Awal Perang Yarmuk hanya bagai api kecil, namun akhirnya membesar mengerikan bagai kobaran api ‘menjulang sangat tinggi’. Peperangan makin
lama, semakin berat menegangkan.
Di awal hari peperangan, Mahan hanya menurunkan sepuluh barisan
pasukan berkuda untuk menyerbu.
Abu Ubaidah mengamati gerak-gerik Mahan dari kejauhan.
Ketika perjuangan kaumnya makin berat, Abu Ubaidah membaca, “Laa chaula walaa quwwata illaa bi Allah Al-Aliyyi Al-Azhiiim.” [1] Lalu membaca, “Alladziina qaala lahumunnaasu innannaasa qad jamauu lakum fakhsyauhum fazaadahum iimaanan wa qaaluu Chasbunaa Allaahu wa Nikmal Wakiil.” [2]
Ketika perjuangan kaumnya makin berat, Abu Ubaidah membaca, “Laa chaula walaa quwwata illaa bi Allah Al-Aliyyi Al-Azhiiim.” [1] Lalu membaca, “Alladziina qaala lahumunnaasu innannaasa qad jamauu lakum fakhsyauhum fazaadahum iimaanan wa qaaluu Chasbunaa Allaahu wa Nikmal Wakiil.” [2]
Kalimat dan Ayat yang dibaca, membuat pasukan
Muslimiin bertawakkal dan berdoa pada Allah.
Perang mulai ketika matahari di tengah langit, hingga hampir
terbenam di barat.
Di malam yang gelap itu pasukan Muslimiin menggunakan sandi untuk membedakan teman dan lawan.
Di malam yang gelap itu pasukan Muslimiin menggunakan sandi untuk membedakan teman dan lawan.
Apabila malam makin kelam dan dingin, pasukan dua kubu yang
masih hidup, meninggalkan medan perang untuk istirahat.
Pasukan Muslimiin yang pulang disambut dan diusap wajah mereka
dengan selendang, oleh istri-istri mereka. Dengan penuh cinta, wanita-wanita berkata indah,
“Berbahagialah untuk memasuki surga hai Kekasih Allah!.”
Mereka bemalam dalam keadaan berbahagia, menikmati
hidangan malam bersama istri tercinta mempesona.
Di awal peperangan, pasukan Romawi yang gugur hanya sedikit.
Tetapi pasukan Muslimiin yang gugur jauh lebih sedikit. Hanya
sepuluh orang:
1.
Mazin.
2.
Sharim.
3.
Rafi.
4.
Mujli.
5.
Ali
(dari kota Usfan).
6.
Abdullah
bin Al-Akhram.
8.
Tiga
pria dari kota Bajilah.
Qais wakil Kinanah sangat sedih, karena kemenakannya bernama
Suwaid tidak pulang. Dia bertekat mencari di antara mayat-mayat yang berserakan, di medan perang yang gelap. Ditemani oleh tujuh lelaki.
Di malam itu, mereka meneliti mayat-mayat yang tergolek bermandi
darah, satu persatu. Mereka telah capek, namun belum berhasil menemukan. Mereka
memutuskan ‘pulang lagi’ ke barak pengungsian.
Mereka terkejut oleh obor-obor menyala dari kejauhan, dibawa
sejumlah pasukan Romawi, menuju medan perang yang telah sepi. Ternyata mereka
mencari mayat bathriq yang mereka agung-agungkan, yang tewas oleh pedang Abdur
Rohman.
Qais perintah teman-temannya, “Padamkan api kalian! Demi Allah
ini kesempatan baik untuk membalaskan kematian kemenakan saya!.”
Mereka memadamkan api, lalu berbaring di celah-celah mayat
berbau anyir, sambil bersiap-siap menyerang. Setelah dihitung, ternyata
rombongan orang berceloteh yang makin mendekat itu, berjumlah seratus.
Bersenjata dan berbusana mewah.
Teman-teman Qais berkata, “Jumlah mereka banyak, sedangkan kita
hanya sedikit. Dan kita sudah terlalu capek.”
Qais perintah, “Kalian silahkan pulang! Demi Allah saya justru
lebih senang mati syahid karena berjihad.”
