Ibnu Abbas berkata, “Sebelum bulan Dzul-Chijjah berakhir, kami sampai ke Madinah.
Di hari Jum’at itu, kami bergegas berangkat jumatan. Matahari telah condong ke
barat. Di sana saya berjumpa Said bin Zaid bin Amer bin Nufail yang duduk lurus
sudut mimbar. Saya segera duduk di sekitar itu. Lututku menyentuh lututnya. [1]
Tak lama kemudin Umar bin Al-Khatthab keluar ke arah
mimbar. Saya menyaksikan Umar menghadap mimbar. Dan saya berkata pada Said bin Zaid
bin Amer bin Nufail, “Sungguh di sore ini, pasti dia akan menyampaikan makalah
yang belum pernah disampaikan sejak dia menjadi Khalifah.”
Sontak Said bin Zaid marah: “Apa maksud
perkataanmu ‘beliau akan mengucapkan yang belum pernah diucapkan?’.”
Umar duduk di atas mimbar. Ketika para Mu’adzin telah diam, Umar berdiri untuk
menyampaikan mengenai Kehebatan Allah:
“Ammaa ba’d; sungguh saya akan menyampaikan
makalah yang telah dipersiapkan untuk kalian. Saya tidak tahu barangkali ini
persiapan untuk ajal kematian saya. Barang siapa mampu mengingat dan menyimpan,
silahkan menyampaikan, sampai di mana kendaraan dia membawa dia. Namun barang
siapa khawatir tidak mampu mengingat, tidak saya halalkan bohong atas nama
saya. Sungguh Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan
hak. Dan telah menurunkan Kitab kepadanya. Termasuk yang diturunkan oleh Allah
di dalamnya ‘Ayat Rajam’. Dulu, kami membaca, mengingat dan memahami (Ayat tersebut). Rasulullah telah melaksanakan rajam; kami pun telah melaksanakan. Namun saya
khawartir jika zaman panjang telah melanda manusia nanti, akan ada orang yang
berkata ‘demi Allah! Kami tidak menemukan Ayat Rajam dalam Kitab
Allah’. Akhirnya mereka tersesat karena meninggalkan hukum (rajam) yang
telah Allah tentukan. [2]
Rajam di dalam Kitab Allah adalah Hak, atas
orang yang zina; kaum lelaki maupun wanita yang telah menikah; ketika bukti
telah tegak atau ada kehamilan, atau ada pengakuan. Selanjutnya, sungguh kami dulu pernah membaca
sebagian bacaan Al-Qur’an: أَنْ لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ ، فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ
تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ.
Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah
bersabda ‘jangan mengkultuskan saya seperti ‘Isa bin Maryam AS dikultuskan!
Katakan dia Hamba dan Rasul Allah’.
Selanjutnya, berita bahwa seorang kalian
berkata ‘demi Allah kalau Umar wafat, saya pasti berbai’at pada fulan’ telah sampai padaku. Jangan sampai
orang salah dalam pernyataan ‘Pembai’atan
Abi Bakr yang Sangat Mendadak, Nyatanya Sempurna’. Ingat! Kenyataannya memang demikian;
karena sungguh Allah telah melindungi pembai’atan tersebut. Tak seorang pun
dari kalian yang leher-leher tuqtha’u, yakni diputus, semisal Abi Bakr.”
Maksud Umar 'karena keagungan, kebaikan, serta
kepandaian Abu Bakr sempurna, maka kalau leher-leher kaum ditegakkan, agar
dapat membandingi, tetap juga takkan berhasil, meskipun leher-leher mereka
putus (karena dipaksa). Karena derajat Abu Bakr terlalu tinggi'.
Umar melanjutkan:
‘Barang siapa berbai’at’ pada seorang, tidak
melalui musyawarah Muslimiin, maka yang berbai’at dan dibai’at tersebut keliru,‘harus dibunuh’. Dan sungguh di saat Allah mewafatkan nabi SAW kita; kaum Anshar mentukan langkah
berbeda dengan kami. Mereka telah berkumpul semuanya di halaman keluarga
besar Sa’idah. (Beberapa tokoh) Ali, Zubair, dan yang menyertai mereka berdua,
tidak bergabung pada kami. Kaum Muhajirin telah bergabung pada Abu Bakr.
Saya berkata ‘ya Aba Bakr!
Mari kita pergi menuju saudara-saudara kita kaum Anshar ini’. Kami pun segera
datang menuju mereka. Di tengah perjalanan, kami bertemu dua pria shalih. [3]
Mereka berdua menjelaskan pada kami, mengenai
tujuan kaum yang berkumpul tersebut. Mereka berdua berkata ‘kalian mau kemana
hai kaum Muhajirin?’.
Kami menjawab ‘akan menuju saudara kami; kaum
Anshar ini’.
Mereka berdua berkata ’jangan kalian dekati
mereka! Laksanakan saja urusan kalian!’.
Saya menjawab ‘demi Allah, kami harus datang
sungguh pada mereka’.
Kami meneruskan perjalan hingga sampai pada mereka, di
halaman luas keluarga besar Sa’idah.
Ternyata ada lelaki berselimut rapat,
di pertengahan mereka.
Saya bertanya ‘siapa ini?’.
Mereka menjawab ‘Sa’du bnu Ubadah’.
Saya bertanya ‘ada apa dia?’.
Mereka menjawab ‘sedang terserang penyakit
panas’.
Setelah kami duduk sejenak; juru bicara
mereka bertasyahud, dan memuji Kehebatan Allah. Selanjutnya berkata ‘ammaa
ba’d: kami Penolong Allah dan Pasukan Islam, sementara kalian kaum Muhajirin, jamaah biasa. Kalian kelompok kecil yang memisahkan diri dari kaum
kalian’.
Ternyata mereka bertujuan akan melepaskan
kami dari asal kami, dan menyingkirkan kami dari kepemimpinan. Begitu dia diam;
saya telah hampir berbicara. Ketika itu saya telah mempersiapkan makalah
menakjubkan yang akan saya sampaikan di hadapan Abu Bakr. Saya telah
mempersiapkan dengan matang. Ketika saya telah hampir berbicara; Abu Bakr
berkata ‘sebentar’.
Sontak saya jadi sungkan, dan tak mau membuat
dia marah.
Abu Bakr berbiara. Ternyata
dia lebih arif dan lebih sopan dari pada saya. Demi Allah, kalimat menakjubkan
yang telah saya persiapkan, tidak dia tinggalkan dalam pembicaraan tersebut. Dengan kejeniusannya dia mengutarakan semisal itu, atau lebih bagus daripada
perkataan saya, hingga dia diam. Saat itu dia berkata ‘kebaikan yang telah
kalian katakan mengenai ‘kalian’ memang tepat jika disematkan pada kalian. [4] Namun ini (kepemimpinan) takkan diakui
kecuali sebagai hak kaum Quraisy ini. Mereka kaum yang nasab dan desanya
‘lebih inti’ bagi bangsa Arab. Sungguh saya telah menyetujui sepenuhnya,
satunya dua pria ini: Berbai’atlah pada seorang mereka berdua yang kalian
kehendaki!’.
Sontak Abu Bakr memegang tangan saya dan
tangan Abu ’Ubaidah bin Al-Jarrach. Sementara dia sendiri duduk di antara kami
berdua. Sontak rasa salutku terhadap Abu Bakr surut, karena ucapan tersebut.
Demi Allah, sejak dulu saya diajukan untuk dipukul leher saya, takkan
mendekatkan saya pada dosa yang lebih menyenangkan, daripada memimpin kaum yang
di dalamnya ada Abu Bakr. (Maksudnya sama-sama saya anggap salah, namun lebih
senang dipukul leher saya; daripada memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu
Bakr). Allahumma, kecuali jika Kau memberikan godaan pada diri saya,
ketika saya akan mati, yang saat ini tidak saya jumpai.
Seorang lelaki Anshar berkata ‘saya
batang-kayu yang digunakan menggaruk gatal, dan untaian buah yang membesar. [5] [6] Dari kami ada pemimpin; dari kalian
ada pemimpin, ya kaum Quraisy’.
Setelah itu suara ricuh dan celoteh
bersaut-sautan.
Ada beberapa orang yang suaranya tinggi,
hingga saya khawatir terjadi perselisihan.
Saya segera berkata ‘bentangkan
tanganmu ya Aba Bakr’.
Dia membentangkan tangannya. Sontak saya
berbai’at kepadanya.
