Syurachbil bin Chasanah menyerahkan panji pada seorang, sambil berpesan, “Bertempatlah di tempatku ini! Jika saya gugur!
Serahkan panji ini pada Abu Ubaidah! Agar diserahkan pada orang kepercayaannya!
Jika saya menang, panji ini akan saya bawa
lagi!.”
Raja Allan mendengar syair itu, tapi tidak
paham. Karena dia hanya mengetahui sedikit dari bahasa Arab. Dia bertanya, “Kau
ini membaca apa?.”
Syurachbil menjawab, “Sudah menjadi
kebiasaan orang Arab, membaca syair sebelum perang! Agar perangnya bertambah garang!
Dan bertambah yakin pada Pertolongan Allah! Yang dikabarkan oleh nabi kami.”
Raja bertanya, “Apa janji yang telah
disampaikan oleh nabi kalian?.”
Syurachbil menjawab, “Beliau menjelaskan'Allah menjanjikan pada kami! Bumi akan kami kuasai! Mulai dari panjang hingga lebarnya! Negeri-negeri Syam juga akan kami
kuasai! Kami akan menjadi kaum penakluk berkat Pertolongan Allah'.”
Raja Allan membantah, “Allah takkan
menolong kalian yang telah menganiaya kami dan telah merampas hak kami!.”
Syurachbil menjawab, “Kami diperintah oleh
Allah ‘agar memerangi kalian!’ Dan bumi akan diwariskan pada Hamaba-Nya
yang Dia kehendaki! Dan akhir dari perang ini akan dimenangkan oleh kaum Taqwa!
Saya tahu kau bisa berbahasa Arab! Jika kau berhenti dari menyembah Salib, dan
masuk agama Islam! Kau tergolong ahli surga dan beruntung.”
Allan membantah, “Saya takkan meninggalkan
agama Al-Masih hingga kapanpun, karena agama dia benar.”
Syurachbil menjawab, “Kalau begitu jangan
kau katakan 'dia Tuhan' yang wajib disembah! Dan jangan mengatakan 'dia telah
wafat di atas Salib!' Memang
dia dulu, pernah dihidupkan oleh Allah di dalam bumi, hingga umur tertentu.
Lalu diangkat ke langit.”
Allan berkata, “Saya takkan merubah
pendirian saya.”
Lalu mengeluarkan Salib yang menggelayut di
lehernya, untuk diangkat di depan matanya. Dan berdoa agar diberi kemenangan.
Syurachbil marah karena melihat perbuatan
syirik. Dan menggertak, “Celaka kau dan orang yang menyertai kau! Dan orang yang sefaham denganmu!.”
Syurachbil menyerang dia yang telah siap
menangkis dan melawan. Peperangan dua tokoh yang seru itu, menarik perhatian
orang banyak.
Pasukan Muslimiin mendoakan, semoga
Syurachbil menang.
Syurachbil menghindar dan memacu kudanya
agar menjauh. Musuhnya mengejar dengan kuda, namun lalu terkejut oleh tombak
Syurachbil yang terayun cepat sekali ke arah lehernya. Tombak mematuk ruangan
kosong lalu ditarik cepat. Ternyata dihindari.
Allan berkata, “Hai orang Arab! Ternyata
kau hanya pura-pura takut.”
Syurachbil menjawab, “Goblok! Perang boleh
berpura-pura! Bahkan bersiasat adalah penting.”
Musuhnya menghina, “Sayang tipuanmu tak
berhasil.”
Dua orang saling menyerang dengan garang,
hingga pedang mereka berdua patah. Mereka berdua berkelahi dengan seru di atas
kuda masing-masing. Yang musyrik tinggi besar; Syurachbil kurus karena sering
berpuasa. Yang musryik mendekap sekuat tenaga untuk membunuh Syurachbil, di
depan para menonton.
Dhirar marah karena tahu bahwa hidup
Syurachbil terancam. Hatinya mencela pada dirinya, “Hai Dhirar! Kenapa kau
membiarkan penulis Wahyu Rasulillah SAW itu
akan dibunuh musuh?.”
Lalu berjalan sangat cepat,
sambil menghunus belati, untuk ditusukkan pada punggung Raja Allan yang segera jatuh. Setelah lepas dari sekapannya, Syurachbil turun dari kuda, mengambil yang dimiliki raja yang telah
tewas.
Dhirar menaiki kuda, kembali bergabung pada
pasukan Muslimiin, bersama Syurachbil. Di sana Syurachbil mendapat ucapan
selamat, dan Dhirar menerima ucapan syukur atas jasanya, membunuh Allan.
Syurachbil dan Dhirar berebut rampasan
perang.
Dhirar berkata, “Ini hak saya! Karena saya
yang membunuh.”
Syurachbil membantah, “Saya kan yang
mengambil dari sana.”
