SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

Doa Meluluhkan Hati Seseorang

Ya Allah sungguh Engkau Maha Mulia Maha Besar. Sedangkan saya HambaMu yang sangat hina dina. Tiada upaya dan kekuatan kecuali karena Kau. Ya Allah, tundukkanlah

Doa Agar di Beri kerjaan Bisnis

Ya Allah, Raja segala Kerajaan, Tuhan memberikan Kerajaan pada yang Tuhan kehendaki, melepas Kerajaan dari yang Tuhan kehendaki, menjayakan orang yang Tuhan kehendaki, dan merendahkan orang yang Tuhan kehendaki

Sapaan Nabi Membuat Khowat Sungkan

Rasulullah SAW keluar dari tenda dan bersabda pada saya ‘hai Ayah Abdillah, apa yang mendorong kau duduk bersama mereka ?’

Hibah Menurut Bukhori

Hibah Menurut Bukhari Ibrahim Annakhai tergolong Tabiin yang sangar alim. Beliau murid Ibrhaim Attaimi, murid Amer bin Maimun, murid Abu Abdillah Al-Jadali, murid Khuzaimah sahabat Nabi SAW.

Masuk Surga Paling Awal

Rasulullah SAW bersabda, “Jibril AS telah datang untuk memegang tanganku untuk menunjukkan saya Pintu Gerbang Surga, yang akan dimasuki oleh umatku.”

Tampilkan postingan dengan label Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Yogyakarta Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Yogyakarta Indonesia. Tampilkan semua postingan

2015/06/04

PS 132: Pembebasan Syam






Dia pergi untuk menempatkan pasukan Romawi di sisi danau sangat dalam. Dia berkata, “Di sinilah yang akan ditempati pasukan Arab. Saya akan menipu agar mereka tewas.”
Abul-Juaid berupaya memposisikan danau Naqushah di antara pasukan Romawi dan pasukan Muslimiin. Tak seorang pun pasukan Romawi tahu bahwa danau itu ‘sangat dalam’. Dia heran kenapa perang di Hari Atta’wir itu, pasukan Muslimiin bisa menang? Padahal pasukan Romawi yang melaut telah mengamuk dengan serempak. Akhirnya dia yakin bahwa kemenangan pasukan Muslimiin pasti akan lebih besar lagi.

Abul-Juaid menghadap Abu Ubaidah yang sedang ronda malam bersama sejumlah kaum Muhajiriin RA. Abu-Juaid bertanya, “Kenapa kalian tidak mengamuk lagi?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Sebaiknya kami harus bagaimana?.”
Dia menjawab, “Besok malam nyalakan obor-obor yang banyak. Saya yang akan bersiasat agar mereka tewas.”

Abul-Juaid berangkat untuk menipu pasukan Romawi. Malam itu pasukan Muslimiin menyalakan lebih dari 10.000 obor yang berkobar-kobar. Dia datang lagi untuk mengecek keadaan.
Pasukan Muslimiin berkata, “Kami telah menyalakan obor-obor sebagaimana pesanmu.”
Dia menjawab, “Saya minta didampingi 500 pasukan kalian, untuk memancing mereka.”

Di antara 500 pasukan terpilih yang terpenting:
1.     Dhirar.
2.     Iyadh (عياض).
3.     Rafi (رافع).
4.     Abdullah bin Yasir.
5.     Abdullah bin Aus.
6.     Abdullah bin Umar.
7.     Abdur Rohman bin Abi Bakr.
8.     Ghanim bin Abdillah.
9.     Dan lainnya.
Mereka diajak oleh Abul-Juaid, untuk mendekati pasukan Romawi. Mereka telah diberi tahu bahwa danau akan dijadikan jebakan membunuh. Mereka disuruh menyerbu sebentar lalu berlari, agar dikejar.

