Lelaki itu telah menghadap sang Bathriq dengan menunduk-nunduk,
dan memberikan surat. Dan terkejut ketika ditanya, “Apa kamu telah murtad, untuk
mengikuti agama kaum Arab itu?!.”
Dia menjawab, “Tidak. Tetapi memang saya telah menjadi
tanggungan (Dzimi/Dzimah) mereka. Bahkan anak, keluarga, dan harta saya,
mereka lindungi. Tetapi setahu kami, mereka itu orang-orang baik. Menurut saya
sebaiknya mereka jangan dilawan, mereka sangat kuat sekali, mereka tidak takut
mati. Dalam perang yang sangat mengerikan, mereka justru lebih ingin menyambut
kematian daripada agama mereka rusak. Saya yakin sepenuhnya bahwa, akhirnya
mereka akan berhasil menguasai kota ini. Dan kalian akan menyerahkan kota ini
pada mereka. Bahkan mungkin Allah akan menaklukkan kota ini melalui tangan
mereka. Demi agamaku, kalian lebih saya cintai daripada mereka. Saya juga ingin
mendukung kalian sepenuhnya. Tetapi terus terang 'saya sangat takut' serangan mereka yang sangat ganas. Sebaiknya tuan ‘menyerah’ pada mereka
daripada nantinya menyesal.”
Dengan benci dan murka, penguasa kota Himsh (Homs) mendengar
penuturan pembawa surat, mengenai ‘kehebatan kaum Arab’. Ketika kebencian dan
kemurkaannya telah memuncak, dia menggertak, “Demi kebenaran Al-Masih dan
Injil! Kalau kamu bukan utusan mereka! Pasti saya telah perintah ‘agar lidahmu
dipotong!’ Kamu berani-beraninya berbicara begitu di hadapanku!.”
Lelaki itu bergetar ketakutan. Raja Chimsh membaca surat dari Abu Ubaidah dengan seksama. Raja bawahan Hiraqla itu perintah pada juru tulisnya, agar menuliskan jawaban.
Jawaban dimulai dengan kalimat kafir. Lalu:
“Hai kaum Arab! Surat
kalian telah kami terima dan telah kami pahami maksudnya, berupa ‘ancaman’.
Kami tidak seperti kaum Syam yang telah kalian taklukkan. Ketahuilah bahwa
Hiraqla Raja atasanku, pasti akan menolong kami. Kami akan melawan kalian!
Beteng kami kokoh berpintu dari besi, dan serangan kami sangat dahsyat.”
Raja Harbis melipat dan menyerahkan surat itu, pada lelaki di
hadapannya, agar segera diantarkan pada Abu Ubaidah.
Sejumlah pegawai Raja Harbis menurunkan lelaki pembawa surat,
dengan tali, dari atas beteng.
Lelaki itu bergegas menghadap Abu Ubaidah, untuk menyampaikan
surat Raja Harbis penguasa Chimsh (Homs).
Surat dibaca di pertengahan kaum Muslimiin.
Pasukan Muslimiin mempersiapkan perang akbar. Abu Ubaidah membagi
pasukan menjadi 4 golongan:
1.
Golongan pertama dipimpin oleh Al-Musayab bin Najiyah Al-Fazari (المسيب بن نجية الفزاري), menempati posisi
depan Pintu Gerbang Jabal. Bersebelahan dengan Pintu Gerbang Shoghir.
2.
Golongan kedua dipimpin oleh Al-Marqal bin Hisyam Uqbah bin Abi Waqqash (المرقال بن هشام بن عقبة بن أبي وقاص), menempati posisi
depan Pintu Gerbang Rostaq (الرَّسْتقُ).
3. Golongan ketiga
dipimpin oleh Yazid bin Abi Sufyan, menempati posisi di depan Pintu Gerbang
Syam.
Semua golongan mendobrak dan mendorong pintu gerbang yang di
depan mereka. Mereka tak peduli meskipun batu-batu dan anak panah dari atas
beteng, bertubi-tubi menghantam dan menghajar. Mereka berkali-kali
membalas serangan dengan sengit, dengan anak panah mematikan.
Ketika hari mulai gelap, dua kubu menarik pasukan mereka
masing-masing.
Di pagi yang cerah itu, Khalid bin Al-Walid mengumpulkan semua
hamba-sahaya milik pasukannya, untuk diperintah agar membawa pedang, dan
mendorong semua pintu gerbang yang ada. Mereka pun bergerak serempak, mendobrak
dan mendorong pintu-pintu gerbang. Batu-batu dan anak panah dari atas beteng, 'mereka tangkis' dengan perisai. Pertempuran yang seru berlangsung cukup lama,
menimbukan suara gaduh membisingkan.
Pada Khalid, Abu Ubaidah bertanya, “Tujuanmu apa dengan ini
semua?.”
Khalid menjawab, “Tenang! Jangan marah dulu. Tenaga kita, kita
persiapkan untuk menyerang, jika mereka telah keluar dari pintu gerbang.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau begitu silahkan, semoga Allah
memberi kau petunjuk.”
Khalid mendekati 4.000 hamba-sahaya untuk perintah, “Doronglah
pintu gerbang itu!.”
Dan perintah pada 1.000 orang Arab, agar membantu mereka.
Serangan pasukan Chimsh dari atas, dan perlawanan kaum
hamba-sahaya dari bawah, terus berlangsung dengan sengit. Banyak juga pasukan
Chimsh di atas beteng yang tertembus anak panah lalu jatuh ke bawah dan tewas.
Hiruk-pikuk, teriakan, dan pukulan pada pintu gerbang, ribut, membisingkan.
Di depan rumah mewahnya, Harbis muncul, dikelilingi para bathriq
(tokoh setingkat jendral). Dia berkata, “Hai semuanya! Demi kebenaran Al-Masih,
saya tidak menyangka bahwa ternyata orang-orang Arab, berkulit hitam seperti
ini.”
Beberapa orang menjawab, “Itu tidak benar yang mulia! Mereka
hamba-sahaya. Dan ini siasat mereka di dalam perang.”
Harbis bersumpah, “Demi kebenaran Al-Masih! Sesungguhnya
serangan mereka ini justru lebih dahsyat daripada kaum Arab. Ketahuilah bahwa
kaum yang mendekati beteng kita, pasti jatuh mental, walau sebetulnya ini ‘justru
sebagai pertanda’ akan menaklukkan kita.”
Kebanyakan kaum Chimsh ketakutan, karena pintu gerbang kota
mereka, sejak pagi hingga petang, suaranya bising, memekakkan telinga. Karena
dorongan dan pukulan ribuan hamba-sahaya berkulit hitam, yang digerakkan
oleh Khalid.
Serangan sengit kaum Chimsh dari atas beteng dilawan dengan
garang dengan anak panah, yang berkali-kali menembus dan menewaskan sebagian
mereka.
Saat malam telah datang, semua hamba-sahaya kembali pada tuan
mereka masing-masing, untuk istirahat.
Di malam yang dingin itu, Harbis mengirim surat untuk Abu
Ubaidah. Pembawa surat hampir ditangkap pasukan Muslimiin, namun dia berkata
dengan ketakutan, “Saya utusan tuan Harbis raja Chimsh. Saya diperintah
mengantar dan minta jawaban dari surat ini,” sambil menyerahkan surat.
Surat diserahkan dan dibaca oleh Abu Ubaidah:
Hai kaum Arab! Tadinya
saya menyangka kalian pandai bersiasat perang, ternyata justru sebaliknya.
Kemarin kalian membagi-bagi pasukan untuk menyerang, melalui seluruh pintu
gerbang, hingga kami berkata, “Ini pengepungan yang membuat kita kesulitan.
Namun paginya kalian justru mundur teratur. Yang kalian suruh maju selanjutnya
orang-orang miskin yang pedang mereka mudah patah, dan senjata mereka bermutu
rendah. Apa kalian berpikir akan mampu memasuki pintu gerbang kami? Sedangkan
kalian sangat bodoh? Sekarang berdamai saja dengan kami! Yakni pergilah untuk
menyerang Raja Hiraqla sambil menaklukkan sejumlah negeri yang akan kalian
lewati; sebagaimana yang telah kalian lakukan. Jangan melampaui batas! Karena
melampaui batas akan menjebak pelakunya! Kalau kalian membangkang, kami akan
menyerang kalian besok pagi, untuk menentukan mana di antara kita yang benar,
yang akan ditolong oleh Tuhan!.”