Mereka
berdua datang pada Abu Ubaidah agar diadili. Karena tidak terima dengan hukum
Abu Ubaidah, Abu Ubaidah melaporkan mereka berdua pada Umar RA, melalui surat:
“Wahai
Amirul Mukminiin, sungguh seorang pria telah berkelahi dengan kesulitan, melawan orang kafir. Tiba-tiba ada lelaki
yang menolong membunuhkan orang kafir itu. Lalu siapa di antara duanya yang
lebih berhak mendapatkan rampasan musuh?.”
Abu Ubaidah menarik rampasan perang dari Syurachbil, untuk diberikan pada Dhirar. Lalu membacakan ayat yang artinya,
“Itulah Kefadholan Allah yang
Allah berikan pada orang yang dikehendaki.” [1]
Setelah Raja Allan tewas, pasukan Romawi
sangat marah. Seorang dari mereka yang gagah berani ‘muncul’,
berkendaraan kuda, menantang perang satu lawan satu.
Zubair bin Al-Awwam muncul untuk menyerang
dengan garang hingga menang. Lelaki itu tewas dan harta yang dimiliki dirampas.
Lelaki
kedua muncul dengan marah, untuk menantang perang. Namun serangan Zubair yang ganas membuat dia tewas.
Lelaki
bersenjata ketiga muncul untuk menantang, tetapi dia terkejut karena serangan Zubair terlalu dahsyat. Tahu-tahu dia terlempar tewas, oleh pedangnya yang tajam.
Lelaki keempat muncul untuk menantang
perang, namun dalam waktu cepat tewas oleh tebasan pedangnya.
Pada
Abu Ubaidah, Khalid melaporkan, “Sungguh
Zubair sendirian telah membunuh beberapa jagoan mereka, untuk mencari Keridhoan Allah. Saya yakin kini dia terlalu
capai.”
Abu Ubaidah berteriak agar Zubair mundur
dan istirahat.
Zubair mundur menuju tempatnya semula.
Seorang bathriq Romawi, raja negeri
Rusia muncul, menantang perang. Dialah menantu raja Allan yang telah dibunuh oleh Dhirar, dengan belati.
Raja bermahkota gemerlapan itu dilawan oleh Khalid. dengan serangan beruntun ganas sekali, hingga roboh dan tewas.
Raja bermahkota gemerlapan itu dilawan oleh Khalid. dengan serangan beruntun ganas sekali, hingga roboh dan tewas.
Hartanya, mahkotanya, ikat pinggangnya,
Salibnya, dan baju-perangnya, laku dijual 15.000 dinar.
Setelah mendapat laporan bahwa dua raja
tewas, Mahan marah dan berkata, “Kurang ajar! Dalam sehari dua raja kita gugur!
Berarti Al-Masih takkan menolong kita.”
Lalu perintah agar para jago panah meluncurkan anak panah
dengan serempak. Sejumlah 100.000 anak panah melesat cepat hampir bersamaan, ke
arah pasukan Muslimiin.
Jumlah anak panah yang melukai pasukan Muslimiin cukup banyak;
yang membuat mata menjadi buta, 700 anak panah.
Hari itu disebut Hari Atta’wir (التعوير), yang artinya ‘membuat mata buta sebelah’. Tokoh-tokoh penting
yang matanya terkena anak panah:
1.
Al-Mughirah bin Syubah.
2.
Said bin Zaid bin Amer.
4.
Rasyid bin Said.
5.
Dan lainnya.
Ketika terkena anak panah, mereka terkejut
dan mengaduh, “Oh mataku!.”
Beberapa orang bertanya pada temannya,
“Matamu terkena apa?.”
Ada yang menjawab, “Jangan menjawab ‘mushibah!’
Yang benar ‘Ujian
Allah’.”
Pasukan menarik tali kendali kuda, untuk
mundur kebelakang.
Mahan perintah agar pasukan berpanah menghujankan anak panah
lagi. Pasukan yang disatukan dengan rantai, diperintah agar maju menyerang.
Pasukan Muslimiin terdesak kebelakang. Apalagi setelah petinggi Romawi: Raja
Jarjir, Raja Qanathir, dan Raja Qurin, turun tangan di medan perang. Apalagi
setelah Raja Mahan pimpinan tertinggi berteriak, “Serang terus! Hujani mereka
dengan anak panah!.”
Luarbiasa, anak-panah berhamburan banyak
sekali, membuat pasukan Muslimiin mundur dan menangkiskan perisai.
Peperangan sangat mendebarkan.
Pasukan yang disatukan dengan rantai ‘maju’
kedepan, membawa tongkat besi gemerlapan untuk menyerang. Suara gaduh dan riuh
bersaut-sautan mengusir sepi. Pasukan Muslimiin dikepung oleh lautan pasukan
Romawi berjumlah sekitar sejuta lebih.
