Sa’id menjawab, “Sampai kapanpun ‘dia akan hina’, hingga saya menerima kehadirannya untuk bebincang-bincang. Karena dia yang membutuhkan,
maka biarlah datang kemari, dengan merendah. Saya berjanji akan mendengarkan
permohonannya.”
Penerjemah datang pada Harbis untuk menyampaikan pernyataan Sa’id. Harbis mendengarkan penjelasan penerjemah lalu berkata, “Bagaimana
mungkin saya yang datang pada dia, sedangkan kehidupanku terancam olehnya? Saya
takut jika dia ‘tiba-tiba membunuh’ saya.”
Penerjemah berkata, “Saya yang menjamin keselamatanmu. Jika saya
telah menjamin, mereka semua akan menghormati jaminanku.”
Bathriq Harbis menjawab, “Saya setuju! Mengeni hal itu saya juga
pernah ‘diberi tahu’ oleh seorang. Hanya yang saya inginkan mengenai perdamaian
di sini, ‘untuk saya dan seluruh kaum saya yang telah menderita kekalahan’ dan
kerugian, berupa tewasnya pasukan dalam jumlah banyak sekali. Dan saya hanya
akan mengutus seorang kepercayaan yang akan menyampaikan pesanku padanya.”
Penerjemah menjawab, “Mengenai kau tak sanggup datang sendiri ‘akan
saya laporkan’ dulu pada beliau.”
Penerjemah memacu kuda menuju Sa’id, untuk melaporkan, “Sungguh
Bathriq Harbis hanya ingin mengutus orang kepercayaannya. Dia memohon agar
utusannya ‘dijamin selamat’.”
Sa’id menjawab, “Katakan padanya ‘silahkan mengutus utusannya!
Dia dijamin aman dan selamat, hingga kembali lagi’.”
Penerjemah menyampaikan pesan Sa’id pada Harbis yang
mendengarkan laporan, lalu memanggil seorang, untuk diberi tahu, “Kau tahu
sendiri keadaan yang menimpa kota kita. Jalan menuju kota kita telah
dihalang-halangi oleh pasukan Arab. Saat ini Al-Masih memberi ijin ‘negeri Syam
dirusak’ oleh mereka. Kita telah dikalahkan, kita dalam kesulitan. Kalau kita
tidak segera mengajukan permohonan damai, rakyat dan pasukan berkuda kita pasti
akan dibantai. Dan setelah itu pasti penderitaan akan merembet pada anak-cucu
dan istri kita. Harta kekayaan kita akan dijarah. Kita jelas takkan mampu
melawan mereka. Negeri-negeri tetangga kita juga sedang disibukkan dengan
urusan mereka masing-masing, sehingga tak mungkin menolong kita. Segeralah ke
sana, untuk menyampaikan maksud saya, agar nantinya saya bisa ‘melancarkan
makar dan tipu muslihat’ hingga kita bisa menguasai lagi kota kita. Saya
berharap nantinya ‘pimpinan Arab itu’ pergi, sehingga kita punya kesempatan ‘memohon
bantuan’ Raja Hiraqla.”
Utusan Harbis telah menghadap Sa’id untuk bersujud hormat. Dia
terkejut karena Sa’id menolak dihormat dengan sujud. Bahkan sejumlah pasukan
bergegas menghampiri, menyuruh dia berdiri dari sujudnya.
Dengan penuh heran dia bertanya, “Kenapa kalian justru melarang saya bersujud untuk menghormat pimpinan kalian?.”
Dengan penuh heran dia bertanya, “Kenapa kalian justru melarang saya bersujud untuk menghormat pimpinan kalian?.”
Pasukan Muslimiin diam terbengong-bengong karena tidak memahami
bahasa Romawi yang dia ucapkan. Sa’id dan pasukannya mendengarkan penerjemah berkata,
“Beliau dan kau hanya Hamba Allah Ta’ala yang tidak berhak disujudi dan
disembah. Hanya Allah Maha Raja yang belum pernah mengalami tiada, yang berhak
disembah dengan sujud.”
Lelaki itu menjawab, “Pantesan kalian di mana saja diberi
kemenangan oleh Tuhan.”
Sa’id bertanya, “Apa tujuanmu kemari?.”
Dia menjawab, “Memohonkan ‘jaminan selamat’ untuk pimpinan kami,
jangan dikhianati.”
Sa’id berkata, “Berkhianat bukanlah tabiat para pimpinan atau
penguasa yang baik. Dan Alhamdu
lillah kami bukan tergolong
kaum pengkhianat. Jaminan selamat ‘saya berikan’ pada pimpinanmu, dan semua
yang menyertai, dengan syarat ‘senjata diletakkan’.”
Lelaki itu berkata, “Yang kami mohon adalah jaminan selamat dari
tuan dan pimpinan tuan, dan semua pasukan yang menyertai tuan semuanya.”
Sa’id menjawab, “Ya, permintaan kalian dikabulkan.”
Lelaki itu berlari cepat dengan kuda menuju Harbis, untuk
melaporkan ucapan Sa’id. Lalu memohon pada Harbis, “Silahkan pulang ke kota,
namun jangan berkhianat. Karena khianat akan mencelakai pelakunya sendiri. Kaum
Arab tidak akan berkhianat pada kita.”
Harbis mendengar laporan itu dengan berbahagia. Busana kebesaran
dari sutra Dibaj dan senjatanya, dilepas. Lalu mengenakan pakaian sederhana.
Bahkan dia berjalan dengan kaki telanjang, sangat sederhana. Dia dan pasukannya
berjalan berarak-arak, menuju Sa’id.
Ketika menyaksikan Harbis dan pasukannya datang menghadap dengan
hina, Sa’id bersujud kepada Allah dan berdoa, “Alhamdu
lillaahil ladzii ‘azaala ‘annaa jababirota wa mallakanaa bathariqatahum wa
mulukahum.” [1] Artinya: Segala
puji bagi Allah, yang menggeser kedudukan para raja aniaya, dan memberi kami ‘kekuasaan menaklukkan’ para
bathriq dan raja-raja, untuk kepentingan kami.
Pada Harbis, Sa’id perintah, “Mendekatlah kemari!.”
Dengan penuh hormat, Harbis bergeser mendekat.
Sa’id bertanya, “Apakah pakaianmu sejak sebelum ini ‘juga
demikian?’ Atau kau telah berganti pakaian?.”
Harbis menjawab, “Demi Allah dan yang dijadikan kurban, saya
belum pernah mengenakan pakaian sejelek ini ‘sekalipun’, kecuali saat ini.
Busana kebiasaan saya adalah sutra Harir atau Dibaj. Sungguh saya takkan
melawan kalian lagi.”
Sejenak kemudian Harbis bertanya, “Betulkah tuan mengabulkan ‘permohonan
damai’ kami semuanya, termasuk yang di dalam kota sana?.”
Sa’id menjawab, “Kau dan pasukanmu saya jamin aman, dengan
catatan: yang mau memasuki agama kami, mendapat hak yang sama dengan kami. Yang
bersikeras tetap menetapi agamanya dan melepaskan senjata, maka selamat dari
tebasan pedang. Tetapi ada syarat ‘mereka tidak boleh’ membawa senjata, untuk
memerangi kami ‘selamanya’. Adapun kota di sana, yang menentukan kebijakan, Abu Ubaidah RA. In syaa Allah beliau telah menaklukkan. Kalau kamu ingin
berbicara langsung, mengenai ‘permohonan damai’ pada Abu Ubaidah, saya mau
mengantarkan. Kalau beliau mengabulkan permohonan, berarti kau beruntung. Namun
jika beliau tidak mengabulkan, kau akan saya kembalikan kemari lagi. Bagi yang
setelah itu ‘ingin membatalkan perjanjian damai’, hingga Allah menindak kalian
melalui tangan kami, kami persilahkan.”
قال الواقدي: ولقد
بلغني أن البطريق هربيس خلع ما كان عليه من الثياب والديباج والقى السلاح ولبس ثياب
الصوف وخرج حافيا حاسرا ذليلا ومعه رجال من قومه حتى وقف بين يدي سعيد بن زيد فخر سعيد
لله ساجدا وقال: الحمد لله الذي أزال عنا الجبابرة وملكنا بطارقتهم وملوكهم.
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Melati Sleman Yogyakarta Indonesia
Ponpes Mulya Abadi Mulungan Melati Sleman Yogyakarta Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar