SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

2011/03/03

CBI 2: Khutbah Umar di Akhir Hayat


(Bagian ke-2 dari seri tulisan Cinta Berbuah Indah)

Ibnu Abbas berkata, “Akhirnya kami datang di Madinah sebelum bulan Dzul-Chijjah berakhir. Di hari itu, kami bergegas berangkat jum’atan, di saat matahari telah condong ke barat.[1]Di sana aya berjumpa Said bin Zaid bin Amer bin Nufail yang sedang duduk lurus sudut mimbar. Saya segera duduk di sekitar itu, lututku menyentuh lututnya.
Umar bin Al-Khatthab keluar ke arah mimbar.
Di saat menyaksikan Umar menghadap mimbar; saat itu pula, saya berkata pada Said bin Zaid, “Sungguh di sore ini, dia pasti akan menyampaikan makalah yang belum pernah dia sampaikan sejak menjadi Khalifah.” 
Sontak Said bin Zaid marah padaku: “Ada apa dengan perkataanmu beliau akan mengucapkan yang belum pernah diucapkan?.” 

Umar duduk di atas mimbar.
Ketika para mu’adzin telah diam; Umar berdiri untuk menyanjung Allah mengenai KeahlianNya:
“Ammaa ba’d, sungguh saya akan menyampaikan makalah yang telah dipersiapkan untuk kalian. Saya tidak tahu barangkali ini sebagai persiapan dari ajal kematian saya. Barang siapa mampu mengingat dan mewadahi, silahkan menyampaikan, sampai di mana dia berkendaraan. Namun barang siapa khawatir tidak mampu mengingat, maka tidak saya halalkan bohong atas namaku:
Sungguh Allah telah mengutus Muhammad SAW  dengan hak, dan telah menurunkan Kitab kepadanya. Termasuk yang diturunkan oleh Allah di dalamnya, ayat rajam. Kami telah membaca, ingat dan memahami. Rasulullah telah melaksanakan rajam; kami pun telah melaksanakan. Namun saya khawartir jika zaman telah panjang melanda manusia nanti, akan ada orang berkata ‘demi Allah! Kami tidak menemukan ayat rajam dalam Kitab Allah’. Akhirnya mereka tersesat karena meninggalkan hukum yang telah Allah tentukan.[2]
Rajam di dalam Kitab Allah, hak atas orang yang zina, kaum lelaki maupun wanita yang telah menikah: ketika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan. Selanjutnya, sungguh kami dulu pernah membaca sebagian Bacaan Al-Qur’an: أَنْ لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ ، فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ. Atau bacaan tersebut: إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ.
Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda ‘jangan mengkultuskan aku! Seperti ‘Isa bin Maryam dikultuskan! Katakan dia Hamba dan Rasul Allah’.
Selanjutnya, berita bahwa seorang kalian berkata ‘demi Allah kalau Umar wafat, saya pasti berbai’at pada fulan’ telah sampai padaku. Jangan sampai orang salah! Dalam membuat pernyataan ‘pembai’atan Abi Bakr RA yang sangat cepat saja, nyatanya telah sempurna’. Ingat! Kenyataannya memang demikian! Karena sungguh Allah telah melindungi pembai’atan tersebut. Tak seorang pun dari kalian yang lehernya tuqtha’u, yakni diputus, semisal Abi Bakr.”

Maksud Umar ‘karena keagungan, kebaikan serta kepandaian Abu Bakr sempurna, maka kalau leher-leher kaum dipanjangkan agar dapat membandingi ketinggiannya, tetap juga takkan sampai, meskipun leher-leher mereka putus. Karena derajat Abu Bakr terlalu tinggi.

Umar melanjutkan ‘barang siapa berbai’at pada seorang, tidak melalui musyawarah Muslimiin, maka orang yang keliru berbai’at dan dibai’at tersebut harus dibunuh. Dan sungguh di saat Allah mewafatkan Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  kita; kaum Anshar melakukan kelakuan yang berbeda dengan kita, dan semuanya telah berkumpul di halaman luas keluara besar Sa’idah. Ali, Zubair dan yang menyertai mereka berdua, tidak bergabung pada kami. Kaum Muhajir telah bergabung pada Abu Bakr.
Kemudian saya berkata ‘ya Aba Bakr! Mari kita pergi menuju saudara-saudara kita kaum Anshar ini’.
Kami pun segera datang menuju mereka. Di tengah perjalanan, kami bertemu dua pria shalih.[3]Mereka berdua menjelaskan pada kami, mengenai tujuan kaum yang berkumpul tersebut. Mereka berdua berkata ‘kalian mau kemana hai kaum Muhajirin?’.
Kami menjawab ‘akan menuju saudara kami, kaum Anshar ini’.
Mereka berdua berkata ’jangan kalian dekati mereka! Laksanakan perkara kalian!’.
Saya menjawab ‘demi Allah, kami harus datang sungguh pada mereka’.
Kami meneruskan perjalan hingga sampai pada mereka, di halaman luas keluarga besar Sa’idah.
Ternyata di sana ada lelaki berselimut di pertengahan mereka. Saya bertanya ‘siapa ini?’.
Mereka menjawab ‘Sa’du bnu Ubadah’.
Saya bertanya ‘ada apa dia?’.
Mereka menjawab ‘sedang terserang penyakit panas’.
Setelah kami duduk sejenak; juru bicara mereka ber-tasyahud dan memuji Kehebatan Allah, selanjutnya berkata ‘ammaa ba’d: Kami Penolong Allah dan Pasukan Islam; sementara kalian kaum Muhajirin, jamaah biasa. Kalian kelompok kecil yang memisahkan diri dari kaum kalian’.
Ternyata mereka bertujuan akan melepaskan kami dari asal kami, dan menyingkirkan dari perkara. Begitu dia diam; saat itu pula saya telah hampir berbicara. Saya telah mempersiapkan makalah yang menakjubkan yang akan saya sampaikan di hadapan Abu Bakr. Saya telah mempersiapkan dengan matang. Ketika saya telah hampir melepaskan pembicaraan; saat itu pula Abu Bakr berkata ‘sebentar’.
Sontak saya jadi sungkan, dan tak mau membuat dia tersinggung dan marah.
Tak lama kemudian Abu Bakr berbiara. Ternyata dia lebih arif dan lebih sopan dari pada saya. Demi Allah, kalimat menakjubkan yang telah kupersiapkan, tidak dia tinggalkan dalam pembicaraan tersebut. Hanya saja, dengan kejeniusannya, dia mengutarakan semisal itu, atau lebih bagus daripada perkataan saya, hingga dia diam. Saat itu dia berkata ‘kebaikan yang telah kalian katakan mengenai kalian, memang tepat disematkan pada kalian.[4] Namun ini perkara (kepemimpinan) takkan dikenal kecuali sebagai hak kaum Quraisy. Merekalah kaum yang nasab dan desanya lebih tengah bagi bangsa Arab. Sungguh saya telah menyetujui sepenuhnya, seorang dua pria ini: Berbai’atlah pada siapa mereka berdua yang kalian kehendaki!’. 
Sontak Abu Bakr memegang tanganku dan tangan Abu ’Ubaidah bin Al-Jarrach. Dia duduk di antara kami berdua. Sontak rasa salutku terhadap Abu Bakr surut karena ucapan tersebut. Demi Allah, sejak dulu, saya diajukan untuk dipukul leherku, takkan mendekatkan saya pada dosa yang lebih menyenangkan, daripada memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu Bakr. (Maksudnya sama-sama kuanggap berdosa, namun dipukul leherku lebih kusengi; daripada memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu Bakr). Allahumma kecuali jika Kau menghias-hiaskan pada diriku ketika saya akan mati, yang saat ini tidak saya jumpai.

Seorang lelaki Anshar berkata ‘saya batang-kayu yang digunakan menggaruk gatal, dan untaian buah yang menjadi besar.[5][6] Dari kami ada pemimpin; dari kalian ada pemimpinnya kaum Quraisy’.
Suara ricuh dan celoteh menjadi banyak dan ribut. Beberapa orang ada yang bersuara tinggi, hingga saya khawatir terjadi perselisihan.
Saya segera berkata ‘bentangkan tanganmu ya Aba Bakr’. Tak lama kemudian, dia membentangkan tangannya. Sontak saya berbai’at kepadanya.
Kaum Muhajiriin menyusul berbai’at padanya. Selanjutnya kaum Anshar juga berbai’at padanya.
Kami bergegas menuju Sa’du bnu ‘Ubadah; seorang mereka berkata ‘kalian (sama dengan) membunuh Sa’du bnu ‘Ubadah?’.
Saya menjawab ‘Allah yang membunuh Sa’du bnu ‘Ubadah’.
‘Sungguh’ (lanjut Umar) ‘demi Allah, berdasarkan kenyataan yang kami saksikan; kami tak menjumpai perkara yang lebih kuat dari pada pembai’atan Abu Bakr. Saat itu, kami khawatir jika kaum berpecah di saat belum dilakukan bai’at. Khawatir jika ada yang melakukan pembai’atan di belakang kami’. Karena bisa jadi, kami akan berbai’at pada mereka dengan tanpa kami ridhoi; bisa jadi kami akan menentang mereka hingga terjadi kerusakan. Oleh karena itu barang siapa berbai’at pada lelaki dengan tanpa musyawarah dengan Muslimiin, maka tidak boleh diikuti, baik yang berba’iat maupun yang dibai’at. Keduanya melakukan kekeliruan yang mengarah untuk dibunuh'."[7]

Sebetulnya khutbah Jum’ah Umar terakhir tersebut, tidak hanya melukiskan Umar sangat mengalah pada ra’iyah atau Jamaah, tetapi lebih dari itu. Dia sangat mementingkan musyawarah, sangat menghormati Abu Bakr, sangat menghormati pejuang-pejuang Islam lainnya, mementingkan perdamaian dan persatuan. Kalau rakus, tamak, atau arogan, saat itu Umar bisa mendapatkan kekayaan sebanyak apapun, karena saat itu dua kerajaan raksasa Romawi dan Farisi telah dilumpuhkan olehnya. Harta kekayaan dua kerajaan tersebut masuk ke Sabilillah banyak sekali, hingga ‘Umar jusrtu menangis melihat kenyataan tersebut. Dalam Lisanul-Arab dan Tajul-Urus dijelaskan:
Ketika kekayaan Raja Kisra disetorkan pada Umar, dia berdoa ‘ya Allah! Hamba mohon pada-Mu jika hamba terjebak. Sebab sungguh hamba mendengar Kau berfirman -سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ - Mereka akan Kami jebak dari mana mereka tidak tahu’.[8]

Apakah yang mendorong Umar menjadi orang sebaik itu? Tentu saja karena Ketaqwaan. Taqwa dan sabar, terkadang diistilahkan Ichsan dalam AQur’an: إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ – Sesungguhnya barang siapa bertaqwa dan bersabar, maka pasti Allah takkan menyia-nyiakan pahala kaum Ichsan tersebut.[9]
Bertaqwa dan bersabar pula yang membuat seorang mampu menahan diri. Karena di saat itu, Allah merahmati, sehingga dia mampu menahan nafsunya. 
Perlu diingat bahwa ayat di atas merupakan khutbah Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام yang disampaikan pada kakak-kakaknya, di saat mereka terperanjat oleh kenyataan bahwa; akhirnya Yusuf عَلَيْهِ السّلَام menjadi orang besar; di saat Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام menumbangkan kejahatan dengan cinta-kasih. Allah mengabadikan khutbah tersebut di dalam Al-Qur’an, sebagai Pelajaran untuk Muhammad dan umatnya صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ.

Dan ketika Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  mengamalkan ayat tersebut; ternyata betul sekali, yakni berdampak seperti Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام. Hanya saja dampaknya jauh lebih besar dan lebih indah. Kalau saja manusia tahu bagaimana Allah memberi Anugrah besar pada Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام dan Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, setelah mereka berdua bertaqwa dan bersabar, mungkin mereka akan meninggalkan semua usaha. Selanjutnya bergegas atau berlari menuju ketaqwaan dan kesabaran.[10] Apalagi mereka yang intelek atau ilmuan, yang kesadaran atau kepandaiannya di atas manusia pada umumnya.[11]  
Cinta berbuah Indah ini hanya sebuah judul. Sebetulnya yang dimaksud Rahmah berbuah Indah. Tetapi karena ada yang berpandangan rahmah adalah cinta, maka judulnya menjadi begitu. Adapun yang akan dibahas:
1.     Petik dan Hidangkan Buah Cinta.
2.     Buah Cintakasih untuk Penghuni Bumi
3.     Taburan Cintakasih untuk Para Sahabat.
·        Pemimpin Batasi Diri
·        Agar tidak Salah Faham
·        Himbauan.
·        Doa.

Bab I
Petik dan Hidangkan Buah Cinta

Yang paling berhak dicintai melebihi segala-galanya, Allah dan Rasulullah Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ. Yang pernah bersabda, “ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ – Ada tiga perkara yang jika bersarang pada seorang maka dia jumpai manisnya iman:
1.     Allah dan Rasul-Nya lebih menyenangkan padanya daripada mereka berdua.
2.     Pendorong dia senang seorang, tak lain kecuali karena Allah.
3.     Benci kembali pada kekufuran, sebagaimana benci dicampakkan kedalam api.” [HR Bukhari].

Ternyata Allah sendiri juga menyatakan, “قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ – Katakan ‘jika kalian telah cinta Allah maka ikutilah saya! Allah akan mencintai kalian dan akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun Maha Penyayang’.”
Berdasarkan Firman Allah dan Sabda Rasulullah di atas, buah dari cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya, disenangi Allah, diampuni dosa-dosanya, dan di saat itu pula dia memasuki wilayah indah, yang di situ, dia merasakan manisnya iman, hingga keimanan dia yang kokoh tersebut membuat dia takkan murtad. Bagi orang yang cinta dunia, memang Firman dan Sabda tersebut kurang menarik. Mereka akan tertarik jika telah tahu buah dari cinta Allah dan Rasul, ternyata tidak hanya akan dipetik di akhirat saja, tetapi juga di dunia.
Rasulullah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ sabar dan pandai karena Al-Qur’an wahyu Allah. Termasuk pelajaran yang membuat Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ pandai menghadapi orang jahat, pandai bertutur-kata, pandai menyembunyikan kejelekan demi keindahan, adalah Surat Yusuf.[12] Karena Surat tersebut diturunkan di saat Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ dan para sahabatnya susah berat, oleh tekanan dan penganiayaan kaum kafir yang sesungguhnya saudara mereka sendiri.
Di luar dugaan, ternyata Allah menghibur mereka dengan menurunkan Surat yang mengandung pelajaran akhlaq tersebut. Di sana dijelaskan bahwa Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام yang dianiaya oleh kakak-kakaknya, akhirnya menjadi raja di Mesir. Raja menurut Allah dan Rasul-Nya adalah penguasa.[13] Artinya bisa jadi saat itu dia menjadi perdana menteri Mesir, walloohu a’lam.
Buah dari kebaikan, kesabaran dan cinta-kasih Yusuf atas penganiayaan mereka:
1.     Mereka surprise karena ternyata orang sangat tampan dan agung tersebut adik mereka sendiri.
2.     Ternyata kesalahan besar mereka diampuni di saat mereka lemah dan hina.
3.     Kebutaan ayah mereka sembuh, di samping karena mukjizat Yusuf, mungkin juga karena surprise oleh kenyataan Yusuf AS yang sangat dirindukan ternyata tidak hanya masih hidup, tetapi telah menjadi orang besar.
4.     Ya’qub AS terkejut, ternyata orang tampan nan agung tersebut, putranya.
5.     Dalam perjumpaan agung tersebut tentunya banyak sekali yang berandai-andai: “Oh betapa bahagianya jika saya yang menjadi Yusuf.”

Ibnu Katsir menyampaikan penjelasan yang membuat kita terperangah takjub, mendasari Firman Allah.[14] Kurang lebih artinya begini:
Ketika mereka telah memasuki ruangan; Yusuf AS segera memberi tempat-layak pada dua orang tuanya, dan berkata, “Masuklah kalian ke Mesir dengan aman in syaa Allah.” 
Dan dia mengangkat dua orang tuanya di atas singgasana.
Mereka meroboh untuk bersujud-hormat kepadanya.
Dia AS berkata, “Ya ayahku, inilah takwil mimpiku. Sungguh Tuhanku telah mewujudkan dengan benar. Dan sungguh Dia telah berbuat baik padaku, setelah mengeluarkan aku dari penjara dan telah mendatangkan kalian dari desa; setelah syaitan mengganggu antara saya dan saudara-saudara saya. Sungguh Tuhanku Maha lembut pada yang Dia kehendaki. Sungguh Dia Maha Alim Maha Bijak.”
Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang Kunjungan dan Berpindahnya Nabi Ya’qub ke Mesir. Ketika Nabi Yusuf عَلَيْهِماَ السّلَام menyuruh saudara dan seluruh keluarganya, agar berpindah ke Mesir, saat itu seluruh keluarga besar Nabi Ya’qub hingga yang akhir, dibawa semuanya.
Mereka berangkat dari kota Kan’an menuju kota Mesir. Ketika telah diberi tahu bahwa kehadiran mereka telah dekat, Yusuf segera keluar-rumah, menyambut kedatangan mereka.
Sang raja sendiri perintah agar menteri-menteri dan tokoh-tokoh masyarakat keluar rumah, untuk mendampingi Yusuf menyambut kedatangan Nabiyyullah Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ.
Dilaporkan, “Sungguh sang raja sendiri juga keluar dari istana untuk menyambut. Namun berita ini asybah, yakni kurang meyakinkan.”

Diperkirakan, karena Nabi Yusuf AS sebagai perdana-menteri, para pejabat tinggi, serta tokoh-tokoh masyarakat, menyambut kedatangan rombongan Nabi Ya’qub AS. Maka rakyat pun berbondong-bondong menyaksikan peristiwa agung tersebut. Apa lagi saat itu rakyat Mesir tahu bahwa ekonomi Mesir yang mestinya tumbang; telah terselamatkan oleh Nabi Yusufعَلَيْهِ السّلَامُ yang agung.

Mungkin masa paceklik selama tujuh tahun saat itu, telah membuat kota-kota selain Mesir kekeringan berat, sehingga banyak manusia dan binatang mati kelaparan. Kalau dilogika bahwa orang-orang Kan’an datang ke Mesir untuk mencari bahan makan, berarti paceklik saat itu melanda wilayah yang sangat luas.

