Yunus menjawab,“Sungguh dataran rendah dan pegunungan negeri Syam telah anda rebut, berkat
Pertolongan Allah. Thaghut-thaghut dan pendamping-pendamping mereka yang
kafir juga telah tewas. Sisa-sisa mereka, tinggal yang berada di gunung-gunung
terjal yang sulit dijangkau. Sebetulnya mereka telah ketakutan atas Pertolongan
Allah pada kita. Kita harus segera menyerang mereka yang berada di istana megah
yang sangat besat itu. Kita harus menyerang mereka sekuat tenaga, hingga penduduk
yang bertempat di dekat sungai Furat (الفرات).
Meskipun perbekalan mereka banyak, namun tetap terbatas.”
Khalid
menyimak usulan itu lalu tersenyum, dan berkata, “Demi Allah ini pandangan cemerlang, namun saya menambahi: serangan untuk istana agar
diperkuat, mumpung bala bantuan dari Romawi belum datang kemari.”
Abu Ubaidah
menjawab, “Ayah
Sulaiman,
usulanmu tepat dan bagus.”
Abu Ubaidah perintah agar penyerbuan menuju istana segera dipesiapkan.
Abu Ubaidah perintah agar penyerbuan menuju istana segera dipesiapkan.
Pasukan Muslimiin turun dari kuda untuk menembus jalan sulit, yang diberi beberapa penghalang
rumit. Para tokoh besar dan hamba sahaya, berjalan bersama, menuju istana.
Untuk
mencari yang masih berhubungan keluarga, mereka memanggil kakek mereka.
Akhirnya arak-arakan Muslimiin yang berjalan kaki itu, berkumpul pada keluarga
besar mereka masing-masing.
“Peperangan
Syam terdahsyat, Perang Chalab (Aleppo). Kami mengepung kerajaan Chalab, mirip seperti roda berputar
mengelilingi poros. Di hari awal serbuan, sejumlah pahlwan Muslimiin dari Yaman
menyerang dengan anak panah bertubi-tubi. Sejumlah tokoh Muslimiin dari Mudhar
dan Rabiah juga menyerbu dengan anak-panah, bahkan berusaha menaiki benteng,
namun tak menemukan jalan. Mereka berlari menghindari batu-batu yang
dilemparkan dari atas benteng dan dari alat pelontar batu yang disebut Majaniq.
[1] Saya dan
teman-teman berlari karena batu dari atas dan dari dalam benteng berjumlah
banyak, menyerang kami. Banyak yang terluka berat oleh benturan batu. Bahkan
banyak juga yang gugur. Di
antara mereka yang gugur: Amir bin Ashla Arrabi (عامر بن الأصلع الربعي), Malik bin Khazil Arrabi (مالك بن خزعل الربعي), Chassan bin Chanzhalah (حسان بن حنظلة), Marwan bin Abdillah (مروان بن عبد الله), Sulaiman bin Farigh Al-Amiri (سليمان بن فارغ العامري), Atthaf bin Salim Al-Kilabi (عطاف بن سالم الكلابي), Suraqah bin Muslim bin Auf Al-Adawi (سراقة بن مسلم بن عوف العدوي), dan sejumlah lelaki Yaman, keturunan
Amir dan Kilab. Ada lagi tujuh orang Yaman dari Bani Abdillah.
Di
hari yang menegangkan itu, Abu Ubaidah mendirikan panjinya di
luar istana Chalab, lalu menyeru pasukan Muslimiin yang
segera berdatangan menghadap.
Abu Ubaidah perintah, “Sekarang silahkan mengubur para Syuhada! Dan pulang ke barak, untuk beristirahat dan mengobati luka!."
Abu Ubaidah perintah, “Sekarang silahkan mengubur para Syuhada! Dan pulang ke barak, untuk beristirahat dan mengobati luka!."
Pasukan
Chalab bersuka ria, karena pasukan Muslimiin menghentikan serangan. Pada
pasukannya, Yuqana berkata, “Sungguh setelah ini, kaum Arab takkan berani
mendekat istana saya. Jika mereka berani mengepung istana lagi, saya akan
melancarkan makar atas mereka.”
Beberapa bathriq dan
jago tempur berjumlah 2.000 orang, diperintah, “Jika obor pasukan Arab telah
padam! Segeralah turun untuk menyerbu mereka yang di belakang! Dan jarah harta
mereka! Hanya semuanya agar waspada!” oleh Yuqana.
Yang diperintah
memimpin, wakil Yuqana.
Obor-obor telah
padam dan Muslimiin telah pulang ke tenda penginapan.
Wakil Yuqana memimpin sejumlah pasukan, turun dari istana, menyerang pasukan Muslimiin yang lengah dan payah.
Wakil Yuqana memimpin sejumlah pasukan, turun dari istana, menyerang pasukan Muslimiin yang lengah dan payah.
Pasukan Muslimiin yang
berada di bagian belakang, kaum Yaman dari Murad, Kilab, dan sejumlah hamba
sahaya. Mereka terkejut oleh pasukan Chalab yang mendadak membentak dan
menyerang. Sebagian pasukan Muslimiin memacu kuda, menghindari serangan.
Pasukan Muslimiin yang di belakang telah berguguran oleh tebasan pedang.
Beberapa Muslimiin berteriak, “Lari! Ada serangan dari belakang!.”
Pasukan Muslimiin berlari menuju tenda, melaporkan, “Yang mulia, pasukan kita yang di belakang diserang dan berguguran.” Sontak Abu Ubaidah, beberapa tokoh, bergerak cepat menuju tempat kejadian.
Beberapa Muslimiin berteriak, “Lari! Ada serangan dari belakang!.”
Pasukan Muslimiin berlari menuju tenda, melaporkan, “Yang mulia, pasukan kita yang di belakang diserang dan berguguran.” Sontak Abu Ubaidah, beberapa tokoh, bergerak cepat menuju tempat kejadian.
Wakil Raja Yuqana
berteriak, “Hai semuanya! Tinggalkan rampasan perang dan larilah!.”
Pasukan Chalab berlari memasuki istana, membawa tawanan
50 orang Muslimiin yang kebanyakan dari kaum Rabiah dan Mudhar.
Khalid dan pasukannya bergerak cepat menyerbu mereka dengan sengit.
Seratus pasukan Chalab berguguran oleh tebasan pedang Khalid dan pasukannya.
Khalid dan pasukannya bergerak cepat menyerbu mereka dengan sengit.
Seratus pasukan Chalab berguguran oleh tebasan pedang Khalid dan pasukannya.
Wakil Yuqana dan
pasukannya telah memasuki istana dan pintu gerbang ditutup.
Ketika
fajar menyingsing, 50 tawanan Muslimiin dihadapkan pada Yuqana dengan tangan
terikat. Mereka ditunjukkan pada pasukan Muslimiin. Mereka berkata, “Laaa
Ilaaha illaa Allah Muhammadun Rasulullaah,” lalu dibunuh semuanya.
Pada pasukan Muslimiin, Abu Ubaidah perintah, “Setiap kalian berkewajiban menjaga dirinya sendiri. Dan agar peperangan lebih semangat, jangan berbicara kecuali seperlunya.”
Pasukan
Muslimiin mengepung istana.
Mata-mata
Yuqana yang pandai bahasa Arab kesulitan
mencuri berita, karena Muslimiin tidak berbicara dengan temannya kecuali hanya
yang perlu.
Beberapa bathriq datang ke hadirat
Yuqana, melaporkan bahwa pasukan Muslimiin mengepung istana dengan sengit. Dan
banyak mata-mata yang tertangkap. Seorang mata-mata datang dan berkata pada
Yuqana, “Yang mulia, kalau tuan akan melancarkan muslihat atas mereka, sekarang
ini waktu yang tepat.”
Yuqana bertanya, “Kenapa?.”
Dia berkata, “Pasukan Arab yang
ditugaskan mengurusi pakan binatang dan bahan makan, akan berbelanja pada
beberapa desa di dataran rendah sana. Jumlah mereka yang berpakaian jelek itu
hanya sedikit.”
