Sekitar
tahun 11 Hijriah, Khalid dan pasukannya memasuki kota Arakah, wilayah bagian Romawi Timur. Kota besar tersebut sangat ramai oleh kafilah-kafilah dari berbagai kota
yang berdatangan. Di bawah kendali Raja Hiraqla, penguasanya seorang Bathriq (Kepala Gereja yang membawahi minimal 5.000 lelaki dewasa).
Di sana ada orang pandai yang telah membaca sejumlah kitab kuno, di antaranya Al-Malahim (bentuk jamak dari Malhamah),
yang artinya ‘sejumlah perang akbar mengerikan yang memerosotkan agama’. Dialah
yang bernama Saman.
Ketika tahu bahwa pasukan Muslimiin di bawah pimpinan Khalid datang ke kotanya, wajah Saman memucat, dan berkata, “Demi kebenaran agamaku! Ini telah tiba waktunya!.”
Kaum
dia heran dan bertanya, “Apa maksud tuan?.”
Dia
menjawab, “Dalam kitab Malhamah yang saya baca, dijelaskan
'akan datangnya mereka' ini. Awal panji bernama Manshurah, mereka
bawa dengan berkuda. Ini berarti kekuasaan Romawi akan segera jatuh. Lihatlah!
Jika panji mereka berwarna hitam, pimpinan mereka berjenggot lebat,
berperawakan tinggi besar, berdada lebar, berwajah bopeng, berarti dia pimpinan
handal yang akan merebut negeri-negeri Syam.”
Mereka
terkejut, karena panji yang
dibawa oleh pimpinan kaum Arab bernama Khalid, ditulisi ‘Manshurah’.
Seperti yang dikatakan oleh orang pandai kepercayaan mereka.
Penduduk
Arakah gusar dan ketakutan. Dan berkumpul di hadapan pimpinan mereka, untuk berkata, “Tuan
telah tahu bahwa jika Tuan Saman berbicara 'pasti benar'. Beliau telah berkata
mengenai:
‘Akan
datangnya mereka ini. Awal panji bernama Manshurah, mereka bawa
dengan berkuda. Ini berarti kekuasaan Romawi akan segera jatuh. Lihatlah! Jika
panji mereka berwarna hitam, pimpinan mereka berjenggot lebat, berperawakan
tinggi besar, berdada lebar, berwajah bopeng, berarti dia pimpinan handal, yang akan merebut
negeri-negri Syam’.”
Pimpinan mereka kelihatan tegang.
Beberapa
orang berbicara, “Semua yang beliau katakan telah kami lihat dengan mata kami.
Kami berpandangan, sebaiknya kita
melakukan perjanjian damai dengan kaum Arab itu. Agar keluarga dan para harem
kita tidak mereka rampas.”
Dengan
nafas berat, pimpinan itu berkata, “Tunggulah keputusan ini hingga besok pagi.
Saya akan berpikir dulu.”
Mereka
pergi meninggalkan pimpinan yang panik, yang berpikir dengan serius. Petinggi yang Bathriq itu sangat
pandai dan bijaksana, dan
pengalamannya sangat banyak. Dia berpikir, “Kalau saya menyelisihi keinginan
rakyat, saya khawatir rakyat akan menangkap untuk menyerahkan saya pada kaum
Arab. Padahal orang sehebat yang saya kagumi, Tuan Rubis dengan pasukannya
berjumlah banyak sekali saja, telah diporak-porandakan oleh mereka.”
Hingga
pagi menyapa, petinggi kota Arakah kesulitan
tidur.
Di
pagi itu dia mengundang rakyat untuk bertanya, “Apa yang harusnya kita
lakukan?.”
Mereka
menjawab, “Sebaiknya kita berdamai dengan mereka.”
Dia
berkata, “Saya harus mengikuti keinginan kalian. Kita berdamai dengan mereka.”
Sejumlah
tokoh diutus oleh penguasa tersebut, agar datang dan menyampaikan 'pernyataan
damai', pada Khalid.
Khalid
menyetujui perdamaian tersebut. Dan dengan sengaja membuat Perdamaian tersebut,
dihadiri oleh kaum berjumlah sangat banyak, agar penduduk kota-tetangga,
bernama kota Sakhnah, tahu mengenai ‘Perdamaian’ tersebut.
Oleh
Khalid, upacara tersebut sengaja dibuat meriah.
Ucapan,
“Selamat datang untuk penguasa kota Arakah yang 'memohon damai',” dikeraskan. Agar kaum yang jauh, mendengar.
Penduduk
Sakhnah takut pada kaum Arab, sehingga mengikuti langkah penguasa kota Arakah;
memohon damai pada Khalid.
Khalid
mengabulkan permohonan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar