Di antara kota Iraq dan Tharabulus (طَرابُلُسَ), ada Marjus-Silsilah (Hutang Berrantai). Di sebelah hutan, ada pedesaan yang di dalamnya, ada sejumlah biara. Ada satu biara yang paling
terkenal, karena dihuni oleh biarawan Nashrani yang sangat pandai. Dialah yang setiap hari, mengkaji kitab-kitab kuno dan baru.
Dia terkenal, usianya lebih dari seratus tahun. Tamu dan muridnya
‘sangat banyak’. Tiap tahun, dia mengadakan dua kali perayaan: 1). Perayaan bulan
Syawal. [1]
2). Dan perayaan Sya’aniyyiin.
Di hari yang ditunggu-tungu itulah, kaum Nashrani Romawi, dan
orang-orang pada umumnya, berdatangan berjubel.
Dalam perayan agung itu, sang biarawan muncul di atas rumah
susunnya, untuk menyampaikan ‘Kajian Injil’, dan beberapa ‘Pesan Penting’.
Pasar tiban bermunculan banyak sekali, menjajakan apa saja.
Hari seperti itu lah, yang paling ditunggu-tunggu oleh dia. Karena hadiah dan sumbangan, akan datang mengalir. Pada hari besar yang berjalan selama tiga hari seperti itu, berabot rumahnya serba baru, simpanan emas dan peraknya, bertambah banyak.
Hari seperti itu lah, yang paling ditunggu-tunggu oleh dia. Karena hadiah dan sumbangan, akan datang mengalir. Pada hari besar yang berjalan selama tiga hari seperti itu, berabot rumahnya serba baru, simpanan emas dan peraknya, bertambah banyak.
Kaum Muslimiin di Damaskus, belum tahu bahwa ‘akan ada perayaan
besar’ kaum Nashrani. Di ujung pedesaan, nun jauh di sana.
Di pertengahan kaum Muslimiin, seorang Nashrani yang barusan
masuk Islam, bercerita panjang lebar, ‘tentang perayaan itu’. Waktu itu, Abu Ubaidah RA sedang mempertimbangkan ‘wilayah’ yang akan diserang selanjutnya.
Orang muallaf itu datang menghadap dan berkata, “Wahai
pimpinan, sungguh tuan telah berjasa pada saya sekelurga. Saya datang menghadap
untuk melaporkan bahwa, ada harta kekayaan ‘yang bisa dijarah’. Kalau bisa
menaklukkan mereka, tuan akan mendapat kekayaan yang luar biasa
banyaknya.”
Abu Ubidah berkata, “Terangkan dengan jelas, ‘bagaimana’
maksudmu!.”
Dia menjawab, “Wahai pimpinan, di daerah sana, ada sebuah kastil
(beteng) Abul-Quds. Di sebelahnya ada pedesaan yang dihuni oleh seorang rahib Nashrani.
Banyak orang berkunjung ke sana, untuk ‘minta barokah dan menanyakan’ ilmu,
pada sang rahib. Rahib mengadakan perayaan setiap tahun. Pengunjungnya dari
segala penjuru desa dan kota, banyak sekali. Saat itu pasar tiban bermunculan
menjual segala kebutuhan. Busana yang mereka kenakan juga tidak seperti hari-hari
biasa, bahkan perhiasan yang disimpan pun dikenakan. Perayaan berlangsung
selama tiga hari sampai seminggu. Hari ini sudah mendekati hari perayaan. Tuan
bisa mengerahkan pasukan, untuk menyerang mereka, dan menangkap para wanita,
maupun anak-anak. Dan saat itu pasti kaum Muslimiin akan berbahagia. Kaum
Nashrani akan hina.”
Dengan wajah cerah, Abu Ubaidah bertanya, “Berapa jarak
tempuh sampai sana?.”
Dia menjawab, “Sepuluh farsakh.” [2]
Abu Ubaidah bertanya, “Kapan? Keramaian itu akan dimulai?.”
Dia menjawab, “Sebentar lagi.”
Abu Ubaidah bertanya, “Penguasa yang menggalang persatuan
rakyat, yang di dekat situ, ada nggak?.”
Dia menjawab, “Kami tidak tahu, di tempat kami masyarakat sangat
rukun, karena takut ‘Raja Hiraqla’ murka.”
Abu Ubaidah bertanya, “Kota Syam yang paling dekat pada
perkampungan itu, mana?.”
Dia menjawab, “Tharabulus (طَرابُلُسَ). Kota besar itu didatangi oleh kafilah dari berbagai daerah.
Yang berkusa di sana seorang bathriq agung yang suka menyerang. Karena
serangannya ganas, untuk memperluas wilayah kekuasaan, maka dia diberi penghargaan oleh Raja Hiraqla. Sang bathriq tersebut, juga selalu
menghadiri perayaan itu. Saya yakin saat ini mereka takut ‘serangan tuan’. Saya
yakin jika tuan menyerang, mereka akan kalah, in syaa Allah.”
Abu Ubaidah berkata, “Hai saudara semua! Siapa di antara kalian
yang sanggup beramal untuk Allah, memimpin pasukan yang akan saya kirim ke
sana?!.”
Pertanyaan diutarakan hingga dua kali, tetapi tidak ada yang
menjawab. Mungkin karena sama sungkan pada Khalid. Abu Ubaidah juga sungkan
untuk menyuruh, karena ‘dia baru saja’ dilepas, jabatannya.
Seorang pemuda berkumis disomba, muncul ke permukaan. Dialah
Abdullah bin Ja’far RA (عبد الله بن جعفر). Ibu dia bernama Asma’. Ayahnya bernama Ja’far, yang meninggal
di dalam perang melawan kaum Romawi, di saat dia masih remaja. Lalu ibu Abdullah
bin Ja’far RA, dinikahi oleh Abu Bakr As-Shiddiq, dan berputra Muhammad, ketika
Haji Wadda’.
Beberapa tahun setelah ayahnya wafat, Abdullah sudah tumbuh
dewasa.
Pada ibunya, Abdullah pernah bertanya, “Kenapa ayah meninggal?.”
Ibunya menjawab, “Dibunuh orang Romawi.”
Dia bersumpah, “Kalau saya hidup panjang, ayah akan saya
balaskan.”
Abdullah datang ke Syam bersama Abdullah bin Unais. Abdullah
kerabat dekat nabi, yang mirip sekali, dengan Nabi Muhammad SAW.
Di Damaskus, Abdullah muncul di pertengahan kaum Muslimiin,
untuk berkata, “Saya yang akan bergabung dengan pasukan ini, wahai ‘Kepercayan
Umat’.” [3]
Abu Ubaidah RA perintah, agar sejumlah lelaki Muslimiin, mendampingi
Abdullah.
Oleh Abu Ubaidah RA, Abdullah diperintah, “Kau yang memimpin
mereka, hai putra paman Rasullillah SAW.”
Panji berwarna hitam diserahkan pada Abdullah, yang membawahi 500
orang. Ada sejumlah lelaki di antara mereka, yang veteran Perang Badar.
Tokoh-tokoh besar yang ikut rombongannya:
3.
Amir bin Rabi’h.
5.
Abdullah
bin Tsa’labah.
6.
Uqbah
bin Abdillah Assulami.
7.
Watsilah
bin Asqa’.
8.
Sahl
bin Sa’ed.
9.
Abdullah
bin Bisyr.
10. Sa’ib bin Yazid dan lainnya RA (رضي
الله عنهم أجمعين).
Limaratus pasukan telah siap, di belakang panji Abdullah. Mereka
kaum yang takkan lari, karena ‘telah berpengalaman’ perang.
Pada Abdullah, Abu Ubaidah berkata, “Hai putra paman Rasulillah!
Seranglah sejak hari pertama!”
Sebelum pasukan berangkat, Abu Ubaidah menyampaikan pesan khusus.
Mereka berangkat pada tanggal 15 Sya’ban tahun 13 Hijriyyah.
Pada teman perjalanan, Abdullah berkata, “Hai putra Asqa’,
betapa indah, sinar bulan ini.”
Watsilah bin Asqa’ menjawab, “Ini malam yang barokah, rizqi dan
ajal kematian ditulis, bahkan dosa-dosa diampuni. Tetapi perjalanan kita di
Jalan Allah nilainya lebih baik dari pada sholat malam. Pemberian Allah untuk
hambaNya sangat banyak.”
Abdullah bin Ja’far membenarkan, “Kau benar.”
Perjalanan yang cukup lama itu, akhirnya sampai pada biara yang
dihuni oleh seorang rahib berpeci hitam. Rahib mengamati wajah kaum Muslimiin
semuanya, satu-persatu. Yang paling lama diamati, wajah Abdullah bin Ja’far.
Rahib bertanya, “Apa pemuda ini putra nabi kalian?.”
Kaum Muslimiin menjawab, “Bukan.”
Dia berkata, “Nur kenabiannya bersinar di antara dua mata pemuda
ini. Apa dia masih keluarganya?.”
Mereka heran dan menjawab, “Dia putra pamannya.”