Yuqana mendengarkan laporan dengan
serius, lalu bergerak untuk mengumpulkan 1.000 pasukan, untuk diperintah,
“Bersiap-siaplah! Demi kebenaran Al-Masih, kaum Arab akan saya persulit dalam
melewati jalan menuju tujuan. Kalian yang saya tugaskan melaksanakan gagasan
saya!.”
Di malam yang sepi itu, pintu
gerbang istana dibuka untuk keluar pasukan. Pasukan berjumlah banyak itu
berjalan di kegelapan. Mereka menjumpai seorang penggembala mengiring sejumlah
sapi, akan pulang dari tempat gembalaan yang jauh. Penggembala terkejut oleh
datangnya pasukan Chalab berjumlah banyak. “Kamu berpapasan
dengan kaum Arab?," tanya mereka.
Dia menjawab, “Betul, saya bertemu
mereka tadi sore, ketika matahari sedang tenggelam. Jumlah mereka 100 lelaki,
berkendaraan kuda. Mereka menggiring sejumlah unta dan kuda bagal, mencari
bahan makan ke pedesaan, yang penduduknya telah berdamai dengan mereka.”
Komandan pasukan berkata, “Kalau kita
bertanya pada penduduk ini, pasti mereka merahasiakan pada kita. Jalan
satu-satunya kau harus menjelaskan pada saya ‘demi Al-Masih! Mana jalan yang
dilewati oleh mereka?’.”
Penggembala berkata, “Melewati jalan
itu,” sambil menunjuk jalan.
Komandan yang bathriq itu melewati
jalan bersama pasukannya, mencari pasukan Muslimiin yang mencari bahan makan.
Hampir subuh, mereka baru menjumpai pasukan Muslimiin berkuda di bawah pimpinan
Munawisy bin Addhacak (مناوش بن الضحاك).
Pada pasukannya, Munawisy berkata, “Hai semuanya, ada bathriq yang menggiring pasukan untuk menyerang kita. Semua agar siaga, lawanlah dengan gigih dan tabah untuk meraih surga!.”
Pertempuran berkobar dengan sengit. Munawisy, Al-Gharthif bin Tsabit (الغطريف بن ثابت), Mani bin Tsabit (منيع بن ثابت), Mani bin Ashim (منيع بن عاصم), Kahlan bin Murrah (كهلان بن مرة), dan lainnya, berjumlah 30 orang, dari kota Thayyi, gugur. Yang masih hidup lari semuanya, meninggalkan harta yang mereka miliki, di atas binatang kendaraan, dijarah oleh pasukan Chalap (Aleppo).
Pada pasukannya, Munawisy berkata, “Hai semuanya, ada bathriq yang menggiring pasukan untuk menyerang kita. Semua agar siaga, lawanlah dengan gigih dan tabah untuk meraih surga!.”
Pertempuran berkobar dengan sengit. Munawisy, Al-Gharthif bin Tsabit (الغطريف بن ثابت), Mani bin Tsabit (منيع بن ثابت), Mani bin Ashim (منيع بن عاصم), Kahlan bin Murrah (كهلان بن مرة), dan lainnya, berjumlah 30 orang, dari kota Thayyi, gugur. Yang masih hidup lari semuanya, meninggalkan harta yang mereka miliki, di atas binatang kendaraan, dijarah oleh pasukan Chalap (Aleppo).
Pada pasukannya, Seorang bathriq
perintah, “Buanglah beban ini dan sembelihlah binatangnya! Yang lain kita
giring pulang, dengan bawaannya! Kita akan bersembunyi di atas gunung, agar
tidak diserang pasukan Arab. Mereka bisa bergerak cepat hingga tahu-tahu muncul
kemari. Ayo segera kita sembelih lalu bergerak ke sana! Jika malam telah kelam,
kita pulang menuju istana untuk berlindung.”
Dengan gerak cepat, mereka membuang beban, lalu menyembelih dan memotong-motong binatang kendaraan. Lalu bergerak cepat naik gunung. Di atas gunung mereka menunggu datangnya malam yang makin kelam. Agar bisa istirahat dengan tenang, mereka membayar orang agar berjaga.
