SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

2011/08/25

KW 120: Perang Yarmuk (اليرموك)


 (Bagian ke-120 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Bathriq Memperkosa

Mahan kembali menuju lautan pasukannya yang telah bertambah lebih dari sejuta pria. Dalam dewan perang itu sejumlah pejabat tinggi militer, para bathriq, para rahib, dan para ulama Nasrani berkumpul untuk menemani Mahan makan-makan.
Di pesta yang dihadiri oleh pejabat tinggi itu Mahan tak menyentuh makanan sama sekali. Hatinya gundah karena mimpi yang dialami dan disampaikan dengan berbisik oleh bathriq itu terus hadir dalam benaknya. Sebetulnya sejak awal, Mahan lebih senang jika tidak ditunjuk sebagai Panglima Besar, yang harus memimpin perang lebih dari sejuta pasukan berkuda itu. Dia lebih senang berdamai dengan kaum Arab meskipun harus membayar pajak dan hina. Tetapi hampir semua petinggi militer memohon agar peperangan melawan kaum Arab dilaksanakan.
Sejumlah petinggi militer dan tokoh besar agama memberanikan diri mendekati untuk bertanya pada Raja Mahan, “Apa yang membuat yang mulia tidak berselera makan?. Kalau karena tewasnya pasukan tuan yang berjumlah banyak, besok kita akan mengamuk agar menang. Memang terkadang perang dimulai kalah duluan. Kalau pasukan kita telah menyerbu mereka dengan serempak pasti mereka akan mati semuanya.”
Perkataan Mahan sangat berwibawa, “Saya juga yakin kalian bisa menang. Karena di antara kalian ada yang tidak memurnikan agama dan berbuat aniaya lah sehingga pasukan Arab bisa mengalahkan pasukan kita.”
Dengan marah dan menangis, lelaki bertangan buntung menyela mengejutkan, “Yang mulia! Saya telah hidup lama, beragama seperti tuan. Saya pemilik 100 ekor kambing yang digembala oleh anak laki-laki saya. Seorang bathriq bawahan tuan telah memukulkan tiang dari pagar rumahnya pada seekor kambing saya untuk dirampas, untuk memenuhi kebutuhannya. Pasukan bathriq itu menyerang sisa-sisa kawanan kambing saya yang sedang merumput. Istri saya melaporkan pada anak laki-laki saya, bahwa semua kambing saya dirampas oleh pasukan bathriq. Bathriq aniaya itu marah dan menangkap istri saya untuk dipaksa dimasukkan ke rumahnya. Karena lama tidak keluar, anak laki-laki saya mendekati rumah itu. Ternyata  bathriq itu memperkosa istri saya. Anak saya berteriak minta tolong, namun justru dihajar untuk dibunuh. Saya datang untuk menyelamatkan anak dan istri, namun saya justu ditebas pedang. Tangan saya putus ketika menangkis pedang itu. Lihat ini potongan tangan saya.”
Lelaki itu menunjukkan potongan tangannya pada Raja Mahan.
Kemarahan Mahan meledak menakutkan hadirin. Pada lelaki dari kaum taklukan yang telah beragama Nashrani itu, Mahan bertanya, “Kau tahu bathriq yang mana yang telah menganiayamu?.”  
Lelaki itu berkata, “Ini orangnya,” sambil menunjuk seorang.
Mata Mahan melotot mengamati bathriq dengan marah. Si Bathriq marah karena dilaporkan pada atasannya; sejumlah bathriq juga marah karena membela pimpinan mereka dan karena juga dilaporkan. Lelaki malang bertangan buntung  itu dihajar oleh kawanan bathriq. Meskipun telah terkulai dan bermandi darah, lelaki itu ditebas pedang bahkan dipotong-potong oleh kawanan bahriq yang kesetanan itu.  
Mahan menyaksikan kekejaman itu dengan matanya. Kemarahan Mahan memuncak dan meledak-ledak, “Kalian hina! Demi kebenaran Al-Masih, kalian akan rusak! Kalian ingin mengalahkan pasukan Arab! Namun perbuatan kalian memalukan! Tak takutkah kalian jika besok di hari kiamat kalian akan dikisos?. Allah juga akan menindak dan mengambil kebaikan kalian untuk diberikan pada kaum yang memerintahkan kebaikan dan menghalang-halangi kemungkaran? Demi Allah derajat kalian di hadapanku seperti anjing-anjinag! Kalian akan merasakan akibat penganiayaan kalian ini semuanya, hingga kalian akan mendapatkan kehinaan!.”
Mahan berpaling dari mereka dengan wajah dan mata merah.