Mereka heran pada tekat dan keberanian Qais yang besar. Mereka
pun bertekat membantu Qais ‘melawan’ mereka.
Pasukan yang ditunggu-tunggu, mencari-cari mayat bathriq, di
antara celah-celah mayat yang berserakan. Mereka telah menemukan dan telah
mengangkat yang dicari, untuk dibawa ke barak mereka.
Qais berteriak, “Serbu!.”
Teman-temannya berteriak, “Ya!” Hampir serempak.
Seratus
orang ketakutan dan berlari. Mayat yang dibawa ditinggalkan, agar lari mereka
lebih cepat. Tetapi serangan Qais dan teman-temannya jauh lebih cepat melanda
mereka. Tiap kali membunuh seorang, Qais berkata, “Ini balasan atas kematian
kemenakanku!.”
Dengan
membabi-buta Qais membunuh 17 orang. Sisa-sisa mereka dihabisi oleh tujuh
temannya, kecuali yang lari cepat sekali.
Qais
mencoba lagi mencari kemenakan yang dikira telah tewas. Namun lalu terkejut
oleh suara rintihan yang samar. Dia mencari arah suara itu. Lalu terkejut,
ternyata yang merintih kemenakan yang dicari-cari bernama Suwaid. Qais
menghampiri Suwaid yang dadanya luka parah bersimbah darah. Dan bertanya,
“Kenapa kau menangis, Nak?.”
Suwaid
menjawab, “Paman. Tadi siang saya mengejar rombongan lawan. Tiba-tiba yang
belakang berbalik untuk menusuk dadaku. Luka saya sangat parah. Namun tiba-tiba
sejumlah bidadari bermata indah menengok saya, sambil menunggu-nunggu ruh saya
keluar.”
Qais
menangis di sisi Suwaid dan berkata, “Nak! Ajal semua makhluq telah ditentukan.
Semoga kau masih bisa disembuhkan.”
Suwaid menjawab, “Sepertinya tak mungkin. Demi Allah saya mohon diusung menuju
pertengahan pasukan Muslimiin, agar saya mati di sana.”
Dengan sedih dan takut, Qais menjawab, “Akan saya laksanakan.”
Dengan sedih, Qais menggendong Suwaid di atas punggung, menuju barak
pengungsian Suwaid. Untuk ditidurkan dan diselimuti.
Dalam waktu cepat, Abu Ubaidah mendengar berita, "Suwaid telah
ditemukan dan dibawa pulang ke barak."
Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin bergegas menengok Suwaid.
Tangisan Abu Ubaidah di situ membuat semua penjenguk menangis untuk Suwaid.
Pada Suwaid yang tergolek lunglai, Abu Ubaidah bertanya, “Bagaimana
keadaanmu?.”
Mereka terharu oleh jawaban Suwaid, “Saya baik-baik saja demi
Allah, bahkan diampuni oleh Allah. Semoga Allah membalas kebaikan pada Muhammad SAW yang berjasa pada kita. Sabda beliau ternyata benar: ini ada bidadari bermata indah hadir, memandang dan memanggil namaku.”
Suwaid wafat. Semua pengunjung menitikkan air mata.
Pasukan Muslimiin mengurusi pemakaman jenazah Suwaid hingga
selesai. Abu Ubaidah sangat berbahagia, saat mendapat laporan dari Suwaid
sebelum wafat:
Malam itu pasukan Muslimiin istirahat. Sebagian mereka membaca
Al-Qur’an. Sebagian yang lain melakukan shalat. Kebanyakan mereka berdoa agar Allah memberi lagi Pertolongan yang lebih besar.
[1] لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. Artinya: Tiada upaya dan kekuatan kecuali
karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung.
[2] Dalam Al-Qur’an ditulis: الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا
لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ [آل
عمران/173].
Artinya: Yaitu orang-orang yang manusia berkata pada mereka, “Sungguh manusia
telah berkumpul untuk kalian, maka takutlah pada mereka.” Namun itu jutru
menambahi mereka imannya, dan berkata, “Semoga Allah mencukupi kita, dan
sebaik-baik yang diserahi.”
0 komentar:
Posting Komentar