Sa’id bin Zaid perintah, “Hai Putra Ibnu Abi Waqqash! Berilah khabar gembira pada yang mulia Abu Ubaidah, mengenai yang telah kau dengar ini!
Dan segeralah kemari untuk menyampaikan jawaban beliau, padaku!.”
Ibnu Abi Waqqash berlari dengan kuda yang kecepatannya luar
biasa. Dalam waktu cepat dia telah sampai pada Abu Ubaidah, mengucapkan salam,
dan berkata, “Semoga Allah berbuat baik dalam semua urusan yang kau lakukan.
Saya datang untuk melaporkan bahwa Bathriq Harbis telah menyerah, dan memohon
pada Sa’id bin Zaid ‘agar dijamin selamat’. Sa’id akan menghadap kemari membawa
dia, agar dia ‘memohon damai’ untuk penduduk kota ini.”
Setelah mendengar laporan lengkap, Abu Ubaidah bersujud syukur.
Lalu mengangkat kepala untuk berkata, “Hai semuanya! Segeralah memerangi
penduduk kota ini! Dan bertakbirlah yang keras dan kompak! Agar mereka
ketakutan!.”
Takbir bergema membahana, menakutkan penduduk. Meskipun begitu,
pasukan di dalam kota Balbek mengangkat senjata, untuk persiapan melawan
pasukan Muslimiin yang ada.
Pengepungan dari pasukan Muslimiin makin merapat. Marqal bin
Utbah (المرقال ابن عتبة) yang barusan menyampaikan laporan pada Abu Ubaidah, berteriak,
“Selamatkanlah diri! Anak! Dan harta kalian! Dengan cara ‘mengajukan permohonan
damai’ pada kami! Jika kalian membangkang! Sungguh Allah telah menjanjikan
kemampuan menaklukkan negeri-negeri dan kota-kota kalian, dan lainnya, melalui
lisan Muhammad nabi kami SAW, ‘untuk kami!’.”
Teriakan yang sangat keras, membuat penduduk Balbek makin panik.
Mereka mendebui wajah karena sedih dan ketakutan. Dengan sedih, sebagian mereka
berkata, “Berarti tuan Harbis telah merusak keluarganya dan kita semua. Kalau
sejak kemarin dia mengajukan ‘permohonan damai’ pada kaum Arab, tentu takkan
terjadi seperti ini!.”
Serangan dari pasukan Muslimiin dimulai dengan menghujankan anak
panah ke dalam beteng. Ketika menyaksikan peperangan berkobar-kobar, Abu
Ubaidah menyampaikan perintah pada Sa’id bin Zaid, melalui utusan:
“Katakan pada Sa’id, agar dia segera membawa Harbis kemari! Saya
memperkuat jaminan selamat dari Sa’id untuk Harbis! Dan kami takkan
berkhianat.”
Setelah utusan datang dan menyampaikan pesan Abu Ubaidah, Sa’id
menyuruh seorang wakil, agar memimpin penjagaan atas pasukan Harbis. Sa’id
menemani Harbis, menghadap ‘Abu Ubaidah RA’ yang di mata pasukannya sangat
agung, karena nabi pernah bersabda, “Kepercayaan ini umat adalah ‘Abu
Ubaidah’.”
Bathriq Harbis menghadap Abu Ubaidah, dan menyaksikan pasukan
Muslimiin bertempur sengit melawan pasukanya. Hatinya bergetar dan perasaannya
takut, kepalanya bergerak-gerak sambil menggigit beberapa jari.
Pada penerjemah, Abu Ubaidah bertanya, “Kenapa dia
menggerak-gerakkan kepala dan menggigit jari-jarinya, seperti orang yang sedih
sekali?.”
Penerjemah bertanya pada Harbis, “Ada apa dengan kau?.”
Harbis menjawab, “Demi kebenaran Al-Masih dan yang pernah beliau
sentuh, dan yang pernah disembelih, sungguh sebelum ini, setahu saya ‘jumlah
pasukan kalian’ lebih banyak dari pada jutaan kerikil. Ketika kami berperang
dengan kalian, jumlah kalian tampak seperti lautan pasir yang banyak sekali.
