Beberapa orang menjawab, “Dia menantu Raja Hiraqla yang telah membunuh Aban, suamimu.”
Janda muda itu bertambah marah, dan melancarkan serangan ganas.
Ketika telah dekat, dia mengulur busur untuk memanah Tuma.
Sejumlah pasukan Romawi mengancam dengan gertakan, agar dia tidak memanah. Dengan semangat, dia bersikeras membidikkan anak panah, dan berdoa, “Bismillah wa barokati Rasulillah” Lalu melepaskan anak panahnya.
Ketika telah dekat, dia mengulur busur untuk memanah Tuma.
Sejumlah pasukan Romawi mengancam dengan gertakan, agar dia tidak memanah. Dengan semangat, dia bersikeras membidikkan anak panah, dan berdoa, “Bismillah wa barokati Rasulillah” Lalu melepaskan anak panahnya.
Tuma yang mendekat akan menyerang Syuracbil, terkejut dan
kesakitan, oleh anak panah yang menembus mata kanannya. Dia mundur ke belakang
sambil berteriak.
Janda Aban mengulur busur lagi, masih ditujukan pada Tuma.
Sejumlah pasukan berperisai dari Romawi, bergerak cepat menyerang
dia, yang dilindungi oleh sejumlah pasukan Muslimiin. Dia aman karena kawanan
penyerangnya, dilawan dengan sengit, oleh kaum Muslimiin.
Dia mengulur busur, dibidikkan pada lelaki di atas benteng.
Anak panah melesat cepat menembus dada. Pria itu jatuh ke bawah dan tewas.
Anak panah melesat cepat menembus dada. Pria itu jatuh ke bawah dan tewas.
Saat kaum Muslimiin menyerang, yang pertama kali lari justru Musuh Allah, menantu Hiraqla. Karena tak tahan merasakan sakit dari luka di matanya.
Tuma berteriak-teriak terus sambil berlari memasuki benteng.
Setelah itu, kaumnya yang berlari kabur, juga banyak sekali.
Syurachbil tertegun lalu berteriak, “Hai sobat-sobat! Kalian ini
bagaimana?! Kejar anjing Romawi itu! Serang anjing-anjing lainnya untuk
menangkap dia!.”
Serangan kaum Muslimiin yang dahsyat, memaksa mereka mundur ke
belakang, ke pintu gerbang. Namun Tuma telah dilindungi dengan ketat, dengan
lemparan batu dan anak-panah-panjang bertubi-tubi, dari atas benteng.
Amukan pasukan Muslimiin telah memakan korban berjumlah sangat banyak.
Barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh mereka, dijarah oleh kaum
Muslimiin.
Tuma telah masuk ke pintu gerbang. Semua pintu gerbang kota ditutup.
Yang menangani luka-mata Tuma, bukan hanya tabib, bahkan sejumlah kaum bijak.
Mata-anak panah membandel, tidak bisa dikeluarkan. Dia meronta-ronta dan
berteriak-teriak kesakitan, ketika matanya diselamatkan. Segala usaha telah
dicurahkan, namun besi tajam itu, tetap tidak bisa dikeluarkan dari matanya.
Sejumlah kaum minta, agar Tuma pulang ke istana, tapi dia
menolak. Dia duduk di arah pintu gerbang, hingga rasa sakitnya mereda.
Sejumlah pejabat minta, “Silahkan tuan pulang ke istana, untuk
istirahat. Biarlah kita hari ini, menderita dua kerugian besar:
1.
Salib terbesar dirampas oleh kaum Arab.
2.
Dan mata tuan terluka.
Ini karena dahsyatnya serangan panah mereka. Padahal setahu kami
sebelum ini, mereka bukan kaum pemberani. Yang pasti bahwa kami sebelumnya,
telah mohon agar tuan berdamai dengan mereka, dengan memberi imbalan yang
mereka minta.”