Pasukan Muslimiin menyerbu, lalu berlari dan mencebur ke danau. Dikejar oleh pasukan Romawi. 
Pada pasukan Romawi, Abul-Juaid berteriak, “Kejar! Mereka yang lari! Yang sama membawa obor-obor banyak sekali di kejauhan itu! Pasukan Arab!.”
Sontak pasukan Romawi mengejar secepat-cepatnya, hingga mereka berjumlah sangat banyak, tercebur ke danau, sama karam.

Abul-Juaid berteriak terus, hingga pasukan Romawi yang lain, berlari mengejar dengan gugup, dan terperosok ke danau hingga karam, bersama kuda mereka. Pada mereka yang masih di daratan, Abul-Juaid berteriak, “Seberangi! Danau dangkal! Yang menghalang-halangi kalian dari mereka! Cepat!.”
Pasukan Romawi sama tercebur danau yang sangat dalam dan luas, hingga sama tewas. Tak ada yang tahu ‘jumlah mereka yang tewas.

Di pagai buta itu, pasukan Romawi terkejut, karena jumlah mereka telah berkurang sangat banyak. Sebagian mereka melaporkan bahwa teman-teman mereka tewas dan terapung di danau. 
Sebagian mereka berkata, “Siapa yang berteriak-teriak semalam?" pada sebagian.
Seorang  lelaki menjawab, “Dia lelaki yang istrinya kita nikmati dan anaknya kita bunuh. Dia balas dendam pada kita.”


Pagi itu, Raja Mahan sedih sekali, karena jumlah pasukannya berkuarang sangat banyak. Dia yakin sepenuhnya bahwa pasukan Arab pasti akan menang, dan dirinya terancan. Pada Qurin, dia bertanya, “Saya harus berbuat apa lagi? Kemenangan mereka telah semakin membesar. Kalau mereka mengamuk dengan kompak, kita jelas pasti kalah, bahkan kita semua bisa tewas. Mintalah agar mereka mengistirahatkan perang ini, untuk mempersiapkan tipuan, agar kita selamat!.”
Qurin menjawab, “Akan segera saya laksanakan.”
Qurin perintah agar lelaki dari kota Lakhm, menghubungi pasukan Muslimiin.
Lelaki itu datang dan berkata, “Ketahuilah bahwa peperangan bisa berubah menjadi 'kami yang menang', dunia juga bergeser. Kalian telah menipu kami. Jangan melampaui batas! Agar tidak menyesal! Kami minta agar peperangan diistirahatkan sehari. Besok pagi kita tidak berperang.”

Lelaki utusan itu diperbolehkan menghadap, untuk menyampaikan surat Raja Mahan, pada Abu Ubaidah RA yang hampir mengabulkan permohonan itu. Namun Khalid mencegah, “Jangan kau kabulkan permintaan mereka. Mereka tak memiliki kebaikan lagi setelah hari ini.”
Pada lelaki itu, Abu Ubaidah perintah, “Kembalilah pada pimpinanmu! Katakan ‘kami takkan mengistirahatkan peperangan ini, bahkan kami akan menyelesaikan secepatnya’.”


Ketika lelaki itu datang dan melaporkan pesan Abu Ubaidah, Mahan sedih dan lemas.
Mahan melakukan amalan kafir dan berkata, “Sungguh tadinya saya berharap pasukan Arab mau berdamai dengan kita. Demi kebenaran Salib, saya akan menghadapi serangan mereka.”
Lalu berteriak, “Hai semuanya! Dan para pendampingku! Siapkan serangan!.”
Sisa-sisa pasukan telah besiap dengan senjata dan perisai. Mahan muncul dengan kudanya, membawa Salib yang diletakkan di depan.


Pagi itu, pasukan Muslimiin juga telah siaga dengan perasaan bahagia, bahkan semakin yakin bahwa mereka akan menang. Abu Ubaidah menata barisan pembawa panji, bersama Khalid yang mengendarai kudanya yang terkenal, bernama Khailu Zachfi (خيل الزحف), yang artinya, “Kuda Pengobrak-Abrik.”