Dengan gerak cepat, mereka membuang beban, lalu menyembelih dan memotong-motong binatang kendaraan. Lalu bergerak cepat naik gunung. Di atas gunung mereka menunggu datangnya malam yang makin kelam. Agar bisa istirahat dengan tenang, mereka membayar orang agar berjaga.
“Saat itu saya bergabung di dalam
pasukan Muslimiin yang dipimpin oleh paman saya, Munawisy. Kami yang hanya
sedikit diserbu dengan sengit oleh pasukan berkuda Chalab, berjumlah
banyak. Kami kabur menuju pasukan induk.
Abu Ubaidah menyambut kami dan
bertanya, “Ada apa kalian?.”
Kami menjawab, “Diserbu musuh, Munawisy dan sejumlah pasukan Muslimiin berguguran. Bahan makan dan binatang kita dirampas oleh mereka.”
Kami menjawab, “Diserbu musuh, Munawisy dan sejumlah pasukan Muslimiin berguguran. Bahan makan dan binatang kita dirampas oleh mereka.”
Abu Ubaidah berkata, “Kenapa kalian
diserang oleh kaum yang telah kita kepung? Setahu kami tidak ada pasukan yang
keluar dari istana.”
Kami menjawab, “Kami sendiri tidak
tahu asal pasukan itu dari mana. Tiba-tiba muncul seorang bathriq bersama
pasukan berkuda berjumlah sangat banyak, menyerbu kami. Amir kami dan sejumlah
Muslimiin lainnya dibunuh, dan milik kami berupa binatang dan bahan makan,
dirampas semuanya.”
Pada
Khalid, Abu
Ubaidah memanggil, “Ya
Ayah Sulaiman, urusan ini saya serahkan pada Allah, lalu padamu. Saya memohon
semoga Allah memberi kita Kodar Paling Baik. Berangkatlah segera! Semoga Allah
memberi kau Barokah! Ajaklah Muslimiin yang kau kehendaki! Saya berdoa semoga
kau dapat mengejar mereka. Carilah di mana mereka lari! Dan balaskanlah
Muslimiin yang telah gugur. Hanya saja, desa tempat kejadian perkara itu,
penduduknya telah damai dengan kita. Kita harus damai dengan mereka, kecuali
jika mereka telah berkhianat pada kita. Ayo segera berangkat!.”
Khalid bergerak cepat menujui
tendanya untuk mengambil pedang lalu berkuda. Hampir saja Khalid memacu kudanya
untuk pergi sendirian.
Abu Ubaidah bertanya, “Mau kemana?.”
Abu Ubaidah bertanya, “Mau kemana?.”
Khalid menjawab, “Melaksanakan
perintahmu mengejar musuh.”
Abu Ubaidah perintah, “Ajaklah
Muslimiin yang kau kehendaki!.”
Khalid menjawab, “Saya tidak ingin
ditemani seorang pun.”
Abu Ubaidah berkata, “Bagaimana
mungkin kau sendirian? Padahal musuh berjumlah banyak sekali?.”
Khalid menjawab, “Mereka seribu atau
duaribu, akan kalah dengan seorang yang ditolong oleh Allah.”
Abu Ubaidah berkata, “Saya percaya,
tetapi tetap harus berteman.”
Yang dipilih oleh Khalid agar
menemani, Dhirar dan orang-orang yang keberaniannya sebanding dia. Khalid dan
pasukannya bergegas naik kuda, menuju tempat kejadian.
Mayat-mayat Muslimiin yang berserakan dikerumuni dan ditangisi oleh
masyarakat setempat. Mereka takut pada kemarahan pasukan Muslimiin. Mereka
terkejut ketika melihat Khalid dan pasukan berkudanya berdatangan. Tangisan
mereka bertambah keras dan mereka bersimpuh ketakutan. Mereka makin takut
ketika Khalid membentak, “Siapa yang telah membunuh para sahabat kami ini?.”
Mereka menjawab, “Yang membunuh bukan kami, kami kaum yang telah berdamai dengan kalian.”
