Hutan lebat di bawah gunung diseberangi dengan sulit, oleh Said
dan pasukannya yang sangat banyak. Ketika telah menempati tempat nyaman,
beberapa orang bertanya, “Ya Said! Kami yakin kau tersesat jalan. Sekarang
istirahat saja. Kita sangat capek karena perjalanan yang berat.”
Said mengistirahatkan mereka di tengah hutan yang bermata air sangat
deras. Setelah minum, mereka memberi minum kuda dan unta. Kuda-kuda dan
unta-unta merumput dan menyantap dedaunan yang disukai.
Sebagian mereka yang memenuhi hutan luas, tidur pulas. Sebagian
lainnya membaca sholawat untuk Nabi Muhammad SAW. Said berada di tempat paling
pinggir, mengawasi mereka. Sambil membaca Al-Qur’an yang agung. Dia berdoa
agar Allah memberi Keselamatan.
Said tidur nyenyak sekali. Di dalam tidurnya, dia bermimpi melihat taman indah yang pohon-pohonnya subur menghijau, buah-buahannya sangat lebat.
Dia mengambil dan mencicipi buah, dan minum air segar, dari sungai yang jernih berair
melimpah. Dia memetik buah-buahan untuk diberikan pada kawan-kawannya, agar
dimakan. Di saat berbahagia bersuka ria, tahu-tahu dia dikejutkan oleh seekor
singa jantan sangat besar. Muncul dari celah-celah pohon. Singa telah loncat
cepat ke arah wajah untuk memangsa. Di saat dia dilanda bahaya dan ketakutan,
tiba-tiba dua singa jantan sangat besar ‘datang menyerang’ singa jahat
yang akan memangsa. Singa jahat roboh oleh serangan dua singa yang marah. Singa
jahat meraung keras sekali, hingga dia terkejut ketakutan, dan bangun dari
tidurnya. Namun rasa manis dari buah-buahan yang dimakan di dalam mimpi itu
masih terasa. Bayangan singa jantan meraung dan lari itu, hadir
di dalam benaknya.
Mimpi itu, dia tafsirkan, ‘dia dan pasukannya akan menang
dan mendapat rampasan perang yang banyak’. Tetapi ada yang menghalang-halangi rampasan perang itu. Namun akhirnya diberi pertolongan, dapat merebut. Dengan berdebar, dia berkata, “Taman yang sangat indah itu
berarti ‘mati Syahid’.”
Denga gemetar, dia meneruskan membaca Al-Qur’an.
Tiba-tiba ada suara keras yang mengejutkan dari kanan jurang:
Tiba-tiba ada suara keras yang mengejutkan dari kanan jurang:
Allah akan berbuat untuk kalian
Hingga kalian dan anak-cucu menikmati buah kemenangan
Setelah menyimak syair yang menggema itu, Said bersujud karena
bersyukur pada Allah, dengan gemetar. Gema suara syair itu juga telah
mengejutkan dan membangunkan pasukan dari tidur mereka. Said hafal betul
untaian bait sayair itu. Pasukan Muslimiin berbahagia dan terheran-heran oleh
bait syair yang baru saja mereka dengar, yang menyatakan bahwa ‘mereka akan
menang dan mendapatkan rampasan’ perang.
Di subuh yang indah itu Said mengimami shalat pada kaumnya. Ketika
matahari menampakkan wajah dan senyumannya, Said dan pasukannya meninggalkan
hutan, meneruskan perjalanan.
Tak terasa dalam perjalanan panjang itu, tahu-tahu telah sampai di
Jabal (Gunung) Raqim. Yang pernah dipergunakan bersembunyi dan tidur
selama 309 tahun, oleh Ashabul-kahfi. Said bertakbir keras
karena bahagia.
Mulai dari tempat itu, dia tahu jalan menuju Syam.
Pasukan Muslimiin mengikuti takbirnya, hingga suara menggemuruh. Beberapa orang bertanya, “Ada apa?.”
Pasukan Muslimiin mengikuti takbirnya, hingga suara menggemuruh. Beberapa orang bertanya, “Ada apa?.”
Said menjawab, “Kita telah sampai Syam.”
Kebanyakan pasukan yang dibawa oleh Said, belum tahu kisah Ashabul-kahfi, sehingga bertanya, “Apakah Raqim itu?.”
Said berkisah mengenai Ashabul-Kahfi di tengah
kerumunan pasukannya. Mereka menyimak kisah itu dengan takjub. Said mengajak agar
beberapa orang masuk ke dalam gua itu, untuk melakukan shalat. Perjalanan
diteruskan sampai negeri Oman (عمان).
Said mengajak pasukannya singgah di desa Al-Jinan (الجنان).
Ada dua kepala suku yang datang bersama rombongan berjumlah banyak.
Mereka keluarga besar mereka berdua. Saat itu sudah menjadi kesepakatan antara
kaum Arab dan kaum Romawi yang wilayahnya meliputi desa tersebut, bahwa ‘perang
belum berakhir’. Rombongan dua keluarga besar itu, diserang. Sebagian ditawan,
sebagian lainnya kabur menuju beteng menjulang yang kokoh.
Said dan pasukannya mengejar hingga mendekati beteng, untuk
berteriak, “Hai keparat! Kenapa tadinya keluar? Kini berlari memasuki beteng?.”
Seorang lelaki menunjukkan wajah dan berteriak, “Hai orang-orang
Arab! Tadinya kami keluar dari beteng karena disuruh oleh penguasa kota Oman!
Agar segera pergi ke kota! Untuk bergabung dengan mereka! Namun kami terkejut
oleh pasukan kalian yang jumlahnya banyak sekali! Sekarang apa kalian mau
melindungi kami sebagai dzimmi (dzimmah)?.”
Said menjawab, “Ya! Mau!.”
Tokoh desa Al-Jinan keluar didampingi sejumlah orang, untuk
berembuk damai dengan Said. Said menulis surat pernyataan damai dengan syarat ‘kaum
Al-Jinan menyerahkan 10.000 dinar’.
Ketika Said dan pasukannya akan meneruskan perjalanan, tokoh-tokoh
masyarakat Al-Jinan berpesan, “Hai orang-orang Arab! Walau kami telah tunduk
pada kalian! Tetapi kami takut kaum kami! Ketahuilah bahwa tuan Naqithas (نقيطاس) penguasa negeri Oman, pasti akan menemui kami dengan marah
besar! Kalau kalian mampu menaklukkan beliau, pasti akan lebih baik bagi kami
dan kalian.”
Said bertanya, “Apa alasannya?.”
Mereka menjawab, “Karena rampasan perangnya pasti banyak sekali.”
Said bertanya, “Berapa jumlah pasukannya?.”
Mereka menjawab, “Limaribu pasukan berkuda. Tetapi mereka telah
ketakutan pada kalian, artinya kalian pasti bisa mengalahkan mereka.”
Said berteriak, “Hai Muslimiin semuanya! Bagaimana kalau kita
menyerang Bathriq Naqithas penguasa negeri Oman?.”
Mereka manjawab, “Silahkan! Jika kita berhasil mengalahkan, akan
bermafaat untuk kaum Muslimiin, dan membuat kaum Musyrik hina.”
Pada penduduk setempat, Said bertanya, “Mereka akan lewat jalan
mana?.”
Mereka menjawab, “Jalan ini.”
Penduduk desa menunjukkan jalan Amuriyah (عَمُّورِيَّةُ), agar Said segera bertemu Bathriq Naqithas dan pasukannya.
Pasukan Muslimiin bersembunyi di ceruk dan jurang yang sangat
luas selama sehari semalam.
Di pagi buta itu Said berkata, “Hai Muslimiin semuanya! Perintah
Umar agar kita membantu pasukan Ubaidah lebih utama, dari pada menyerang
mereka! Ayo kita laksanakan perintah beliau! Semoga kalian disayang oleh Allah! Kalau
kita mengerahkan 7.000 pasukan saja mereka akan kalah.”
Mereka berkata pada pimpinan, “Hai putra Amir (عامر)! Kami yakin akan mampu mengalahkan mereka! Yang ini kita
rampungkan dulu.”
Tiba-tiba sekelompok Qasus (القَسُوسِ/ulama Nasharni) dan rahib-rahib, berpakaian dari bulu,
berdatangan membawa Salib. Mereka yang tengah kepalanya gundul itu, ditangkap
dan dihadapkan pada Said.
Said bertanya, “Siapa kalian?.”
Seorang alim besar mewakili menjawab, “Kami para rahib dan ulama
yang tinggal di biara-biara. Tujuan kami akan pergi menghadap Raja Qusthanthin
(قُسْطَنْطِينَ) putra Raja Hiraqla. Di sana kami akan berdoa agar pasukan Raja Hiraqla
diberi kemenangan di dalam Perang Suci ini.”
Said menjawab, “Berdoalah! Namun doa kaum kafir pasti tersesat!
Siapa yang memimpin pasukan di belakang kalian?!.”
Mereka manjawab, “Penguasa negeri Oman. Yang digerakkan 5.000
pasukan berkuda Nashrani.”
Said berdoa, “Ya Allah! Pastikan mereka menjadi rampasan perang
kami.”
Pada pembesar rombongan, Said berkata, “Hai Syaikh! Sungguh
nabi kami melarang kami menyerang rahib yang tinggal di biaranya! Kalau kalian
tidak keluar dan tidak membawa senjata! Niscaya tidak kami tangkap.”
Said perintah agar mereka diikat erat mulai dari bawah tulang
belikat, dengan tali yang dibawa oleh rombongan rahib.
Arak-arakan panjang pasukan negeri Oman berdatangan, berjalan
kaki.
Pasukan Muslimiin menyambut kedatangan mereka dengan serangan
ganas, sambil menyerukan tahlil dan takbir. Meskipun melawan, namun mereka
menderita oleh ganasnya serangan pasukan Muslimiin.
Sisa-sisa pasukan yang masih hidup, diperintah oleh Bathriq
Naqithas, agar menyerang pasukan Muslimiin, dengan serangan paling ganas.
Peperangan berkecamuk lagi dengan sengit dan seru, hingga pasukan Muslimiin
kewalahan melawan.
Tewasnya sejumlah pasukan Naqithas yang memenuhi kawasan luas, dan
tahlil maupun takbir pasukan Muslimiin yang membahana, membuat Naqithas dan
kaumnya ‘surut’ ke belakang. Pasukan Muslimiin mengejar, menyerang dan merampas,
harta berjumlah banyak sekali.
Ketika Naqithas telah mengumpulkan pasukannya yang cerai-berai untuk melancarkan
serangan mematikan; Zubair bin Al-Awwam dan Fadhl bin Abbas (الْفَضْل بْن الْعَبَّاسِ) datang ‘menyerang’ Naqithas. Serangan ganas dari Zubair dan Fadhl membuat dia tertekan jauh ke belakang. Seribu pasukan yang dibawa oleh
Zubair dan Fadhl mengamuk atas pasukan Naqithas. Naqithas yang berlindung pada
Salib yang di atas kepalanya, jatuh dari kudanya oleh tusukan pedang Zubair.
Said dan pasukannya datang dalam keadaan terkejut, saat
menyaksikan ‘Fadhl mengamuk dan membantai’ sejumlah pasukan Naqithas. Said
sempat menyangka bahwa pasukannya telah berselisih dan bertikai dengan senjata
tajam.
Ketika tahlil dan takbir meledak, Said mulai yakin bahwa kalimat
hak itu pasti muncul dari pasukan Muslimiin yang datang membantu. Said
berbahagia ketika mendengar Fadhl berteriak, “Saya putra paman Rasulillah SAW!.”
Hampir limaribu pasukan Naqithas berserakan ‘tewas’ memenuhi
kawasan luas. Yang lain ditawan.
Said bertanya, “Ya Fadhl! Apakah ada sahabat nabi SAW yang
menyertai kau?.”
Fadhl menjawab, “Saya bersama Zubair bin Al-Awwam! Putra bibi
Rasulillah SAW!.”
Pasukan Muslimiin mendapatkan rampasan perang yang sangat banyak.
Pasukan Said bersalaman dengan pasukan Fadhl.
Fadhl bertanya pada Said, “Hai putra Amir! Kenapa kau terlambat
datang kemari? Padahal Salim bin Naufal Al-Adawi (سالم بن نوفل العدوي) telah datang dan memberi tahu kami, mengenai perjalananmu
menuju kemari? Kami sempat mengkhawatirkan keadaan kalian! Abu Ubaidah perintah
agar kami menyerbu negeri Oman! Al-Hamdulillah semuanya selamat dan pasukan Kafir
sama tewas!.”
Zubair perintah agar leher 4.000 mayat pasukan Oman yang berserakan
dipotong, untuk ditusuk dengan tombak. Tawanan berjumlah 1.000 orang itu ngeri,
saat melihat kepala teman-teman mereka bertengger di ujung tombak.
Sebelum bergabung pada Abu Ubaidah, Said melepaskan para rahib.
Said dan pasukannya berarak-arak menuju Abu Ubaidah yang agung,
sambil meneriakkan tahlil dan takbir. Suara tahlil dan takbir pasukan Said dan
pasukan Abu Ubaidah ‘meledak bersamaan’. Hingga pasukan Romawi ketakutan.
Pasukan Romawi bertambah ketakutan ketika menyaksikan arak-arakan
pasukan Muslimiin berdatangan membawa 4.000 kepala mayat, dengan tombak, untuk
bergabung pada pasukan Abu Ubaidah.
Said datang ke hadirat Abu Ubaidah, untuk melaporkan
kemenangannya.
Abu Ubaidah bersujud syukur pada Allah. Dan perintah agar 1.000 tawanan disuruh berbaris, dan agar masuk Islam. Ketika semua tawanan bersepakat tidak mau Islam, pedang-pedang melayang, menebas melepas leher dari jasad mereka.
Abu Ubaidah bersujud syukur pada Allah. Dan perintah agar 1.000 tawanan disuruh berbaris, dan agar masuk Islam. Ketika semua tawanan bersepakat tidak mau Islam, pedang-pedang melayang, menebas melepas leher dari jasad mereka.
0 komentar:
Posting Komentar