Matahari bersinar seakan-akan tersenyum. Raja Jarjir dan raja lainnya telah muncul, didampingi sejumlah pengawal. Raja Jarjir bertubuh tinggi besar, menantang, “Yang melawan saya! Harus pimpinan tertinggi!.”

Abu Ubaidah bergerak, untuk menyerahkan panji pada Khalid, dan berkata, “Bawakan panjiku! Jika saya telah berhasil membunuh dia, panji akan saya ambil lagi. Jika saya yang mati, bawalah panji ini untuk memimpin pasukan Muslimiin, hingga Umar menentukan keputusan!.”
Khalid menjawab, “Justru saya yang akan membunuh dia, untuk membela yang mulia.”
Abu Ubaidah menjawab, “Jangan! Dia menantang saya, saya yang akan menghadapi. Kau akan bergabung dalam pahala jihad ini.”

Sebetulnya semua pasukan Muslimiin, tak ada yang tega, jika Abu Ubaidah berperang. Mereka berkata, “Saya saja yang melawan dia,” bersaut-sautan. Tetapi mereka kalah dengan kemauannya.

Pada Abu Ubaidah yang datang, Jarjir bertanya, “Kau kah pimpinan tertinggi?.”
Dia menjawab, “Betul, dan saya akan mengabulkan tantanganmu. Kalian semua akan saya amuk, atau kau saya bunuh, begitu pula Mahan.”
Jarjir menjawab, “Justru umat Salib yang akan mengalahkan kalian.”

Jarjir menyerang Abu Ubaidah yang menangkis dan menyerang. Perkelahian berlangsung seru dan lama. Khalid dan pasukan Muslimiin mendoakan semoga Abu Ubaidah selamat dan menang.

Jarjir meninggalkan Abu Ubaidah lalu kabur, lewat depan barisan pasukannya. Abu Ubaidah mengejar, tapi sejumlah pasukan Romawi telah bergerak untuk melindungi Jarjir. 
Jarjir berbalik dan menyerang cepat sekali. Tetapi serangan Abu Ubaidah melanda lebih cepat. Tahu-tahu pedangnya telah menebas pundak, hingga Jarjir rebah bersimbah darah.
Abu Ubaidah membaca takbir, pasukan Muslimiin juga membaca takbir.

Abu Ubaidah memandangi mayat tinggi besar bersimbah darah, namun lalu terkejut oleh permohonan Khalid, “Sebaiknya yang mulia segera memegangi panji kepemimpinan ini! Baginda telah melaksanakan kewajiban dengan baik.”

Abu Ubaidah masih akan bertanding. Namun semua pasukan Muslimiin bersumpah, “Demi Allah! Kembalilah! Yang mulia," bersaut-sautan.
Abu Ubaidah kembali untuk memegang lagi, pada panjinya yang dititipkan pada Khalid.

Ketika melihat orang sehebat Jarjir tewas, Mahan terkejut dan wajahnya memucat. Hampir saja Mahan berlari dengan kudanya. Tapi ada suara yang memenuhi ruang hatinya, “Saya akan beralasan bagaimana di hadapan Raja Hiraqla nanti. Saya harus segera berperang mati-matian untuk mengobati rasa malu. Syukur jika bisa menang, agar punya bukti telah berjuang di sisi Raja Hiraqla.”

Tokoh-tokoh besar pasukan Romawi telah tahu semua bahwa ‘dia telah bersiap-siap’ untuk perang. Dia berpakaian gemerlapan, menjadi pusat perhatian para bathriq, para ulama Nashrni, dan para rahib.
Di hadapan mereka, dia berkata, “Sungguh sebelum ini, Raja Hiraqla telah tahu bahwa akibatnya akan begini. Sejak sebelum ini, beliau ingin berdamai dengan pasukan Arab, namun kalian semua sama menentang beliau. Semua telah terlanjur, saya akan berperang melawan mereka.”