Mereka menjawab, “Yang membunuh bukan kami, kami kaum yang telah berdamai dengan kalian.”
Mereka menjawab, “Demi Allah kami
tidak bergabung dalam pembunuhan mereka ini.”
Khalid bertanya, Siapa yang memimpin
pembunuhan ini?.”
Mereka menjawab, “Seorang bathriq
utusan tuan Yuqana yang membawahi seribu pasukan berkuda paling kejam. Memang
Raja Yuqana memiliki mata-mata berjumlah banyak yang melaporkan segala
gerak-gerik kalian.”
Khalid bertanya, “Mana jalan yang
dilalui oleh mereka?.”
Mereka menunjuk dan berkata, “Jalan ini.”
Mereka menunjuk dan berkata, “Jalan ini.”
Khalid bertanya, “Siapa yang bisa memberikan
keterangan lebih lengkap?.”
Mereka menjawab, “Orang Chalab (Aleppo) ini. Dengan dia lah kaum tuan membeli bahan makan. Kalau tuan terlambat datang kemari, kami tidak bisa memberi keterangan pada tuan mengenai yang membunuh ini semua.”
Mereka menjawab, “Orang Chalab (Aleppo) ini. Dengan dia lah kaum tuan membeli bahan makan. Kalau tuan terlambat datang kemari, kami tidak bisa memberi keterangan pada tuan mengenai yang membunuh ini semua.”
Khalid bertanya pada lelaki pedagang
itu, “Betulkah mereka lewat jalan ini?.”
Lelaki itu menjawab, “Betul, saya
melihat mereka memacu kuda menuju gunung itu.”
Khalid berkata, “Mereka pasti
berpikir bahwa mengejar mereka membutuhkan kuda, dan pasti mereka telah
bersembunyi. Kalau telah malam, in syaa Allah mereka akan kembali ke istana.”
Khalid mengurungkan pengejaran. Dia perintah beberapa lelaki penduduk setempat, agar mengikuti Khalid mencari pasukan Chalab. Dia bertanya pada seorang, “Apakah mereka mempunyai jalan selain ini menuju istana?.”
Khalid mengurungkan pengejaran. Dia perintah beberapa lelaki penduduk setempat, agar mengikuti Khalid mencari pasukan Chalab. Dia bertanya pada seorang, “Apakah mereka mempunyai jalan selain ini menuju istana?.”
Dia menjawab, “Betul, tetapi
sebaiknya tuan bersembunyi di sekitar sini saja. In syaa Allah tuan nanti akan bertemu, ketika
mereka lewat sini.”
Khalid dan pasukannya bersembunyi di jurang,
sambil menunggu pasukan Chalab.
Ketika malam telah kelam, derap kaki kuda arak-arakan pasukan Chalab mengusir sepi. Di depan mereka, seorang bathriq yang menyuruh agar mereka berlari cepat.
Ketika malam telah kelam, derap kaki kuda arak-arakan pasukan Chalab mengusir sepi. Di depan mereka, seorang bathriq yang menyuruh agar mereka berlari cepat.
Ketika arak-arakan itu telah dekat
sekali, Khalid membentak keras lalu loncat, diikuti oleh pasukan Muslimiin.
Dengan pedang, Khalid membelah bathriq menjadi dua, lalu mengamuk pada pasukan
bathriq dengan sengit, bertubi-tubi. Semua pasukan bathriq berguguran kecuali
yang oleh Allah dikehendaki berumur panjang.
Mereka memacu kuda secepat-cepatnya.
Harta mereka dirampas oleh Muslimiin, dan kepala bathriq dipotong untuk ditusuk
dengan tombak. Darah kepala bathriq menetesi kaki beberapa orang. Mereka yang
ketakutan dan tidak mampu melawan ditahan.
Khalid dan pasukanya bertahlil dan bertakbir; yang lain menirukan. Lawan yang ditawan 300 orang, yang terbunuh dan dipotong kepalanya 700 orang. Para tawanan disuruh masuk Islam, namun menolak, “Kami akan membayar denda saja.”