Majlis itu telah sepi. Tinggal seorang bathriq yang mendekat dan berbicara pada Mahan, “Yang mulia, demi Allah pasukan ini akan bernasib seperti yang tuan katakan. Kita akan kalah. Sungguh semalam saya telah bermimpi melihat sejumlah lelaki turun dari langit berkendaraan kuda kelabu. Mereka mengelilingi pasukan Arab dengan membawa pedang istimewa yang terhunus; kita berada di dekat mereka. Pasukan kita yang keluar dari barisan ditebas pedang oleh mereka, hingga kebanyakan pasukan kita tewas.”
Mahan terperangah karena sebelumnya juga ada bahriq yang bermimpi seperti itu. Mulai dari sejak itu hingga malam kelam, Mahan kesulitan tidur karena berpikir keras mengenai yang harus dilakukan pada pasukan Muslimiin.

Di pagi yang gelap itu barisan pasukan Muslimiin telah rapi. Mereka melihat pasukan Romawi bimbang dan grogi. Membuat keyakinan mereka akan menang semakin besar menguat. Walau begitu Abu Ubaidah mengingatkan, “Biarkan, jangan diserang. Menyerang orang lemah kelakuan orang rendah.”

Empat raja bawahan Raja Mahan berkumpul: 1), Raja Qanathir. 2), Raja Jarjir. 3), Raja Dirjan. 4), Raja Qurin.
Empat raja itulah yang diperintah oleh Raja Mahan agar memimpin pasukan berjumlah lebih sejuta. Mereka berempat menunggu kehadiran Raja Mahan yang akan diminta agar memberi idzin mereka memulai menyerang pasukan Arab. Jawaban Mahan mengejutkan, “Bagaimana mungkin saya akan menyerang kaum dengan pasukan yang aniaya?. Jika kalian hebat! Seranglah mereka untuk membela kerajaan dan menyelamatkan wanita kalian!.”
Mereka menjawab, “Hari ini kami bertekat akan menyerang mereka. Demi kebenaran Al-Masih, mereka semua akan kami sapu dari kota Syam, meskipun untuk itu kami harus mati. Sumpah dan utuslah kami sekarang juga agar menyerang mereka. Jika tuan ingin melihat kami berempat yang lebih lihai dalam memimpin perang; utuslah kami bergantian, agar bisa dinilai. Jika pasukan Arab kalah, harta mereka akan kami rampas untuk dikembalikan lagi pada tempat semula. Hanya saja untuk sementara peperangan diistirahatkan biar pasukan Arab sengsara dulu.”  
Mahan berkata, “Ya, usulan kalian saya terima. Sekarang istirahatlah hingga saya kirim surat pada Raja Hiraqla mengenai rencana ini.”