Seusai membaca surat Harbis, Abu Ubaidah RA mengajak pasukan
Muslimiin untuk bermusyawarah mengenai langkah yang harus segera dilakukan.
Musyawarah itu dihadiri oleh lelaki tua berasal dari kota Khats’am (خثعم). Orang bernama Atha
bin Amer Al-Khats’ami (عطاء بن عمرو الخثعمي) itu, namanya
masyhur. Karena merupakan tokoh masyarakat yang telah mengikuti hijrah awal.
Dia yang telah berpengalaman memimpin berperang ini, memiki pandangan
cemerlang.
Dia berdiri tegak, karena telah menyimak pembacaan surat dari
Harbis pada Abu Ubaidah. Dia berkata, “Yang mulia! Saya bersumpah demi
Rasulillah SAW. [1] Dengarkanlah ucapanku yang
akan bermanfaat untuk kebaikan kaum Muslimiin. Semoga Allah memberi saya
petunjuk dalam berbicara ini.”
Abu Ubaidah berkata, “Hai Aba Amer! Berkatalah! Kau orang yang dibutuhkan.”
Atha bin Amer yang panggilan kehormatanya ‘Aba Amer’ maju
kedepan, untuk berkata, “Semoga Allah memberi kebaikan pada yang mulia.
Sebetulnya mereka tahu bahwa tuan dan pasukan tuan 'jauh lebih berbahaya' daripada ribuan hamba-sahaya itu. Harbis juga sudah tahu bahwa anda telah
berhasil menaklukkan penduduk Balbek. Bahkan dia juga tahu bahwa tuan akan
mengepung kota ini. Untuk itulah dia telah mengumpulkan bahan makan dan pakan
binatang, maupun segala yang diperlukan. Bahkan kampung-kampung di sana, sudah
mempersiapkan persediaan bahan makan untuk bertahun-tahun. Maksudnya jika kita
mengepung mereka ‘akan memakan waktu’ yang sangat panjang, sebagaimana ketika
kita memerangi kaum Damaskus. Menurut saya, sebaiknya tuan bersiasat atas
mereka, untuk mempercepat penaklukan kota ini, in syaa Allah.”
Abu Ubidah bertanya, “Bersiasat bagaimana? Hai Aba Amer?.”
Atha berkata, “Sebaiknya tuan minta bantuan ‘perbekalan dan
pakan binatang’ pada mereka. Katakan ‘kami akan meninggalkan’ kota ini, untuk
memerangi kaum. Kami akan kembali memerangi kota ini, jika telah merampungkan
urusan. Jika mereka telah sibuk dengan urusan mereka, dan perbekalan mereka
telah berkurang banyak, ‘kita serbu’.”
Abu Ubaidah berkata, “Kau benar! Saya akan melakukan dengan
berharap Allah memberi Petunjuk dan Pertolongan.”
Abu Ubaidah minta tinta dan lembaran berwarna putih, untuk
ditulisi jawaban:
بسم الله
الرحمن الرحيم
Adapun selanjutnya: Saya memandang
tawaranmu akan membuahkan ‘perdamaian’ kita semua. Memang sejak dulu kami tidak
senang menganiaya Hamba Allah. Kau sendiri tahu bahwa jumlah pasukan kami yang
sangat banyak, membutuhkan bantuan ‘bahan makan’ untuk lima hari. Kau juga tahu
bahwa jalan yang akan kami lewati sangat jauh sekali. Dan semua kota yang akan
kami serang ‘dikelilingi beteng’ tebal dan tinggi, berpintu besi. Kami akan
pergi dari sini untuk menyerang wilayah lain. Jika telah selesai, kami akan
kembali lagi ke sini. Untuk sementara kita berdamai.”