Khalid dan pasukanya bertahlil dan bertakbir; yang lain menirukan. Lawan yang ditawan 300 orang, yang terbunuh dan dipotong kepalanya 700 orang. Para tawanan disuruh masuk Islam, namun menolak, “Kami akan membayar denda saja.”
Khalid berkata, “Mereka akan kita
bunuh di dekat istana, untuk menghina Musuh Allah.”
Dia berpikir lalu berkata, “Mestinya
kita ini mengepung istana, tapi kenapa justru pasukan kita dibunuh oleh mereka
dan binatang kendaraan kita dirampas? Berarti kita harus memasang mata-mata
pada semua ruas jalan, untuk mempermudahkan gerak kita, dan mempersulit mereka
keluar dari istana.”
Abu Ubaidah bersyukur, “Jazakallohu khoira (semoga Allah membalas kebaikan
padamu). Pandanganmu tepat sekali,” pada Khalid.
Di pagi yang menegangkan itu Abu
Ubaidah mengimami shalat subuh, lalu memanggil Abdur Rohman bin Abi Bakr,
Dhirar, Said, Qais, dan Maisarah, untuk memimpin beberapa pasukan yang
akan mengepung istana. Mereka diperintah agar menutup semua jalan menuju istana
Yuqana.
Abu Ubaidah memperbolehkan pulang ke
tenda, setelah Muslimiin berjaga dalam waktu lama, namun tidak menghasilkan yang
diharapkan.
Abu Ubaidah menarik pasukannya menuju desa Nairab yang jauh, sambil menunggu kelengahan lawan di dalam istana.
Abu Ubaidah menarik pasukannya menuju desa Nairab yang jauh, sambil menunggu kelengahan lawan di dalam istana.
Yuqana tidak turun dan tidak membuka
pintu gerbang istana.
Abu Ubaidah berpikir keras, lalu
berkata, “Ya Ayah Sulaiman, mata-mata Yuqana Musuh Allah, mengetahui banyak
tentang kita. Mereka melaporkan pada Yuqana. Telitilah di dalam pasukan kita!
Siapa tahu ada mata-mata yang menyusup” pada Khalid.
Khalid perintah agar pasukan
Muslimiin meneliti dan menangkap orang yang dicurigai. Khalid berkeliling untuk
mengamati barangkali ada orang yang dicurigai. Ada lelaki Nashrani mencurigakan
berbusana abaya dibalik. Lelaki itu ketakutan ketika didekati oleh Khalid. Dia
makin takut ketika Khalid membentak, “Hai! Kamu dari mana?.”
Dia menjawab, “Dari Yaman.”
Khalid bertanya, “Yaman mana?.”
Rencana dia akan bohong dibatalkan,
“Dari Ghassan.”
Dia pucat ketika ditangkap dan
dibentak, “Hai Musuh Allah! Kamu memata-matai kami!” oleh Khalid.
Dia mengelak, “Saya bukan orang
Nashrani, saya Muslim.”
Khalid membawa lelaki itu, untuk
dilaporkan, “Yang mulia, lelaki ini mencurigakan. Saya melihat dia baru hari
ini, di sini. Dia mengaku berasal dari Ghassan. Saya yakin dia penyembah Salib”
pada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah perintah, “Dites saja!.”
Khalid bertanya, “Bagaimana cara
mengetes dia?.”
Abu Ubaidah perintah, “Suruhlah
membaca Al-Qur’an dan shalat! Kalau tidak bisa berarti kafir.”
Khalid perintah, “Shalatlah dua
rakaat, dengan bacaan dikeraskan!.”
Mata-mata yang bisa berbahasa Arab
itu kebingungan. Kebingungannya memuncak ketika dibentak, “Hai Musuh Allah!
Kamu memata-matai kami,” oleh Khalid.
Dengan ketakutan mata-mata itu
mengakui sebagai mata-mata.
Khalid membentak, “Kamu sendirian?.”
Khalid membentak, “Kamu sendirian?.”
Dia menjawab, “Kami bertiga, yang dua
sedang pergi menghadap tuan Yuqana di istana, untuk melaporkan tentang kalian.
