Hind berteriak, “Kalian akan lari ke mana?! Akan meninggalkan
Allah dan Surga-Nya kah? Padahal saat ini Allah justru sedang melihat kalian?.”
Hind bergerak cepat, memukul wajah kuda suami, dengan tongkat.
Lalu berteriak, “Hai putra Shakhr! Mau ke mana? Berperanglah untuk melebur dosa
ketika kau dulu menggerakkan kaum untuk menyerang Rasulallah SAW!.”
Abu Sufyan dan pasukan lainnya
kembali maju lagi. Bahkan para wanita Muslimaat, banyak yang turun untuk
berperang.
Beberapa wanita maju ke depan, membawa tongkat dan mengamuk, di antara kaki-kaki kuda. Bahkan
ada wanita yang menyerang musuh tinggi besar berkendaraan kuda. Wanita itu
memegangi dengan erat, dan menyerang dengan garang, hingga musuh jatuh dari
kudanya. Lalu dihajar hingga tewas. Wanita itu berkata, “Ini bukti bahwa Allah
menolong kaum Muslimiin.”
Dengan garang, pasukan Muslimiin menyerang pasukan Romawi, dengan tekat
mencari Ridho Allah dan Rasul-Nya SAW. Dentingan pedang dan
hiruk-pikuk menghapus sepi.
Peperangan paling seru di bagian sayap kanan. Terkadang mereka
mundur karena terdesak, terkadang maju untuk menyerang.
Khalid terkejut karena pasukan telah terdesak mundur
ke tengah, oleh serangan yang membabi-buta. Dia berteriak agar pasukan
khususnya yang berjumlah sekitar 6.000 menyerang.
Serangan pasukan Khalid membabi-buta bertubi-tubi,
membuat pasukan Romawi berhamburan, kecuali yang tewas oleh tebasan
pedang atau tusukan tombak.
Khalid berteriak, hingga serangan pasukannya yang
ganas, membuat sisa-sisa pasukan Romawi kabur, bergabung pada pasukan induk.
Pasukan hiruk-pikuk
dari segala penjuru, meminta, “Menyeranglah! Kami akan mendampingi” agar Khalid memimpin lagi.
Pasukan Romawi yang diserbu, berantakan berhamburan bagai
kawanan kambing takut singa jantan. Serangan utama Khalid ditujukan pada bagian
sayap kanan, yang tak lama kemudian sama tewas berserakan. Yang lain
kabur.
Pasukan Romawi yang disatukan dengan rantai lah yang tidak
berlari. Mereka melindungi pasukan, dengan anak panah.
Beruntung sekali, saat itu Jarjir dan Qanathir; dua raja Romawi
berselisih dan bersitegang. Raja Jarjir pemimpin pasukan sayap kanan, membawahi
kaum Armenia. Raja Qanathir bawahan Raja Jarjir, memimpin pasukan sayap kiri.
Jarjir membentak Qanathir, “Serbulah kaum Arab itu! Jangan
tenang-tenang!.”
Qanathir membalas bentakan, “Kau perintah saya!? Kau juga hanya
tenang-tenang?!.”
Bentakan Jarjir, “Kau saya perintah karena bawahanku!” lebih
keras.
Qanathir menentang, “Kau salah! Saya lah yang berhak memimpin!
Justru kau yang harus taat saya!.”
Dua raja itu berdebat keras. Walau begitu Jarjir segera menggerakkan
pasukan untuk menyerang pasukan Muslimiin yang terdiri dari kaum Kinanah, Qais,
Khatsam, Judzam, Qudhoah, Amilah, dan Ghassan.
Pasukan Muslimiin sayap kiri dan tengah itu, terdesak mundur
jauh. Hanya pasukan pembawa bendera yang bertahan melawan dengan membabi-buta.
Yang berlari, dikejar oleh pasukan Romawi.