Seorang bathriq yang berkedudukan dekat dengan dia muncul. Bathriq yang masih kerabat dekat Jarjir ini sangat taat beribadah, dan suka membaca Injil. Kepada Mahan, bathriq berkata, “Saya yang akan mewakili tuan berperang, meskipun saya harus mati. Saya akan membalaskan dendam tuan Jarjir.”
Mahan diam mendengarkan bathriq memohon, “Tuan akan berperang, padahal saya yang lebih berhak. Saya yang akan mewakili tuan.”
Bathriq itulah yang disebut-sebut sebagai Jirjis’. Dia mengenakan baju perang dari besi, membawa pedang. Baju luarnya gemerlapan oleh emas. Bathriq Jirjis ‘diupacarakan’ dengan agung, sebelum berperang mati-matian. Sejumlah ulama Nashrani berdoa agar dia selamat. Lalu padanya, mereka mengoleskan parfum bakhur (بخور) dari beberapa gereja teragung.

Seorang rahib dari Amuriyah datang untuk memberikan Salib yang menggelayut pada lehernya, dan berkata, “Salib keramat yang selalu di tangan para rahib, untuk diambil barakahnya ini, ada sejak Al-Masih AS masih hidup, hingga akhirnya sampai pada saya. Ambillah agar menolong tuan.”

Dengan bahasa Arab fasih, Bathriq Jirjis menantang perang, hingga banyak yang terheran-heran.
Dhirar datang untuk melawan, tapi lalu terkejut ketika melihat lawannya ‘tinggi besar’ di luar dugaan.
Dhirar berkata, “Apa gunanya saya berbaju? Jika saya mati olehnya.”
Lalu membelokkan kudanya untuk berlari menjauh.
Orang-orang menyangka Dhirar takut pada Jirjis yang tinggi besar. Bahkan ada yang berkata, “Ternyata Dhirar takut sebelum bertanding.”

Dhirar pulang ke tendanya untuk meletakkan baju, sehingga hanya mengenakan celana panjang. Dia mengambil busur, pedang, dan perisai, untuk melawan Jirjis. Meskipun jalannya cepat, namun terlambat. Jirjis telah berhadap-hadapan dengan Malik Annakhai (مالك النخعي).
Malik bertubuh tinggi besar berteriak, “Ayo majulah! Hai Musuh Allah! Hai penyembah Salib! Lawanlah lelaki hebat penolong Muhammad yang agung ini!.”
Jirjis grogi. Malik menusuk berkali-kali, namun tombaknya tak mempan menembus baju besi Jirjis.
Malik mengayunkan tombak sekuat tenaga, hingga menembus perut kuda Jirjis. Kudanya luka berat dan darahnya bercucuran, namun masih bisa berlari dengan kesakitan.
Malik menarik tombaknya, namun tak mampu. Tombaknya telah menyatu dengan tubuh kuda berdarah dan sakarat. 
Orang-orang melihat Dhirar bergerak cepat sekali, menebaskan pedangnya sekuat tenaga, hingga kepala Jirjis terbelah menjadi dua. Otak dan darahnya berhamburan.

Ketika Dhirar mengambil harta peninggalan Jirjis, Malik menegur, “Kenapa tahu-tahu kau bergabung menaklukkan lawanku?.”
Dhirar membantah, “Saya tidak bergabung, saya hanya ingin memiliki harta miliknya.”
Malik berkata, “Yang membunuh kudanya kan saya?.”
Dhirar menjawab, “Memang terkadang seorang berusaha, namun yang beruntung justru lainnya.”
Malik tersenyum dan berkata, “Silahkan diambil.”
Dhirar mengaku, “Saya hanya bergurau, ambillah! Saya tidak akan minta sedikitpun. Kau yang lebih berhak memiliki.”

Setelah emas dan harta berharga lainnya dikumpulkan untuk diangkat, ternyata Dhirar keberatan, hingga keringatnya bercucuran. Berat sekali. Dhirar membawa untuk meletakkan harta rampasan, pada tenda Malik.



