Ketika kaum Al-Azdi dan Daus mengamuk, pasukan Romawi kewalahan, sehingga terpaksa mundur kebelakang.
Pasukan Romawi yang jumlahnya jauh lebih banyak, ganti menyerang
dengan garang. Pasukan Muslimiin terdesak lalu lari, kecuali Iyadh bin Ghanam
Al-Asy’ari (عياض بن غنم الأشعري) pembawa panji. Sejumlah Muslimiin berteriak, “Hai! Jika para pembawa
panji berlari! Pasukan kita bisa lari semua!.”
Amer bin Al-Ash (عمرو بن العاص) dan Khalid berlari
cepat sekali. Namun Amer duluan merebut panji, dibawa maju menyerang dengan
garang, bersama sejumlah pasukan. Pasukan Romawi terdesak mundur ke belakang.
Perang terberat bagi pasukan Muslimiin, pada hari ketiga. Mereka
terdesak mundur dan berlari terbirit-birit, hingga tiga kali. Beruntung sekali
para wanita Muslimaat berhasil memberi semangat. Kuda-kuda pasukan yang lari ke
belakang, disambut dengan pukulan kayu dan lemparan batu. Sejumlah Muslimaat
lainnya mengangkat anak-anak kecil sambil berteriak, “Belalah anak dan istri
kalian ini!.”
Pasukan Muslimiin kembali lagi memacu kuda untuk menyerang.
Perang berkecamuk dengan sengit hingga malam makin kelam. Banyak yang bermandi
darahnya sendiri; banyak pula yang tewas.
Dua kubu kembali ke barak mereka masing-masing, meninggalkan
mayat berserakan. Kebanyakan mayat-mayat itu, pasukan Romawi.
Pasukan Muslimiin, sama menderita luka parah oleh panah.
Di malam yang telah larut itu, pasukan Romawi tidur dengan
menyanding pedang di atas kepala, di dalam tenda-tenda.
Di malam itu, pasukan Muslimiin mengamalkan shalat, lalu mengobati
luka. Setelah shalat, Abu Ubaidah nasehat, “Hai semuanya!
Kalau kalian kesakitan! Tunggulah Pertolongan Tuhan selanjutnya! Nyalakan
obor-obor kalian untuk ronda! Sambil membaca tahlil dan takbir.”
Abu Ubaidah bersama Khalid berdiri, sambil memeriksa yang
menderita luka berat. Mereka berdua berkata, “Saudara sekalian! Mereka juga
luka seperti kalian! Tetapi kalian mempunyai harapan baik; tidak seperti
mereka!.”
Pasukan Muslimiin tidur pulas; Abu Ubaidah dan Khalid berjaga dengan sabar.
Arak-arakan panjang sekali, dipimpin oleh Raja Mahan. Sejumlah
bathriq berkumpul di hadapannya, untuk mendengarkan pengarahannya, “Sungguh
saya telah tahu bahwa akhirnya pasti akan begini! Kalian telah terbukti takut
menghadapi serangan kaum Arab yang lemah itu?.”
Para bathriq berjanji, “Besok pagi kami akan menyerang mereka!
Kita masih mempunyai cadangan pasukan berkuda yang sangat tangguh dan
pemberani! Yang belum serius di dalam berperang! Besok kami akan perintah, agar
mereka mengamuk, untuk menyelesaikan peperangan ini!.”
Mahan berkata, “Kalau begitu siapkan serangan yang besok! Dengan
lebih serius lagi!.”
Malam itu pasukan Romawi banyak sekali yang tidak pulang ke
barak ‘karena tewas’. Membuat mereka yang masih hidup, takut menghadapi pasukan
Muslimiin, hari berikutnya.
Keyakinan pasukan Muslimiin ‘akan menang’ saat itu, justru
berkembang menguat. Karena menyaksikan jumlah musuh yang tewas jauh lebih
banyak. Bahkan di dalam Al-Qur’an yang mereka kaji juga dijelaskan ‘akan
menang’.
Setelah Abu Ubaidah shalat khauf, tiba-tiba tampak beberapa
Salib dan beberapa panji berkibar-kibar. Di belakang para pembawa Salib dan
panji itu, arak-arakan pasukan. Mereka berdatangan untuk segera
menyerang.
Seluruh pasukan Muslimiin dibaris untuk disiapkan.
Singgasana Mahan dipasang lagi di atas gunung seperti hari
kemarin. Agar bisa melihat pasukannya, bertempur melawan pasukan Muslimiin.
Seluruh pimpinan pasukan Muslimiin memanggil barisan, untuk bersiap
menghadapi serangan. Mereka bergegas mengambil senjata dan mengendarai kuda,
untuk berkumpul. Seluruh pimpinan memberi pengarahan agar pasukannya ‘berperang
dengan gigih’ dan tabah. “Allah akan menolong kita,” terang mereka.
Abu Ubaidah maju ke depan, menjelaskan Keutamaan Berjihad dan
Janji Allah, untuk mereka yang ‘berjihad dengan tabah’. Dia menugaskan,
agar Amer bin Said bin Abdillah memimpin beberapa orang ‘untuk menjaga’ harta,
anak-anak, dan wanita.
Lalu menunjuk 500 pasukan pemanah, agar bertempat di sayap
kanan; 500 pasukan pemanah yang lain, agar di sayap kiri; 500 pasukan panah
lagi, agar di bagian tengah.
Abu Ubaidah berpesan, “Hai pasukan berpanah! Jangan meninggalkan
tempat kalian! Tugas kalian mengujani panah pada pasukan yang mendesak pasukan
kita! Memanahnya harus serempak seperti satu gerakan! Kalau kalian diserang!
Tidak boleh lari! Sebelum saya perintah!.”
Abu Sufyan mendekati putranya bernama Yazid pembawa panji, yang
sedang dikerumuni pasukannya, dan akan segera melancarkan serangan.
Abu Sufyan berkata, “Hai Nak, jika kau berbuat baik, Allah akan
berbuat baik padamu. Bertaqwa dan semangatlah yang maksimal! Tolonglah Agama
Allah! Dan jangan menggerutu atas derita dan kesulitan yang menimpa, karena
yang terjadi adalah qadar yang telah tertulis. Contohlah para Rasul Ulul-Azmi
yang ketabahan mereka luar biasa! Jangan sampai Allah melihat kau berlari dari
perang, karena bisa berakibat mendapat Murka Allah.”
Yazid menjawab, “Saya akan berjihad dengan tabah, dan berdoa
semoga Allah menolong.”
Lalu mengibarkan panji dan berteriak, “Ayo mereka kita serbu!.”
Yazid dan pasukannya memacu kuda dan menyerbu, hingga pasukan Romawi
morat-marit dan berserakan. Serangan yang ditujukan pada bagian tengah pasukan
lawan, semakin menggila, hingga yang tewas semakin banyak.
Batriq Romawi membawa tombak dan Salib emas, marah dan maju
untuk mengamuk. Arak-arakan pasukan berkuda yang dia bawa berjumlah sekitar
10.000 orang, ‘mengamuk’. Hingga Amer bin Al-Ash dan pasukannya yang sedkit,
mundur dan berlari kebelakang. Mereka terus mengamuk menggila hingga masuk ke pertengahan
pasukan Muslimiin dengan titik sasaran Amer dan pasukannya.
Amer dan pasukannya surut ke belakang, karena serangan terlalu
ganas.
Ketika pasukan Muslimiin bergerak maju untuk membalas menyerang;
ternyata bala-bantuan Romawi yang berdatangan dengan marah dan mengamuk, ‘sangat
banyak’. Pasukan Muslimiin mundur ke belakang dan menaiki kaki gunung; tempat
para wanita Muslimaat dan anak-anak.
Seorang Muslimah berteriak, “Mana penolong agama?! Mana pejuang
Muslimiin?!.”
Zubair sedang duduk untuk mengobati matanya yang sakit, di sisi
istrinya bernama Asma bintu Abi Bakr. Dia terkejut saat mendengar teriakan
wanita, “Mana penolong agama?! Mana pejuang Muslimiin?!.”
Dia bertanya pada Asma, “Siapa yang berteriak ini?.”
Asma menjawab, “Afrah bintu Utsman! Pasukan sayap kanan kita,
telah terdesak ke belakang, hingga kemari. Dia berteriak ‘agar para pembela’
agama peduli.”
Zubair berkata, “Saya pembela Agama Allah! Saya tak mau dilihat oleh Allah ‘hanya duduk!’ Padahal Agama Allah sedang gawat seperti ini.”
Dia melemparkan kain lalu bergerak cepat mengendrai kuda, dan
mengayunkan tombaknya. Dan berkata, “Sayalah Zubair bin Al-Awwam putra bibi
Rasulillah SAW!.” [2]
In syaa Allah bersambung.
[2] Sepenggal kisah saat Bibi Rasulillah SAW
bernama Shofiyyah ikut perang Khoibar:
Gugurnya saudara
Marchab bernama Yasir, menarik bagi para sejarahwan. Dia ahli bermain pedang.
Dia marah setelah saudaranya meninggal bermandi darah.
Dia berkata, “Siapa
berani melawan saya?.”
Menurut Hisyam, “Kakek saya bernama
Az-Zubair bin Al-Awwam mengabulkan tantangannya.”
Ibu Az-Zubair bin
Al-Awwam bernama Shofiyyah ketakutan dan berkata, “Dia akan membunuh anakku ya
Rasulallah SAW.”
Nabi menghibur,
“Justru anakmu yang akan membunuh dia in syaa Allah.”
Tak lama kemudian
Az-Zubair bin Al-Awwam telah berhadapan dengannya. Dan dalam beberapa jurus,
Yasir tewas, menyusul saudaranya ke alam baka.
Jika Az-Zubair ditanya, “Demi Allah
apakah pedangmu sebelum kau gunakan menyerang Yasir telah patah?.”
Dia menjawab, “Demi Allah, sebetulnya tadinya belum patah, tetapi saya paksakan untuk membunuhnya hingga akhirnya patah.”
Dia menjawab, “Demi Allah, sebetulnya tadinya belum patah, tetapi saya paksakan untuk membunuhnya hingga akhirnya patah.”
0 komentar:
Posting Komentar