Sebagian pasukan Romawi juga menyerang
hingga pasukan Muslimiin yang jauh lebih sedikit, mundur ke belakang.
Ubadah bin Amir membaca, “Laa chaula wa laa quwwaa illaa bi Allah Al-Aliyyil Adliim! Ya Allah! Turunkan PertolonganMu, yang pernah Kau pergunakan menolong kami, di semua tempat!.” [2]
Pada
kaum Chimyar, dia berteriak, “Kenapa
kalian lari dari surga menuju neraka? Apa kalian mau ‘nama kalian’
tercoreng? Lalu bagaimana kalian nanti di sisi Al-Jabbar (yang
Maha Pemaksa)? Dia Maha Tahu segala rahasia! Tahu kalau kalian lari dari kaum
kafir!.”
Tetapi tidak ada yang menjawab ucapannya
yang keras itu. Karena semua Muslimiin sedang kesulitan menghadapi lawan.
Perang terlalu dahsyat.
Ubadah bin Amir berteriak lagi, memanggil tetangga-tetangga sekampungnya.
Namun semuanya diam, karena peperangan
terlalu berat. Dia memperbanyak membaca, “Laa chaula walaa quwwata
illaa bi Allah Al-Aliyyil Adliim.”
Pertolongan dari Allah turun, di saat sebagian pasukan Muslimiin
berlarin ke belakang, naik gunung. Para pembawa panji lah yang berperang
mati-matian melawan kawanan lawan.
Abdullah bin Qurth Al-Asadi termasuk tokoh
Perang Yarmuk, menyampaikan penyaksian:
Selama
perang berlangsung, yang paling berat adalah Hari Atta’wir (التعوير), yang artinya ‘membuat mata buta sebelah’. Barisan pasukan
berkuda Muslimiin mundur kebelakang. Sejumlah pimpinan dan para pembawa panji
Muslimiin bertahan mati-matian.
Abu
Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amer bin Al-Ash, Al-Musayyab bin Najibah, Abdur
Rohman bin Abi Bakr, dan Al-Fadhl bin Al-Abbas, ‘berperang
dengan garang’ melawan pasukan yang
jumlahnya banyak sekali.
Di dalam hati, saya berkata, “Pasukan
kita yang berani melawan musuh tinggal sedikit.”
Beruntung
sekali para wanita Muslimaat yang zaman dulu mengikui nabi SAW berperang, untuk
mengobati luka dan mencarikan air, ‘ikut
membantu’ kami berperang. Bahkan
wanita Muslimaat yang ikut berperang jauh lebih banyak, daripada ketika zaman nabi, atau ketika
Perang Yamamah, di bawah pimpinan
Khalid.
Justru
ketika pasukan Muslimiin sama berlari, para Muslimaat turun dari gunung untuk
melawan pasukan Romawi. Mereka mengayun-ayunkan pedang hingga musuh berhamburan
dan berguguran. Pemimpian mereka, para Muslimaat yang dulu bergabung hijrah
bersama Rasulillah SAW.
Para
tokoh wanita itu berteriak, menyebut nama keluarga besar dan nama panggilan
sejumlah orang, untuk menggerakkan Muslimaat lainnya yang ada. Mereka bertekat
perang mati-matian melawan Musuh
Allah. Sebagian lagi, memukul wajah kuda
pasukan Muslimiin yang lari kebelakang. Sebagian lagi, sama mengangkat anak-anak sambil berkata,
“Belalah kami dan anak kita!.”
Ternyata
kegigihan para Muslimaat, membuat pasukan Muslimiin maju lagi dengan kuda
mereka, untuk menyerbu.
Sejumlah
wanita Muslimaat dari Lakhm, Judzam, dan Khaulan, mundur akan lari.
Tokoh-tokoh
mereka: Khaulah binti Al-Azwar, Ummu Chakim, Salma binti Luai (سلمى
بنت لؤي), maju, untuk memukul
sejumlah Muslimiin yang lari, agar maju lagi. Kaum Muslimin kembali lagi
menyerang, dengan tekat bulat
'harus menang'. Meskipun
diri mereka harus mati.
Yang
berada di depan kaum Muslimaat, Ummu Chakim binti Al-Chrits, berkendaraan kuda.
Dia berteriak, “Hai Muslimaat Arab! Tebaslah musuh dengan pedang kalian!.”
Dengan
tali, Asma menggandengkan kudanya dengan kuda Zubair, suaminya. Untuk membantu suami ‘menyerang’.
In syaa Allah bersambung.
قال عبادة بن عامر فنظرت إلى جيش الشرك وهو نحونا سائر وفرسان
المسلمين متأخرة وخيولهم ناكصة فقلت: لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم اللهم
انزل علينا نصرك الذي نصرتنا به في المواطن كلها.
0 komentar:
Posting Komentar