Perkataan mereka yang disampaikan dengan sopan, membuat Tuma
marah. Dengan nada tinggi, dia menggertak, “Goblok! Salib terbesar telah
dirampas, dan mataku telah cacat! Ini belum kalau Raja mendengar berita ‘kekalahan
ini!’ Saya pasti diremehkan dan dinilai ‘tak mampu’ melawan mereka! Apapun yang
terjadi, mereka harus saya balas! Salibku harus kembali lagi, dan mataku harus
diganti 1.000 mata mereka! Saya akan menangkap panglima mereka! Dan
semua yang telah dirampas! Akan kurebut lagi! Setelah itu! Pimpinan tertinggi
mereka yang di Chijaz! Akan aku datangi dan kuperangi! Tempat tinggalnya akan
saya robohkan! Selanjutnya negeri mereka, akan saya jadikan tempat tinggal
binatang liar.”
Mereka bergetar ketakutan, ketika melihat Tuma marah dan
mengucapkan sumpah-serapah.
Di hari yang mendebarkan itu penduduk Damaskus makin merasa
kasihan pada Tuma, yang mata kanannya dibalut. Tuma menaiki benteng untuk
menggerakkan pasukan, agar melancarkan serangan terganas.
Dia berpesan, “Jangan takut pada mereka! Jangan grogi menghadapi
serangan mereka! Salib agung harus kita rebut lagi! Saya yang bertanggung jawab,
atas keselamatan kalian.”
Pasukan Tuma melancarkan serangan bertubi-tubi. Jumlah pasukan yang
keluar dari benteng, makin banyak. Bahkan semua pintu gerbang telah dibuka,
untuk mengalirkan pasukan yang menyemut. Peperangan semakin sengit, dan terjadi
suara ribut dan bising, bahkan menggemuruh.
Syurachbil mengutus seorang, agar memberi khabar pada Khalid,
tentang ‘jumlah musuh’ yang terlalu banyak.
Di depan Khalid, utusan Syurachbil bergetar dan melaporkan,
“Kini Tuma mengerahkan pasukan berjumlah sangat banyak, bagai air yang ditampung
dalam mendung. Kami mohon, kirimkan pada kami sejumlah pasukan, karena semua
pintu gerbang telah dibuka untuk menumpahkan pasukan.
Khalid membaca, “Al-Hamdu lillah” Lalu bertanya,
“Bagaimana mungkin, kalian bisa merebut Salib itu dari pasukan Romawi?.”
Utusan menjawab, “Tadinya yang membawa Salib itu seorang lelaki
berada di depan Tuma, menantu Hiraqla. Lelaki itu dipanah oleh janda Aban
hingga gugur ke bawah bersama Salibnya. Salib jatuh ke arah kami. Tuma marah,
mengamuk dan keluar, untuk mencari Salibnya. Saat itulah mata dia yang kanan,
dipanah oleh janda Aban.”
Utusan kembali membawa pesan Khalid pada Syurachbil, yang
menggerakkan pasukan untuk berperang hingga petang.
Di tempat yang berbeda, Abu Ubaidah menerima berita bahwa ‘Syurahcbil telah berhasil mematahkan’ serangan Tuma dan pasukannya. Bahkan justru pasukan
Syurachbil berhasil merebut Salib besar, dan membutakan mata kanan Tuma, dan
memporak-porandakan lawan. Abu Ubaidah berbahagia.
Di pagi buta, di dalam benteng, Tuma memanggil sejumlah pejabat
dan pasukan elit. Di hadapan mereka, Tuma berkhotbah, “Hai kaum Nashrani!
Sungguh kalian telah dikepung oleh kaum yang harus segera kita perangi dengan
lebih sengit. Mereka telah lama menjajah negeri kita. Bagaimana mungkin kalian
masih tenang-tenang, padahal banyak perempuan dan anak-anak yang mereka
tangkap. Di sana, istri-istri dan anak-anak kalian, diperbudak oleh mereka. Salib agung bisa mereka rampas, karena Salib murka pada kalian. Kalian
telah berniat ‘damai’ dengan mereka. Kalian sudah tidak mengagungkan Salib.
