SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

2011/08/22

KW 117: Perang Yarmuk (اليرموك)


 (Bagian ke-117 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Lima tawanan dilepaskan

Terkadang Mahan membetak, terkadang merayu agar Khalid mau berdamai. Khalid hanya diam mendengarkan hingga Mahan selesai berbicara. Setelah selesai, Mahan memperhatikan Khalid berkata, “Sungguh raja telah mengutarakan pernyataan dengan baik; dan kami telah memperhatikannya. Sekarang gantian kami yang berbicara dan diperhatikan.” [1]
Khalid berkata, “Segala puji bagi Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah.”
Mahan terkejut dan mengangkat tangannya ke arah langit lalu berkata, “Ini sebaik-baiknya perkataan yang kau tuturkan, hai orang Arab.”
Khalid melanjutkan, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, dan Muhammad Utusan Allah yang diridhoi, juga Nabi-Nya yang dipilih SAW.”
Mahan menyela, “Saya tidak tahu apakah Muhammad Utusan Allah?. Tapi bisa jadi perkataanmu benar.”
Khalid berkata, “Amalan dan perkataan seorang akan dinilai.”
Lalu berkata lagi, “Waktu-waktu paling utama ialah ketika Allah Tuhan seluruh alam muncul.”
Mahan terkejut lalu berpaling dan berkata, “Ternyata dia orang pintar yang memahami hikmah.”
Khalid ingin tahu ucapan Haman yang disampaikan pada bawahannya dengan bahasa Romawi: “Apa maksudmu?.”
Setelah Mahan menjelaskan, Khalid berkata, “Kalau saya dianggap pandai Al-Hamdu lillah. Kami pernah mendengar Muhammad nabi SAW kami bersabda ‘ketika Allah mencipta akal yang membuat orang pandai. Maksudnya telah membentuk dan merancangnya’, perintah ‘menghadaplah!’.
Akal menghadap pada Allah. Allah perintah ‘berpikirlah!’. Akal pun berpikir. Allah berfirman ‘demi kedahsyatan dan keagunganKu, Aku tidak mencipta ciptaan yang lebih menyenangkanKu dari pada kau. Sebab engkaulah kau mentaatiKu dan memasuki surgaKu’.”
Dengan heran, Mahan bertanya, “Jika kau sepandai ini kenapa membawa orang sebanyak ini?.”
Khalid menjawab, “Mereka saya ajak bermusyawarah.”
Mahan bertanya, “Orang sepandai kau masih membutuhkan bermusyawarah dengan orang lain?.”
Khalid menjawab, “Iya, karena Allah perintah pada Nabi-Nya agar demikian: ‘Dan ajaklah mereka bermusyawarah untuk perkara. Namun jika kau telah memutuskan, maka bertawakkallah pada Allah’. [2] Nabi SAW juga bersabda ‘orang yang tahu keterbatasannya, takkan merugi. Orang yang bermusyawarah takkan sia-sia’. Meskipun kau mengatakan saya pandai, namun saya tetap membutuhkan mereka untuk bermusyawarah.”
Mahan berkata, “Apa pasukanmu ada yang pandai sepertimu?.”
Khalid berkata, “Ada lebih dari seribu orang.”
Mahan berkata, “Tadinya saya tidak menyangka kaummu ada yang pandai. Saya kira kalian hanyalah kaum yang rakus dan bodoh yang suka berselisih sesama kalian, dan suka merampok.”
Khalid berkata, “Dulu kebanyakan kami memang demikian. Lalu Allah mengutus Muhammad nabi kami agar menunjukkan kami jalan yang benar. Kami pun memahami perbedaan baik dan jelek, sesat dan benar.”
Mahan berkata, “Hai Khalid, sungguh saya kagum pada kepandaianmu. Saya ingin kita bersaudara.”
Khalid menjawab, “Betapa bahagianya diriku jika ucapanmu kau lanjutkan agar kau sempurna dan beruntung dan kita menjadi sahabat karib.”
Mahan bertanya, “Bagaimana caranya?.”
Khalid menjawab, “Katakan ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah-sembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad SAW hamba dan Utusan Allah yang dulu pernah diberitakan oleh Isa bin Maryam AS’. Jika kau mau mengucapkannya kau menjadi saudara dan orang pilihanku. Kita pun takkan berpisah kecuali ada sesuatu.”
Mahan berkata, “Mengenai saya meniggalkan agama saya untuk memasuki agamamu, itu tak mungkin.”
Khalid menjawab, “Berarti kita juga tak mungkin menjadi saudara, karena kau beragama sesat.”
Mahan berkata, “Walau begitu saya ingin pembicaraan kita seperti saudara pada saudara. Jawablah ucapan yang telah saya katakan tadi!.”
