhirar menjawab, “Saya wahai pemimpin.”
Khalid berkata, “Kau jelas pasti berani, tetapi jika kau telah berhadapan dengan mereka jangan gegabah menyerang!. Jangan terlalu percaya diri namun kurang perhitungan!. Karena Allah sendiri telah berfirman ‘walaa tulquu biaidiikum ilattahlukah[2]!’.”
Dhirar segera mengendarai kudanya untuk mendekati lautan pasukan yang sangat membahayakan. Semakin dekat semakin tampak peralatan kaum Romawi. Tenda-tenda berderet banyak sekali. Helm-helm perang berkilauan tersentuh sinar matahari. Bendera-bendera berkibar-kibar seakan-akan berbahagia.
Wardan terkejut di saat mengamati pasukan Muslimiin: Dhirar berlari dengan kuda untuk mendekat. Wardan berkata pada sejumlah batriq: “Saya melihat seorang berkuda datang kemari. Saya yakin dia memata-matai kita. Siapa yang mau membawa dia kemari?.”
Para batriq perintah pada sejumlah laskar. Tigapuluh laskar bergerak cepat mengejar Dhirar dengan kuda. Dhirar memacu kudanya untuk menjauhi 30 orang itu. 30 orang itu mengejar dan menyangka Dhirar ketakutan, padahal sebetulnya hanya bersiasat agar mereka jauh dari pasukan induk yang melaut.
Ketika Dhirar telah memiliki kesempatan baik, segera membelokkan kudanya agar berbalik berlari menyongsong mereka. Dia memegang erat tombaknya untuk ditusukkan. Yang pertama kali ditusuk langsung terlempar dan menggelepar menyemburkan darah segar. Yang kedua juga begitu. Gerakannya cepat sekali bagaikan singa jantan yang kalap membuat mereka berguguran satu demi satu tapi cepat. Yang lain grogi karena banyak temannya yang telah tewas. Mereka kabur namun oleh Dhirar dikejar dan ditusuk satu demi satu dari belakang. 19 orang berguguran ketanah bersimbah darah; yang lain kabur ketakutan. Sebetulnya pengejaran Dhirar telah mendekati lautan pasukan Romawi, namun kuda mereka berlari lebih cepat.
Dhirar menuntun kuda-kuda dan mengambil sejumlah rampasan untuk dibawa pulang kebarak pengungsian. Dia menyerahkan kuda-kuda dan rampasannya pada Khalid dan melaporkan tragedi yang telah terjadi. Khalid menegur, “Bukankah telah saya pesan: jangan terlalu percaya diri untuk menyerang mereka?!.”
Dhirar menjawab, “Karena mereka mengejarku, dan saya malu jika Allah melihatku kabur dari mereka. Walau begitu jihadku tadi kulakukan dengan penuh ikhlas, dan saya yakin pasti Allah menongku menaklukkan mereka. Demi Allah kalau saya tidak takut kau tegur, mereka semua telah kuhabisi. Sadarilah bahwa sesungguhnya harta kekayaan yang dibawa oleh lautan pasukan Romawi itu telah dipersiapkan sebagai rampasan kita.”
Khalid menyadari bahwa Dhirar memang jago perang, jago berdiplomasi, dan handal dalam agama. Khalid membagi seluruh pasukan Muslimiin menjadi lima. Yang di bagian depan terdiri dari dua baris. Yang satu baris tempatkan di tengah (zaman dulu diistilahkan qolb yang artinya jantung). Saat itu yang memimpin pasukan tengah adalah Mu’adz bin Jabal. Yang memimpin pasukan depan sebelah kanan Abdur Rohman bin Abi Bakr[3]. Yang memimpin pasukan depan sebelah kiri Sa’id bin Amir. Pasukan sayap kiri dipimpin Syurachbil bin Chasanah (شرحبيل بن حسنة). Pasukan yang di belakang dipimpin Yazid bin Abi Sufyan. Zaman dulu pasukan belakang disebut saaqah yang artinya betis. Pasukan belakang terdiri dari 4.000 pasukan berkuda, bertugas menjaga para tawanan wanita, anak-anak perempuan, remaja dan harta rampasan.
Khalid menoleh kearah para Muslimaat: Afro’ bintu Ghoffar Al-Chimyariyyah (عفراء بنت غفار الحميرية), Ummu Aban bintu Utbah yang saat itu baru saja menikah. Daun hena yang mewarnai tangan dan parfum Athor yang melekat rambut sebagai pertanda bahwa Ummu Aban baru saja menikah dengan Aban bin Sa’id bin Al-Ash (ابان بن سعيد ابن العاص). Ada lagi Muslimah selain itu yang tak asing lagi yaitu Khaulah bintul Azwar, Mazru’ah bintu Amluq, Salamah bintu Zari’ dan lainnya yang sangat pemeberani.
Meskipun hati mereka berdebar-debar, namun bahagia karena justru meningkatkan kerajinan beristighfar dan bertawakkal pada Allah Al-Ghaffar[4]. Karena justru menyadari bahwa mati akan datang betepatan saat Allah telah menghendaki.
0 komentar:
Posting Komentar