Saya telah berjuang mati-matian ‘menyerang’ mereka. Kalau mata saya tidak
sakit, niscaya telah mengamuk dan membantai mereka semuanya! Sebagai balas
dendam! Saya ingin mencongkel seribu mata kaum Arab! Kalau Salibku bisa saya
rebut, akan kubawa memerangi mereka!.”
Khotbah yang berapi-api membakar emosi mereka. Mereka marah dan
berkata, “Inilah kami! Yang ingin selalu mendampingi tuan. Kami akan berjuang
untuk meraih apa yang tuan harapkan. Perintahlah kami ‘menyerang’ mereka
sewaktu-waktu! Kami akan selalu siap. Kami telah bersiap berperang
mati-matian.”
Tuma berkata, “Jangan terlalu emosi! Agar bisa mengendalikan
diri! Saya akan menyerang mereka di malam hari, karena serangan di waktu malam
lebih mengerikan. Karena kalian lebih mengetahui keadaan wilayah ini daripada
mereka. Untuk itulah maka malam nanti, semua agar bersiap melancarkan serangan
keluar benteng. Saya ingin ‘sebelum pulang’ ke rumah, mereka telah kita bantai.
Saya ingin menangkap panglima perang mereka sebagai tawananku. Akan saya serahkan
pada Raja Hiraqla, agar dihukum.”
Perkataan yang disampaikan dengan berapi-api itu, membuat
pasukannya terhibur.
Beberapa orang berkata, “Petunjuk tuan, akan kami laksanakan
dengan gembira, dan dengan sebaik-baiknya.”
Sebagian pasukan Romawi, bersiap-siap di dekat Pintu Gerbang
Timur. Sebagian lagi, bersiap-siap di dekat Pintu Gerbang Jabiyyah. Dan di
dekat semua pintu gerbang, telah berkerumun pasukan berjumlah banyak sekali.
Di hadapan para tokoh, Tuma berpesan, “Jangan khawatir! Panglima
mereka berada di tempat yang jauh. Yang berada di dekat kita ‘hanya kroco-kroco dan
para budak!’ Seranglah mereka dengan batu dari atas benteng! Agar tubuh mereka
hancur!.”
Tuma perintah pada sekelompok pasukan, agar keluar dari pintu
gerbang Farodis (الفراديس). Untuk menyerang pasukan Amer bin Ash. Sejumlah pasukan
mengalir melaui pintu gerbang, untuk menyerang.
Tuma dan pasukannya, keluar melalui pintu gerbang Tuma. Yang
mendampingi dia, sejumlah pasukan elit pemberani. Sejumlah lonceng telah
dipersiapkan. Tuma berpesan, “Jika kalian mendengar lonceng berbunyi! Segeralah
membuka semua pintu gerbang! Dan keluarlah dengan serempak! Untuk menyerang
mereka! Bunuhlah mereka yang sedang tidur itu dengan pedang kalian! Serangan
yang dahsyat nanti, pasti akan membuat mereka tewas, yang masih hidup berlarian.
Jangan tanggung-tanggung menyerang! Agar mereka kalah total dan jera!.”
Para komandan senang karena pengarahan Tuma ‘sangat jitu’. Mereka
menggerakkan pasukan mereka masing-masing, mendekati pintu gerbang, untuk
menunggu lonceng yang akan segera dipukul. Tekat mereka, jika lonceng telah
dipukul, akan segera keluar dari pintu gerbang, dan segera mengamuk.
Lonceng akan segera dipukul. Tuma memanggil seorang pria untuk
diperintah, “Ambillah lonceng! Lalu bawalah keatas benteng, di atas pintu
gerbang! Jika kau telah menyaksikan kami membuka pintu, pukullah loncengmu
pelan saja! yang penting kami semua mendengar.”
