Mereka
berdua menjelaskan semua yang ditanyakan hingga mengenai Serangan atas Kerajaan
Aleppo
(Chalab). Abdullah ditanya, “Ya Putra Qurth! Kenapa kaum Muslimiin
tidak memasuki kerajaan bersama rakyat Chalab
yang telah berdamai?.”
Jawaban
Abdullah, “Ya kaum Arab, setelah Perang Yarmuk, pasukan yang paling pemberani
adalah pasukan Chalab. Banyak kaum Arab yang gugur sebagai Syuhada karena
serangan mereka. Biasanya yang menjadi incaran mereka, pasukan yang berada di
pinggir, di waktu sedang shalat. Setelah mereka membunuh dan merampok, lari
menuju kerajaan yang dikelilingi benteng. Terkadang mereka menyerbu dan
merampok atas Muslimiin ketika malam telah kelam” disimak dengan serius.
Damis benci ketika mendengar Kisah Keberanian dan
Kekejaman Yuqana. Dia berkata pada Abdullah, “Tenanglah saudara. Demi Allah,
saya berharap Allah menghinakan dia melalui tangan saya.”
Mata
Abdullah terbelalak karena menilai Damis meremehkan kekuatan Yuqana.
Abdullah bertanya, “Apa kau belum tahu bahwa
pahlawan Muslimin yang gagah berani belum ada yang mampu melawan dia? Dia telah
dikepung pasukan Muslimiin berbulan-bulan tetap belum bisa ditaklukkan?.”
Damis tersinggung dan marah karena merasa
diremehkan. Dia berkata, “Demi Allah hai Abdullah, kalau kau bukan saudara
Muslimiin, telah saya bunuh sebelum saya membunuh Yuqana. Jangan sekali-kali
membandingkan diriku dengan lelaki siapapun. Kalau kau kurang percaya dengan
ketangkasanku dalam berperang, tanyakan pada para tetangga saya yang berada di
sini! Mereka semua kagum dengan kepiawaianku dalam berperang. Banyak pasukan
yang telah saya obrak-abrik. Ketangkasan saya dalam berperang sempurna tanpa
cacat sedikitpun, hingga banyak orang menggeleng-gelengkan kepala karena
takjub. Karena segala Puji milik Allah lah, saya menjadi pahlawan berkuda yang
tak pernah berlari dari perang.”
Beberapa
orang nasehat pada Abdullah, “Sudara, bersabar dan mengalahlah pada Damis orang
beruntung. Bagi Damis, jauh adalah dekat, sulit adalah mudah. Demi Allah memang
dia sangat pemberani dan belum pernah dikalahkan oleh siapapun. Kalau berperang,
dia pasti berada di depan, kalau lari tidak mungkin bisa ditangkap.”
Abdullah
menjawab, “Saya berharap Allah memberi Kebaikan padanya, bermanfaat pada
Muslimiin.”
Abdullah dan Muslimiin menambahi kecepatan
berjalan hingga sampai Chalab. Mereka
mengibarkan panji, membaca takbir dan shalawat, lalu menemui Abu Ubaidah yang
sedang mengepung istana.
jawaban
takbir Abu Ubaidah dan pasukanya untuk mereka, membahana.
Yuqana
yang ditunggu-tunggu tak pernah muncul di siang hari, dan pasukannya tak pernah
lagi melancarkan serangan atas Muslimiin.
Muslimiin
yang baru datang terdiri dari kaum Thai (طيء), Sanis, Nabhan, Kindah, dan Chadhramaut,
merasa keberatan jika menunggu musuh terlalu lama. Damis berdiri di
tengah-tengah keluarganya yang terdiri dari kaum Tharif dan Kindah, untuk
berkata, “Demi Allah, kita memang harus bersabar mengepung.”
Mereka
bertanya, “Apa gunanya ada kau?.”
Damis
menjawab, “Tenang, kita harus menyadari bahwa musuh berada di benteng yang
kokoh dan tinggi sekali, dan kita ini sudah paling dekat dengan mereka.”
Mereka
menyeru Damis, “Ya Abal-Haul, raja yang berada di dalam benteng ini mengintai
kelengahan kita. Dan barisan kita paling pinggir yang akan menjadi korban
serangan mereka.”
Tiba-tiba teriakan di pinggir pasukan meledak;
Damis menghunus pedang andalannya lalu bergerak cepat menuju keributan.
Ternyata Yuqana muncul dengan 500 pasukan Berani Mati, mengamuk
pasukan Mulimiin bagian pinggir. Damis mendekat sambil membaca syair:
Akulah
Abul-Haul bernama Damis
Akulah
yang menusuk lawan dengan bengis
Singa
pemburu pahlawan penakluk
Yang
memaksa musuh hancur dan tunduk
Tangan Damis
mengayun-ayunkan pedang atas pasukan Yuqana. Keluarga besar Tharif berlari
membantu Damis menyerbu. Yuqana terkejut setelah melihat pasukannya berjumlah
200 orang berguguran oleh serangan ganas Damis dan keluarga besarnya.
Yuqana
dan pasukannya berlari dan dikejar oleh Damis dan kaum Kindah.
Abu
Ubaidah berteriak, “Jangan dikejar karena gelap!.”
Beberapa
orang menyeru Damis, “Hai Abal-Haul! Pimpinan melarang kau mengejar mereka!
Kembalilah semoga Allah merahmati kau!.”
Di pagi yang
indah itu, Abu Ubaidah mengimami shalat subuh berjamaah.
Seusai
shalat, kaum Muslimiin berangkat pada pos mereka masing-masing. Hanya beberapa
tokoh yang masih duduk dan omong-omong di tempat. Pada Abu Ubaidah, Khalid
berkata, “Semalam Allah memberikan Anugerah pada kau dan Muslimiin. Pasukan Kindah
telah berhasil mengalahkan pasukan Yuqana. Ternyata pasukan Yuqana ketakutan
menghadapi serangan pasukan Kindah.”
Abu
Ubaidah menjawab, “Kau benar Ayah Sulaiman, demi Allah kaum Kindah telah
berjasa dalam peperangan ini. Saya mendengar mereka berkata ‘Damis telah
berjasa. Abu-Haul serangannya dahsyat’.”
Seorang
tokoh dari Kindah bernama Suraqah bin Mirdas bin Yakrib (سراقة بن مرداس بن يكرب)
berdiri untuk berkata, “Semoga Allah berbuat baik pada Baginda. Dia Abul-Haul,
mantan hamba sahaya Tharif. Dia yang datang kemari kemarin, serangannya membuat
para jagoan berlarian dan musuh tewas. Dia orang yang tak takut musuh berjumlah
banyak.”
Pada Khalid, Abu
Ubaidah bertanya, “Kau dengar Suraqah memuji mantan hamba sahayanya bernama
Damis?.”
Khalid
menjawab, “Saya juga telah mendengar dari Numan bin Asyirah Al-Mahri (النعمان بن عشيرة المهري)
mengenai Keberaniannya. Numan berkata:
‘Sungguh
Damis pernah menantang berkelahi, pada tujuhpuluh lelaki di pantai Mahrah’, membela
kaumnya. Karena sudah mengenal keberanian dan keganasannya, kaum
Mahrah menyerahkan harta dan binatang kendaraan, daripada dibunuh.
Dari mereka ada yang lari ke kaki gunung; ada yang lari ke pantai menghindari
serangannya. Dia mencari di mana mereka lari. Setelah tahu tempat
persembunyian mereka, dia pulang, mengajak kaumnya memerangi mereka. Ternyata
kaumnya tidak ada yang bisa mengabulkan ajakannya, karena sama repot.
Dia sangat
menguasai jalan sesulit apapun. Bahkan dia juga bisa mengendalikan perahu. Dia
memasuki rumahnya untuk mengumpulan perbekalan yang dimasukkan ke dalam kantong
besar, lalu diangkat di atas pundaknya.
Seorang
lelaki terkejut dan bertanya ‘mau kemana membawa bekal banyak?’ pada dia yang
akan pergi jauh.
Dia
menjawab, ‘hai kaumku, saya sendiri yang akan mencari keluarga Syaar (الشعر) (di Mahrah), untuk membalaskan keluarga
kita yang mereka aniaya’.
Beberapa
orang tua berkata, ‘kau ini luar biasa, jumlah lelaki yang akan kau lawan 70 orang.
Kami belum pernah tahu seorang yang sanggup melawan 70 orang kecuali kau ini.
Sebaiknya kau mengendarai kuda yang bagus. Kuda yang bagus hanya dimiliki oleh
keluaga besar Chayas (حياس) yang kampungnya di wilayah Asfal (أسفل)’.
Dia
singgah di Asfal. Di situ dia mengumpulkan harta rampokan, berupa kuda dan unta
yang makin lama makin banyak. Dia berkata, ‘Demi Allah, saya jago
berkelahi, kalian percaya nggak? Saya yakin kalian akan tahu bahwa saya bukan
murni penjahat, karena semua tindakanku atas alasan yang kuat’.
Beberapa
tetangga sempat menengok dia di Asfal, tapi lalu meninggalkan. Dia juga
menengok kampungnya, sambil mengambil pedang dan perisai. Dia pergi menyusuri
jalan selama sehari semalam, hingga sampai jurang.
Di
malam yang hampir pagi itu, dia mendekamkan dan mengikat untanya di jurang
tersebut. Lalu bersembunyi di antara dua batu besar, mengamati kaum yang akan
diserang. Malam berikutnya dia berpindah untuk mengamati lebih cermat, kaum
yang akan diserang. Dia menaiki perbukitan, untuk mengamati kaum itu, dan menyalakan
api unggun.”