Di belakang, mereka disambut oleh para wanita Muslimat, dengan
pukulan tongkat yang mendarat pada wajah kuda, dan dengan lemparan batu. Para
wanita itu berteriak, “Hai umat Islam! Kalian akan lari kemana? Apakah ibu-ibu!
Saudara-saudara perempuan! Anak-anak lelaki dan perempuan ini! Akan kalian
serahkan pada kaum Kafir?!.”
Bentakan wanita Muslimaat itu berpengaruh besar sekali, pada
pasukan berkuda yang tadinya berlari ke belakang.
Mereka memutar kuda dan berembuk untuk menyerang lagi. Dan
memacu kuda untuk menyerbu lagi.
Ketika lawan bergerak mundur, dia menyerang dengan tombaknya.
Tiga tombak di tangannya telah dipatahkan oleh musuh, namun
semangat juangnya tak surut. Tombak pasukannya dipinjam untuk
mengamuk lagi.
Ketika lawan sama kabur, dia membaca syair:
Saya akan menyerang anjing-anjing jalang
Akan kupukul dengan pedang
Nabi SAW pembawa Al-Huda
Qatamah mengamuk bagai orang kesetanan, hingga kawanan
lawan berhamburan tewas berserakan. Serangannya sangat ganas. Tetapi pedang
ganasnya dipatahkan “Tang!” oleh pedang musuh yang jauh lebih kuat.
Tiap kali pedangnya patah, berkata pada temannya, “Beri
saya pedang! Agar kau diberi Pahala oleh Allah!.”
Keringatnya bercucuran, dan semangatnya tidak surut.
Dengan nafas memburu, Qatamah berteriak, “Hai kaum Qais!
Rebutlah pahala dan semangatlah! Semangat akan membuahkan kejayaan dan
kemuliaan di dunia! Dan membuahkan rahmat serta keutamaan di akhirat! ‘Semangat
dan selalulah semangat! Dan terus-meneruslah dalam beramal! Dan bertaqwalah
pada Allah! Agar kalian berbahagia’.”
Kaumnya mentaati perintah Qatamah. Menyerang dengan
garang, atas pasukan Romawi yang dipimpinan oleh Raja Qanathir.
Peperangan berkecamuk menggila; dentingan pedang; tusukan tombak; tangkisan
perisai; teriakan; bentakan; jeritan, riuh; membisingkan.
Khalid dan 2.000 pasukan berkuda meninggalakan ribuan mayat
berserakan. Dia mendengar seorang Muslim berteriak, “Semoga Allah membalas baik
dan mensyukuri kebaikan Qatamah bin Asy-yam (قتامة بن الأيشم)! Yang telah berjuang
untuk Islam!.”
Dzirah bintu Al-Charits (ذرعة ابنة الحارث) mengira ‘Khalid lari’ ke belakang, takut serangan lawan. Dzirah turun dari gunung untuk
menghadap Khalid, dan nasehat, “Hai Putra Al-Walid! Kau lelaki Arab pemberani!?
Kenapa berlari? Pasukan pasti akan mengikuti pimpinan! Jika pemimpin tabah!
Pasti mereka juga tabah! Jika kau berlari! Pasti mereka juga berlari!.”
Dengan malu, Dzirah berteriak, “Hai orang-orang yang berlari
meninggalkan pimpinan! Allah akan mempermalukan kalian!.”
Dirjan membawa Salib gemerlapan dari jauhar, menempati tempat yang telah ditentukan
oleh Raja Mahan. Mereka menunggu ‘perintah menyerang’ atas pasukan Muslimiin.”
Dirjan perintah, “Seranglah mereka!” Lalu perintah agar
seorang ‘membalut’ kepalanya dengan sutra Dibaj, agar tidak melihat peperangan
itu. “Ngeri! Saya tak mau melihat” Katanya.
Pasukan Dirjan terdesak dan tewas beserakan. Dhirar
bergerak cepat untuk membunuh Dirjan.
Pimpinan tertinggi pasukan Romawi bernama Raja Mahan, menyadari,
keadaan ‘sayap kanan dari pasukannya’ terancam. Dia berteriak, “Serbu!.”
Sejumlah pasukan Romawi menyerbu pasukan Muslimiin. Seorang lelaki
tinggi besar dari Romawi, berkuda putih tinggi, muncul. Dia berjalan ke
tempat yang luas, untuk menantang perang satu lawan satu.
Seorang pemuda dari suku Al-Azdi muncul, mengabulkan
tantangannya. Namun pemuda itu gugur setelah diserang dengan beberapa
jurus.
Ketika lelaki berkuda itu menantang perang lagi, Muadz bin Jabal
bergerak, mengabulkan tantangannya. Langkah kuda Muadz terhenti oleh teriakan
Abu Ubaidah, “Hai Muadz! Demi Kebenaran Rasulillah SAW! Saya minta agar kau
bertempat di situ saja! Saya lebih bangga kau di situ membawa panji! Daripada
berkelahi melawan dia!.”
Muadz mundur dan berteriak, “Siapa berani melawan dia! Silahkan
mengendarai kuda dan mempergunakan pedang saya!.”
Abdur Rohman menerima pedang dan mengendarai kuda, lalu berkata,
“Saya akan berjuang untuk membunuh dia, agar mendapat Anugrah dari Allah. Jika
saya nanti tewas, semoga Ayah mendapat keselamatan. Kalau Ayah ingin
menyampaikan pesan pada Rasulillah SAW, akan saya sampaikan pada beliau.”
Dengan berlinang air mata, Muadz berkata, “Sampaikan salam saya
pada baginda. Katakan pada baginda ‘semoga Allah membalas kebaikan dan jasa
baginda pada umat baginda!’.” Lalu berkata, “Hai
anakku! Semoga Allah memberi kau Bimbingan, menuju yang Dia ridhoi dan Dia
senangi.”
Beberapa orang terkejut saat melihat pedang Abdur Rohman
bergerak cepat menebas musuhnya. Musuhnya menghindar lalu mendekat dan
menebaskan pedangnya pada kepala Abdur Rohman yang menghindar tapi terlambat.
Surban dan kepalanya robek hingga darahnya mengucur. Abdur Rohman sempoyongan
dikira akan tewas, sehingga dibiarkan saja. Ternyata Abdur Rohman yang bermandi
darah itu, membelokkan dan memacu kudanya menuju ayahnya.
Dengan sedih, Muadz bertanya, “Bagaimana lukamu, Nak?.”
Abdur Rohman menjawab, “Orang kafir itu kurangajar! Telah
menyerang saya.”
Sambil mengobati luka putranya, Muadz bertanya, “Apa yang kau
harapkan dari dunia yang hina ini, Nak?.”
Abdur Rohman akan menyerang lagi, namun keluarga besar Al-Azdi
melarang.
Muadz bertanya, “Siapa yang akan meneruskan melawan dia?.”
Ketika dia menceritakan dan menanyakan takwil mimpi itu, tak
seorang pasukan Muslimiin pun bisa menjawab.
Amir berkata, “Saya sendiri yang akan menakwilkan mimpi ini.”
Orang-orang bertanya, “Apa artinya?.”
Amir bertanya, “Berarti saya akan gugur. Saya memasuki farji
wanita, artinya memasuki bumi. Anak laki-laki saya akan mengikuti saya masuk,
artinya anak saya akan terkena musibah hingga gugur dan menyusul saya.”
Namun begitu, pada waktu Perang Yamamah berlangsung,
Amir tidak menyandang luka, meskipun telah berperang mati-matian.
Di dalam Perang Yarmuk, dia ikut berperang lagi. Bahkan bertekat
membunuh bathriq yang telah melukai kepala putra Muadz, bernama Abdur
Rohman.
Kudanya dipacu mendekati bathriq yang diincar. Tombak kesayangan
yang telah dibawa perang berkali-kali itu patah, oleh tebasan pedang sang
bathriq. Amir menghunus pedang untuk ditebaskan sekuat tenaga, pada pundak sang
bathriq: “Crak!” Tahu-tahu pundak itu terbelah ke bawah. Isi perut sang
batriq berhamburan bersama darah yang tumpah. Bathriq roboh dari kudanya,
bermandi darah.
Amir mengambil dan melemparkan mayat sang bathriq pada putranya.
Lalu kembali lagi ke tengah medan pertempuran, untuk mengamuk ke kanan dan ke
tengah. Lalu ke arah kiri.
Amukan diteruskan hingga Amir berhasil memporak-porandakan
lawan, dan menewaskan seorang berkuda. Dialah tokoh besar pasukan
Romawi.
Langkah kaki kuda Amir terhenti oleh datangnya Raja Jabalah bin Aiham, berkendaraan kuda tampan besar. Busana perang Jabalah bagian luar, sutra
Dibaj yang gemerlapan karena dihias emas. Di balik baju gemerlapan itu,
terdapat baju perang kebanggaan yang diwaris
turun-temurun, sejak dari raja-raja Tubak (Yaman) yang mashur.
Tampak sangat agung.
Pada Amir, Jabalah bertanya, “Siapakah kau?.”
Amir menjawab, “Orang Daus.”
Jabalah berkata, “Berari kita masih kerabat. Mundurlah jangan
membunuh saya!.”
Amir menjawab, “Saya telah mengenalkan diri! Kau siapa?.”
Jabalah berkata, “Saya pimpinan tertinggi kaum Ghassan! Nama
saya Jabalah bin Aiham Al-Ghassani (جبلة بن الأيهم الغساني)! Saya kemari karena
melihat kau telah membunuh bathriq bertubuh besar dan hebat ini. Kehebatan dia
dalam urusan tempur, sebanding dengan Raja Mahan dan Raja Jarjir. Karena
kehebatanmu itulah maka saya geregetan ingin membunuh. Mayatmu
akan kupersembahkan pada Raja Mahan dan Raja Hiraqla.”
Amir berkata, “Mengenai besarnya tubuh dan kehebatan bathriq
itu, dalam ‘urusan’ perang, sebetulnya sangat remeh, dibanding Kehebatan Allah,
yang telah dan akan menumpas raja-raja aniaya. Mengenai rencanamu akan membunuh
saya, untuk dipersembahkan pada Hiraqla dan Mahan. Saya juga berencana membunuh
kau, untuk saya persembahkan pada Tuhan seluruh alam.”
Amir bergerak cepat menyerang Jabalah yang telah siap menangkis
dan menyerang. Tebasan pedang Amir meleset karena dihindari. Tebasan pedang
Jabalah, “Crak!.” Memotong ujung kepala hingga membelah belikat Amir.
Amir roboh bersimbah darah, lalu diinjak-injak oleh
Jabalah.
Jabalah membusungkan dadanya. Dan menantang perang pada Muslimiin lainnya.
Putra Amir bernama Jundab muncul, untuk membalaskan kematian
ayahnya. Jundab menghadap untuk menyerahkan panji pada Abu Ubaidah, dan
berkata, “Yang mulia! Ayah saya telah dibunuh! Saya ingin membalaskan
kematiannya! Serahkanlah panji ini pada kepercayan kau dari kaum
Daus.”
Abu Ubaidah menerima panji untuk diberikan pada lelaki dari kaum
Daus.
Kubertekat diriku kuserahkan untuk berjihad selamanya
Karna berharap Ampunan Tuhan yang Mulia
Pedangku akan saya tebaskan pada lawan yang ada
Tuk memberantas penguasa aniaya hina
Karena keabadian surga adalah nyata
Untuk semua yang bertaqwa
Jabalah bertanya, “Hubunganmu dengan dia sebagai apanya?.”
Jundab membentak, “Anaknya!.”
Jabalah bertanya, “Kenapa kaummu membunuh bangsa dan kelurga
kalian sendiri yang hukumnya ‘haram?’.”
Jundab menjawab, “Berperang di Jalan Allah, ‘terpuji’ menurut
Allah, dan akan mendapatkan derajat surga yang tinggi.”
Jabalah mencibir dan berkata, “Saya tidak sudi berkelahi
denganmu.”
Jundab membentak, “Tetapi saya takkan kembali karena marah atas
gugurnya ayah! Saya akan membalaskan kematiannya! Meskipun harus mati!“ Lalu
bergerak cepat menyerang Jabalah yang siap dengan tangkisan dan serangan
balasan.
Jundab dan Jabalah berwajah dan bermata merah, melotot. Hati
Jabalah berdebar saat menyaksikan serangan Jundab yang ganas sekali, membuat
dirinya terdesak.
Kawan-kawan Jundab berteriak; para pasukan Jabalah juga
berteriak.
Luar biasa, amukan Jundab menggila, membuat Jabalah kewalahan
dan mundur ke belakang lagi. Para pasukan Jabalah berkata, “Pemuda yang
menyerang raja kita ini luar biasa. Agar raja kita tidak kalah, kita harus segera
menolongnya.”
Kaum Ghassan telah bersiap-siap membantu Jabalah, raja mereka
yang kuwalahan menghadapi serangan Jundab.
Pasukan Muslimiin senang. Abu Ubaidah menangis dan
berdoa, “Inilah orang yang menyerahkan diri di Jalan Allah. Ya Allah terimalah Perjuangannya.”
Jabalah mundur dengan sombong, menuju naungan Salibnya.
Lalu datang pada Raja Mahan untuk menerima penghargaan.
Gugurnya Amir dan putranya bernama Jundab, membuat pasukanMuslimiin, terutama kaum Daus, marah. Mereka
berteriak, “Surga! Surga! Balaskan kematian pimpinan kita.”
Kaum Al-Azdi juga mendukung, “Betul! Ayo kita balaskan!.”
Dua kaum dari pasukan Muslimiin itu, menyerbu kaum Nashrani Ghassan,
Lakhm, dan Judzam.
Abu Ubaidah berteriak, “Hai semuanya! Bergegaslah menuju
Ampunan dari Tuhan kalian dan surga! Dan agar kalian bisa
memeluk bidadari bermata indah di dalam surga Naim! Tidak ada tempat yang lebih
menyenangkan bagi Allah untuk kalian, daripada ini tempat! Dan sungguh ‘kaum
Semangat’ diutamakan oleh Allah, mengalahkan yang lainnya!.”
Setelah Abu Ubaidah menyampaikan nasehat, kaum Al-Azdi dan Daus,
semakin kompak, dalam melancarkan serangan mematikan. Agar tidak keliru
mengenai teman atau lawan, mereka menyepakati sandi lafal, “Surga!.”
Sandi dari 41.000 pasukan berkuda Muslimiin ada tujuh macam:
·
Jamaah
Abs, “Ya lal Abs.”
·
Jamaah
Yaman, “Ya Anshar Allah.”
·
Khalid
dan pasukannya, “Ya Chizba Allah.”
·
Jamaah
Chimyar, “Al-Fatch.”
·
Jamaah
Darim dan Sakasik, “Asshabr.”
·
Jamaah
Murad, “Ya Nashr Allah, anzil.”
Ketika diserbu dengan sengit oleh pasukan dari Daus dan Al-Azd, kaum Nashrani
Ghassan, Lakhm, dan Judzam, ‘morat-marit’. Mereka lari terbirit-birit
menuju Salib, agar selamat.
Seorang lelaki Muslim menyerang lelaki berkuda pembawa
Salib. Serangannya yang ganas berhasil menewaskan dan menjungkalkan dari
kudanya.
Ketika pasukan Nashrani Ghassan berlarian menuju Salib, pasukan Muslimiin menyerbu dengan sengit, hingga
berhasil menewaskan mereka ‘banyak’.