Masih banyak orang mengatakan, “KH Nurhasan tersesat karena
mengajarkan ilmu manqul, dan tidak mengikuti ulama salaf.”
Sebetulnya para sahabat, para tabiin, para ulama salaf, dan para Muhadditsiin,
juga mempergunakan metode manqul, dalam belajar dan mengajar mereka. Dan
KH Nurhasan juga mengikuti para ulama salaf. Ucapan ulama salaf yang ditulis di
dalam Kutubussittah, yang beliau ajarkan, sangat banyak. Yang dari Bukhari saja
banyak ucapan para sahabat, para tabiin, dan ulama salaf yang bisa dijadikan hujjah, karena kepandaian mereka sempurna.
بَاب
اغْتِسَالِ الصَّائِمِ
وَبَلَّ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا ثَوْبًا فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ وَدَخَلَ الشَّعْبِيُّ
الْحَمَّامَ وَهُوَ صَائِمٌ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ
الْقِدْرَ أَوْ الشَّيْءَ وَقَالَ الْحَسَنُ لَا بَأْسَ بِالْمَضْمَضَةِ
وَالتَّبَرُّدِ لِلصَّائِمِ وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ
أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلًا وَقَالَ أَنَسٌ إِنَّ لِي أَبْزَنَ
أَتَقَحَّمُ فِيهِ وَأَنَا صَائِمٌ وَيُذْكَرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ اسْتَاكَ وَهُوَ صَائِمٌ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ
يَسْتَاكُ أَوَّلَ النَّهَارِ وَآخِرَهُ وَلَا يَبْلَعُ رِيقَهُ وَقَالَ عَطَاءٌ
إِنْ ازْدَرَدَ رِيقَهُ لَا أَقُولُ يُفْطِرُ وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ لَا بَأْسَ
بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ قِيلَ لَهُ طَعْمٌ قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ
تُمَضْمِضُ بِهِ وَلَمْ يَرَ أَنَسٌ وَالْحَسَنُ وَإِبْرَاهِيمُ بِالْكُحْلِ
لِلصَّائِمِ بَأْسًا.
Artinya:
Bab Orang Berpuasa Mandi
Ibnu Umar RA pernah membasahi pakaiannya, diletakkan atas dirinya,
ketika sedang berpuasa.
Ibnu Abbas RA berkata, “Mencicipi (makanan dalam) periuk atau
sesuatu, tidak berdosa.”[1]
Al-Chasan (tabik murid Abu Hurairah RA) berkata, “Bagi orang yang
berpuasa, berkumur dan berbasah (agar dingin) tidak berdosa.”
Ibnu Masud RA berkata, “Jika seorang kalian berada di hari puasa,
hendaklah pagi-pagian bersisir.”[2]
Anas RA berkata, “Saya memiliki abzan yang saya masuki, ketika berpuasa.”[3]
Dituturkan dari nabi SAW: “Sungguh beliau SAW pernah menggosok
gigi, ketika sedang berpuasa.”
Ibnu Umar RA berkata, “Boleh menggosok gigi, di awal dan akhir
siang. Namun tidak boleh menelan ludah (siwak/air-odol)nya.”
Athak (عَطَاءٌ/murid Ibnu Abbas RA) berkata, “Jika ludahnya tertelan, saya
tidak berani mengatakan ‘harus mokel (mukah/membatalkan puasanya)’.”
Ibnu Sirin (murid Anas bin Malik RA) berkata, “Tidak berdosa,
menggunakan siwak basah (sikat diberi odol).”
Ada yang menjawab, “(Siwak) ada rasanya kan?.”
Ibnu Sirin menjawab, “Air juga ada rasanya, namun kau pergunakan
untuk berkumur?.”
Anas bin Malik, Al-Chasan, dan Ibrahim (murid Alqamah murid
Abdullah bin Masud RA), tidak memandang berdosa ‘mengenakan celak bagi orang
yang berpuasa’.[4]
Di zaman KH Nurhasan, Usul Fiqih tidak diajarkan, karena Fiqih dari
Bukhari jauh lebih berbobot. Karena diambil dari nabi SAW, para sahabat, para
tabiin, dan ulama salaf seperti di atas. Agar para penerus beliau lebih tahu
bagaimana para fuqahak menentukan hukum, maka kini telah diajarkan Usul Fiqih
oleh Syaikh DR Abdullah Assirri, dari Masjidil-Haram:
Perbedaan Fiqih; Ilmu; Zhon (الظن/Persangkaan); dan Syakk (الشك/Keraguan):
1. Fiqih adalah ilmu yang lebih spesifik (اخص/lebih khusus/lebih detail).[5]
2. Ilmu ialah pengetahuan tentang sesuatu. Bodoh ialah tidak tahu ilmu
dan fiqih.
3. Ilmu Dhoruri (العلم
الضروري) ialah ilmu yang didapatkan dengan tanpa nazhor (النظر) dan tanpa istidlal (الاستدلال). [6] Seperti: Ilmu yang didapatkan karena
pengamatan dari panca-indra; pendengaran; penglihatan; penciuman; lidah; rabaan
(sentuhan kulit). Ilmu Muktasab (العلم
المكتسب) ialah yang didapatkan karena nazhor (النظر) dan istidlal (الاستدلال). Dalil ialah yang menunjukkan sesuatu.
4. Zhon (الظن) ialah persangkaan
dengan pertimbangan di antara dua pilihan, yang condong sebelah. Syakk (الشك) ialah keraguan di antara dua pilihan, dengan tidak
mempedulikan dua pilihan tersebut. Ilmu Usul
Fiqih (علم اصول الفقه) ialah upaya-upaya
secara ijmal (global) dan cara mencari dalil mengenai
fiqih (kefahaman sempurna).