Karena telah hadir, Filasthin mendengar suara misterius itu. Dia makin terkejut karena jumlah pasukan Arab di
matanya, kelihatan berlipat ganda. Dia bersumpah, “Demi agamaku, tadinya jumlah mereka hanya sekitar limaribu pasukan berkuda. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi banyak sekali? Ini pasti karena Allah yang menurunkan para malaikat untuk
membantu mereka. Ayahku Hiraqla telah tahu pasti mengenai Kehebatan Kaum Arab. Sehingga dia mengirimkan lautan pasukan untuk menggempur mereka di Yarmuk. Pasukan
saya ini sangat sedikit, jika dibandingkan dengan pasukan
yang dikirimkan di Yarmuk, di bawah pimpinan Mahan saat itu.
Jumlah pasukan Mahan yang dari Romawi satujuta, enampuluh ribu. Saya menyesal
kenapa telah mengutus pasukanku kemari. Saya akan bermakar atas mereka.”
Filasthin memanggil alim besarnya, yang
bertempat tinggal di Qaisariyah. Kepadanya, Filasthin perintah, “Datang dan
katakan pada kaum itu dengan sopan: ‘Sungguh putra raja minta, agar kalian mengirimkan utusan yang sopan
tutur-katanya’.”
Alim besar itu mengendarai kuda putih berbusana sutra
hitam, untuk mengemban tugas. Busana luarnya jemper dari
bulu, tangannya membawa Salib gemerlapan dari jauhari. Kudanya berlari membawa
dia mendekati pasukan Muslimiin.
Orang itu berhenti untuk berteriak, “Hai kaum Arab!
Saya diutus oleh Raja Filasthin putra Raja Hiraqla, untuk minta
agar kalian mengirimkan utusan yang tutur-katanya fasih! Demi Allah, beliau ingin damai dengan kalian. Beliau faham benar
dengan agama dan urusannya. Beliau tidak senang berperang, maka jangan menyerbu
kami! Orang yang jahat akan kalah dan yang teraniaya akan mendapat pertolongan.
Dulu Al-Masich (الْمَسِيح) pernah bersabda ‘jangan kalian perangi, kecuali orang yang menyerang kalian!’. Kabulkanlah
permintaan raja kami.”
Amer berkata, “Hai semuanya! Kalian telah mendengar
ucapan dia! Siapa yang ingin mencari Keridhoan Allah dan RasulNya!
Segeralah mendatangi raja Romawi."
Bilal bin Chamamah, muadzin Rasulillah SAW, berkulit hitam berperawakan tinggi, maju. [1] Dengan mata memerah, dia berkata keras, “Ya Amer! Saya yang akan datang ke sana!.”
Amer menjawab, “Ya Bilal! Kau muadzin Rasulillah SAW.
Selain itu, asalmu dari Chabasyi, bukan Arab.”
Amer terkejut dan berkata, “Kau telah bersumpah dengan
yang sangat agung. Silahkan kesana dan mintalah pertolongan pada Allah! Jangan
takut! Dan belalah Islam!.”
Bilal berperawakan tiggi berdada lebar, bergegas menuju Filasthin. Lelaki berwajah sangar
menakutkan itu, bergamis model Syam dan bersurban. Tangan kanannya
memanggul pedang, tangan kirinya memanggul
perbekalan, dengan
tongkat.
Dia keluar dari barisan pasukan, mengejutkan sang Alim Nashrani yang mengundang. Utusan Filasthin berbaju hitam itu berkata, “Kurang ajar! Yang kami harapkan di antara mereka, yang merdeka. Tetapi mereka justru mengutus seorang budak? Ini penghinaan atas kami.” Lalu membentak, “Hai budak! Kembalilah pada tuanmu! Untuk berkata ‘yang diminta oleh Raja Filasthin pimpinan kalian!.”
Bilal menjawab, “Hai orang alim, sayalah Bilal kekasih
dan muadzin Rasulillah SAW. Saya mampu melaksanakan tugas ini dengan
baik.”
Lelaki berbaju hitam itu perintah, “Kamu di sini
dulu! Saya akan bertanya pada rajaku dulu, mengenai kamu yang akan menghadap.”
Alim Nashrani berbaju hitam itu, mengendarai kuda, meninggalkan tempat, menuju Filasthin. Dia berkata, “Yang mulia, yang diutus agar datang kemari, seorang budak hitam. Ini berarti menghina pada kita.”
Filasthin perintah pada lelaki, agar datang
dan berkata pada Bilal, “Hai orang Hitam! Sampaikan pada
majikanmu, raja berpesan, ‘kami takkan menerima kedatangmu.
Yang kami terima hanya pimpinan kalian, atau yang mewakili’.”
Bilal memacu kuda untuk kembali memasuki barisan dengan marah, karena tersinggung. Lalu melaporkan, “Yang akan diterima hanya kau atau wakil kau” pada Amer.
Pada Syurachbil, Amer berkata, “Saya yang akan datang kesana.”
Syurachbil menjawab, “Kalau kau yang kesana lalu siapa
yang memimpin kami?.”
Amer menjawab, “Allah Maha Sayang pada Hamba-HambaNya. Dia Lebih Sayangnya para penyayang, terhadap MakhluqNya. Peganglah panji ini! Dan pimpinlah
pasukan Muslimiin, sementara! Jika mereka berkhianat atas diriku,
Allah yang akan mewakili saya mengurusi kalian.”
Syurachbil berhenti di tempat Amer, dan menerima panji.
Dengan berbaju perang dan bersurban kuning, Amer naik kuda, untuk bersiap menuju Filasthin. Dengan ikat pinggang dan tombak di tangan, Amer kelihatan gagah.
Dengan berbaju perang dan bersurban kuning, Amer naik kuda, untuk bersiap menuju Filasthin. Dengan ikat pinggang dan tombak di tangan, Amer kelihatan gagah.
Dia ditertawakan oleh penerjemah
Filasthin. Dia menegur, “Kenapa tertawa?.”
Penerjemah menjawab, “Kau ini aneh, kenapa membawa
pedang? Kami tidak akan berperang.”
Dia berkata, “Memang orang Arab suka
membawa pedang. Barangkali bertemu musuh, maka bisa untuk membela diri.”
Penerjemah menghentikan jalannya, “Berhenti
dulu di sini!.” Lalu memacu kuda, meninggalkan Amer, untuk menghadap Filasthin. “Yang mulia, pimpinan
pasukan Arab datang kemari membawa pedang.”
Filasthin perintah, “Suruhlah menghadap kemari!.”
Filasthin perintah, “Suruhlah menghadap kemari!.”
Penerjemah memacu kuda meninggalkan tempat; Filasthin perintah agar pasukan disiapkan, untuk menyambut kedatangan Amer. Sejumlah ulama Nashrani berbaris di kanan dan kiri Filasthin; sejumlah pengawal berbaris di depannya.
Oleh Filasthin, penerjemah diperintah, “Datang dan katakan padanya ‘raja telah siap menerima kehadiranmu!’.”
Penerjemah memacu kuda untuk menjemput Amer yang akan
menghadap. Beberapa mata, dari deretan panjang barisan
pasukan Qaisairiyah, terbelalak, menyaksikan
Amer didampingi penerjemah dengan berkuda. Hampir semua mata mengamati Amer berkuda, hingga depan tenda utama, yang di
dalamnya ada Filasthin dan para pengawalnya.
Amer menambatkan kuda, lalu sejumlah pengawal mengantarkan dia menghadap Filasthin.
Filasthin mengucapkan, “Selamat datang Komandan” Lalu
mempersilahkan duduk di kursi.
Amer menolak, “Karpet Allah Lebih Suci daripada kursimu. Tanah adalah karpet alami
pemberian Tuhan. Saya hanya akan menduduki tempat yang diijinkan oleh Tuhan.”
Amer duduk di tanah. Tombaknya diletakkan di depannya, dan pedangnya dipangku di atas paha kirinya. Ketika dia memandang; Filasthin bergetar dan bertanya, “Siapa namamu?.”
Seri sebelumnya, klik di sini
[1]
Ibu Bilal
bernama Chamamah, ayahnya
bernama Rabach. Ibnul-Atsir menulis tentang itu: أسد
الغابة - (ج 1 / ص 129)
قيل: هو بلال بن رباح المؤذن، وحمامة: أمه نسب إليها.
Artinya:
Dikatkan, “Dialah Bilal bin Rabach Al-Muadzin; Chamamah adalah ibunya. Dia
dinasabkan padanya.”
[2] Mungkin Bilal dan Amer, tidak tahu bahwa nabi SAW
pernah melarang bersumpah dengan selain Nama Allah.
0 komentar:
Posting Komentar