(Bagian ke-179 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Tigaribu pasukan berkuda telah hilang dari pandangan. Pasukan lainnya kembali ke tenda-tenda mereka. Abu Ubaidah bersujud lama sekali dan berdoa: “Ya Allah, sungguh hamba mohon padaMu dengan berwasilah pada orang SAW yang namanya telah Kau letakkan di dekat NamaMu. Yang Kau pernah memberitahukan mengenai Kefadholan Beliau SAW,p Nabi-Nabi dan Rasul-RasulMu AS: Lipatlah perjalanan jauh, untuk mereka. Permudahkan semua yang sangat sulit untuk mereka. Susulkan mereka pada sahabat-sahabat mereka di medan perang. Ya yang Maha Dekat, ya yang Maha mengabulkan.”
Di medan perang di Qabail, Maisarah dan pasukannya dikepung dan diserang dengan garang, oleh lautan pasukan Romawi. Suara dentingan pedang, benturan perisai, teriakan, derap kaki kuda, bentakan, dan hiruk-pikuk, membisingkan telinga.
Ketika pasukan Romawi telah capek dan gerak mereka mulai melambat, tokoh besar mereka Bathriq (Patriarch) muncul dengan berkuda, mengenakan baju perang dari besi, dan berhelm besi yang berkilauan. Di sisinya ada lelaki berkuda yang menaungkan Salib di atas kepala sang bathriq. Bathriq yang memimpin 10.000 pasukan itu memegang tongkat besi sebesar lengan unta. Dia memacu kudanya agar maju, dan menantang berkelahi dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Maisarah dan pasukannya.
Pada penerjemahnya, Maisarah bertanya, “Apa yang dia katakan?.”
Penerjemah menjawab, “Dia mengaku sebagai jagoan yang tak terkalahkan, dan menantang berkelahi pada kalian yang merasa jago.”
Maisarah berteriak, “Siapa berani melawan?!.”
Penerjemah menjawab, “Dia mengaku sebagai jagoan yang tak terkalahkan, dan menantang berkelahi pada kalian yang merasa jago.”
Maisarah berteriak, “Siapa berani melawan?!.”
Seorang lelaki dari suku Annakha (النخع) bergegas memacu kuda untuk mendekat dan melayani berkelahi. Baju perang yang dikenakan bermodel Romawi. Beberapa Muslimiin berkata, “Dia dulu memang orang Nashrani, lalu masuk Islam.”
Sang bathriq membentak-bentak dengan kasar, tetap lelaki dari Annakha itu hanya diam, meskipun tahu maksudnya. Sang bathriq marah dan mengayunkan tongkat besi sekuat tenaga, ke arahnya. Tetapi yang terpukul hingga hancur justru kepala kuda, “Prak! Grubyuk!.”
Karena kuda ditarik dengan cepat.
Kuda roboh dan tewas, otak dan darahnya berhamburan. Yang mengendarai bergerak cepat untuk berdiri.
Sang bathriq membentak-bentak dengan kasar, tetap lelaki dari Annakha itu hanya diam, meskipun tahu maksudnya. Sang bathriq marah dan mengayunkan tongkat besi sekuat tenaga, ke arahnya. Tetapi yang terpukul hingga hancur justru kepala kuda, “Prak! Grubyuk!.”
Karena kuda ditarik dengan cepat.
Kuda roboh dan tewas, otak dan darahnya berhamburan. Yang mengendarai bergerak cepat untuk berdiri.
Maisarah berteriak, “Mundurlah!.”
Lelaki dari Annakha itu mundur teratur lalu lari cepat sekali, dikejar bathriq berkendaraan kuda. Abdullah bin Chudzafah muncul untuk melindungi lelaki yang sedang berlari, untuk bergabung pada pasukan Muslimiin. Abdullah bergerak cepat memukulkan pedang pada bathriq yang telah menyiapkan tangkisan dan serangan. Berkali-kali tusukan pedang Abdullah membentur baju besi sang bathriq.
Sambaran tongkat besi sang bathriq berkali-kali ditangkis dengan perisai oleh Abdullah yang makin lama makin payah karena tongkat besi yang ditangkis sangat berat. Pedang Abdullah terayun menebas cepat sekali ke leher. Leher sang bathriq ditarik kebelakang, tetapi tetap saja putus dan terlempar bersama kepalanya yang terbungkus helm besi, bersimbah darah, ke arah pasukan Romawi.
Abdullah bergerak menangkap, sebelum kepala berhelm perang jatuh ke tanah.
Tubuh bathriq terbungkus baju besi terhuyung jatuh, “Bleg!”; Tongkat besinya juga jatuh, “Blang!.”
Pasukan Romawi marah karena tokoh besar mereka tewas. Apa lagi ketika mereka melihat kuda dan harta yang melekat pada bathriq itu, diambil oleh Abdullah.
Dalam waktu cepat, berita kematian tokoh besar itu sampai ke telinga Raja Hiraqla.
Dalam waktu cepat, berita kematian tokoh besar itu sampai ke telinga Raja Hiraqla.
Setelah Abdullah pergi, seorang bathriq lainnya maju untuk membentak, “Kurang ajar! Yang kau bunuh ini orang dekat Raja Hiraqla! Kau harus saya bunuh! Atau saya tangkap untuk saya serahkan pada raja, agar dihukum!.”
