Al-Waqidi sejarahwan Islam masyhur, penulis FutuchusSyam, menjelaskan:
“Penduduk Damaskus berkumpul di tempat tinggal tokoh-tokoh besarmereka. Mereka berembuk tentang ‘haruskah berdamai dan memberikan permintaan kaum Arab?’
Musyawarah sangat gaduh karena mereka tidak kompak. Ada yang setuju berdamai dan memberikan pajak; ada yang bersikeras menolak.
Musyawarah sangat gaduh karena mereka tidak kompak. Ada yang setuju berdamai dan memberikan pajak; ada yang bersikeras menolak.
Kata mereka ‘kita tidak boleh menuruti permintaan mereka’,
karena jumlah penduduk kita lebih sedikit, dibanding penduduk Ajnadin.”
Seorang bathriq berwibawa yang pendapatnya selalu diikuti oleh
mereka, berkata, “Sebaiknya kita pergi ke hadirat Tuan Tuma. Untuk minta
petunjuk mengenai ‘keputusan’ ini. Kita persilahkan beliau memutuskan damai
atau perang.”
Sejumlah lelaki membawa pedang, menjaga keamanan rumahnya.
Para penjaga bertampang sangar itu bertanya, “Ada perlu apa? Datang kemari?.”
Para penjaga bertampang sangar itu bertanya, “Ada perlu apa? Datang kemari?.”
Dengan hormat, mereka menjawab, “Kami ingin sekali bertemu TuanTuma, untuk minta petunjuk, mengenai urusan yang sangat gawat.”
Dari dalam, Tuma perintah, “Biarlah mereka menghadap kemari!.”
Mereka dipersilahkan masuk, melalui pintu gerbang.
Setelah masuk, mereka menyeberangi aula.
Lalu bersujud pada Tuma, yang sangat agung di mata mereka.
Setelah masuk, mereka menyeberangi aula.
Lalu bersujud pada Tuma, yang sangat agung di mata mereka.
“Tuan yang mulia” kata mereka, “Pertimbangkan musibah yang telah
menimpa negeri kita. Kami tak mampu lagi menanggung kesulitan ini. Pilihan kami
hanya dua:
1.
Menuruti permintaan kaum Arab.
Walau mungkin Raja Hiraqla ‘tidak mengabulkan’ permohonan kita.
Yang pasti ‘kami sangat kesulitan’.”
Dengan sombong, Tuma justru tersenyum lebar, dan berkata,
“Kalian goblok! Jika menuruti kemauan mereka! Demi kepala raja! Setahu saya,
mereka tidak ahli berperang! Menurut saya, mereka sangat remeh! Kalaupun pintu
gerbang dibukakan untuk mereka! Dipastikan mereka takkan mampu memasuki, karena
serangan pasukan kita yang dahsyat.”
Mereka menjawab, “Tuan jangan meremehkan mereka. Tiap seorang
dari mereka, yang muda maupun yang dewasa, mampu memerangi 110 orang. Apalagi
pimpinan mereka. Kalau memang kehendak tuan ‘berperang’, kami juga masih
sanggup berjuang. Asalkan tuan yang memimpin ‘langsung’ pada kita.”
Dengan semangat, Tuma berkata, “Jumlah kalian lebih banyak, dan
kota kita dikelilingi benteng. Jumlah senjata kalian banyak sekali. Yang kalian
hadapi hanya kaum miskin telanjang kaki, pakain mereka juga sama robek.”
Dengan takut, mereka menjawab, “Tuan! Sebetulnya barang-barang
kita yang mereka rampas dalam Perang Palestin, Bushro, Perang dengan Tuan
Kalus, Perang dengan Tuan Azazir, Perang Ajnadin, ‘sangat banyak’. Selain itu,
nabi mereka berkata ‘yang mati dari kita, masuk ke surga’.
Karena itulah mereka berpakain ala kadar juga merasa senang, karena akan masuk surga.”
Karena itulah mereka berpakain ala kadar juga merasa senang, karena akan masuk surga.”
Tuma tertawa, lalu berkata, “Apa karena itu, lantas kalian
menuruti kemauan mereka! Untuk merugikan kita sendiri? Kalau kalian berperang
semangat! Pasti bisa menaklukkan mereka! Karena jumlah kalian berlipat-ganda
daripada mereka!.”
Dengan hormat, mereka berkata, “Tuan yang mulia! Keputusan terserah
tuan. Yang pasti ‘jika tuan tidak segera bertindak’, mereka pasti berhasil
membobol pintu pintu-gerbang semuanya. Dan kami terpaksa berdamai dengan
mereka.”
Tuma diam lama, karena khawatir jika ucapan mereka ‘menjadi
kenyataan’. Lalu ucapannya, “Akan saya pikirkan mengenai
upaya, agar kalian bisa menaklukkan mereka. Saya yang akan membunuh panglima
mereka! Tapi kalian semua, harus mau membantu!” membuat mereka lega.
Mereka menjawab, “Tentu! Bahkan kami semua mati pun ‘sanggup!’
Jika tuan mau memimpin.”
Tuma perintah, “Perintahlah semua pasukan agar besok pagi
berperang! Sekarang silahkan pulang!.”
Mereka keluar untuk pulang dengan hati senang bahkan puas. Walau
hati mereka berdebar-debar.
0 komentar:
Posting Komentar