(Bagian ke-61 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Di antara kota Iraq dan Tharabulus (طَرابُلُسَ) ada hutan bernama Marjus-Silsilah yang artinya hutang rantai. Di dekat Marjus-Silsilah ada pedesaan yang di dalamnya ada sejumlah biara. Ada satu biara yang paling terkenal karena dihuni oleh biarawan yang sangat pandai agama Nashrani. Dialah biarawan yang hidupnya untuk mengkaji kitab-kitab kuno dan baru.
Biarawan terkenal yang usianya lebih dari sertus tahun ini murid dan tamunya banyak sekali. Dia mengadakan dua kali perayaan tiap tahun: Perayaan setelah puasa dan perayaan Sya’aniyyiin.[1] Di hari raya yang ditunggu-tungu itulah kaum Nashrani Romawi, dan orang-orang pada umumnya berdatangan banyak sekali.
Dalam perayan agung itu sang biarawan muncul di atas rumah susunnya untuk menyampaikan kajian Injil dan beberapa pesan penting pada jemaat Nashrani. Pasar tiban bermunculan banyak sekali, menjajakan apa saja. Hari seperti itu lah yang paling ditunggu-tunggu bagi sang biarawan, karena hadiah dan sumbangan untuknya akan datang mengalir dan bertumpuk-tumpuk. Pada hari besar yang berjalan selama tiga hari seperti itu, berabot rumahnya serba baru dan simpanan emas maupun peraknya bertambah banyak.
Kaum Muslimiin di Damaskus belum tahu bahwa akan ada perayaan besar bagi kaum Nashrani di ujung pedesaan nun jauh di sana. Ada seorang Nashrani yang barusan masuk Islam bercerita panjang lebar di tengah-tengah kaum Muslimiin tentang perayaan itu. Pada waktu Abu Ubaidah sedang mempertimbangkan wilayah Nashrani yang akan diserang selanjutnya. Orang muallaf itu datang menghadap dan berkata, “Wahai pimpinan, sungguh kau telah berjasa padaku sekelurga. Saya datang menghadap untuk melaporkan bahwa ada harta kekayaan yang bisa dijarah oleh kaum Muslimiin. Kalau kaum Muslimiin bisa menaklukkan mereka akan mendapat kekayaan yang luar biasa banyaknya.”
Abu Ubidah berkata, “Terangkan dengan jelas bagaimana maksudmu!.”
Dia menjawab, “Wahai pimpinan, di daerah sana ada sebuah kastil (beteng) Abul-Quds. Di sebelahnya ada pedesaan yang dihuni seorang rahib besar bagi kaum Nashrani. Banyak orang berkunjung ke sana untuk minta barokah dan bertanya ilmu pada rahib itu. Dia mengadakan perayaan setiap tahun. Yang mengunjungi perayaannya dari segala penjuru desa dan kota berjumlah banyak sekali. Saat itu pasar tiban bermunculan menjual segala kebutuhan. Busana yang mereka kenakan juga tidak seperti hari-hari biasa, bahkan perhiasan yang disimpan pun dikeluarkan untuk dikenakan. Perayaan berlangsung selama tiga sampai seminggu. Hari ini sudah mendekati hari perayaan itu. Kau bisa mengerahkan pasukan Muslimiin untuk menyerang mereka dan menangkap para wanita maupun anak-anak. Dan saat itu pasti kaum Muslimiin akan berbahagia; kaum Nashrani akan hina.”
Wajah Abu Ubaidah menjadi cerah. Dia bertanya, “Berapa jarak sampai sana?.”
Dia menjawab, “Sepuluh farsakh.”[2]
Abu Ubaidah bertanya, “Masih berapa lagi keramaian itu akan dimulai?.”
Dia menjawab, “Sebentar lagi.”
Abu Ubaidah bertanya, “Penguasa yang di dekat situ yang menggalang persatuan rakyat ada nggak?.”
Dia menjawab, “Kami tidak tahu, di tempat kami masyarakat sangat rukun karena takut Hiraqla murka.”
Abu Ubaidah bertanya, “Kota Syam yang paling dekat pada perkampungan itu mana?.”
Dia menjawab, “Tharabulus (طَرابُلُسَ). Kota besar itu didatangi kafilah dari berbagai daerah. Yang berkusa di sana seorang bathriq agung yang suka menyerang. Karena serangannya ganas untuk memperluas wilayah kekuasaan, maka dia diberi penghargaan oleh Raja Hiraqla. Sang bathriq tersebut juga selalu menghadiri perayaan itu. Saya yakin saat ini mereka takut kalau-kalau kau menyerang mereka. Saya yakin jika kaum Muslimiin mau menyerang, mereka akan kalah in syaa Allah.”
Abu Ubaidah berkata, “Hai saudara semua! Siapa di antara kalian yang sanggup beramal untuk Allah memimpin pasukan yang akan saya kirim ke sana?.”
Pertanyaan diutarakan hingga dua kali, tetapi tidak ada yang menjawab, mungkin karena sama sungkan pada Khalid. Abu Ubaidah juga sungkan mau menyuruh karena dia baru saja melepas jabatan Khalid RA. Seorang pemuda kumisnya disomba muncul ke permukaan. Dialah Abdullah bin Ja’far RA (عبد الله بن جعفر), ibu dia bernama Asma’, ayahnya bernama Ja’far. Ayahnya meninggal di dalam perang melawan kaum Romawi di saat dia masih remaja. Lalu ibunya dinikahi oleh Abu Bakr As-Shiddiq dan berputra Muhammad ketika Haji Wadda’.
Beberapa tahun setelah ayahnya wafat, Abdullah sudah tumbuh dewasa.
Dialah yang dulu pernah bertanya ibunya, “Kenapa ayah meninggal?.”
Ibunya menjwab, “Dibunuh orang Romawi.”
Dia bersumpah, “Kalau saya hidup panjang, dendam ayah akan saya balaskan.”
Abdullah bin Ja’far datang ke Syam bersama Abdullah bin Unais. Abdullah kerabat dekat nabi yang mirip sekali dengan Nabi Muhammad SAW.
Abdullah muncul di pertengahan Muslimiin Damaskus untuk berkata, “Saya yang akan bergabung dengan pasukan ini nanti wahai kepercayan umat.”[3]
Abu Ubaidah perintah sejumlah lelaki Muslimiin agar mendampingi Abdullah, lalu perintah pada Abdullah, “Kau yang memimpin mereka hai putra paman Rasullillah SAW.”
Panji berwarna hitam diserahkan pada Abdullah. Jumlah pasukan Abdullah 5.00 orang. Ada sejumlah lelaki di antara mereka yang veteran Perang Badar. Tokoh-tokoh besar yang ikut rombongannya: Abu Dzarr Al-Ghifari, Abdullah bin Abi Aufa, Amir bin Rabi’h, Abdullah bin Unais, Abdullah bin Tsa’labah, Uqbah bin Abdillah Assulami, Watsilah bin Asqa’, Sahl bin Sa’ed, Abdullah bin Bisyr, Sa’ib bin Yazid dan lainnya RA (رضي الله عنهم أجمعين).
Limaratus pasukan Abdullah bin Ja’far telah siap di belakang panji. Mereka orang-orang yang takkan lari kabur karena telah berpengalaman perang.
Abu Ubaidah berkata, “Hai putra paman Rasulillah! Seranglah sejak hari pertama!” pada Abdullah bin Ja’far. Lalu menyampaikan pesan khusus sebelum pasukan itu berangkat. Mereka berangkat pada tnggal 15 Sya’ban tahun 13 Hijriyyah.
Dalam perjalanan, Abdullah bin Ja’far berkata pada temannya, “Hai putra Asqa’, betapa bulan di malam ini bersinar indah.”
Watsilah bin Asqa’ menjawab, “Ini malam yang barokah, rizqi dan ajal kematian ditulis, bahkan dosa-dosa diampuni. Tetapi perjalanan kita di Jalan Allah nilainya lebih baik dari pada sholat malam. Pemberian Allah untuk hambaNya sangat banyak.”
Abdullah bin Ja’far membenarkan, “Kau benar.”
Perjalanan yang cukup lama itu akhirnya sampai pada biara seorang rahib berpeci hitam. Rahib mengamati wajah kaum Muslimiin semuanya satu-persatu. Yang paling lama diamati adalah wajah Abdullah bin Ja’far. Rahib bertanya, “Apa pemuda ini putra nabi kalian?.”
Kaum Muslimiin menjawab, “Bukan.”
Dia berkata, “Nur kenabiannya bersinar di antara dua mata pemuda ini. Apa dia masih keluarganya?.”
Kaum Muslimiin heran dan menjawab, “Dia putra pamannya.”