Dia berkata, “Dia ibarat daun, daun pasti dari pohon.”
Mereka heran pada pernyataan rahib.
Abdullah bertanya, “Hai Rahib, kenapa kau mengenal Rasulallah?.”
Rahib menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak kenal dia, padahal
nama dan sifatnya ada di dalam Taurat, Injil, dan Zabur. Dialah pengendara unta
merah yang pedangnya terhunus.”
Abdullah bertanya, “Kenapa kau tidak beriman padanya?.”
Rahib mengangkat tangan ke langit, dan berkata, “Kalau pemilik
langit biru ini telah menghendaki, saya pasti beriman.”
Setelah terbengong-bengong mendengarkan perkataan rahib, mereka
meneruskan perjalanan, mengikuti penunjuk jalan.
Perjalanan panjang berhenti di dataran rendah yang sangat subur,
berair melimpah. Di sana penunjuk jalan perintah, agar pasukan istirahat. Dan
berkata, “Kalian di sini saja, saya akan pergi untuk mengecek keadaan.”
Abdullah berkata, “Cepat segera kembali kemari!.”
Abdullah berjaga hingga subuh. Dia mengimami sholat subuh lalu
menunggu datangnya penunjuk jalan. Lama sekali mereka menunggu, hingga hati
mereka gelisah dan khawatir. Sampai malam gelap dan dingin datang untuk
memeluk, penunjuk jalan belum juga muncul. Hingga banyak yang menyangka jelek.
Abu Dzarr menghibur, “Menyangka baiklah padanya! Jangan
menyangka dia akan melancarkan makar.”
Orang-orang tidak lagi mengedumel. Kedatangan penunjuk
jalan membuat mereka senang dan lega. Laporan yang ditunggu muncul, “Hai para
sahabat Muhammad! Demi kebenaran Al-Masih bin Maryam, perkataan saya tidak
bohong. Kalian pasti akan mendapat rampasan perang yang banyak. Hanya saja, ada
hamparan air yang harus diarungi, agar kalian sampai kesana. Saya telah sampai
ke sana, ternyata pengunjungnya sudah berdatangan, pasar tiban sudah banyak.
Yang paling padat pengunjungnya perkampungan Abul-Quds. Orang-orang berkumpul
untuk menyaksikan sang Rahib, para rahib yang lain, para pejabat, dan para bathriq
(patriot). Saya tidak segera kembali kemari karena heran, ‘pengunjungnya
banyak sekali’. Tiap tahun pengunjungnya bertambah banyak. Saya bisa tahu ini
semua, karena diberi tahu oleh mereka. Yang paling menarik bagi semua
pengunjung ‘pengusa Tharabulus menikahkan putrinya’ dengan seorang pejabat
Romawi. Putri itu telah didatangkan ke sana, untuk menyerahkan binatang kurban
pada sang rahib. Pengantin wanita itu dikelilingi sejumlah pasukan berkuda.
Mereka siap melawan, jika kalian menyerang. Mereka tahu bahwa kalian telah
menduduki Damaskus. Sebaiknya dipertimbangkan lagi dengan cermat, karena jumlah
mereka banyak sekali.”
Jantung kaum Muslimiin berdebar-debar. Abdullah bertanya,
“Kira-kira jumlah mereka semuanya berapa?.”
Dia menjawab, “Yang pasti seluruh pengunjung pasar malam ini
20.000 orang, dari berbagai daerah. Tetapi pasukan berkuda mereka berjumlah
5.000 orang. Setelah mendapat berita, saya berpikir ‘kalian takkan mampu’
melawan, karena kota mereka bersambung-sambung seperti rantai. Kalau ada yang
diserang, penduduk kota lainnya akan segera datang membantu. Sedangkan kalian
jumlahnya hanya sedikit, dan negeri kalian jauh dari sini.”
Abdullah dan Muslimiin lemas, dan nafasnya menjadi sesak. Hampir
saja mereka pulang.
Abdullah bertanya, “Bagaimana sebaiknya,
menurut kalian?.”
Mereka
menjawab, “Sebaiknya kita jangan bunuh diri, mengikuti Petunjuk Allah di dalam
Kitab-Nya yang mulia. Kita kembalikan urusan ini pada baginda Abu Ubaidah RA.
Allah takkan menyia-nyiakan pahala kita selama ini.”
Mereka terkejut oleh pernyataan Abdullah, “Kalau saya, takut
dicatat oleh Allah ‘sebagai kaum yang lari dari perang’. Saya takkan
pulang, agar tidak ditegur oleh Allah. Barang siapa mengikuti saya, maka
pahalanya ditulis di sisi Allah. Barang siapa mau pulang silahkan, saya takkan marah.”
Mereka sungkan pada pimpinan. Dan mengurungkan niat pulang ke
Damaskus. Sebagian mereka berkata, “Lakukan yang kau kehendaki, takut mati
takkan menolak qodar.”
Walau sebetulnya hati mereka berdebar-debar.
Abdullah senang mendengar pernyataan pasukannya. Dia mengenakan
baju dan helm perang. Lalu mempersiapkan pedang warisan ayahnya. Lalu naik ke
atas punggung kuda dan memegang panjinya. “Bersiaplah!” Katanya.
Pasukan Muslimiin sudah siap di atas kuda, bersenjata pedang.
Mereka berkata pada penunjuk jalan, “Ayo berangkat ke sana! Agar kau menyaksikan
kedahsyatan para sahabat Rasulillah berperang!.”
Penunjuk jalan pucat, lemas, dan nafasnya sesak. Dan berkata,
“Berjalanlah ke sana, terserah bagaiman caranya. Saya takut” Lalu pergi.
Abdullah memanggil dan merayu, agar dia mau menunjukkan jalan. Dengan
ketakutan, penunjuk jalan berjalan sebentar, lalu menyeberang.
Penunjuk jalan berkata, “Kita berhenti di sini, jaraknya sudah
dekat. Sebaiknya kita
di sini saja, hingga waktu sahur. Setelah itu serbulah mereka.”
Mereka
berhenti istirahat hingga malam. Dan berdoa agar Allah memberi pertolongan
mengalahkan lawan. Abdullah mengimami sholat subuh. Lalu bertanya, “Bagaimana
kita menyerang mereka?.”
Amir
bin Umairoh bin Rabi’ah berkata, “Begini caranya.”
Hampir
serempak, mereka bertanya, “Katakan bagaimana?.”
Amir
menjawab, “Biarkan mereka! Jika telah lengah, kita
serang!.”
Mereka mengikuti petunjuk Amir, menunggu hingga pasar tiban dan
pengunjung mulai ramai. Mereka menghunus pedang, membenahi tali busur, dan
mengenakan baju perang.
Abdullah berada di depan membawa panji. Matahari muncul
menyinari dan menghangati alam.
Abdullah membagi pasukan menjadi lima. Masing-masing regu
terdiri dari 100 pasukan berkuda, yang dipimpin oleh seorang komandan.
Abdullah berpesan, “Tugas tiap-tiap regu membiarkan kerumunan!
Jangan merampas harta! Tetapi letakkan pedang kalian di atas kepala atau pundak
saja!.”
Abdullah muncul di depan, membawa panji.
Para pengunjung pasar tiban lari terbirit-birit menjauh, dan
berteriak ketakutan. Banyak sekali kaum yang berlari menuju perumahan rahib.
Rahib terkejut oleh suara gaduh dan teriakan. Hingga mengulurkan
wajah untuk melihat keadaan di bawah. Padahal saat itu, dia sedang menyampaikan
nasehat dan pesan khusus, pada orang-orang penting, yang mendengarkan dengan
serius.
Di depan rahib ada pengantin wanita yang cantik, putri sang bathriq
(patriot), gemerlapan oleh perhisan. Sejumlah bathriq dan putra-putra
mereka, berbusana sutra Dibaj, berhias emas gemerlapan. Tempat itu
lah yang paling padat, oleh pengunjung, menyaksikan jalannya upacara.
Teriakan dan suara gaduh makin mengganggu. Penonton terhempas
bagai ombak, ke tempat upacara, ke kiri dan ke kanan.
Abdullah sempat menyaksikan dengan jantung berdebar-debar, pada
jalannya upacara agung itu. Walau begitu dia berkata, “Hai para sahabat
Rasulillah! Seranglah! Semoga Allah memberi barokah! Kalau menang dan
mendapatkan rampasan! Tempat kumpul kita di bawah biara! Namun jika kalah! Kita
bertemu di surga atau di telaga Rasulillah! Bersama para sahabat Rasulillah
SAW.”
Abdullah sengaja memasuki kumpulan orang berjumlah banyak,
sambil mengayun-ayunkan pedang. Tombaknya diayunkan untuk menusuk orang. Di
belakang Abdullah, pasukan Muslimiin melancarkan serangan, sambil membaca
tahlil dan takbir.
Pasukan Romawi terkejut oleh kehadiran pasukan Muslimiin yang
melancarkan serangan. Dan telah menghunus pedang. Sebagian mereka bergerak, mengamankan
harta. Mereka mencari pembawa panji dari pasukan Muslimiin.
Abdullah dikepung oleh kaum Romawi bersenjata pedang. Pedang
Abdullah berputar-putar menyambar-nyambar, menumpahkan darah segar. Debu-debu
berterbangan.
Dalam waktu cepat kum Romawi bertambah banyak sekali. Pasukan
tempur mereka telah turun ke gelanggang, untuk melawan.
Pasukan Abdullah berjumlah 500 orang dikepung.
Teriakan pasukan Romawi riuh menggemuruh.
Pasukan Muslimiin bercerai-berai oleh arus serangan lawan. Hanya
suara tahlil dan takbir yang menjadi tanda sesama mereka.
Mengenai kedahsyatan Perang Abul-Quds, Abu Sabroh Ibrohim bin
Abdul-Aziz sebagai pelaku sejarah, berkisah: [4]
“Saya pelaku sejarah dalam Hijrah Habasyah dan Perang Mu’tah,
bersama Ja’far bin Abi Thalib. Dalam sejumlah perang dahsyat: Badar, Uhud, dan Hunain,
saya juga ikut.
Ketika Rasulillah SAW wafat, saya sangat sedih, sehingga
terpaksa berpindah ke Makkah. Di dalam tidur, saya bermimpi ada orang yang
mencela mengenai ‘saya tidak bergabung dalam jihad’. Saya pergi ke kota Syam,
bergabung dalam Perang Ajnadin, Syam, Suriah, Marjud Dibaj, dan Abul-Quds.
Jumlah pasukan Romawi yang banyak sekali, justru membuat saya lega. Saya belum
pernah berperang melawan pasukan sebanyak itu, pada zaman Rasulillah SAW. Lawan-lawan
berperawakan tinggi berperisai. Derap kaki ketika mereka menyerang menggemuruh.
Pasukan Muslimiin tak tampak, karena tertutup musuh yang terlalu banyak. Kadang
sesekali, tahlil dan takbir terdengar. Kadang ada yang berpikir ‘paling mereka
telah tewas’ oleh musuh.
Panji Abdullah bin Ja’far berkibar, pertanda ‘semangat’ jihad,
pendukungnya masih berkobar. Dengan garang, Abdullah menebang kaum Musyrik, dengan pedang. Usia dia muda, tapi semangat jihadnya menyala. Dia
dikepung dan diserang oleh kaum musyrik, namun pedang dan perisainya justru
bergerak-gerak cepat menggila.
Pertahanan dia dan kaumnya makin mengendur, karena lengan
terlalu capek. Pedang Abdullah telah tumpul, kuda yang dikendarai telah lelah,
hingga sempoyongan, hampir roboh. Dia memanggil pasukannya yang segera
berdatangan. Dia terkejut, ternyata semua pasukannya luka-luka seperti dirinya.
Dia berdoa pada Allah ‘wahai
Pencipta makhluq yang merusak dan membuat ujian sebagian mereka, dengan
sebagian. Hamba mohon pada-Mu dengan wasilah wajah Nabi Muhammad SAW, agar Kau
membuatkan ‘jalan keluar’ dari kesulitan ini.’ [5]
Abdullah bergabung lagi pada pasukannya, untuk berperang.
Meskipun usianya telah tua, Abu Dzarr berjuang mati-matian membela putra paman Rasulillah. Pedang Abu Dzarr diayun-ayunkan untuk menyerang,
sambil memompa semangat pasukan Muslimiin yang telah lelah. Dia berkata ‘saya
Abu Dzarr’.
Pasukan Muslimiin menirukan perbuatannya. Melancarkan serangan
dengan sisa-sisa tenaga, untuk bekal ke alam baka.”
Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Jogjakarta Indonesia
[1] Dulu, di dalam agama Nashrani, juga ada puasa Romadhon.
Yang meniadakan ‘wajibnya puasa’ untuk mereka, Raja Qusthanthin (Konstantin).
[3] Maksudnya, Abu Ubaidah.
[4] Abu Sabroh Ibrohim bin Abdul-Aziz (أبو سبرة ابراهيم بن عبد العزيز) sahabat nabi SAW, senior. Bahkan dia
pelaku dua hijrah; Habasyah dan
Madinah.
فألجأ إلى الله
تعالى أمره وفوض إلى صاحب السماء شأنه ورفع يده إلى السماء وقال في دعائه يا من خلق
خلقه وابلى بعضهم ببعض وجعل ذلك محنة لهم أسألك بجاه محمد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ما جعلت لنا من
امرنا فرجا ومخرجا.
0 komentar:
Posting Komentar