2015/05/13

PS 122: Pembebasan Syam





Awal Perang Yarmuk hanya bagai api kecil, namun akhirnya membesar mengerikan bagai kobaran api ‘menjulang sangat tinggi’. Peperangan makin lama, semakin berat menegangkan.
Di awal hari peperangan, Mahan hanya menurunkan sepuluh barisan pasukan berkuda untuk menyerbu.

Abu Ubaidah mengamati gerak-gerik Mahan dari kejauhan. 
Ketika perjuangan kaumnya makin berat, Abu Ubaidah membaca, “Laa chaula walaa quwwata illaa bi Allah Al-Aliyyi Al-Azhiiim.” [1] Lalu membaca, “Alladziina qaala lahumunnaasu innannaasa qad jamauu lakum fakhsyauhum fazaadahum iimaanan wa qaaluu Chasbunaa Allaahu wa Nikmal Wakiil. [2]

Kalimat dan Ayat yang dibaca, membuat pasukan Muslimiin bertawakkal dan berdoa pada Allah.
Perang mulai ketika matahari di tengah langit, hingga hampir terbenam di barat. 
Di malam yang gelap itu pasukan Muslimiin menggunakan sandi untuk membedakan teman dan lawan.
Apabila malam makin kelam dan dingin, pasukan dua kubu yang masih hidup, meninggalkan medan perang untuk istirahat.

Pasukan Muslimiin yang pulang disambut dan diusap wajah mereka dengan selendang, oleh istri-istri mereka. Dengan penuh cinta, wanita-wanita berkata indah, “Berbahagialah untuk memasuki surga hai Kekasih Allah!.”
Mereka bemalam dalam keadaan berbahagia, menikmati hidangan malam bersama istri tercinta mempesona.

Di awal peperangan, pasukan Romawi yang gugur hanya sedikit. Tetapi pasukan Muslimiin yang gugur jauh lebih sedikit. Hanya sepuluh orang:

1.     Mazin.
2.     Sharim.
3.     Rafi.
4.     Mujli.
5.     Ali (dari kota Usfan).
6.     Abdullah bin Al-Akhram.
7.     Suwaid (kemenakan Qais bin Hubairah).
8.     Tiga pria dari kota Bajilah.

Qais wakil Kinanah sangat sedih, karena kemenakannya bernama Suwaid tidak pulang. Dia bertekat mencari di antara mayat-mayat yang berserakan, di medan perang yang gelap. Ditemani oleh tujuh lelaki.
Di malam itu, mereka meneliti mayat-mayat yang tergolek bermandi darah, satu persatu. Mereka telah capek, namun belum berhasil menemukan. Mereka memutuskan ‘pulang lagi’ ke barak pengungsian.
Mereka terkejut oleh obor-obor menyala dari kejauhan, dibawa sejumlah pasukan Romawi, menuju medan perang yang telah sepi. Ternyata mereka mencari mayat bathriq yang mereka agung-agungkan, yang tewas oleh pedang Abdur Rohman.
Qais perintah teman-temannya, “Padamkan api kalian! Demi Allah ini kesempatan baik untuk membalaskan kematian kemenakan saya!.”   
Mereka memadamkan api, lalu berbaring di celah-celah mayat berbau anyir, sambil bersiap-siap menyerang. Setelah dihitung, ternyata rombongan orang berceloteh yang makin mendekat itu, berjumlah seratus. Bersenjata dan berbusana mewah.
Teman-teman Qais berkata, “Jumlah mereka banyak, sedangkan kita hanya sedikit. Dan kita sudah terlalu capek.”
Qais perintah, “Kalian silahkan pulang! Demi Allah saya justru lebih senang mati syahid karena berjihad.”
Mereka heran pada tekat dan keberanian Qais yang besar. Mereka pun bertekat membantu Qais ‘melawan’ mereka.