Saya di sini untuk memata-matai kalian sebagai bahan laporan.”
Muslimiin mengamati Abu Ubaidah
berkata, “Kamu memilih dibunuh atau masuk Islam?” pada mata-mata yang segera
menjawab, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah,
dan bahwa Muhammad Utusan Allah.”
Abu Ubaidah kembali lagi, mengepung istana hingga lelah. Telah empat atau lima bulan isana itu dikepung, namun Yuqana belum menyerah.
Umar selaku Amirul Mukminiin di Madinah, tidak tahu yang terjadi pada Abu Ubaidah dan pasukannya di kota Chalab (Aleppo). Beliau menulis surat untuk Abu Ubaidah:
Dari
Hamba Allah bernama Umar, untuk pegawainya bernama Abu Ubaidah. Sungguh saya
memuji pada Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Saya juga mendoakan
shalawat untuk Nabi-Nya, Muhammad SAW. Ketahuilah hai Abu Ubaidah, karena kau
lama tidak menulis surat untukku, maka hatiku gundah dan fisikku menjadi lemah,
karena memikirkan kalian sebagai saudara Muslimiin. Malam dan siang yang saya
pikir selama ini, kau dan pasukanmu. Saya sedang sedih karena, kau menyurati
saya, hanya jika menang perang dan mendapatkan rampasan perang. Saya
berdoa agar kau diberi kemenangan. Saya merindukan kalian seperti seorang ibu
rindu pada anaknya. Jika suratku telah kau baca, segeralah berjuang membela
Muslimiin.
Surat
segera dikirimkan pada Abu Ubaidah yang sangat berbahagia menerima suratnya.
Hatinya makin bahagia setelah membaca surat itu. Dia berkata, “Hai Muslimiin
semuanya! Ternyata Amirul Mukminiin Umar RA, mendoakan dan merasa senang dengan
perjuangan kita semua. Ini sebagai pertanda bahwa Allah akan segera menolong
kalian mengalahkan lawan.”
Pasukan
Muslimiin senang mendengar pernyataan Abu Ubaidah. Semangat yang tadinya hampir
pupus, kini tumbuh lagi menjadi menguat.
Abu
Ubaidah menulis surat jawaban untuk Umar:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Untuk Hamba Allah yang mulia, Umar,
selaku Amirul Mukminiin. Dari pegawainya di Syam, bernama Abu Ubaidah. Salamun alaik. Sungguh saya memuji Allah Taala dan
membaca shalawat untuk Nabi-Nya. Adapun setelah itu, wahai Amirul Mukminiin,
Allah Pemilik segala Pujian, yang telah menolong kami merebut kota Qinasrin.
Penduduk Chalab (Aleppo) telah minta damai dengan kami, namun di
istananya, raja mereka bernama Yuqana, yang pasukannya banyak sekali,
bersikeras tidak mau menyerah. Raja yang pandai bersiasat perang itu telah
berkali-kali bermakar atas kami. Dia yang kejam itu telah membunuh adiknya
sendiri bernama Yuchana yang telah mengucapkan syahadat. Dia telah membunuh
sejumlah pasukan Muslimiin peraih derajat Syuhada (Muslimiin yang gugur dilaporkan oleh
Abu Ubaidah). Namun Allah mengamati gerak-gerik mereka. Telah berbulan-bulan
kami berupaya menaklukkan mereka, tetapi tidak berhasil. Saya akan menarik
pasukan saya menuju negeri yang berada di antara Chalab dan Anthakiyah (Antioch),
namun jika anda menyetujui rencana ini.
والسلام عليك وعلى جميع المسلمين
Yang
diberi tugas mengantar surat, Abdullah bin Qurth dan Jadah bin Jubair (جعدة بن جبير). Mereka berdua bergegas pergi ke Madinah.
Di tengah perjalanan, mereka berdua terkejut oleh lelaki berbaju perang,
mengenakan helm perang berkilauan. Lelaki bertombak itu seperti akan menyerang.