Tuma berjalan, diikuti oleh pasukan berperisai dan berpedang. Dia
membawa perisai dari kulit, olahan Hindia. Helm perang made in Persia hadiah Raja Hiraqla, menutup dan melindungi kepalanya. Pedang sehebat apapun
takkan mampu membelah helm perang kebanggaan itu. Tuma telah mendekati pintu
gerbang, menunggu pasukan berkumpul semuanya.
Tuma berkata, “Hai semua pasukan! Pintu gerbang ini, jika telah
kami buka, bergegaslah menyerang mereka! Semangatlah dalam menyerang!
Gunakanlah pedang kalian untuk mengamuk! Jika dari mereka ada yang berteriak ‘minta
diselamatkan’, jangan kalian percaya. Kecuali jika yang berteriak panglima
perang mereka. Jika kalian melihat Salib agung, rebutlah!.”
Jawaban mereka kompak, “Akan kami laksanakan dengan senang, dan
dengan sebaik-baiknya!.”
Tuma perintah pada lelaki pembawa lonceng, agar segera memukul
lonceng dengan pelan. Tepat di waktu hati mereka berdebar-debar; lonceng
dipukul; pintu gerbang dibuka. Mereka berjejal-jejal keluar, untuk menyerbu
para sahabat Rasulillah SAW yang sedang lengah. Tetapi dalam keadaan terjaga.
Ketika suara hiruk pikuk dan derap kaki pasukan dari kejauhan
mengusir sepi. Kaum Muslimiin sama membangunkan teman yang sama tidur. Banyak
yang bergegas berdiri mengambil senjata, bagai singa buas, yang bergegas
menghadapi mangsa.
Di waktu pasukan Romawi semakin dekat, mereka telah waspada
sepenuhnya. Peperangan segera berkecamuk di malam yang gelap. Sejumlah pedang
telah terayun cepat mencari sasaran.
Di tempat yang berbeda, Khalid terkejut oleh suara peperangan
yang gaduh dan ricuh, dari jarak jauh. Dia bingung karena bangun tidur. Dan
berteiak, “Awas! Waspada! Hai kaumku! Demi Tuhan Ka’bah bersiasatlah! Ya Allah,
buatlah kaumku bisa melihat dengan Mata-Mu yang tak pernah tidur. Dan tolonglah
mereka wahai Lebih sayangnya para penyayang.”
Khalid segera mempersiapkan 4.00 pasukan berkuda. Dia sendiri
tidak mengenakan baju perang. Hanya mengenakan pakaian berbahan katan (sejenis
goni) made in Syam. Kepalanya juga tidak berhelm-perang.
Dia dan 4.00 pasukannya berlari cepat dengan kuda. Menakutkan
seperti singa-singa jantan berwajah garang.
Ketika Khalid dan pasukannya sampai di tempat, pasukan Rafi’ bin Umairo telah diserbu dengan ganas. Sambil melawan, pasukan Rafi’ bertahlil dan bertakbir.
Kini peperangan semakin sengit.
Pasukan Romawi di atas benteng sama berteriak, karena melihat
pasukan Muslimiin telah terbangun semuanya.
Khalid maju sambil berteriak, “Hai semua Muslimiin!
Berbahagialah! Pertolongan dari Tuhan kalian telah datang! Sayalah
tentara berkuda yang dahsyat. Sayalah Khalid bin Al-Walid!.”
Khalid dan pasukannya bergerak cepat, melancarkan serangan.
Sejumlah pasukan Romawi berjatuhan dan sakarat, karena tebasan pedang. Sejumlah
yang lain langsung tewas bermadi darah.
Sambil berperang, Khalid memikirkan nasib Abu Ubaidah dan
pasukan Muslimiin lainnya, yang tempat mereka berbeda-beda.
Suara pedang, perisai, tombak, teriakan, jeritan, rintihan,
perintah, gertakan, derap kaki, berkumpul, sehingga sangat gaduh. Teriakan kaum
Yahudi juga terdengar.
0 komentar:
Posting Komentar