Pasukan yang ditunggu-tunggu, mencari-cari mayat bathriq, di antara celah-celah mayat yang berserakan. Mereka telah menemukan dan telah mengangkat yang dicari, untuk dibawa ke barak mereka.

Qais berteriak, “Serbu!.”
Teman-temannya berteriak, “Ya!” Hampir serempak.
Seratus orang ketakutan dan berlari. Mayat yang dibawa ditinggalkan, agar lari mereka lebih cepat. Tetapi serangan Qais dan teman-temannya jauh lebih cepat melanda mereka. Tiap kali membunuh seorang, Qais berkata, “Ini balasan atas kematian kemenakanku!.”
Dengan membabi-buta Qais membunuh 17 orang. Sisa-sisa mereka dihabisi oleh tujuh temannya, kecuali yang lari cepat sekali.
Qais mencoba lagi mencari kemenakan yang dikira telah tewas. Namun lalu terkejut oleh suara rintihan yang samar. Dia mencari arah suara itu. Lalu terkejut, ternyata yang merintih kemenakan yang dicari-cari bernama Suwaid. Qais menghampiri Suwaid yang dadanya luka parah bersimbah darah. Dan  bertanya, “Kenapa kau menangis, Nak?.”
Suwaid menjawab, “Paman. Tadi siang saya mengejar rombongan lawan. Tiba-tiba yang belakang berbalik untuk menusuk dadaku. Luka saya sangat parah. Namun tiba-tiba sejumlah bidadari bermata indah menengok saya, sambil menunggu-nunggu ruh saya keluar.”
Qais menangis di sisi Suwaid dan berkata, “Nak! Ajal semua makhluq telah ditentukan. Semoga kau masih bisa disembuhkan.”
Suwaid menjawab, “Sepertinya tak mungkin. Demi Allah saya mohon diusung menuju pertengahan pasukan Muslimiin, agar saya mati di sana.”
Dengan sedih dan takut, Qais menjawab, “Akan saya laksanakan.”
Dengan sedih, Qais menggendong Suwaid di atas punggung, menuju barak pengungsian Suwaid. Untuk ditidurkan dan diselimuti.
Dalam waktu cepat, Abu Ubaidah mendengar berita, "Suwaid telah ditemukan dan dibawa pulang ke barak."

Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin bergegas menengok Suwaid. Tangisan Abu Ubaidah di situ membuat semua penjenguk menangis untuk Suwaid.
Pada Suwaid yang tergolek lunglai, Abu Ubaidah bertanya, “Bagaimana keadaanmu?.”
Mereka terharu oleh jawaban Suwaid, “Saya baik-baik saja demi Allah, bahkan diampuni oleh Allah. Semoga Allah membalas kebaikan pada Muhammad SAW yang berjasa pada kita. Sabda beliau ternyata benar: ini ada bidadari bermata indah hadir, memandang dan memanggil namaku.”
Suwaid wafat. Semua pengunjung menitikkan air mata.
Pasukan Muslimiin mengurusi pemakaman jenazah Suwaid hingga selesai. Abu Ubaidah sangat berbahagia, saat mendapat laporan dari Suwaid sebelum wafat:


Malam itu pasukan Muslimiin istirahat. Sebagian mereka membaca Al-Qur’an. Sebagian yang lain melakukan shalat. Kebanyakan mereka berdoa agar Allah memberi lagi Pertolongan yang lebih besar.



In syaa Allah bersambung.



[1] لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. Artinya: Tiada upaya dan kekuatan kecuali karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung.
[2] Dalam Al-Qur’an ditulis: الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ [آل عمران/173]. Artinya: Yaitu orang-orang yang manusia berkata pada mereka, “Sungguh manusia telah berkumpul untuk kalian, maka takutlah pada mereka.” Namun itu jutru menambahi mereka imannya, dan berkata, “Semoga Allah mencukupi kita, dan sebaik-baik yang diserahi.”