Mahan menulis surat:
Amma ba’du: Yang mulia, saya berdoa semoga Allah menolong dan memberi kejayaan tuan. Tuan telah mengutus saya memimpin pasukan yang jumlah mereka tidak bisa dihitung. Saya telah bergerak menuju halaman pasukan Arab untuk memberi makanan, namun mereka tidak mau menerima. Saya telah minta damai, namun mereka tidak mau. Saya telah menyuap agar mereka pergi, namun mereka bersikeras. Sungguh pasukan Raja grogi sekali melihat mereka. Saya takut jika rasa grogi ini akan berkembang, karena pasukan kami telah melakukan sejumlah penganiayaan. Saya telah mengumpulkan orang-orang pandai demi abadinya kerajaan tuan, untuk menyatukan tekat bulat. Akhirnya kami sepakat: 1), Akan menyerbu mereka dengan serempak, dengan serbuan yang bertubi-tubi selama sehari penuh. 2), Kami tidak boleh lari meskipun harus mati menerima keputusan Allah. Jika Allah nanti membuat musuh mengalahkan kami, maka terimalah keputusan Allah itu. Sadarilah bahwa dunia pasti akan menjauhi tuan. Jangan menyesali yang lepas dari kekuasaan tuan. Jangan merasa memiliki pada yang tuan kuasai. Sekarang silahkan tuan mengungsi ke kastil dan negri tuan yang di Qusthanthiniyyah (القسطنطينية). Lindungilah rakyat tuan dengan baik, niscaya Allah berbuat baik pada tuan. Sayangilah rakyat tuan, niscaya Allah menyayang tuan. Merendahlah karena Allah, niscaya Allah mengangkat tuan. Allah tidak senang orang-orang yang sombong. Sebetulnya pimpinan Arab bernama Khalid telah saya panggil untuk dibunuh, tapi akhirnya saya menyadari bahwa pelaku kecurangan justru akan celaka. Akhirnya saya menyadari bahwa pasukan Arab menang karena menegakkan keadilan dan kebenaran.
والسلام

Surat dilipat, lalu diberikan pada sejumlah orang, agar diantarkan pada Raja Hiraqla.

Telah seminggu peperangan istirahat. Abu Ubaidah menyuruh sejumlah mata-mata agar mempelajari penyebab pasukan Romawi tidak melancarkan serangan. Selama sehari semalam mata-matanya pergi ke kubu Romawi.

Mata-mata melaporkan, “Karena Raja Mahan telah kirim surat pada Raja Hirqla, dan sedang menunggu jawabannya.”
Khalid berkata, “Itu berarti Mahan takut kita, sekarang mari kita serbu!.”
Pasukan Muslimiin menyaksikan Abu Ubaidah menjawab, “Jangan tergesa-gesa. Tergesa-gesa karena pengaruh syaitan.”
Sejak dulu Abu Ubaidah memang sangat penyabar dan mementingkan kesopanan.

Setelah istirahat perang telah delapan hari, Mahan memanggil lelaki dari Lakhm (لَخْم) untuk diperintah, “Menyusuplah pada kaum Arab itu untuk mengumpulkan berita penting yang harus kau laporkan padaku!.”
Mata-mata telah masuk ke pertengahan pasukan Muslimiin untuk mengumpulkan berita, selama sehari semalam. Tugas bisa dilakukan dengan baik karena tidak ada yang mencurigai padanya. Ternyata Jamaah itu mementingkan kedamaian. Yang mereka amalkan: shalat, membaca Al-Qur’an, dan bertasbih. Tidak ada orang bertikai maupun penganiayaan.
Dia memberanikan diri mendekati Abu Ubaidah RA. Ternyata panglima perang itu justru kelihatan lemah. Terkadang Abu Ubaidah duduk, terkadang berbaring. Jika waktu shalat tiba, Abu Ubaidah berwudhu; para muadzin mengumandangkan adzan. Abu Ubaidah mengimami shalat pada mereka.
Mata-mata heran ketika melihat gerakan shalat Abu Ubaidah diikuti oleh jamaah semuanya. Lalu berkata dalam hati, “Ini ketaatan baik yang akan berdampak kemenangan.”

Mata-mata kembali menghadap Mahan untuk melaporkan semua yang disaksikan: “Yang mulia, ternyata mereka berpuasa di siang hari, shalat di malam hari, memerintahkan kebaikan, dan melarang perbuatan mungkar. Kalau malam seperti rahib, kalau siang seperti singa jantan. Mereka menegakkan hukum: Seandainya seorang tokoh mencuri, pasti telah dipotong tangannya. Kalau ada yang zina pasti telah dirajam. Nafsu mereka dipaksa agar mengikuti kebenaran. Panglima mereka justru seperti orang yang tak berdaya, tapi sangat ditaati. Yang menarik perhatian, ketika mereka shalat: Jika pimpinannya berdiri; semua berdiri. Jika duduk; semua duduk. Hobi mereka justru berperang, cita-cita mereka mati syahid. Ternyata mereka tidak menyerbu karena menunggu serangan kita.”
Mahan berkata, “Mereka ada kemungkinan menang. Namun saya akan melancarkan tipu muslihat atas mereka.”
Mata-mata bertanya, “Apa rencana tuan?.”
Mahan menjawab, “Bukankah kau sendiri yang telah berkata ‘mereka takkan mendahului menyerang kita?’. Agar kita berbuat aniaya?.”
Mata-mata menjawab, “Betul.”
Mahan berkata, “Saya takkan menyerang mereka untuk mengulur waktu, agar mereka lengah. Saat itulah kami akan meyerang mendadak.”

Mahan mengumpulkan para pejabat tinggi untuk membagikan panji-panji dan Salib-salib.
Membagi panji berjumlah banyak, dan Salib sejumlah 120 memakan waktu yang lama. Tiap orang yang diberi Salib, memimpin 10.000 pasukannya yang berderet memanjang ke belakang.
Qanathir raja yang pangkatnya sama dengan Raja Mahan, menerima Salib pertama kali. Dia ditugaskan memimpin pasukan sebelah kanan.
Salib kedua diberikan pada Raja Dirjan yang diperintah agar memimpin kaum Armenia, Najed, Nubia, Rusia, dan Shaqaliqah.
Salib ketiga diberikan pada putra saudara perempuan Mahan yang diperintah memimpin kaum Perancis, Hiraqliyah, Qayashirah, Yarful, Dauqas.
Kepada Raja Jablah yang memimpin kaum Nashrani dari Lakhm, Judzam, Ghassan, dan Dhabbah, Raja Mahan memberi panji dan Salib, dan perintah jika terjadi peperangan ‘agar yang menyerang pertama kali’.
Pada Jabalah, Mahan berpesan, “Kalian kaum Arab; musuh kita kaum Arab. Yang mematahkan besi, besi yang lebih kuat.”
Lalu Mahan membagi panji-panji pada masing-masing barisan.

Ketika fajar telah menyingsing, dan ufuk timur memerah, tugas Mahan telah selesai. Selanjutnya Mahan perintah agar dibuatkan bangunan darurat yang diletakkan di atas gunung, untuk mengawasi pasukan Muslimiin dan pasukan Mahan sendiri.
Tempat itu dijaga oleh 1.000 pasukan berkuda di kanannya, yang memanggul pedang terhunus. Di sebelah kiri tempat itu juga dijaga pasukan berkuda, yang berjumlah sama dengan yang sebelah kanan, juga berpedang terhunus. Hanya saja pasukan berkuda yang di sebelah kiri bangunan itu para pejabat militer yang duduk di atas kursi.  

Mahan berkata, “Pasti pasukan Arab, benci melihat kehebatan kita ini. Persiapan kita lengkap, sedangkan mereka tak memiliki yang patut dibanggakan. Jika kalian melihat mereka lengah, seranglah dengan serempak dari segala penjuru. Jumlah mereka sangat sedikit dibanding jumlah pasukan kita!.”

Pagi indah datang lagi; ufuk timur disinari oleh sang fajar. Seorang lelaki menyerukan iqamat. Abu Ubaidah yang tak tahu bahwa keamanannya terancam itu mengimami shalat subuh. Orang yang selalu menyerahkan urusannya pada Allah itu setelah membaca Al-Fatichah, membaca surat Al-Fajr. Dalam surat Al-Fajr yang agung itu Allah menanyakan pada nabi SAW mengenai: 1), Apakah beliau pernah mengerti kisah kaum Ad (Iram) yang (saat itu) kekuatannya mutlak tak ada manusia yang membandingi. 2), Kaum Tsamud yang mampu memotong batu besar di jurang. 3), Kaum Firaun yang memiliki pasak-pasak penyiksa. Kejahatan tiga kaum itu telah membuat menderita pada sejumlah penduduk negara. Akhirnya Tuhan nabi menuangkan cambuk siksaan atas mereka.
Lalu Allah menjelaskan, “Sungguh Tuhanmu niscaya dalam keadaan waspada.”
Dan seterusnya.

Bacaan yang indah menggetarkan itu aneh sekali. Dalam kekhusukan Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin yang penuh itu, mereka terkejut oleh suara, “Kalian akan menaklukkan lawan! Demi Tuhan kejayaan! Siasat yang mereka lancarkan takkan bermanfaat sedikikitpun! Allah memberi kabar gembira ‘kalian akan menang’ melalui surat yang dibaca oleh Imam kalian ini!.”
Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin menjalankan shalat dengan merinding dan kekhusukan maksimal.
Di rakaat kedua Abu Ubaidah membaca Al-Fatichah dan surat As-Syams. Pembacaan yang dilantunkan dengan memukau itu menggetarkan semua Jamaah shalat subuh. Surat As-Syams berisi sumpah Allah:
Demi matahari dan terangnya
Demi bulan ketika mendekatinya.
Demi siang apabila menampakkannya
Demi malam ketika menutupinya
Demi langit dan pembangunnya.
Demi bumi dan yang menyempurnakannya
Demi jiwa dan yang menyempurnakannya
Lalu memberikan ilham jelek dan dan ketaqwaannya
Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya
Dan sungguh rugi orang yang membuat dirinya durhaka
Kaum Tsamut telah mendustakan karena kedurhakaan mereka
Ketika itu lebih celakanya mereka berbuat aniaya
Rasulullah pun berkata pada mereka
Perhatiknlah Unta Allah ini dan minumannya
Namun mereka mendustakan dia dan menyembelih unta
Akhirnya Tuhan mereka menghancurkan meratakan pada mereka
Dan tak mengkhawatirkan akibat mereka.

Lagi-lagi Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin yang sedang bergetar khusuk di dalam shalat subuh terkejut oleh suara, “Kalimat harapan itu sempurna! Dan tindakan akan segera terwujud! Ini sebagai pertanda yang pasti!.”

Seusai shalat subuh pasukan Muslimiin riuh. Abu Ubaidah bertanya, “Apakah kalian mendengar kalimat tadi?.”
Mereka menjawab, “Mendengar!,” dengan serempak.
Ada yang berkata, “Kami mendengar perkataan dalam dua rekaat (‘begini begini’).”
Abu Ubaidah berkata, “Ini bisikan kemenangan! Berbahagialah menyambut petolongan Allah! Demi Allah, Allah akan menolong kalian dengan mengujankan cambuk adzab pada mereka, sebagaimana dulu Allah pernah mengadzab bangsa kuno yang durhaka.”
Pasukan Muslimiin memperhatikan Abu Ubaidah berkata, “Semalam saya bermimpi yang saya takwilkan bahwa; perang ini akan kita menangkan, karena kita akan dibantu para mlaikat.”
Muslimiin sama bertanya, “Mimpi itu bagaimana? Semoga Allah berbuat baik pada tuan.”
Abu Ubaidah berkata, “Dalam mimpi itu saya melihat kita di dekat musuh. Tiba-tiba kita dikerumuni sejumlah pasukan berwajah tampan berbusana putih. Busana mereka membiaskan cahaya yang menyilaukan mata. Mereka bersurban hijau, membawa panji-panji berwarna kuning, berkuda kelabu. Mereka berkata ‘kalian mampu mengalahkan mereka. Allah akan menolong kalian’.
Sejumlah pasukan kita dipanggil untuk diberi minum dari gelas yang mereka bawa. Begitu pasukan kita menggempur; pasukan Romawi porak-poranda dan berlarian.”  

0 komentar:

Posting Komentar