(Bagian ke-184 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Menghadap Raja Filasthin
Karena telah hadir ke tempat, Filasthin mendengar suara misterius itu. Dia makin terkejut karena jumlah pasukan Arab di matanya kelihatan berlipat ganda. Dia bersumpah, “Demi agamaku, tadinya jumlah mereka hanya sekitar limaribu pasukan berkuda. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi banyak sekali? Ini pasti karena Allah yang menurunkan para malaikat untuk membantu mereka. Ayahku Hiraqla telah tahu pasti mengenai kehebatan kaum Arab, sehingga dia mengirimkan lautan pasukan untuk menggempur mereka di Yarmuk. Pasukan saya ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan pasukan yang dikirimkan di Yarmuk di bawah pimpinan Mahan saat itu. Jumlah pasukan Mahan yang dari Romawi satujuta, enampuluh ribu di bawah pimpinan Jabalah. Saya menyesal kenapa telah mengutus pasukanku kemari. Saya akan bermakar atas mereka.”
Filasthin memanggil alim besar bagi kaum Romawi yang bertempat tinggal di Qaisariyah. Kepadanya, Filasthin perintah, “Datang dan katakan pada kaum itu dengan sopan: ‘Sungguh putra raja minta agar kalian mengirimkan utusan yang sopan tutur-katanya agar menghadap beliau’.”
Alim besar itu mengendarai kuda putih berbusana sutra hitam untuk mengemban tugas dari Filasthin. Busana luarnya jemper dari bulu, tangannya membawa Salib gemerlapan dari jauhari. Kudanya berlari membawa dia menuju dekat pasukan Muslimiin.
Orang itu berhenti untuk berteriak, “Hai kaum Arab! Saya diutus oleh Raja Filasthin putra Raja Hiraqla untuk minta agar kalian mengirimkan utusan yang tutur-katanya fasih! Demi Allah beliau ingin damai dengan kalian. Beliau faham benar dengan agama dan urusannya. Beliau tidak senang berperang, maka jangan menyerbu kami! Orang yang jahat akan kalah dan yang teraniaya akan mendapat pertolongan. Dulu Al-Masich (الْمَسِيح) pernah bersabda ‘jangan kalian perangi kecuali orang yang menyerang kalian!’. Kabulkanlah permintaan raja kami.”
Orang itu berhenti untuk berteriak, “Hai kaum Arab! Saya diutus oleh Raja Filasthin putra Raja Hiraqla untuk minta agar kalian mengirimkan utusan yang tutur-katanya fasih! Demi Allah beliau ingin damai dengan kalian. Beliau faham benar dengan agama dan urusannya. Beliau tidak senang berperang, maka jangan menyerbu kami! Orang yang jahat akan kalah dan yang teraniaya akan mendapat pertolongan. Dulu Al-Masich (الْمَسِيح) pernah bersabda ‘jangan kalian perangi kecuali orang yang menyerang kalian!’. Kabulkanlah permintaan raja kami.”
Amer berkata, “Hai semuanya! Kalian telah mendengar ucapan dia! Siapa yang ingin mencari keridhoan Allah dan RasulNya! Segeralah mendatangi raja Romawi."
Bilal bin Chamamah muadzin Rasulillah SAW berkulit hitam berperawakan tinggi, maju.[1]
Dengan mata memerah dia berkata keras, “Ya Amer! Saya yang akan datang ke sana!.”
Amer menjawab, “Ya Bilal! Kau muadzin Rasulillah SAW. Selain itu asalmu dari Chabasyi, bukan Arab.”
Bilal berkata, “Demi haknya Rasulillah SAW! Saya harus pergi kesana.”[2]
Amer terkejut dan berkata, “Kau telah bersumpah dengan yang sangat agung. Silahkan kesana dan mintalah pertolongan pada Allah! Jangan takut! Dan belalah Islam!.”
Bilal menjawab, “In syaa Allah kau akan tahu bahwa saya mampu melakukan yang kau harapkan.”
Bilal berperawakan tiggi berdada lebar bergegas menuju Filasthin. Lelaki yang berwajah sangar menakutkan itu bergamis model Syam dan bersurban. Tangan kanannya memanggul pedang, tangan kirinya membawa perbekalan yang dipanggul dengan tongkat.
Bilal berperawakan tiggi berdada lebar bergegas menuju Filasthin. Lelaki yang berwajah sangar menakutkan itu bergamis model Syam dan bersurban. Tangan kanannya memanggul pedang, tangan kirinya membawa perbekalan yang dipanggul dengan tongkat.
Bilal keluar dari barisan pasukan Mulimiin, mengejutkan sang alim Nashrani dari Romawi. Utusan Filasthin berbaju hitam itu berkata, “Kurang ajar! Yang kami harapkan di antara mereka yang merdeka yang datang. Tetapi mereka justru mengutus seorang budak? Ini penghinaan atas kami.”
Lalu membentak, “Hai budak! Kembalilah pada tuanmu untuk berkata ‘yang diminta oleh Raja Filasthin agar menghadap adalah pimpinan kalian!.”
Bilal menjawab, “Hai orang alim, sayalah Bilal kekasih dan muadzin Rasulillah SAW. Saya mampu melaksanakan tugas ini dengan baik.”
Lelaki berbaju hitam itu perintah, “Kamu di sini dulu! Saya akan bertanya pada rajaku dulu mengenai kamu yang akan menghadap.”