Dia berkata, “Dia ibarat daun, daun pasti dari pohon.”
Abdullah dan kaum Muslimiin heran dengan pernyataan rahib. Abdullah bertanya, “Hai Rahib, kenapa kau mengenal Rasulallah?.”
Rahib menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak kenal dia, padahal nama dan sifatnya ada di dalam Taurat dan Injil dan Zabur. Dialah pengendara unta merah yang pedangnya terhunus.”
Abdullah bin Ja’far bertanya, “Kenapa kau tidak beriman padanya?.”
Rahib mengangkat tangan ke langit dan berkata, “Kalau pemilik langit biru ini telah menghendaki, saya akan beriman.”
Setelah kaum Muslimiin terbengong-bengong mendengarkan perkataan rahib, lalu meneruskan jalan mengikuti penunjuk jalan. Perjalanan panjang akhirnya berhenti di dataran rendah yang sangat subur berair melimpah. Di sana penunjuk jalan perintah agar pasukan istirahat. Dia berkata, “Kalian di sini saja, saya akan pergi untuk mengecek keadaan.”
Abdullah berkata, “Cepat segera kembali kemari!.”
Abdullah berjaga hingga subuh. Dia mengimami sholat subuh lalu menunggu datangnya penunjuk jalan. Lama sekali mereka menunggu, hingga hati mereka gelisah dan susah. Sampai malam gelap dan dingin datang, penunjuk jalan belum juga muncul, hingga banyak yang menyangka jelek. Abu Dzarr menghibur, “Menyangka baiklah padanya! Jangan menyangka dia akan melancarkan makar pada kita.”
Orang-orang tidak lagi ngedumel. Kedatangan penunjuk jalan membuat mereka senang dan lega. Dia berkata, “Hai para sahabat Muhammad! Demi kebenaran Al-Masih bin Maryam, perkataan saya tidak bohong. Kalian pasti akan mendapat rampasan perang yang banyak. Hanya saja ada laut yang harus diarungi agar kalian sampai kesana. Saya telah sampai ke sana, ternyata pengunjungnya sudah berdatangan, pasar tiban sudah banyak. Yang paling padat pengunjungnya perkampungan Abul-Quds. Orang-orang berkumpul untuk menyaksikan: orang alim, para rahib, para pejabat, dan para bathriq mereka. Adanya saya tidak segera kembali karena heran, kenapa pengunjungnya banyak sekali, bahkan tiap tahun pengunjungnya bertambah banyak. Saya bisa tahu ini semua karena diberi tahu oleh mereka. Yang paling menarik bagi semua pengunjung karena pengusa Tharabulus menikahkan putrinya dengan seorang pejabat dari Romawi. Putri itu telah didatangkan ke sana untuk menyerahkan binatang kurban pada sang rahib. Pengantin wanita itu dikelilingi sejumlah pasukan berkuda. Mereka juga bersiap-siap melawan jika kalian menyerang. Mereka tahu bahwa kalian telah menduduki kota Damaskus. Sebaiknya dipertimbangkan lagi dengan cermat, karena jumlah mereka banyak sekali.”
Jantung kaum Muslimiin berdebar-debar; Abdullah bin Ja’far bertanya, “Kira-kira jumlah mereka semuanya berapa?.”
Dia menjawab, “Yang pasti seluruh pengunjung pasar malam ini 20.000 orang dari berbagai daerah. Tetapi pasukan tempur berkuda mereka berjumlah 5.000 orang. Setelah mendapat berita, saya berpikir kalian takkan mampu melawan mereka, karena kota mereka bersambung-sambung seperti rantai. Kalau ada yang diserang penduduk kota lainnya akan segera datang membantu. Sedangkan kalian jumlahnya hanya sedikit, dan negri kalian jauh dari sini.”
Abdullah bin Ja’far dan Muslimiin lemas dan nafasnya menjadi sesak, hampir saja mereka pulang. Abdullah bertanya, “Bagaimana sebaiknya menurut kalian?.”
Muslimiin menjawab, “Sebaiknya kita jangan bunuh diri, mengikuti petunjuk Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kita kembalikan urusan ini pada baginda Abu Ubaidah RA. Allah takkan menyia-nyiakan pahala kita selama ini.”
