(Bagian ke-92 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Setelah mendengar pernyataan Harbis, Abu Ubaidah tersenyum dan berkata pada pasukan Muslimiin, “Kalian mendengar sendiri pernyataan bathriq ini kan?.”
Jawaban mereka, “Betul,” menggemuruh.
Abu Ubaidah berkata, “Apa kalian setuju dengan pernyataannya?.”
Mereka menjawab, “Tambahilah jumlahnya biar kita lega.”
Abu Ubaidah berkata pada Bathriq Harbis, “Saya tentukan uang perdamaian (upeti) yang harus kalian bayar 2.000 auqiyah emas merah, 2.000 auqiyah perak putih, 2.000 pakaian dari sutra Dibaj, 5.000 pedang dari kota kalian, senjata pasukanmu yang sekarang masih di ceruk-ceruk gunung. Dan mulai tahun depan kalian menyetorkan hasil bumi dan pajak pada kami, setahun sekali. Selain itu kalian dilarang membawa senjata ketika bertemu kami dan tidak boleh menulis surat pada raja kalian. Dan tidak boleh membuat Gereja lagi.”
Bathriq Harbis berpikir sejenak lalu berkata, “Saya akan mengabulkan permintaan kau, tapi saya juga mengajukan persyaratan: Tak seorang pun sahabat kau kami perbolehkan memasuki kota kami. Kau harus menempatkan orangmu yang akan mengatur urusan kami di luar kota; begitu pula semua pasukannya. Dia akan kami beri hasil bumi dan pajak (upeti), namun kami berada di dalam beteng. Atauran ini bisa berubah jika semua rakyatku telah menyetujui perdamaian ini. Adanya pasukan kau tidak boleh memasuki kota kami karena agar tidak mempengaruhi tokoh-tokoh kami, karena hal itu bisa membuat ada yang berkhinat.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau kalian telah berdamai dengan kami, kami akan memerangi musuh kalian, karena kalian sebagai dzimah (tanggungan) kami. Dan saya akan mengangkat seorang wakil agar menjadi perantara antara kami dan kalian.”
Bathriq Harbis menjawab, “Tapi wakil kau itu melindungi kami dari luar kota kami.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kalau memang itu permintaanmu, silahkan! Karena wakil kami juga tidak membutuhkkan masuk ke kota kalian.”
Harbis berkata, “Ini perjanjian yang kita sepakati loh,” lalu berjalan ke arah pintu gerbang kota, diikuti Abu Ubaidah dan penerjemahnya. Ketika telah sampai di depan pintu gerbang, Harbis membuka kerudung kepala, disambut rakyatnya banyak sekali, yang telah lama menunggu kedatangannya.
Harbis dikerumuni rakyatnya; dan celoteh mereka berbahasa Romawi membisingkan telinga. Banyak juga di antara mereka yang belum tahu bahwa yang datang adalah Harbis raja mereka, karena berpakaian sangat sederhana. Sejumlah pejabat bertanya, “Mana pasukan tuan?.”
Harbis bercerita mengenai kekalahannya dan permohonannya damai yang telah dikabulkan oleh Abu Ubaidah. Mereka mendengarkan dengan serius lalu menangis karena telah tahu bahwa mereka telah ditaklukkan kaum Muslimiin. Mereka berkata, “Berarti kita akan hina dan harta kita akan berkurang banyak.”
Dengan sedih Harbis menghibur, “Ini demi perdamaian.”
Mereka menjawab, “Silahkan tuan berdamai dengan mereka! Kami takkan berdamai dengan mereka selama-lamanya. Negri kita adalah negri terkuat di negri Syam! Tidak boleh diserahkan pada lawan! Sampai kapanpun akan kami pertahankan!.”
Penerjemah memberi tahu pada Abu Ubaidah mengenai pembicaraan mereka dengan Harbis. Abu Ubaidah menggertak, “Bawa kemari upeti yang telah kau sanggupi tadi! Jika tidak! Perjanjian damai saya batalkan dan kita berperang lagi!,” pada Harbis.
Gertakan itu menghentikan kericuhan dan tahu-tahu menjadi sepi. Mereka memandang Harbis menjawab Abu Ubaidah dengan merendah, “Jangan marah dulu, demi kebenaran Injil yang shahih dan Isa Al-Masih, kalau rakyatku tidak mentaatiku, kalian semuanya akan saya persilahkan memasuki negri kami. Kau akan saya persilahkan membunuh pasukan dan menawan wanita dan merampas harta. Saya tahu seluruh rahasia kelemahan negri ini, baik berupa jalan-jalannya maupun yang lainnya.”
Abu Ubaidah membaca, “مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ (Maa syaa Allahu kaana/Yang dikehendaki oleh Allah telah terwujud).”