Matanya berkaca-kaca, lalu menumpahkan air mata, bersama ledakan tangisan, ketika melihat kepala sahabatnya tergolek bermandi darah. Dia berteriak, “Hai kaum Arab! Kalian pasti akan ditindak oleh Allah, karena telah menganiaya pada kami! Yang telah membunuh teman saya ini kemarilah! Akan saya beri hukuman!.”
Pandangan seluruh pasukan terarah pada sang bathriq yang marah dan menantang perang.
Abdullah telah memacu kuda untuk mendekati sang batriq. Tetapi Maisarah mencegah karena dia sudah lelah: “Jangan! Saya saja yang melawan!.”
Abdullah memohon, “Yang mulia, yang ditantang adalah saya. Kalau anda yang melawan berarti saya dianggap tidak berani.”
Maisarah berkata, “Kau sudah terlalu capek. Saya kasihan.”
Abdullah memohon, “Masyak yang mulia mengasihani saya, justru karena terlalu capek, untuk menyelamatkan diri dari api neraka? Demi kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulillah SAW, siapapun tidak boleh melawan dia kecuali saya.”
Abdullah memacu kuda rampasan untuk mendekati sang bathriq yang menantang berkelahi.
Sang bathriq terkejut ketika melihat kuda, helm, dan pedang temannya yang tewas, telah dikuasai oleh Abdullah. “Berarti kau yang telah membunuh teman saya!” Geramnya.
Sang bathriq terkejut ketika melihat kuda, helm, dan pedang temannya yang tewas, telah dikuasai oleh Abdullah. “Berarti kau yang telah membunuh teman saya!” Geramnya.
Pedang Abdullah berkali-kali mematuk dada sang bathriq yang dilindungi baju besi.
Tangan sang bathriq bergerak cepat sekali untuk menangkap dan menarik tangan Abdullah.
Pedang Abdullah lepas. Abdullah diringkus untuk diserahkan pada pasukan Romawi. “Ikatlah tanganya dengan rantai! Dan serahkan pada Raja Hiraqla sekarang juga!” perintah sang bathriq.
Beberapa orang bergerak untuk mengikat tangan Abdullah dengan rantai, untuk dilarikan dan diserahkan pada Raja Hiraqla.
Tangan sang bathriq bergerak cepat sekali untuk menangkap dan menarik tangan Abdullah.
Pedang Abdullah lepas. Abdullah diringkus untuk diserahkan pada pasukan Romawi. “Ikatlah tanganya dengan rantai! Dan serahkan pada Raja Hiraqla sekarang juga!” perintah sang bathriq.
Beberapa orang bergerak untuk mengikat tangan Abdullah dengan rantai, untuk dilarikan dan diserahkan pada Raja Hiraqla.
Sang bathriq belum puas. Dia kembali ke medan perang untuk menantang berkelahi lagi.
Tiga orang Muslimiin telah bergerak untuk melawan bathriq, tetapi Maisarah berteriak, “Jangan! Yang akan melawan orang laknat ini saya sendiri.”
Maisarah menyerahkan panjinya pada Said bin Zaid: “Peganglah panji ini! Saya akan melawan dia. Jika menang, panji ini akan saya pegang lagi! Jika kalah, saya justru akan mengambil Pahala Allah!.”
Said memegang panji; Maisarah keluar dari barisan sambil membaca syair:
Sungguh yang Maha mengintai dan Maha pemaksa
Tahu bahwa hati saya
Terbakar api ketika
Pemuda yang rutin shalat ketika
Senyum fajar menyapa
Ditangkap oleh musuhnya
Akulah yang akan membalaskannya
Maisarah menyerang dengan garang pada bathriq yang telah bersiap menangkis, menghindar, dan menyerang. Terkadang mereka berkelahi dengan jarak dekat, terkadang bergeser menjauh. Mereka berperang sambil bergeser menjauhi medan.
Debu-debu beterbangan oleh hentakan sepatu kuda dua orang yang berperang mati-matian.
Kaum Muslimimiin mengamati dan mendoakan kemenangan untuk Maisarah.
Kaum Romawi mengamati dan mendoakan kemenangan untuk sang bathriq.
Bathriq terperanjat saat melihat kepulan debu di kejauhan makin mendekat. Dan bertanya, “Demi kebenaran agamamu, siapa yang berdatangan membawa panji itu?.”
Maisarah tidak menoleh, tetapi menjawab, “Demikian itu bagi Allah hal yang remeh.”
Bathriq bersumpah, “Demi agamaku, ucapanmu benar.”
Sebetulnya bathriq berkata begitu dengan tidak tulus.
Debu-debu beterbangan oleh hentakan sepatu kuda dua orang yang berperang mati-matian.
Kaum Muslimimiin mengamati dan mendoakan kemenangan untuk Maisarah.
Kaum Romawi mengamati dan mendoakan kemenangan untuk sang bathriq.
Bathriq terperanjat saat melihat kepulan debu di kejauhan makin mendekat. Dan bertanya, “Demi kebenaran agamamu, siapa yang berdatangan membawa panji itu?.”
Maisarah tidak menoleh, tetapi menjawab, “Demikian itu bagi Allah hal yang remeh.”
Bathriq bersumpah, “Demi agamaku, ucapanmu benar.”
Sebetulnya bathriq berkata begitu dengan tidak tulus.
Derap kaki ribuan kuda yang makin mendekat membuat Maisarah berpaling karena berharap Pertolongan Allah datang. Tangan bathriq bergerak cepat sekali menangkap tangan Maisarah yang berpaling sekilas.
0 komentar:
Posting Komentar