Kaum Muslimiin terkejut oleh pernyataan Abdullah bin Ja’far, “Kalau saya, takut dicatat oleh Allah sebagai orang-orang yang lari dari perang. Saya takkan pulang agar tidak ditegur oleh Allah. Barang siapa mengikutiku maka pahalanya ditulis di sisi Allah. Barang siapa mau pulang silahkan, saya takkan memarahinya.”
Pasukan Muslimiin sungkan pada pimpinan, mereka mengurungkan niat pulang ke Damaskus. Sebagian mereka berkata, “Lakukan yang kau kehendaki, takut mati takkan menolak qodar.”
Walau sebetulnya hati mereka berdebar-debar.
Abdullah senang mendengar pernyataan pasukannya. Dia mengenakan baju dan helm perang, lalu mempersiapkan pedang warisan ayahnya. Lalu naik ke atas punggung kuda dan memegang panjinya. “Bersiaplah!,” katanya.
Pasukan Muslimiin sudah siap di atas kuda, bersenjata pedang. Mereka berkata pada penunjuk jalan, “Ayo berangkat ke sana! Agar kau menyaksikan kedahsyatan para sahabat Rasulillah berperang!.”
Penunjuk jalan pucat, lemas, dan nafasnya sesak. Dan berkata, “Berjalanlah ke sana terserah bagaiman caranya. Saya takut,” lalu pergi.
Abdullah memanggil dan merayu agar dia mau menunjukkan jalan. Dengan ketakutan, penunjuk jalan berjalan sebentar lalu menyeberang. Penunjuk jalan berkata, “Kita berhenti di sini, jaraknya sudah dekat. Sebaiknya kita di sini saja hingga waktu sahur. Setelah itu serbulah mereka.”
Pasukan Muslimiin berhenti istirahat hingga malam, mereka berdoa agar Allah memberi pertolongan mengalahkan lawan. Abdullah mengimami sholat subuh. Lalu bertanya, “Bagaimana kita akan menyerang mereka?.”
Amir bin Umairoh bin Rabi’ah berkata, “Begini caranya.”
Mereka menjawab hampir serempak, “Katakan bagaimana?.”
Amir menjawab, “Biarkanlah mereka! Jika telah lengah, kita serang!.”
Mereka mengikuti petunjuk Amir, menunggu hingga pasar tiban dan pengunjung mulai ramai. Mereka menghunus pedang, membenahi tali busur, dan mengenakan baju perang.
Abdullah berada di depan membawa panji; matahari muncul menyinari alam. Abdullah membagi pasukan menjadi lima. Masing-masing regu terdiri dari 1.00 pasukan berkuda yang dipimpin oleh seorang komandan. Abdullah berpesan, “Tugas tiap-tiap regu membiarkan kerumunan! Jangan merampas harta! Tetapi letakkanlah pedang kalian di atas kepala atau pundak saja!.”
Abdullah muncul di depan membawa panji; para pengunjung pasar tiban lari terbirit-birit menjauh dan berteriak ketakutan. Banyak sekali kaum yang berlari menuju perumahan rahib. Rahib terkejut oleh suara gaduh dan teriakan keras, hingga mengulurkan wajah untuk melihat keadaan. Padahal saat itu rahib sedang menyampaikan nasehat dan pesan khusus pada orang-orang penting yang mendengarkan ceramahnya dengan serius. Di depan rahib ada pengantin wanita yang cantik, putri sang bathriq, gemerlapan oleh perhisan. Sejumlah pejabat tinggi berpangkat bathriq dan putra-putra mereka berbusana sutra Dibaj berhias emas gemerlapan juga berada di situ. Tempat itu lah yang paling padat oleh penonton yang menyaksikan jalannya upacara.
Teriakan jeritan dan suara gaduh makin mengganggu, bahkan penonton terhempas bagai ombak, ke arena upacara, ke kiri dan ke kanan.
Abdullah sempat menyaksikan dengan jantung berdebar-debar pada jalannya upacara agung itu. Walau begitu dia berkata, “Hai para sahabat Rasulillah! Seranglah semoga Allah memberi barokah! Kalau kita menang dan mendapatkan rampasan, tempat kumpul kita di bawah biara. Namun jik kita kalah, kita bertemu di surga atau di telaga Rasulillah bersama para sahabat Rasulillah SAW.”
Abdullah sengaja memasuki kumpulan orang berjumlah banyak sekali sambil mengayun-ayunkan pedang. Tombaknya diayunkan untuk menusuk orang jauh. Di belakangnya pasukan Muslimiin melancarkan serangan sambil membaca tahlil dan takbir.