Mereka berdua menyaksikan lelaki bertombak itu memacu kuda untuk mendekat.
Ternyata lelaki itu mengucapkan salam dan bertanya, “Kalian dari mana, mau
kemana?.”
Mereka berdua menjawab, “Kami utusan Abu Ubaidah, akan menghadap Umar bin Al-Khatthab RA. Kau siapa?.”
Mereka berdua menjawab, “Kami utusan Abu Ubaidah, akan menghadap Umar bin Al-Khatthab RA. Kau siapa?.”
Dia
menjawab, “Nama saya Hilal bin Badr Atthai (هلال بن بدر الطائي).”
Mereka
berdua bertanya, “Kenapa kau membawa senjata terhunus?.”
Dia menjawab, “Saya bersama sejumlah sahabat saya memang bertujuan perang, karena perintah Umar RA. Saya sengaja menghadang kalian, untuk bertanya bagaimana keadaan kalian. Para sahabat saya berada di belakang, akan segera kemari.”
Dia menjawab, “Saya bersama sejumlah sahabat saya memang bertujuan perang, karena perintah Umar RA. Saya sengaja menghadang kalian, untuk bertanya bagaimana keadaan kalian. Para sahabat saya berada di belakang, akan segera kemari.”
Hilal
membelokkan dan memacu kuda menuju para sahabatnya yang berjumlah banyak. Pada
mereka Hilal bercerita tentang pertemuannya dengan dua sahabat Rasulillah SAW,
bernama Abdullah dan Jadah. Wajah mereka ceria setelah mendengarkan penjelasan
Hilal. Arak-arakan pasukan itu meneruskan perjalanan menuju Syam.
Abdullah
dan Jadah memasuki Masjid Rasulillah SAW, mengucapkan salam pada Umar dan
Muslimiin. Lalu menyerahkan surat Abu Ubaidah, agar dibaca. Wajah Umar menjadi
cerah setelah membaca surat. Lalu
tangannya diangkat ke atas sambil berdoa, “Allahumma,
lindungilah Muslimiin dari kejahatan apa saja yang memiliki kejahatan.”
Lalu perintah pada Muadzin agar menyerukan shalat berjamaah.
Di
tengah jamaah, Umar membacakan surat Abu Ubaidah.
Kaum
dari Chadramaut, kaum Hamdan pinggiran kota Yaman, kaum Madan, dan kaum Marib,
berdatangan ke Madinah, untuk
memohon agar diperbolehkan membantu perang kaum Muslimiin di Syam.
Pada
pimpinan rombongan, Umar bertanya, “Berapa jumlah pasukan yang datang
kemari? Semoga Allah memberi Barakah pada kalian.”
Mereka menjawab, “Jumlah kami sekitar 400 pasukan berkuda, dan 300 binatang kendaraan, yang dikendarai berboncengan dan bergantian. Selain itu banyak pula yang berjalan kaki, dengan harapan Amirul Mukminiin meminjami kendaraan untuk ke sana.”
Mereka menjawab, “Jumlah kami sekitar 400 pasukan berkuda, dan 300 binatang kendaraan, yang dikendarai berboncengan dan bergantian. Selain itu banyak pula yang berjalan kaki, dengan harapan Amirul Mukminiin meminjami kendaraan untuk ke sana.”
Umar
bertanya, “Jumlah yang berjalan kaki berapa?.”
Mereka
menjawab, “Seratus empatpuluh orang.”
Umar
bertanya, “Apa ada orang yang dari pedesaan dan dari kalangan
hamba-sahaya?.”
Mereka
menjawab, “Betul! Tetapi tuan mereka telah memberi ijin.”
Umar
perintah putranya bernama Abdullah, “Pergilah menuju harta shadaqah! Mengambil
70 binatang kendaraan. Agar dikendarai bergantian dan dipergunakan membawa
bekal oleh mereka ini!.”
Abdullah
bin Umar mengeluarkan dan menyerahkan binatang kendaraan untuk mereka, dan
berkata, “Semoga Allah menyayang kalian, segeralah berangkat.”
In syaa Allah bersambung
0 komentar:
Posting Komentar