Lelaki berbaju hitam itu perintah, “Kamu di sini dulu! Saya akan bertanya pada rajaku dulu mengenai kamu yang akan menghadap.”
Alim Nashrani berbaju hitam itu mengendarai kuda meninggalkan tempat menuju Filasthin.
Dia berkata, “Yang mulia, yang diutus agar datang kemari adalah seorang budak hitam. Ini berarti menghina pada kita.”
Filasthin perintah pada lelaki agar datang dan berkata pada Bilal: “Hai orang Hitam! Sampaikan pada majikanmu, raja berpesan: ‘kami takkan menerima kedatangmu. Yang kami terima hanya pimpinan kalian atau yang mewakilinya’.”
Bilal memacu kuda untuk kembali memasuki barisan dengan marah karena tersinggung. Lalu melaporkan pada Amer: “Yang akan diterima hanya kau atau wakil kau.”
Amer berkata pada Syurachbil: “Saya yang akan datang kesana.”
Syurachbil menjawab, “Kalau kau yang kesana lalu siapa yang memimpin kami?.”
Amer menjawab, “Allah Maha Sayang pada hamba-hambaNya. Dialah lebih sayangnya para penyayang terhadap makhluqNya. Peganglah panji ini dan pimpinlah pasukan Muslimiin sementara. Jika mereka berkhianat atas diriku, Allah yang akan mewakili saya mengurusi kalian.”
Syurachbil menjawab, “Kalau kau yang kesana lalu siapa yang memimpin kami?.”
Amer menjawab, “Allah Maha Sayang pada hamba-hambaNya. Dialah lebih sayangnya para penyayang terhadap makhluqNya. Peganglah panji ini dan pimpinlah pasukan Muslimiin sementara. Jika mereka berkhianat atas diriku, Allah yang akan mewakili saya mengurusi kalian.”
Syurachbil berhenti di tempat Amer dan menerima panji.
Dengan berbaju perang dan bersurban kuning, Amer naik kuda untuk bersiap menuju Filasthin. Dengan ikat pinggang dan tombak di tangan, Amer kelihatan gagah.
Amer ditertawakan oleh penerjemah Filasthin. Amer menegur, “Kenapa tertawa?.”
Penerjemah menjawab, “Kau ini aneh, kenapa membawa pedang? Kami tidak akan berperang.”
Amer berkata, “Memang orang Arab suka membawa pedang. Barangkali bertemu musuh, maka bisa untuk membela diri.”
Dengan berbaju perang dan bersurban kuning, Amer naik kuda untuk bersiap menuju Filasthin. Dengan ikat pinggang dan tombak di tangan, Amer kelihatan gagah.
Amer ditertawakan oleh penerjemah Filasthin. Amer menegur, “Kenapa tertawa?.”
Penerjemah menjawab, “Kau ini aneh, kenapa membawa pedang? Kami tidak akan berperang.”
Amer berkata, “Memang orang Arab suka membawa pedang. Barangkali bertemu musuh, maka bisa untuk membela diri.”
Penerjemah menghentikan perjalanan Amer: “Berhenti dulu di sini!.” Lalu memacu kuda meninggalkan Amer untuk menghadap Filasthin. “Yang mulia, pimpinan pasukan Arab datang kemari membawa pedang.”
Filasthin perintah, “Suruhlah menghadap kemari!.”
Filasthin perintah, “Suruhlah menghadap kemari!.”
Penerjemah memacu kuda meninggalkan tempat; Filasthin perintah agar pasukan disiapkan untuk menyambut kedatangan Amer. Sejumlah ulama Nashrani berbaris di kanan dan kiri Filasthin; sejumlah pengawal berbaris di depannya.
Penerjemah diperintah oleh Filasthin: “Datang dan katakan padanya ‘raja telah siap menerima kehadiranmu!’.”
Penerjemah memacu kuda untuk menjemput Amer yang akan menghadap raja. Beberapa mata dari deretan panjang barisan pasukan Qaisairiyah terbelalak saat menyaksikan Amer didampingi penerjemah dengan berkuda. Hampir semua mata mengamati Amer berkuda hingga depan tenda utama yang di dalamnya ada Filasthin dan para pengawalnya.
Amer menambatkan kuda lalu sejumlah pengawal mengantarkan dia menghadap Filasthin.
Filasthin mengucapkan, “Selamat datang sang Panglima,” lalu mempersilahkan duduk di kursi.
Amer menolak, “Karpet Allah lebih suci daripada kursimu. Tanah adalah karpet alami pemberian Tuhan. Saya hanya akan menduduki tempat yang diijinkan oleh Tuhan untuk diduduki.”
Amer duduk di tanah. Tombaknya diletakkan di depannya dan pedangnya dipangku di atas paha kirinya. Ketika Amer memandang Filasthin; Filasthin bertanya, “Siapa namamu?.”
[1] Ibu Bilal bernama Chamamah sedangkan ayahnya bernama Rabach. Ibnul-Atsir menulis tentang itu: أسد الغابة - (ج 1 / ص 129)
قيل: هو بلال بن رباح المؤذن، وحمامة: أمه نسب إليها.
Artinya: Dikatkan, “Dialah Bilal bin Rabach Al-Muadzin; Chamamah adalah ibunya. Dia dinasabkan padanya.”
[2] Mungkin Bilal tidak tahu bahwa nabi SAW pernah melarang bersumpah dengan selain Nama Allah.
0 komentar:
Posting Komentar