Surat
dilipat lalu diberikan pada utusan Harbis, agar segera diberikan pada tujuan.
Utusan segera pergi meninggalkan tempat, menuju istana Raja Harbis, di dalam beteng yang menjulang tinggi tebal sekali.
Dia diangakat dengan tali, agar bisa naik ke atas beteng
menjulang. Lalu turun dan masuk, untuk menemui Raja Harbis, di istananya.
Harbis membaca surat dengan berbahagia. Lalu mengumpulkan pejabat-pejabat
tinggi dan tokoh-tokoh agama.
Pada mereka, dia berbicara, “Ketahuilah bahwa kaum Arab ‘minta
sumbangan bekal dan bahan makan’ pada kalian, untuk selanjutnya meninggalkan
tempat. Mereka seperti binatang buas; jika telah mendapatkan makanan, pergi
dengan puas. Mereka telah kelaparan di negeri kalian, jika telah kenyang pasti
segera pergi meninggalkan kita.”
Mereka menjawab, “Yang mulia! Kami khawatir jika kita telah
menyumbang; mereka bersikeras tak mau pergi!.”
Raja Harbis berkata, “Kita akan minta mereka berjanji, jika
telah diberi ‘agar segera pergi’.”
Mereka memohon, “Sumpahlah mereka, untuk itu.”
Harbis perintah pada para rahib dan ulama Nashrani, agar keluar
dari beteng, untuk mendatangi dan menyumpah Abu Ubaidah: ‘jika telah diberi
bahan makan dan pakan binatang, agar segera pergi’.
Di hari indah itu, pintu gerbang Rostan (الرستن) dibuka lebar.
Sejumlah utusan Raja Harbis keluar, untuk menjumpai dan menyumpah Abu
Ubaidah: Jika bantuan telah diterima, agar segera pergi meninggalkan
tempat. Jika telah menaklukkan kota-kota lainnya, baru boleh kembali lagi ke
Chims.
Abu Ubaidah menjawab, “Janji ini akan kami lakukan dengan senang
hati.”
Penduduk Chims berbondong-bondong keluar untuk menyerahkan
berbekalan, bahan makan, dan pakan binatang, dalam jumlah banyak sekali.
Diperkirakan akan mencukupi kebutuhan makan pasukan, hamba-sahaya, dan binatang
kendaraan.
Abu Ubaidah berkata, “Hai penduduk Chims! Bantuan kalian telah
kami terima! Siapa saja yang ingin ‘menjual’ bahan makan dan pakan binatang,
kami masih mau membeli!.”
Mereka berpikir, lalu menjawab, “Ya,” setelah tahu maksudnya.
Karena bahasa mereka berbeda.
Pada pasukannya, Abu Ubaidah berteriak, “Belilah perbekalan dari
mereka! Karena perjalanan yang akan kita tempuh terlalu jauh!”
Mereka menjawab, “Yang mulia! Dengan apa kita membeli? Dan
bagaimana nanti kita membawa?.”
Abu Ubaidah berkata, “Jarahan perang kalian dari Romawi, berikan
pada mereka!.”
Chasan bin Adi Al-Ghothofani (حسان بن عدي الغطفاني) berdoa, “Semoga
Allah meringankan hisab-an amal Abu Ubaidah RA, sebagaimana dia
telah meringankan beban yang telah memberatkan kami, berupa permadani-permadani
mewah, Al-Busuth (البسط) dan Thonafis (الطنافس).”
Barang-barang mewah yang harganya saangat mahal itu, ditukarkan
dengan perbekalan dan pakan binatang. Kaum Chimsh berbahagia sekali karena
selama tiga hari, kaum Arab menjual barang-barang mewah dengan harga sangat
murah. Banyak barang berharga 20 dinar, hanya dijual 2 dinar. Setelah kaum
Muslimiin meninggalkan tempat, kebahagiaan mereka sempurna.
[1]
Mungkin dia tidak tahu bahwa ‘bersumpah dengan selain Nama Allah’ larangan.
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Mlati Sleman Yogyakarta Indonesia
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Mlati Sleman Yogyakarta Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar