Dhirar menggiring pasukannya untuk membantu Sa’id bin Zaid.
Arak-arakan pasukan Dhirar mengalir sangat panjang. Derap kaki-kaki kuda
membuat debu-bebu berterbangan.
Kedatangan mereka di medan perang, mengejutkan pasukan Harbis yang mengepung dan menyerang pasukan Sa’id, yang hanya berjumlah sedikit.
Serangan pasukan Balbek yang bertubi-tubi telah berhasil merobohkan 70 pasukan
Muslimiin. Ada yang meninggal; ada yang luka parah.
Pasukan Sa’id kuwalahan menghadapi serangan mereka yang terlalu
banyak yang makin lama makin ganas.
Harapan ‘menang’ pasukan Balbek sirna, oleh pekikan tahlil dan
takbir dari bala-bantuan di bawah pimpinan Dhirar, yang telah mendekat.
Bala-bantuan itu bergerak cepat, menyerang. Pasukan Balbek ada yang tewas, ada
yang kabur, karena serangan pasukan Dhirar bertubi-tubi. Mereka yang
ketinggalan di belakang, menjadi korban keganasan pasukan Dhirar.
Pasukan Balbek bagaian belakang, berguguran semakin banyak. Namun
barisan depan mereka tetap juga berlari kencang dengan kuda, untuk
menyelamatkan diri, menuju ceruk-ceruk gunung.
Dengan berkendaraan kuda, pasukan Dhirar mengejar untuk
menyerang mereka dengan sejumlah anak panah.
Dalam waktu singkat, berita "Pasukan Muslimiin Berguguguran dan 'Menderita Parah'." Sampai pada Abu Ubaidah.
Mengenai jumlah pasukan Balbek yang tewas, juga dilaporkan.
Mengenai jumlah pasukan Balbek yang tewas, juga dilaporkan.
Setelah mendengar berita bahwa ‘pasukan Dhirar telah mengepung’
pasukan Harbis di gunung, Abu Ubaidah agak lega.
Abu Ubaidah mendapat laporan bahwa pasukan Dhirar kekurangan
perbekalan dan air minum.
Abu Ubaidah membaca, “Al-Hamdu lillah” Lalu
perintah, “Hai semuanya! Ambillah harta dan tenda kalian untuk dipindahkan ke
dekat kota! Allah telah bermakar atas musuh kalian, untuk mewujudkan Janji Pertolongan-Nya,
untuk kalian!.”
Pasukan Muslimiin berlari dengan kuda mereka, untuk memindahkan
tenda dan harta, ke dekat beteng, yang sebelumnya pernah mereka
tempati.
Di luar beteng telah dipenuhi deretan tenda pasukan Muslimiin.
Kuda dan unta mereka, merumput. Hamba sahaya mereka, mencari kayu bakar.
Beberapa orang menyalakan api untuk memasak makanan. Mereka agak lega karena
Harbis dan pasukannya telah pergi jauh ke gunung.
Pasukan Balbek yang berada di atas beteng masih banyak, mereka
berselisih pendapat. Banyak di antara mereka yang menampar pipi dan berteriak,
dengan bahasa mereka. Kebanyakan pasukan Muslimiin tidak tahu arti bahasa
mereka.
Pada penerjemah, Abu Ubaidah bertanya, “Mereka berkata apa?.”
Penerjemah menjawab, “Mereka berkata ‘oh celaka ini’. Betapa
musibah yang menimpa kita sangat besar. Kampung kita akan segera rusak dan kaum
lelaki kita akan tewas.”
Sore itu sangat dingin. Abu Ubaidah memanggil seorang agar
menyampaikan pesan, “Katakan pada Sa’id bin Zaid: ‘Hai putra Zaid! Suruhlah
pasukanmu agar waspada dan agar semangat dalam berjihad! Semoga Allah
menyayangmu! Jangan kau biarkan seorang dari pasukan Balbek ‘kabur!’.”
Utusan berlari kencang dengan kuda menuju Sa’id untuk menyampaikan
perintah. Setelah menerima pesan, Sa’id perintah, “Kepung mereka! Jangan ada
yang kabur!.”
Sa’id membatasi agar yang mencari kayu bakar hanya 100 orang
berpedang. Malam itu beberapa pasukan menyalakan tumpukan kayu bakar, sambil
bertahlil dan bertakbir.
Pertempuran hampir berakhir. Yang gelisah tidak hanya pasukan
Balbek, bahkan Harbis juga berputus asa. Pada pasukannya, dia berkata, “Celaka
kalian! Usaha kita sia-sia, dan tak mungkin ada bala-bantun yang datang kemari!
Kalau melawan pasti juga akan kalah, karena kita telah kehabisan tenaga, karena
terlalu lapar dan haus! Kalau pengepungan ini diperpanjang sehari atau dua hari
lagi, kita bisa mati kelaparan! Siasat kita keliru, kalau melawan, justru kita
akan tewas.”
Pertanyaan beberapa bathriq, “Lalu sebaiknya bagaimana tuan?.”
Harbis menjawab, “Saya akan menipu mereka dengan cara pura-pura
mengajukan permohonan damai, sebagaimana yang pernah mereka tawarkan. Sebagai
jaminan, kita membukakan pintu gerbang kota, untuk mereka. Namun jika kita
telah masuk ke kota, mereka segera kita serang. Selain itu, kesempatan tersebut,
kita gunakan minta bantuan pada penguasa kota Ainul-Jauz (عين
الجوز)
dan penguasa kota Jausiyah (جوسية). Agar menyerang pasukan Arab dari luar kota. Kita menyerang
dari atas beteng. Melalui siasat ini Al-Masih akan menolong hingga kita
menang.”
Beberapa bathriq menjawab, “Ketahuilah tuan ‘selamanya penguasa
kota Jausiyah takkan menolong tuan’, karena sedang sibuk dengan urusannya yang
banyak. Bisa jadi mereka juga sedang diserang oleh pasukan Muslimiin seperti
kita. Kami mendengar berita bahwa penduduk Jausiyah sedang mengajukan permohonan
damai pada pasukan Arab. Sedangkan penduduk Ainul-Jauz, sedang berdagang ke
Syam. Saya yakin mereka juga sudah mengajukan permohonan damai pada kaum Arab.
Sekarang silahkan mempertimbangkan kebijakan yang tepat. Sebaiknya kita
mengajukan permohonan damai pada mereka.”
Harbis menerima usulan para bathriq. Ketika subuh telah datang,
rasa lapar dan haus menyerang, hingga mereka sangat menderita. Harbis naik
tebing, dan berteriak, “Hai semua orang Arab! Ada nggak di antara kalian yang
memahami bahasa saya? Saya Bathriq Harbis! Saya ingin berbicara dengan pimpinan
kalian.”
Beberapa penerjemah menghadap Sa’id, untuk berkata, “Tuan! Orang
kafir bernama Harbis ini, penguasa Balbek. Dia memohon agar tuan sudi berbicara
dengan dia.”
Sa’id perintah, “Datangilah untuk ditanya apa maunya!?.”
Penerjemah datang pada Harbis, untuk bertanya, “Bagaimana
maksudmu?.”
Harbis menjawab, “Saya ingin pimpinan kalian dan seluruh
pasukannya, menjamin selamat, agar saya bisa berbicara penting mengenai
perdamaian.”
0 komentar:
Posting Komentar