Syaikh
DR Abdullah Assirri termasuk mufthi muda dari Makkah. Beliau telah menyampaikan
kajian Usul Fiqih; Matnul-Waraqaati fii Ushuulil-Fiqh (متن الورقات في اصول الفقه/Intisari
Beberapa Lembar Mengenai Usul Fiqih), di hadapan sekitar 100 ulama atau lebih
sedikit, di Burengan Kediri, dengan bahasa Arab.
Kajian
Ushul Fiqih yang disampaikan dengan semangat itu, membuat terperangah para
ulama LDII yang mengiktinya:
Macam-Macam
Hukum
1.
Wajib (الواجب): Yang jika
diamalkan mendapat pahala; jika ditinggalkan mendapat siksaan.
2.
Mandub (المندوب/Dianjurkan):
Yang jika diamalkan mendapat pahala; jika meniggalkan tidak disiksa.[1]
3.
Mubah (المباح/Diperbolehkan):
Yang jika diamalkan tidak mendapat pahala; jika ditinggalkan takkan disiksa.
4.
Machdlur (المحظور/Dilarang/Haram):
Yang jika ditinggalkan mendapat pahala; jika diamalkan, disiksa.
5.
Makruh (المكروه):
Yang jika ditinggalkan diberi pahala; jika diamalkan, takkan disiksa.
6.
Shachih (الصحيح/Sah):
Yang sangat bersih dan bisa diamalkan.
7.
Bathil (الباطل):
Yang dinilai tidak bersih dan tidak bisa diamalkan.
[1] Ada dua
larangan yang dilanggar oleh para sahabat nabi SAW. Tetapi mereka tetap tenang,
tidak ribut, dan tetap rukun sesama lainnya. Karena mereka tahu bahwa dua
larangan tersebut, sebetulnya perintah yang sifatnya mandub (anjuran):
1.
وَلَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران/169].
Artinya:
Dan sungguh jangan
menyangka sama mati! Pada orang-orang yang dibunuh di Jalan Allah! Justru
mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rizqi.
Kelihatannya
Allah melarang para hambaNya; menyangka mati pada orang-orang yang terbunuh di
Jalan Allah. Sebetulnya Allah mengajarkan bahwa kehidupan yang istimewa justru
dinikmati oleh mereka yang mati-syahid di Jalan Allah.
Saat itu
Jabir RA bukan hanya menyangka ayahnya RA tewas terbunuh, bahkan mengatakan ‘ketika
ayah saya telah dibunuh’: صحيح البخاري - (ج 4 / ص 465)
لَمَّا
قُتِلَ أَبِي جَعَلْتُ أَكْشِفُ الثَّوْبَ عَنْ وَجْهِهِ أَبْكِي وَيَنْهَوْنِي عَنْهُ
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْهَانِي فَجَعَلَتْ عَمَّتِي
فَاطِمَةُ تَبْكِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْكِينَ
أَوْ لَا تَبْكِينَ مَا زَالَتْ الْمَلَائِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ.
Artinya:
Ketika ayah saya dibunuh; saya bergerak menyingkapkan kain penutup wajahnya,
sambil menangis. Mereka melarang saya melakukan demikian; nabi SAW tidak
melarang saya. Fathimah bibi saya (dari ayah) menangis. Nabi SAW bersabda,
“Menangis silahkan! Tidak menangis juga boleh! Para malaikat tak henti-henti
menaungi dia dengan sayap-sayap mereka, hingga dia kalian angkat.”
2.
Ketika Rasulullah SAW dan para
sahabatnya selesai Perang Achzab; nabi SAW melarang shalat ashar pada para
sahabatnya, kecuali jika telah sampai Bani Quraidloh: صحيح
البخاري - (ج 13 / ص 24)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ
الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا
وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا
مِنْهُمْ.
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA: Nabi SAW bersabda di hari (Perang) Ahzab, “Seorang-pun
jangan shalat ashar kecuali nanti di Bani Quraidloh.”
Ternyata sebagian mereka menjumpai waktu ashar di perjalanan. Sebagian mereka
berkata, “Kita tidak boleh shalat hingga sampai tujuan!.”
Sebagian mereka ada yang membantah, “Justru kami akan shalat! Nabi SAW
tidak menghendaki kita demikian.”
Setelah perselisihan mereka dilaporkan; nabi tidak mencela seorangpun
dari mereka.
0 komentar:
Posting Komentar