Kaum Muhajiriin menyusul berbai’at padanya.
Selanjutnya kaum Anshar juga berbai’at
padanya.
Kami bergegas menuju Sa’du bnu ‘Ubadah.
Seorang mereka berkata ‘kalian membunuh Sa’du bnu ‘Ubadah?’.
Saya menjawab ‘Allah yang membunuh Sa’du bnu
‘Ubadah’.
‘Sungguh’ (lanjut Umar) ‘kami demi Allah,
berdasarkan kenyataan yang kami saksikan; tak menjumpai keputusan yang lebih
kuat dari pada Pembai’atan Abu Bakr. Saat itu kami khawatir jika kaum
(Muslimiin) berpecah, sebelum dilakukan bai’at. Khawatir jika ada yang
melakukan pembai’atan di belakang kami’. Karena bisa jadi, kami akan bergabung
berbai’at pada mereka, dengan tanpa kami ridhoi. Bisa jadi kami akan menentang
mereka, hingga terjadi kerusakan. Oleh karena itu barang siapa berbai’at pada
lelaki, tanpa musyawarah dengan Muslimiin, maka tidak boleh diikuti, baik yang
berba’iat maupun yang dibai’at. Keduanya melakukan kekeliruan yang mengarah
untuk dibunuh'." [7]
Sebetulnya ‘Khotbah Jum’ah Umar Terakhir’ tersebut, tidak
hanya melukiskan Umar sangat mengalah pada ra’iyah atau jamaah, tetapi lebih dari itu. Dia suka bermusyawarah, dan sangat menghormati
Abu Bakr. Dia sangat menghormati pejuang-pejuang Islam lainnya. Dia
mementingkan perdamaian dan persatuan. Kalau saat itu, rakus atau tamak atau
arogan, Umar bisa mendapatkan kekayaan sebanyak apapun, karena saat itu dua
kerajaan raksasa Romawi Timur dan Farisi, telah dilumpuhkan olehnya. Harta
kekayaan dua kerajaan tersebut masuk ke Sabilillah banyak sekali, hingga ‘Umar jusrtu menangis, saat melihat kenyataan tersebut.
Dalam Lisanul-Arab dan Tajul-Urus dijelaskan:
Bertaqwa dan bersabar membuat seorang mampu
menahan diri. Karena di saat itu, Allah merahmati sehingga dia mampu menahan
nafsunya.
Perlu diingat bahwa, Ayat di atas merupakan Khotbah
Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام yang disampaikan pada kakak-kakaknya. Di saat
mereka terperanjat oleh kenyataan; ‘Yusuf عَلَيْهِ السّلَام menjadi orang besar’.
Nabi Yusuf AS menumbangkan kejahatan dengan
Cinta-Kasih. Allah mengabadikan Khotbah tersebut di dalam Al-Qur’an,
sebagai Pelajaran, untuk Muhammad dan umatnya صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ.
Dan ketika Nabi Muhammad صَلّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ mengamalkan Ayat tersebut; ternyata betul sekali, yakni berdampak seperti Nabi Yusuf عَلَيْهِ
السّلَام. Hanya
dampaknya jauh lebih besar dan lebih indah. Kalau manusia tahu, bagaimana Allah
memberi Anugrah Besar, setelah Nabi Yusuf عَلَيْهِ السّلَام dan Nabi Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ bertaqwa dan bersabar, mungkin mereka ‘akan meninggalkan semua usaha’. Selanjutnya bergegas atau berlari menuju ketaqwaan dan kesabaran. [10] Apalagi mereka yang intelek atau
ilmuan, yang kesadaran atau kepandaian mereka, di atas manusia pada umumnya. [11]
‘Cinta Berbuah Indah’ hanya sebuah judul. Sebetulnya yang
dimaksud Rahmah Berbuah Indah. Tetapi karena ada yang berpandangan
rahmah adalah cinta, maka judulnya menjadi begitu. Adapun yang dibahas:
1.
Memetik dan menghidangkan buah cinta-kasih.
2.
Menghidangkan buah cinta-kasih pada penghuni bumi.
3.
Taburan cinta-kasih Rasul.
4.
Membatasi-diri sebagai pemimpin.
5.
Penjelasan agar tidak salah paham.
6.
Himbauan.
7. Doa.