Khalid menjawab, “Amma badu: yang kau katakan ‘kaummu makmur dan berkecukupan’  memang benar. Begitu pula ‘pertahanannya yang kuat untuk menghadapi musuh’. Kami juga tahu hal itu. Mengenai ‘kalian berbuat baik dengan negri tetangga’ juga kami ketahui. Tetapi itu hanya siasat agar kerajaan kalian abadi dan bertambah kokoh. Ujungnya agar kalian mampu menaklukkan lawan. Mengenai ‘kami hanya orang miskin yang menggembala unta dan kambing’ memang benar, bahkan kami beranggapan yang menjadi penggembala justru lebih utama. Mengenai ‘tanah kami yang tandus’ juga benar, di sana tidak ada pohon dan sungai seperti di sini. Dulunya kami memang kaum yang bodoh dan miskin, hartanya hanya pedang, kuda, unta, dan kambing. Dan kami suka berperang, waktu aman bagi kami selama setahun hanya empat bulan haram. Dulu yang kami sembah berhala-berhala yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak bermanfaat. Kalau saat itu kami meninggal pasti masuk neraka. Beruntung sekali Allah mengutus nabi yang telah kami ketahui nasabnya. Melalui perjuangannya Islam makin berjaya dan kekafiran sirna. Ini berkat mukjizat berbentuk Al-Qur’an yang diturunkan pada terakhirnya para nabi AS. Yang pasti ‘syirik hukumnya dosa besar. Allah tak beristri dan tak berputra, kepada-Nya lah kita harus menyembah. Menyembah matahari, bulan, sinar, Salib, dan api, adalah haram’. Muhammad SAW yang kami ikuti dan kami taati perintah ‘agar kami memerangi orang yang tidak beragama seperti kami. Tepatnya orang yang tidak menyembah Allah yang tak pernah mengantuk maupun tidur’. Kalau kau mau Islam berarti kau saudara kami yang mempunyai hak dan kewajiban seperti kami. Kalau tidak mau Islam, harus membayar pajak pada kami dengan hina, agar tidak kami serang. Ajakan kami adalah salah satu dari tiga: 1), Katakan ‘asyhadu an laaa Ilaaha illaa Allah wahdaH. Laa syaajariika laH. Wa asyhadu anna Muhammadan abduHu wa RasuluH’. 2), Atau membayarlah pajak tiap tahun pada kami, bagi kalian yang telah dewasa. Wanita dan rahib di dalam biaranya dikecualikan dari pembayaran pajak ini.”
Mahan bertanya, “Setelah berkata ‘laa Ilaaha illaa Allah apa masih ada kewajiban?’.”
Khalid menjawab, “Betul, melakukan shalat, memberikan zakat, haji ke Baitullah, memerangi orang yang mengkufuri Allah, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran. Jika kalian tidak menerima dua pilihan di atas, yang nomer 3), Kita harus berperang sebagai jalan agar Allah memberikan bumi-Nya pada yang Dia kehendaki. Dan kejayaan akan diberikan secara khusus pada orang-orang taqwa.”   
Mahan menggertak, “Silahkan berperang dengan kami! Terus terang kami tidak mau murtad dari agama kami dan tidak mau membayar pajak sebagai pertanda hina! Memang bumi ini akan diberikan oleh Allah pada yang dikehendaki! Bumi ini dulunya juga bukan milik kami! Karena kami dulu kaum yang menetapi kebenaran, maka Allah memberikan bumi ini untuk kami melalui jalan perang. Kini kita harus berperang, bersiaplah!.” [3]
Khalid menggertak, “Dalam peperangan ini kau akan tertawan dan dihadapkan pada Umar bin Khatthab RA dalam keadaan diikat dan hina. Selanjutnya lehermu akan dipotong!.”
Mahan tersinggung dan kemarahannya pada Khalid meledak lagi lebih keras. Sejumlah pengawal Mahan yang terdiri dari para bathriq dan pejabat tinggi menghunus pedang untuk menyerang Khalid dan lainnya. Mereka menunggu perintah dari Mahan. Mahan bersumpah pada Khalid, “Demi kebenaran Al-Masih! Lima sahabatmu akan saya hadirkan kemari untuk saya potong leher mereka di depan matamu!,” dengan suara tinggi sekali.
Khalid menggertak, “Hai Mahan! Justru kau yang hina yang akan lebih dulu putus lehernya! Kau harus tahu! Kami dengan lima orang yang kau tawan itu satu kesatuan! Kalau kau berani membunuh lima orang tawananmu itu! Pasti kau akan saya bunuh dengan pedangku ini! Dan kawan-kawanku ini akan mengamuk untuk memporak-porandakan pasukanmu!.”
Suasana sangat tegang.
Khalid dan seratus sahabatnya menghunus pedang sambil membaca, “Laa Ilaah illaa Allah, Muhammadun Rasulullah,” lalu bersiap-siap menyerang. Tekat mereka harus membunuh lawan sebanyak-banyaknya meskipun harus berakhir dengan mati syahid. Mahan bergetar ketakutan.

Rafi bin Mazin (رافع بن مازن) termasuk di antara seratus pasukan Khalid, berkata, “Ketika kami menghunus pedang mengikuti Khlid. Kami khawatir akan dikeroyok dan dipotong-potong oleh lautan pasukan itu. Barang kali kami akan berkumpul di alam machsyar dari tempat itu.”

Ketika Mahan tahu bahwa Khalid serius akan membunuh dengan pedangnya, memohon, “Sebentar jangan marah dulu. Kalau kau mengamuk bisa jadi dikeroyok lautan pasukanku. Padahal saya tahu kau sebagai utusan Abu Ubaidah yang tidak boleh dibunuh bahkan harus dihormati. Saya menggertak kau tadi hanya ingin menguji sampai di mana keteguhan kalian. Sekarang silahkan pulang menuju pasukan kalian, selanjutnya kita akan segera berperang.”
Khalid menyarungkan pedangnya dan berkata, “Hai Mahan! Akan kau apakan para tawananmu?.”
Mahan menjawab, “Akan saya lepaskan sebagai penghormatan padamu, agar mereka memperkuat pasukanmu.”
Khalid tersenyum bahagia dan berkata, “Lepaskan sekarang juga!.”

Lima tawanan dilepas dan bergabung lagi dengan pasukan Khalid.
Ketika Khalid bergerak untuk meninggalkan tempat; Mahan berkata, “Hai Khalid! Sebetulnya saya ingin di antara saya dan kau tidak ada peperangan. Bolehkan saya mengajukan permintaan?.”
Khalid menjawab, “Kau menginginkan apa?.”
Mahan menjawab, “Saya senang tenda merah yang dibawa oleh pelayanmu ini. Bagaimana kalau saya tukar dengan sejumlah pasukanku yang kau pilih?.”
Khalid menjawab, “Saya senang kau berterus terang mengenai milikku yang kau sukai. Silahkan kau ambil, tetapi saya tidak membutuhkan pasukanmu sedikitpun.”
Mahan berkata, “Kau hebat dan luar biasa.”
Khalid menjawab, “Saya juga bersyukur karena kau telah melepaskan lima sahabatku ini.”

Khalid dan pasukannya segera meninggalkan Mahan dan pengawalnya di barak yang megah itu. Khalid dan arak-arakan pasukannya menaiki kuda dan berjalan, diantar sejumlah pasukan Mahan hingga sampai tempat Abu Ubaidah dan pasukannya.

Abu Ubaidah dan pasukannya sangat berbahagia karena lima pahlawan mereka yang ditahan telah pulang bersama rombongan Khalid. Khalid menemui Abu Ubaidah RA untuk melaporkan yang telah terjadi di antara dia dan Mahan. Lalu berkata, “Demi Allah yang membuat Mahan mau melepaskan kawan kita, karena takut pedang kami.”  [4]


[1] Mahan adalah raja bawahan Hiraqla.
[2] وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ  [آل عمران/159]. Baca: Wasyaawirhum fil amri fa idzaa azamta fatawakkal alaa Allah.
[3] Diperkirakan dulunya wilayah itu milik kaum Yahudi. Lalu diperangi dan direbut oleh Raja Qusthanthin pada tahun 300 M.
[4] Bagi yang memiliki kitab Futuchus-Syam di Maktabatus-Samilah, kisah ini bisa disimak di: فتوح الشام - (ج 1 / ص 145).

0 komentar:

Posting Komentar