Pasukan Romawi terkejut oleh kehadiran pasukan Muslimiin yang melancarkan serangan. Rakyat Romawi telah menghunus pedang; sebagian mereka mengamankan harta. Rakyat Romawi mencari pembawa panji dari pasukan Muslimiin. Abdullah dikepung kaum Romawi bersenjata pedang. Pedang Abdullah berputar-putar menyambar-nyambar berkali-kali menumpahkan darah segar; debu-debu berterbangan. Dalam waktu cepat kum Romawi bertambah banyak sekali, pasukan tempur mereka telah turun ke gelanggang untuk melawan pasukan Muslimiin.
Pasukan Abdullah berjumlah 5.00 orang dikepung lautan pasukan. Teriakan pasukan Romawi riuh menggemuruh. Pasukan Muslimiin bercerai-berai menyesuaikan arus serangan lawan. Hanya suara tahlil dan takbir yang menjadi tanda sesama Muslimiiin.
Abu Sabroh Ibrohim bin Abdul-Aziz (أبو سبرة ابراهيم بن عبد العزيز) sebagai pelaku sejarah berkisah mengenai kedahsyatan Perang Abul-Quds itu: [4]
“Saya pelaku sejarah dalam Hijrah Habasyah dan Perang Mu’tah bersama Ja’far bin Abi Thalib. Dalam sejumlah perang terdahsyat: Badar, Uhud, Hunain, saya juga ikut.
Ketika Rasulillah SAW wafat, saya sangat susah sehingga terpaksa berpindah ke Makkah. Di dalam tidur saya bermimpi ada orang yang mencela mengenai saya tidak bergabung dalam jihad. Saya pergi ke kota Syam bergabung dalam Perang Ajnadin, Syam, Suriah, Marjud Dibaj, Abul-Quds. Jumlah pasukan Romawi yang banyak sekali justru membuat saya lega. Saya belum pernah berperang melawan pasukan sebanyak itu pada zaman Rasulillah SAW. Para pasukan lawan berperawakan tinggi itu berperisai. Derap kaki ketika mereka menyerang menggemuruh; pasukan Muslimiin tak tampak karena tertutup musuh yang terlalu banyak. Kadang sesekali tahlil dan takbir mereka terdengar, kadang ada yang berpikir paling mereka telah dihabisi oleh musuh. Panji yang dibawa Abdullah bin Ja’far berkibar pertanda semangat jihad pembawa dan pendukungnya masih berkobar. Dengan garang Abdullah menggulingkan orang-orang musyrik dengan pedang. Usia dia muda tapi semangat jihadnya menyala. Dia dikepung dan diserang oleh kaum musyrik, namun pedang dan perisainya justru bergerak cepat menggila.
Pertahanan dia dan kaum Muslimiin makin mengendur karena lengan mereka terlalu capek. Pedang Abdullah telah tumpul; kuda yang dikendarai telah lelah hingga sempoyongan hampir roboh. Dia memanggil pasukannya yang segera berdatangan. Dia terkejut ternyata semua pasukannya luka-luka seperti dirinya. Dia berdoa pada Allah ‘wahai Pencipta makhluq yang merusak dan membuat ujian sebagian mereka dengan sebagian. Hamba mohon pada-Mu dengan wasilah wajah Nabi Muhammad SAW, agar Kau membuatkan jalan keluar dari kesulitan ini.’[5]
Abdullah bin Ja’far bergabung lagi pada pasukannya untuk berperang. Saat itu, meskipun Abu Dzarr usianya telah tua namun berjuang mati-matian membela putra paman Rasulillah. Pedangnya diayun-ayunkan untuk menyerang sambil memompa semangat pasukan Muslimiin yang telah lelah. Dia berkata ‘sayalah Abu Dzarr’. Pasukan Muslimiin menirukan perbuatannya, lalu melancarkan serangan dengan sisa-sisa tenaga untuk bekal pergi ke alam baka.”
[4] Abu Sabroh Ibrohim bin Abdul-Aziz (أبو سبرة ابراهيم بن عبد العزيز) adalah sahabat nabi senior. Bahkan dia pelaku dua hijrah, Habasyah dan Madinah.
[5] يا من خلق خلقه وابلى بعضهم ببعض وجعل ذلك محنة لهم أسألك بجاه محمد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ما جعلت لنا من امرنا فرجا ومخرجا.
0 komentar:
Posting Komentar