Kami juga telah menyaksikan, seperti ada sejumlah pasukan berkuda membawa panji
berwarna kuning. Namun setelah saya sampai di sini, ternyata jumlah kalian
hanya sedikit. Apakah yang lain, kalian kirim ke kota Ainul-Jauz (عين
الجوز),
atau Jausiyah (جوسيه), atau kota lainnya?.”
Penerjemah menterjemahkan maksud pertanyaan Harbis tersebut, pada
Abu Ubaidah, yang tercengang lalu perintah, “Katakan padanya ‘celaka kau! Kami
ini umat Islam. Allah memperbanyak kami dengan pasukan malaikat, sehingga
kalian melihat kami ‘banyak sekali’, seperti pada zaman Perang Badar. Dengan
itulah, Allah menaklukkan negeri-negeri dan kota-kota, dan menghina raja-raja
kalian, untuk membela kami.”
Harbis mendengarkan keterangan penerjemah. Lalu berkata pada Abu
Ubaidah, melalui penerjemah, “Sungguh kalian telah menaklukkan sebuah kota di
Syam yang belum pernah ditaklukkan oleh raja-raja Persia, Turki, dan Jaramiqah
(الجرامقة). [1] Sebelumnya kami tak
menyangka bahwa kalian ‘memiliki kekuatan’ sedahsyat ini. Kota kami dikelilingi
beteng yang belum pernah dikepung suatu kaum, karena pertahanannya terlalu
kuat. Beteng terkuat di negeri Syam ini, yang membangun Nabi Sulaiman AS, untuk
tempat pribadinya. Kalau pasukan kami tidak terlanjur keluar menuju gunung,
pasti kami takkan mengajukan permohonan damai pada kalian, meskipun kalian
mengepung kami selama 100 tahun. Bukankah kalian mengabulkan permohonan damai
kami? Saya berpikir damai akan lebih baik, karena jika pintu gerbang kota ini
telah dibuka, akan mempermudahkan kalian menyerang dan menaklukkan negeri Syam
semuanya.”
Dengan bahasa Arab, penerjamah menyampaikan pernyataan Harbis
pada Abu Ubaidah. Setelah selesai mendengarkan, Abu Ubaidah berkata, “Katakan
padanya ‘segala puji hak Allah yang telah memberikan negeri dan kota-kota
kalian, pada kami. Kalian diwajibkan membayar upeti. Sebetulnya tadinya
permohonan damaimu hanya siasat, namun akhirnya Allah merendahkan kau dari
kemuliaanmu. In syaa Allah kami akan segera menguasai kota
kalian, dan membunuh pasukan kalian, yang belum mengajukan permohonan damai.
Untuk itu, siapa saja yang ingin melawan serangan kami, kami minta agar
membatalkan permohonan damainya'. Dia melanjutkan ucapan 'Wa laa chaula
wa laa quwwata illaa bi Allah Al-‘Aliyyil ‘Adliim (tiada upaya maupun
kekuatan kecuali karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung).” [2]
Setelah diartikan oleh penerjemah, Bathriq Harbis tahu maksud
kalimat itu. Pada Abu Ubaidah, dia berkata, “Aku yakin sepenuhnya bahwa
Al-Masih telah murka pada penghuni kota ini, sehingga mengirim kalian kemari.
Sebetulnya saya telah berusaha sekuat tenaga melawan kalian, namun segala usaha
saya tak bermanfaat, karena kalian kaum yang diberi Kekuatan oleh Tuhan.
Sungguh saya datang kemari untuk memohon damai pada kalian. Saya menyerahkan
tangan saya pada kalian, karena saya telah kalah. Kerajaan saya akan berakhir,
permohonan damai yang saya maksud adalah untuk seluruh rakyat saya, karena
Allah tidak senang berbuat kerusakan. Bukankah sekarang kalian menerima
permohonan damai kami ‘semua penduduk Balbek?’.”
Abu Ubaidah menjawab, “Lalu apa yang akan kau serahkan dalam
perdamaian ini?.”
Bathriq Harbis menjawab, “Silahkan menentukan kebijakan dalam
hal ini.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau Allah memberi kemenangan pada kami
melalui perdamaian, yang membuahkan emas dan perak sepenuh kota ini untuk kami,
saya tetap akan marah pada kalian ‘jika ada seorang pasukanku yang tewas
menjadi korban perang’. Beruntung sekali bahwa orang-orangku yang mati syahid,
akan deberi oleh Allah ‘yang jauh lebih baik’ dari pada itu semua.”
Bathriq Harbis berkata, “Dalam perdamaian ini saya sanggup
menyerahkan 1.000 auqiyah perak putih (satu Auqiyah:
40 Dirham (mata uang dari perak), dan 1.000 pakaian dari sutra.” [3]
Setelah mendengar pernyataan Harbis, Abu Ubaidah tersenyum dan
berkata pada pasukan Muslimiin, “Kalian mendengar sendiri pernyataan bathriq
ini kan?.”
Mereka menjawab, “Betul,” menggemuruh.
Abu Ubaidah berkata, “Apa kalian setuju dengan pernyataannya?.”
Mereka menjawab, “Tambahilah jumlahnya, biar kita lega.”
Pada Bathriq Harbis, Abu Ubaidah berkata, “Saya tentukan uang
perdamaian (upeti) yang harus kalian bayar 2.000 auqiyah emas
merah, 2.000 auqiyah perak putih, 2.000 pakaian dari sutra
Dibaj, 5.000 pedang dari kota kalian, senjata pasukanmu yang sekarang masih di
ceruk-ceruk gunung. Dan ‘mulai tahun depan’ kalian menyetorkan hasil bumi dan
pajak pada kami, setahun sekali. Selain itu ‘kalian dilarang membawa senjata’
ketika bertemu kami, dan tidak boleh menulis surat pada raja kalian. Dan tidak
boleh membuat Gereja lagi.”
Bathriq Harbis berpikir sejenak, lalu berkata, “Saya akan
mengabulkan permintaan kau, tapi saya juga mengajukan persyaratan: Tak seorang
pun ‘sahabat kau’ kami perbolehkan memasuki kota kami. Kau harus menempatkan
orangmu yang akan mengatur urusan kami, dari luar kota. Begitu pula semua
pasukannya. Dia akan kami beri hasil bumi dan pajak (upeti), namun kami berada
di dalam beteng. Atauran ini bisa berubah jika semua rakyatku telah menyetujui
perdamaian ini. Adanya pasukan kau tidak boleh memasuki kota kami, karena agar
tidak mempengaruhi tokoh-tokoh kami, karena hal itu ‘bisa membuat’ ada yang
berkhinat.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau kalian telah berdamai dengan kami,
kami akan memerangi musuh kalian, karena kalian sebagai dzimah (tanggungan)
kami. Dan saya akan mengangkat seorang wakil, agar menjadi perantara antara
kami dan kalian.”
Bathriq Harbis menjawab, “Tapi wakil kau itu, melindungi kami
dari luar kota kami.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kalau memang itu permintaanmu, silahkan!
Karena wakil kami juga tidak membutuhkan masuk ke kota kalian.”
Harbis berkata, “Ini perjanjian yang kita sepakati loh” Lalu
berjalan ke arah pintu gerbang kota, diikuti oleh Abu Ubaidah dan
penerjemahnya.
Ketika telah sampai di depan pintu gerbang, Harbis membuka
kerudung kepala, disambut oleh rakyatnya banyak sekali, yang telah lama
menunggu kedatangannya.
Harbis dikerumuni oleh rakyatnya, dan celoteh mereka berbahasa
Romawi membisingkan telinga. Banyak juga di antara mereka yang belum tahu bahwa
yang datang adalah Harbis raja mereka, karena berpakaian sangat sederhana.
Sejumlah pejabat bertanya, “Mana pasukan tuan?.”
Harbis bercerita mengenai kekalahan dan permohonan damainya,
yang telah dikabulkan oleh Abu Ubaidah. Mereka mendengarkan dengan serius lalu
menangis, karena telah tahu bahwa mereka telah ditaklukkan oleh kaum Muslimiin.
Mereka berkata, “Berarti kita akan hina dan harta kita akan
berkurang banyak.”
Dengan sedih Harbis menghibur, “Ini demi perdamaian.”
Mereka menjawab, “Silahkan tuan berdamai dengan mereka! Kami
takkan berdamai dengan mereka selama-lamanya. Negeri kita adalah negeri terkuat
di Syam! Tidak boleh diserahkan pada lawan! Sampai kapanpun akan kami
pertahankan!.”
Penerjemah memberi tahu pada Abu Ubaidah, mengenai pembicaraan
mereka dengan Harbis. Abu Ubaidah menggertak, “Bawa kemari upeti yang telah kau
sanggupi tadi! Jika tidak! Perjanjian damai saya batalkan dan kita berperang
lagi!” Pada Harbis.
Gertakan itu menghentikan kericuhan, dan tahu-tahu menjadi sepi.
Dengan terperangah, mereka memandang Harbis menjawab Abu Ubaidah, dengan
merendah, “Jangan marah dulu, demi kebenaran Injil yang shahih dan Isa
Al-Masih, kalau rakyatku tidak taat, kalian semuanya akan saya persilahkan
memasuki negeri kami. Baginda akan saya persilahkan membunuh pasukan, menawan
wanita, dan merampas harta. Saya tahu betul seluruh rahasia kelemahan negeri
ini, baik berupa jalan-jalannya maupun yang lainnya.”
Abu Ubaidah membaca, “مَا شَاءَ اللَّهُ
كَانَ (Maa syaa Allahu kaana / Yang dikehendaki oleh Allah
telah terwujud).”
Banyak penduduk Balbek yang berada di atas beteng negeri,
menyimak pembicaan Harbis dan Abu Ubaidah, dengan perasaan takut. Mereka
memperhatikan Harbis berteriak, “Bagaimana pendapat kalian mengenai berdamai
dengan kaum Arab?! Saya sudah terlanjur mengajukan permohonan damai, karena
pasukan saya yang keluarga kalian, juga telah mereka kuasai sepenuhnya! Kalau
kalian tidak menerima kebijakan saya! Mereka akan memerangi kita semuanya.”
Dengan takut, meringis dan terisak, rakyat Harbis menjawab,
“Tetapi kami tak mampu menyetorkan harta sebanyak itu,”
Harbis menggertak, “Celaka kalian! Saya yang akan menanggung ¼
dari yang mereka minta!.”
Mereka menyetujui kebijakan Harbis, berdamai dengan kaum
Muslimiin. Mereka berkata, “Tetapi pintu gerbang ini hanya akan kami bukakan
untuk tuan seorang. Orang Arab tak boleh masuk satupun, kecuali jika kami telah
membenahi kota kami, dan rumah kami, dan menyembunyikan perempuan kami.”
Harbis berkata, “Sayang sekali kalian ini. Saya justru telah
melarang mereka jangan masuk negeri kita. Orang mereka yang mengurusi, kami
haruskan berada di luar beteng, tidak boleh masuk. Kalian yang akan keluar
untuk memberikan upeti pada mereka.”
Mereka menjawab, “Ooo, ya sudah,” dengan puas.
Pintu gerbang kota dibuka, Harbis masuk.
Abu Ubaidah perintah agar Sa’id melepaskan pasukan Balbek yang
berada di ceruk-ceruk gunung, yang sedang dikepung oleh pasukan Muslimiin.
Sa’id melucuti senjata dan menggiring pasukan Balbek, menuju Abu
Ubaidah, agar menjadi ‘jaminan’ dari yang harus diserahkan. Tawanan itu juga
berfungsi agar kaum Balbek di dalam kota, tidak berani berkhianat atas kaum
Muslimiin.
Telah 12 hari, Harbis tidak muncul, karena sedang mengumpulkan
upeti yang akan diserahkan pada Abu Ubaidah. Dari mereka ada juga yang menyerahkan
perbekalan, bahan makan, pakan kuda maupun pakan unta. Setelah semuanya
terkumpul, Harbis akan segera menyerahkan.
Harbis keluar dan berkata pada Abu Ubaidah, “Saya akan segera
menyerahkan upeti. Kemarilah untuk menunjuk orangmu yang akan menangani. Di
hadapan kau, saya akan membuat syarat padanya ‘bahwa dia tidak boleh memaksa’
yang kami tak mampu melakukan. Dia juga ‘tidak boleh memasuki’ kota kami.”
Abu Ubaidah memanggil tokoh bangsa Quraisy bernama Rafi bin
Abdillah As-Sahmi (رافع ابن عبد الله السهمي) untuk diperintah,
“Hai Rafi bin Abdillah! Kau saya perintah agar mengurusi kota ini! Untuk itu
kau kuserahi 500 pasukan berkuda dari putra-putra paman, kakek dan keluargamu,
ditambah 400 pasukan berkuda campuran Muslimiin dari mana-mana! Perintahku
padamu samadengan ‘yang diperintahkan oleh Allah’ padamu. Bertaqwalah pada
Allah dengan benar! Jadilah golongan pengatur yang adil! Jangan menganiaya atau
menyimpang, karena dengan itu kau akan dikumpulkan bersama-sama kaum aniaya!
Ketahuilah bahwa ‘Allah Ta’ala akan bertanya padamu’ mengenai gembalaanmu, dan
akan menuntut kau mengenai tindakanmu yang tidak benar. Ketahuilah bahwa saya
pernah mendengar Rasulallah SAW bersabda ‘sungguh Allah Tabaroka wa Ta’ala
pernah memberi wahyu’ pada Musa bin Imran AS:
‘Hai Musa! Jangan menganiaya Hamba-Hamba-Ku! Karena Aku bisa
merobohkan rumahmu!’.
Abu Ubaidah melanjutkan ‘jagalah sudut-sudut kota! Karena kau di
pertengahan musuh! Waspadailah serangan yang datang dari pantai. Kalau
melepaskan pasukan, batasilah jumlahnya 100 hingga 200 orang saja. Jangan
sampai ada orang Balbek yang masuk ke kumpulan kalian, karena bisa-bisa membuat
mereka berubah ‘menjadi berani’ melawan kalian. Berbuatlah baik dan berdamailah
pada orang yang menolongmu. Perintahlah pasukanmu agar adil. Perlakukan mereka
seperti kau melakukan pada dirimu sendiri. Perintahlah pasukanmu agar menahan
diri dari kerusakan dan aniaya atas orang-orangnya. Allah Ta’ala yang menggantikan aku mengamati kau. Wassalaamu alaik’.”
قال أبو عبيدة
للترجمان: قل له: الحمد لله تعالى الذي ملكنا أرضكم ودياركم فلا بد أن تؤدوا الجزية
وقد ظننت لنفسك أمانا كاذبا حتى أراك الله الذل والصغار بعد العز والإقتدار ولا بد
لنا أن نملك مدينتكم أن شاء الله تعالى ونقتل الرجال ونأسر الأبطال فمن أراد حربنا
وقتالنا فلا يدخل في صلحنا أبدا ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.
فقال الأمير أبو
عبيدة لو أن الله فتح على المسلمين من الصلح على هذه المدينة بملئها ذهبا وفضة ما كان
أحب الي من سفك دم رجل واحد لكن الله تعالى اعطى الشهداء في الآخرة أكثر من ذلك فقال
البطريق أنا أصالحكم على ألف أوقية من الفضة البيضاء وألف ثوب من الديباج.
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Mlati Sleman Yogyakarta Indonesia
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Mlati Sleman Yogyakarta Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar