SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

2015/05/13

PS 122: Pembebasan Syam





Awal Perang Yarmuk hanya bagai api kecil, namun akhirnya membesar mengerikan bagai kobaran api ‘menjulang sangat tinggi’. Peperangan makin lama, semakin berat menegangkan.
Di awal hari peperangan, Mahan hanya menurunkan sepuluh barisan pasukan berkuda untuk menyerbu.

Abu Ubaidah mengamati gerak-gerik Mahan dari kejauhan. 
Ketika perjuangan kaumnya makin berat, Abu Ubaidah membaca, “Laa chaula walaa quwwata illaa bi Allah Al-Aliyyi Al-Azhiiim.” [1] Lalu membaca, “Alladziina qaala lahumunnaasu innannaasa qad jamauu lakum fakhsyauhum fazaadahum iimaanan wa qaaluu Chasbunaa Allaahu wa Nikmal Wakiil. [2]

Kalimat dan Ayat yang dibaca, membuat pasukan Muslimiin bertawakkal dan berdoa pada Allah.
Perang mulai ketika matahari di tengah langit, hingga hampir terbenam di barat. 
Di malam yang gelap itu pasukan Muslimiin menggunakan sandi untuk membedakan teman dan lawan.
Apabila malam makin kelam dan dingin, pasukan dua kubu yang masih hidup, meninggalkan medan perang untuk istirahat.

Pasukan Muslimiin yang pulang disambut dan diusap wajah mereka dengan selendang, oleh istri-istri mereka. Dengan penuh cinta, wanita-wanita berkata indah, “Berbahagialah untuk memasuki surga hai Kekasih Allah!.”
Mereka bemalam dalam keadaan berbahagia, menikmati hidangan malam bersama istri tercinta mempesona.

Di awal peperangan, pasukan Romawi yang gugur hanya sedikit. Tetapi pasukan Muslimiin yang gugur jauh lebih sedikit. Hanya sepuluh orang:

1.     Mazin.
2.     Sharim.
3.     Rafi.
4.     Mujli.
5.     Ali (dari kota Usfan).
6.     Abdullah bin Al-Akhram.
7.     Suwaid (kemenakan Qais bin Hubairah).
8.     Tiga pria dari kota Bajilah.

Qais wakil Kinanah sangat sedih, karena kemenakannya bernama Suwaid tidak pulang. Dia bertekat mencari di antara mayat-mayat yang berserakan, di medan perang yang gelap. Ditemani oleh tujuh lelaki.
Di malam itu, mereka meneliti mayat-mayat yang tergolek bermandi darah, satu persatu. Mereka telah capek, namun belum berhasil menemukan. Mereka memutuskan ‘pulang lagi’ ke barak pengungsian.
Mereka terkejut oleh obor-obor menyala dari kejauhan, dibawa sejumlah pasukan Romawi, menuju medan perang yang telah sepi. Ternyata mereka mencari mayat bathriq yang mereka agung-agungkan, yang tewas oleh pedang Abdur Rohman.
Qais perintah teman-temannya, “Padamkan api kalian! Demi Allah ini kesempatan baik untuk membalaskan kematian kemenakan saya!.”   
Mereka memadamkan api, lalu berbaring di celah-celah mayat berbau anyir, sambil bersiap-siap menyerang. Setelah dihitung, ternyata rombongan orang berceloteh yang makin mendekat itu, berjumlah seratus. Bersenjata dan berbusana mewah.
Teman-teman Qais berkata, “Jumlah mereka banyak, sedangkan kita hanya sedikit. Dan kita sudah terlalu capek.”
Qais perintah, “Kalian silahkan pulang! Demi Allah saya justru lebih senang mati syahid karena berjihad.”
Mereka heran pada tekat dan keberanian Qais yang besar. Mereka pun bertekat membantu Qais ‘melawan’ mereka.

Pasukan yang ditunggu-tunggu, mencari-cari mayat bathriq, di antara celah-celah mayat yang berserakan. Mereka telah menemukan dan telah mengangkat yang dicari, untuk dibawa ke barak mereka.

Qais berteriak, “Serbu!.”
Teman-temannya berteriak, “Ya!” Hampir serempak.
Seratus orang ketakutan dan berlari. Mayat yang dibawa ditinggalkan, agar lari mereka lebih cepat. Tetapi serangan Qais dan teman-temannya jauh lebih cepat melanda mereka. Tiap kali membunuh seorang, Qais berkata, “Ini balasan atas kematian kemenakanku!.”
Dengan membabi-buta Qais membunuh 17 orang. Sisa-sisa mereka dihabisi oleh tujuh temannya, kecuali yang lari cepat sekali.
Qais mencoba lagi mencari kemenakan yang dikira telah tewas. Namun lalu terkejut oleh suara rintihan yang samar. Dia mencari arah suara itu. Lalu terkejut, ternyata yang merintih kemenakan yang dicari-cari bernama Suwaid. Qais menghampiri Suwaid yang dadanya luka parah bersimbah darah. Dan  bertanya, “Kenapa kau menangis, Nak?.”
Suwaid menjawab, “Paman. Tadi siang saya mengejar rombongan lawan. Tiba-tiba yang belakang berbalik untuk menusuk dadaku. Luka saya sangat parah. Namun tiba-tiba sejumlah bidadari bermata indah menengok saya, sambil menunggu-nunggu ruh saya keluar.”
Qais menangis di sisi Suwaid dan berkata, “Nak! Ajal semua makhluq telah ditentukan. Semoga kau masih bisa disembuhkan.”
Suwaid menjawab, “Sepertinya tak mungkin. Demi Allah saya mohon diusung menuju pertengahan pasukan Muslimiin, agar saya mati di sana.”
Dengan sedih dan takut, Qais menjawab, “Akan saya laksanakan.”
Dengan sedih, Qais menggendong Suwaid di atas punggung, menuju barak pengungsian Suwaid. Untuk ditidurkan dan diselimuti.
Dalam waktu cepat, Abu Ubaidah mendengar berita, "Suwaid telah ditemukan dan dibawa pulang ke barak."

Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin bergegas menengok Suwaid. Tangisan Abu Ubaidah di situ membuat semua penjenguk menangis untuk Suwaid.
Pada Suwaid yang tergolek lunglai, Abu Ubaidah bertanya, “Bagaimana keadaanmu?.”
Mereka terharu oleh jawaban Suwaid, “Saya baik-baik saja demi Allah, bahkan diampuni oleh Allah. Semoga Allah membalas kebaikan pada Muhammad SAW yang berjasa pada kita. Sabda beliau ternyata benar: ini ada bidadari bermata indah hadir, memandang dan memanggil namaku.”
Suwaid wafat. Semua pengunjung menitikkan air mata.
Pasukan Muslimiin mengurusi pemakaman jenazah Suwaid hingga selesai. Abu Ubaidah sangat berbahagia, saat mendapat laporan dari Suwaid sebelum wafat:


Malam itu pasukan Muslimiin istirahat. Sebagian mereka membaca Al-Qur’an. Sebagian yang lain melakukan shalat. Kebanyakan mereka berdoa agar Allah memberi lagi Pertolongan yang lebih besar.



In syaa Allah bersambung.



[1] لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. Artinya: Tiada upaya dan kekuatan kecuali karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung.
[2] Dalam Al-Qur’an ditulis: الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ [آل عمران/173]. Artinya: Yaitu orang-orang yang manusia berkata pada mereka, “Sungguh manusia telah berkumpul untuk kalian, maka takutlah pada mereka.” Namun itu jutru menambahi mereka imannya, dan berkata, “Semoga Allah mencukupi kita, dan sebaik-baik yang diserahi.”    







0 komentar:

Posting Komentar