Lutan Insan menyaksikan

Al-Alusi menjelaskan sedikit berbeda: Telah dijelaskan di dalam beberapa sumber bahwa Nabi Yusuf dan sang raja keluar didampingi 7.000 pasukan, para pejabat tinggi, bahkan seluruh bangsa Mesir. Mereka menyambut kedatangan Nabi Ya’qub.[15] 
Mereka menyaksikan Nabi Ya’qub AS hadir dengan berjalan, bertumpu Yahudza yang berjalan di sisinya. Nabi Ya’qub menyaksikan kuda-kuda dan manusia berjumlah banyak sekali. Dia berkata, “Hai Yahudza, apakah ini Raja Fir’aun Mesir?.”
Yahudza menjawab, “Bukan, ayahku. Dialah putramu bernama Yusuf.”
Sebuah sumber menjelaskan ‘Yusuf diberi tahu’: “Sungguh kau akan menjumpai dia; dan dia akan menjumpai kau sesuai yang kau lihat.”
Ketika Yusuf akan menyambut dengan ucapan Salam; ada yang mencegah, agar tahu bahwa Ya’qub lebih mulia bagi Allah Ta’ala dari pada dia, karena yang mengucapkan Salam pertama kali. Ya’qub segera memeluk dan mencium Yusuf AS dan berkata, “As-Salamu ‘alaik, hai yang menghilangakan kesusahan-kesusahanku.”[16]
Sebuah sumber menjelaskan: “Yusuf berkata pada ayahnya, ‘ayahku, kau telah menangisi saya, hingga buta pandanganmu. Apakah ayah tak tahu bahwa hari kiamat akan mengumpulkan kita?.”
Ya’qub berkata, “Betul, tetapi saya khawatir agamamu rusak, sehigga kita akan terhalang bertemu.”

Menurut Ibnu Hisyam Al-Kalb:
Banjir besar telah melanda, hinggga membongkar kubur di kota Yaman.[17]Dalam kubur tersebut ada mayat wanita yang masih utuh. Diperkirakan dulunya dia wanita kaya-raya. Ada tujuh mikhnaq, yakni jenis mutiara putih yang menghiasai lehernya. Dua tangan dan dua kakinya mengenakan gelang-gelang yang ditata: di atas betis, di bawah betis, di pergelangan tangan, di lengan, yang masing-masingnya berjumlah tujuh. Semua jarinya mengenakan cincin-perhiasan bermata berlian yang harganya sangat mahal. Di sisi kepalanya ada peti, berisi harta kekayaan penuh. Di dalamnya ada papan bertulis, “Dengan Nama-Mu ya Allah Tuhan kota Himyar. Hamba Tachah binti Dzi Syufar. Hamba telah mengutus seorang agar membeli bahan makan berjumlah banyak pada Nabi Yusuf perdana menteri Mesir, namun dia terlambat pulang sangat lama. Akhirnya saya mengutus seorang kasim agar membawa satu mud perak, agar ditukarkan satu mud gandung yang telah ditumbuk; namun tak ada yang memiliki gandum yang saya maksud.[18] Dia aku utus agar membeli gandum yang telah ditumbuk; dengan satu mud emas, namun ia pulang tak membawa hasil. Dia kuutus membeli gandum yang telah ditumbuk, dengan bahriy, yakni intan indah sekali dari laut, yang di leherku, namun dengan itu tak juga mendapatkan. Karena geregetan dan kesal, hamba menyuruh agar intan tersebut ditumbuk, tentu saja tetap juga tak bermanfaat pada hamba, hingga akhirnya hamba mati kering kelaparan. Maka barang siapa mendengar tentang diriku, hendaklah mendoakan rahmat untukku, atau menjadikan aku sebagai ibarat. Jika dia muslimah saya berdoa untuknya semoga Allah memberi rahmat yang luas hingga membuat dia lupa kelaparan atau kekeringannya. Siapapun wanita yang mengenakan perhiasanku, takkan mati kecuali seperti kematianku.”

Kisah yang pasti shahih adalah yang ada dalam Al-Qur’an. Di sana dijelaskan saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir untuk membeli bahan makan. Keterangan ini penjelasan yang cukup, yakni berarti paceklik di saat itu melanda wilayah sangat luas. Itu berarti Yusuf berjasa besar sekali pada masyarakat sangat luas, karena Mesir dan sekitarnya selamat dari bencana tersebut melalui petunjuknya.[19] 

Diperkirakan orang-orang yang menonton rombongn Nabi Ya’qub AS datang ke Mesir, sangat banyak sekali. Jika sang raja hingga keluar istana, mungkin karena pengaruh terlalu banyak manusia yang keluar, untuk menyaksikan.
Kalau peristiwa tersebut dianggap keindahan yang dipetik dan dihidangkan oleh Yusuf ke hadapan sang raja dan manusia pada umunya, maka sebetulnya itu baru keindahan lahiriyah. Sementara mutiara-keindahan yang hakiki dari kebaikan Yusuf dan Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ, justru berada pada Kisah  Al-Qur’an tentang  Yusuf, Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ, dan keluarga mereka. Bukti bahwa kisah dalam Al-Qur’an tersebut adalah mutiara-keindahan hakikiakan abadi. Meskipun dunia ini hancur-lebur karena gempa kiamat; namun Ayat-Ayat yang mengkisahkan Yusuf dan Ya’qub عَلَيْهِماَ السّلَامُ dan lainnya, akan abadi.

Jika telah masuk surga, maka orang-orang iman akan disuruh membaca Al-Qur’an yang dulu-kala sering dibaca, sambil menaiki tangga. Jika telah selesai, maka disuruh berhenti dan memasuki surga yang lebih tinggi dari pada jatah surganya.
Nabi صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلّمَ bersabda: 

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا – Akan dikatakan pada orang yang menguasai Al-Qur’an ‘bacalah sambil naik tangga! Tartilkanlah membacanya! Sebagaimana kau dulu di dunia, membaca dengan tartil. Sungguh tempat tinggalmu di sisi akhir Ayat yang akan kau baca nanti’.” [HR Tirmidzi].





[1] Diperkirakan perhatian jamaah Jum’ah pada khutbah saat itu lebih serius atau tegang, karena kemarahan Umar saat di Makkah, dan karena ucapan Ibnu Abbas pada Said bin Zaid bin Amer bin Nufail.
[2] Dulu pernah ada ayat rajam: الشَّيْخ وَالشَّيْخَة إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّة,  namun telah dimansukh secara tilawah. [Fatchul-Bari juz 14 halaman 233].
[3] Mereka berdua Ma’nu bin Adi dan Uwaim bin Sa’idah.
[4] Ada pernyataan Abu Bakr yang menjadi pelajaran berharga: “Demi Allah hai kaum Anshar, sungguh kami tidak mengingkari keutamaan kalian dan pengorbanan kalian untuk Islam, demikian pula hak kalian yang tinggi di atas kami.” [Fatchul-Bari 19/257 Maktabatus-Syamilah].
[5] Dia bernama Chubab bin Al-Mundzir.
[6] Dalam kitab aslinya ditulis: جُذَيْلُهَا الْمُحَكَّكُ ، وَعُذَيْقُهَا الْمُرَجَّبُ. Maksudnya dia puas dengan pertemuan ini.
[7] Bisa jadi ini karena kepandaian Umar RA yang sempurna dalam rangka mengajarkan berdemokrasi, wallahu a’lam. Memang Ibnu Abbas tidak menjelaskan mereka berdebar-debar karena tidak perlu. Tetapi bagi Ibnu Abbas dan para sahabat penting lainnya dipastikan (in sayaa Allah) berdebar-debar karena disampaikan orang sangat besar dan agung menanggapi ucapan keliru seorang.
[8] قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه لما حُمِلَ إِليه كُنُوزُ كِسْرَى اللهم إِني أَعوذ بك أَن أَكونَ مُسْتَدْرَجاً فإِني أَسمعك تقول سنستدرجهم من حيث لا يعلمون
[9] Qs Yusuf ayat 90.
[10] Dalil yang menjelaskan bahwa dulu Islam pernah berjaya karena barakah dari Al-Qur’an dan Al-Hadits banyak. Bukhari meriwayatkan Hadits panjang yang nilainya sangat tinggi yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa saat itu, maksudnya sekitar tahun tujuh-puluh-tiga Hijriyyah Islam telah berjaya. Apalagi setelah itu:
عَنْ أَبِى الْمِنْهَالِ قَالَ لَمَّا كَانَ ابْنُ زِيَادٍ وَمَرْوَانُ بِالشَّأْمِ ، وَوَثَبَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ ، وَوَثَبَ الْقُرَّاءُ بِالْبَصْرَةِ ، فَانْطَلَقْتُ مَعَ أَبِى إِلَى أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَيْهِ فِى دَارِهِ وَهْوَ جَالِسٌ فِى ظِلِّ عُلِّيَّةٍ لَهُ مِنْ قَصَبٍ ، فَجَلَسْنَا إِلَيْهِ فَأَنْشَأَ أَبِى يَسْتَطْعِمُهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ يَا أَبَا بَرْزَةَ أَلاَ تَرَى مَا وَقَعَ فِيهِ النَّاسُ فَأَوَّلُ شَىْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ إِنِّى احْتَسَبْتُ عِنْدَ اللَّهِ أَنِّى أَصْبَحْتُ سَاخِطًا عَلَى أَحْيَاءِ قُرَيْشٍ ، إِنَّكُمْ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ كُنْتُمْ عَلَى الْحَالِ الَّذِى عَلِمْتُمْ مِنَ الذِّلَّةِ وَالْقِلَّةِ وَالضَّلاَلَةِ ، وَإِنَّ اللَّهَ أَنْقَذَكُمْ بِالإِسْلاَمِ وَبِمُحَمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى بَلَغَ بِكُمْ مَا تَرَوْنَ ، وَهَذِهِ الدُّنْيَا الَّتِى أَفْسَدَتْ بَيْنَكُمْ ، إِنَّ ذَاكَ الَّذِى بِالشَّأْمِ وَاللَّهِ إِنْ يُقَاتِلُ إِلاَّ عَلَى الدُّنْيَا.
Dari Abil-Minhal:
“Ketika Ibnu Ziyad dan Marwan di kota Syam (sebagai penguasa di sana); Ibnu Az-Zubair bergerak di Makkah; Qurraa’ (jamaah penghafal Al-Qur’an) di kota Basrah juga bergerak (maksudnya terjadi perselisihan besar bahkan petempuran sengit antar beberapa kubu tersebut, sehingga banyak orang Islam justru susah sekali. Termasuk di antara mereka yang susah, ayah Abul-Minhal.”
(Abul-Minhal meneruskan, “Saya dan ayahku segera berangkat menuju Abu Barzah (sahabat Nabi). Akhirnya saya benar-benar sampai ke rumah Abu Barzah Al-Aslami, bahkan akhirnya kami sempat masuk ke rumahnya, di saat dia sedang berteduh di bawah naungan rumah susunnya yang terbuat dari bambu. Setelah kami duduk bersanding dengannya; ayahku segera minta hidangan berupa uraian Hadits ‘ya Aba Barzah, bukankah kau menyaksikan kejadian yang telah menimpa orang-orang?’.
Awal ucapan dia yang kudengar adalah ‘ya golongan orang-orang Arab! Sebagaimana yang telah kalian ketahui bahwa kalian dahulu keadaannya hina, sedikit, dan tersesat. Sungguh Allah telah menyelamatkan kalian melalui Islam dan Muhmmad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلّمَ. Hingga akhirnya Allah menyampaikan kalian pada kenyataan yang kalian saksikan. Dan ini dunia telah merusak hubungan antar kalian. Sungguh itu yang di Syam demi Allah tidak berperang kecuali karena dunia’.”
[11]Allah sendiri menjelaskan bahwa orang pandai mudah menyadari keadaan karena selalu memperhatikan keadaan alam sekitarnya:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Sungguh mengenai terjadinya beberapa langit dan bumi, dan silih-bergantinya malam dan siang, niscya menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) khususnya bagi para pemilik akal. Yaitu orang-orang yang ingat Allah dengan berdiri dan duduk, dan di atas lambung-lambung mereka. Dan berfikir mengenai terjadinya beberapa langit dan bumi. (Mereka berkata “Tuhan kami! Kau tidak mencipta ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau! Oleh itu selamatkanlah kami dari siksa neraka.” 
Al-Baab yang di sini diartikan akal adalah bentuk jamak dari lubb. Arti tepatnya akal-budi yang tinggi sehingga tidak mudah terpengaruh.
[12] قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ – Mereka berkata, “Jika dia mencuri; sungguh saudara dia sebelum ini juga pernah mencuri.”
Sontak Yusuf merahasiakan jawaban; tidak melahirkannya pada mereka, “Kalian lebih jelek tempatnya; dan Allah lebih tahu mengenai apa yang kalian jelaskan.”
Kalau jawaban ini terdengar oleh mereka pasti berakibat tidak baik, dan mengurangi nilai dari akhlaq Yusuf, yakni tidak mampu menyimpan kejelekan yang mestinya disimpan. Achmad meriwayatkan: عَنْ عَائِشَةَ ، اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا : السَّامُ عَلَيْكَ ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : بَلِ السَّامُ عَلَيْكُمْ ، وَاللَّعْنَةُ ، قَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ ، قَالَتْ : أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا ؟ قَالَ : فَقَدْ قُلْتُ : وَعَلَيْكُمْ – Dari ‘A’isyah, “Sekelompok orang Yahudi memasuki rumah Nabi untuk berkata ‘Assaamu’alaik’, yang artinya semoga kau mati. ‘A’isyah berkata ‘justru kalian yang semoga saam’, maksudnya semoga mati ‘dan semoga terkena laknat’.
Nabi bersabda ‘ya ‘A’isyah, sungguh Allah عَزَّ وَجَلَّ cinta kelembutan dalam perkara semuanya’. Dia menjawab ‘apakah tuan tidak mendengar perkataan mereka?’.
Nabi SAW bersabda ‘sungguh saya telah berkata ‘wa’alaikum’,” artinya semoga kalian juga demikian.
Jawaban Nabi yang menyembunyikan doa jelek lebih indah dari-pada jawaban ‘A’isyah yang menon-jolkan dua doa jelek.
[13] Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا – Dan Dia pernah menjadikan kalian sebagai raja-raja.” Ibnu Abbas menjelaskan agar orang-orang tidak bingung atau keliru dalam memahami Firman tersebut, “Maksudnya memiliki pelayan, istri dan rumah.”
[14] { فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى يُوسُفَ آوَى إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (99) وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نزغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (100) } يخبر تعالى عن ورود يعقوب، عليه السلام، على يوسف، عليه السلام، وقدومه بلاد مصر، لما كان يوسف قد تقدم إلى إخوته أن يأتوه بأهلهم أجمعين، فتحملوا عن آخرهم وترحلوا من بلاد كنعان قاصدين بلاد مصر، فلما أخبر يوسف، عليه السلام، باقترابهم خرج لتلقيهم، وأمر [الملك] أمراءه وأكابر الناس بالخروج [مع يوسف] لتلقي نبي الله يعقوب، عليه السلام، ويقال: إن الملك خرج أيضا لتلقيه، وهو الأشبه.
[15] وجاء في بعض الأخبار أنه عليه السلام خرج هو والملك في أربعة آلاف من الجند والعظماء وأهل مصر بأجمعهم لاستقباله فتلقوه عليه السلام وهو يمشي يتوكأ على يهوذا فنظر إلى الخيل والناس فقال : يا يهوذا أهذا فرعون مصر قال : لا يا أبت ولكن هذا ابنك يوسف قيل له : إنك قادم فتلقاك بما ترى ، فلما لقيه ذهب يوسف عليه السلام ليبدأه بالسلام فمنع ذلك ليعلم أن يعقوب أكرم على الله تعالى منه فاعتنقه وقبله وقال : السلام عليك أيها الذاهب بالأحزان عنى ، وجاء أنه عليه السلام قال لأبيه : يا أبت بكيت علي حتى ذهب بصرك ألم تعلم أن القيامة تجمعنا؟ قال : بلى ولكن خشيت أن تسلب دينك فيحال بيني وبينك
[16] Al-Baghawi menjelaskan di dalam Tafsirnya, “Mereka berdua menangis.” Mungkin karena terlalu bahagia.
[17] حفرَ السيلُ عن قبرٍ باليمنِ فيه امرأةٌ في عنقها سَبعُ مَخانقَ جمع مِخنقٍ وهي المِحس من دُرٍّ أبيضَ وفي يديها ورجليها من الأسورةِ والخلاخيلِ والدماليجِ سبعةٌ وفي كل إصبعٍ خاتمٌ فيه جوهرةٌ مُثمنةٌ أي ذاتُ قيمةٍ وعند رأسها تابوتٌ مملوءٌ مالاً ولوحٌ فيه مكتوبٌ ما نصه : باسمكَ اللهم إله حميرَ أنا تاحةُ بنتُ ذي شُفرٍ بعثتُ مائرنا إلى يوسفَ أي عَزيزِ مِصرَ فأبطأ علينا فبعثتُ لاذتي بالذال المُعجمة وهو من يلوذُ بها ممن يَعزّ عليها من حشمها وحشمِ أبيها بمُدٍّ من ورقٍ أي فِضةٍ لتأتيني بمدٍّ من طحينٍ فلم تجدهُ فبعثتُ بمدٍّ من ذَهبٍ فلم تجدهُ فبعثتُ بمدٍّ من بحريٍّ منسوب إلى البحرِ وهو اللؤلؤ الجيد وفي بعض النُّسخِ : من نحري بالنون والياءُ للإضافةِ أي من الحليِ كان في نحري وهو أنفسُ شيءٍ عنده والأولُ أولى والله أعلم ويدل له قولها : فأمرتُ به فطحنَ لأنّ غيره من الحُلي لا يقبلُ الطحنَ قاله شيخنا فلم تجدهُ فأمرتُ به فَطحنَ فلم أنتفعْ به فاقتفلتُ أي يبستُ جُوعاً من اقتفل افتعل من القفل وهو اليبس أو معناه هلكتُ كما سيأتي فمنْ سِمعَ بي فليرْحمني أي فليرقَّ لي أو ليعتبرْ بي أو المراد منه الدُّعاءُ لها بالرحمةِ كما هو مطلوب من المتأخر للمتقدمِ فإن كانت مُسلمةً فنسأل الله لها الرحمةَ الواسعة حتى تنسى جوعتها قاله شيخنا وأيةُ امرأةٍ لبستْ حلياً من حُليي فلا ماتتْ إلا ميتتي . إلى هنا تمامُ القصةِ التي فيها عِبرةٌ لأولى الأبصارِ واعتابرٌ لذوي الأفكار
[18] Kasim berasal dari bahasa Arab “حَشِيمٌ,” yang artinya pelayan bodoh, pemalu,  rendahan, yang sering dibentak-bentak.
[19] Nabi Yusuf memberi petunjuk, “تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلا قَلِيلا مِمَّا تَأْكُلُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلا قَلِيلا مِمَّا تُحْصِنُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ  - Kalian menanam terus-menerus selama tujuh tahun. Apa yang telah kalian panen, biarkanlah di dalam tangkainya kecuali sedikit dari yang kalian makan. Lalu setelah itu akan datang tujuh tahun yang berat yang akan memakan pada yang kalian telah mendahulukannya, kecuali sedikit dari yang kalian timbun. Lalu setelah itu akan datang tahun yang di dalamnya manusia ditolong dan memeras.”

0 komentar:

Posting Komentar