Banyak penduduk Balbek yang berada di atas beteng negri untuk menyimak pembicaan Harbis dan Abu Ubaidah dengan perasaan takut. Mereka memperhatikan Harbis berteriak, “Bagaiman pendapat kalian mengenai berdamai dengan kaum Arab?! Saya sudah terlanjur mengajukan permohonan damai karena pasukan saya yang keluarga kalian juga telah mereka kuasai sepenuhnya! Kalau kalian tidak menerima kebijakan saya! Mereka akan memerangi kita semuanya.”
Rakyat Harbis menjawab, “Tetapi kami tak mampu menyetorkan harta sebanyak itu,” dengan takut, meringis dan terisak.
Harbis menggertak, “Celaka kalian! Saya yang akan menanggung ¼ dari yang mereka minta itu.”
Mereka menyetujui kebijakan Harbis, mengajukan permohonan damai pada Muslimiin. Mereka berkata, “Tetapi pintu gerbang ini hanya akan kami bukakan untuk tuan seorang. Orang Arab tak boleh masuk satupun, kecuali jika kami telah membenahi kota kami dan rumah kami dan menyembunyikan perempuan kami.”
Harbis berkata, “Sayang sekali kalian ini. Saya justru telah melarang mereka jangan masuk negri kami. Orang mereka yang mengurusi kami; kami haruskan berada di luar beteng tidak boleh masuk. Kalian yang akan keluar untuk memberikan upeti pada mereka.”
Mereka menjawab, “Ooo ya sudah,” dengan puas.
Pintu gerbang kota dibuka; Harbis memasukinya.
Abu Ubaidah perintah agar Sa’id melepaskan pasukan Balbek yang berada di ceruk-ceruk gunung yang sedang dikepung Muslimiin. Sa’id melucuti senjata dan menggiring pasukan Balbek menuju Abu Ubaidah, agar menjadi jaminan dari upeti yang harus diserahkan pada Muslimiin. Tawanan itu juga berfungsi agar kaum Balbek di dalam kota tidak berani berkhianat pada kaum Muslimiin.
Telah 12 hari, Harbis tidak muncul karena sedang mengumpulkan upeti yang akan diserahkan pada Abu Ubaidah. Dari mereka ada juga yang menyerahkan perbekalan, bahan makan dan pakan kuda maupun unta. Setelah semuanya terkumpul, Harbis akan segera menyerahkannya pada Abu Ubaidah.
Harbis keluar dan berkata pada Abu Ubaidah, “Saya segera akan menyerahkan upeti. Kemarilah untuk menunjuk orangmu yang akan menanganinya. Di hadapan kau saya akan membuat syarat padanya bahwa dia tidak boleh memaksa yang kami tak mampu melakukannya. Dia juga tidak boleh memasuki kota kami.”
Abu Ubaidah memanggil tokoh bangsa Quraisy bernama Rafi bin Abdillah As-Sahmi (رافع ابن عبد الله السهمي) untuk diperintah, “Hai Rafi bin Abdillah! Kau saya perintah agar mengurusi kota ini! Untuk itu kau kuserahi 500 pasukan berkuda dari putra-putra paman kakek dan keluargamu, ditambah 400 pasukan berkuda campuran Muslimiin dari mana-mana! Perintahku padamu adalah yang diperintahkan oleh Allah padamu. Bertaqwalah pada Allah dengan benar! Jadilah golongan pengatur yang adil! Jangan menganiaya atau menyimpang, karena dengan itu kau akan dikumpulkan bersama-sama orang-orang aniaya! Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala akan bertanya padamu mengenai gembalaanmu, dan akan menuntutmu mengenai tindakan yang tidak benar. Ketahuilah bahwa saya pernah mendengar Rasulallah SAW bersabda ‘sungguh Allah Tabaroka wa Ta’ala pernah memberi wahyu’ pada Musa bin Imran AS: ‘Hai Musa! Jangan menganiaya hamba-hamba-Ku! Karena Aku bisa merobohkan rumahmu!’.
Abu Ubaidah melanjutkan ‘jagalah sudut-sudut kota! Karena kau di pertengahan musuh! Waspadailah serangan yang bisa terjadi dari pantai. Kalau kau melepaskan pasukan, batasilah jumlahnya 100 hingga 200 orang saja. Jangan sampai ada orang Balbek yang masuk ke kumpulan kalian, karena bisa-bisa membuat mereka berubah menjadi berani melawan kalian. Berbuatlah baik dan berdamailah pada orang yang menolongmu. Perintahlah pasukanmu agar adil. Perlakukan mereka seperti kau melakukan pada dirimu sendiri. Perintahlah pasukanmu agar menahan diri dari kerusakan dan aniaya pada orang-orangnya. Allah Ta’ala yang menggantikanku mengamatimu. Wassalaamu alaik’.”
0 komentar:
Posting Komentar