SELAMAT DATANG DI BLOG PONDOK PESANTREN MULYA ABADI, JL. MAGELANG KM 8.5 SLEMAN YOGYAKARTA, SEMOGA BLOG INI BISA MENJADI SILATURAHMI KITA UNTUK SALING BERBAGI

2014/06/30

Hadits Muallaqah Bukhari



Hingga kapanpun 'Bukhari' tetap unggul, dalam membahas Hadits shohih bermanfaat. Meskipun dengan sinis, beberapa orang mengatakan, “Banyak Hadits Bukhari yang tidak shohih.” Pasti yang dimaksud, ‘banyak Hadits Muallaqahdi dalamnya.
Padahal kalau dikaji dalam syarahnya, kita akan tahu bahwa Hadits Muallaqah Bukhari, adalah shohih. 
Dia sengaja menghilangkan isnad-isnad-nya, karena hanya sebagai matan (bentuk tunggal dari mutun). Bahkan dengan Hadits Muallaqah, Bukhari mengungguli Ahli Hadits lainnya. Karena dalam bahasannya, beliau merujuk kaum berilmu sangat tinggi, seperti:
1.     Umar RA.
2.     Ibnu Umar RA.
3.     Abu Hurairah RA.
4.     Abdullah bin Abi Aufa RA.
5.     Dan lainnya.
Kalau ilmu seorang mereka, ditimbang dengan ilmu seluruh Ulama sedunia saat ini, in syaa Allah pasti 'lebih berbobot dan lebih' shohih. Walloohu Hasiibunaa.

Ini termasuk Hadits Muallaqah yang dimaksud: 
بَابُ مَنْ لَمْ يَرَ الوُضُوءَ إِلَّا مِنَ المَخْرَجَيْنِ: مِنَ القُبُلِ وَالدُّبُرِ
وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الغَائِطِ} [النساء: 43] وَقَالَ عَطَاءٌ: - فِيمَنْ يَخْرُجُ مِنْ دُبُرِهِ الدُّودُ، أَوْ مِنْ ذَكَرِهِ نَحْوُ القَمْلَةِ - «يُعِيدُ الوُضُوءَ» وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: «إِذَا ضَحِكَ فِي الصَّلاَةِ أَعَادَ الصَّلاَةَ وَلَمْ يُعِدِ الوُضُوءَ» وَقَالَ الحَسَنُ: «إِنْ أَخَذَ مِنْ شَعَرِهِ وَأَظْفَارِهِ، أَوْ خَلَعَ خُفَّيْهِ فَلاَ وُضُوءَ عَلَيْهِ» وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «لاَ وُضُوءَ إِلَّا مِنْ حَدَثٍ» وَيُذْكَرُ عَنْ جَابِرٍ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِيَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ، فَنَزَفَهُ الدَّمُ، فَرَكَعَ، وَسَجَدَ وَمَضَى فِي صَلاَتِهِ» وَقَالَ الحَسَنُ: «مَا زَالَ المُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِي جِرَاحَاتِهِمْ» وَقَالَ طَاوُسٌ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، وَعَطَاءٌ، وَأَهْلُ الحِجَازِ لَيْسَ فِي الدَّمِ وُضُوءٌ وَعَصَرَ ابْنُ عُمَرَ بَثْرَةً فَخَرَجَ مِنْهَا الدَّمُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَبَزَقَ ابْنُ أَبِي أَوْفَى دَمًا فَمَضَى فِي صَلاَتِهِ " وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَالحَسَنُ: " فِيمَنْ يَحْتَجِمُ: لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا غَسْلُ مَحَاجِمِهِ ".

Artinya:
Bab Orang Berpendapat ‘Tidak Perlu Wudhu Lagi’, Illaa (Kecuali)  Ada yang Keluar dari Dua Lobang.

(Kajian) ini juga membahas Firman Allah Taala, “Atau seorang kalian telah datang dari WC.” [Annisa : 43].
Atha mengulas, “Orang yang dari duburnya keluar belatung, atau dari dzakarnya keluar seperti kutu, maka (harus) mengulang wudhu.”
Jabir bin Abdillah RA berkata, “Ketika tersenyum di dalam shalat, maka dia mengulangi shalatnya, tidak perlu mengulangi wudhu.”
Al-Chasan berkata, “Jika dia memotong beberapa rambut dan kuku-kukunya, atau melepaskan muzah-nya, maka tidak berkewajiban (mengulangi) wudhu.” [1]
Abu Hurairah berkata, “Tiada kewajiban wudhu, kecuali karenahadats (batal).”
Dari Jabir, “Sungguh Nabi SAW telah mengikuti Perang Dzatur Riqa. Ternyata ada lelaki, dipanah dengan anak-panah. Darah bercucuran hingga dia lemas. Namun dia meneruskan rukuk dan sujud. Bahkan menyelesaikan shalatnya.”
Al-Chasan berkata, “Sejak dulu, kaum Muslimiin, tak henti-henti shalat, dalam keadaan luka.”
Di tempat dan waktu berbeda, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha, dan penduduk Hijaz, berkata, “Darah keluar, tidak mewajibkan mengulang wudhu lagi.”
Ibnu Umar pernah memencet jerawat, hingga darahnya keluar. Tidak mengulangi wudhu.
Ibnu Abi Aufa meludah darah, lalu meneruskan shalatnya.
Di tempat dan waktu berbeda, Ibnu Umar dan Al-Chasan, mengulas tentang ‘orang cantuk (bekam)’: “Tiada wajib dibersihkan, kecauli tempat-tempat yang dicantuk.”

Pembahasan di atas, in syaa Allah pasti akan lebih gamblang, jika syarah Bukhari dikaji, yakni Fathul-Bari. Ini syarahnya: فتح الباري لابن حجر (1/ 280)

(قَوْلُهُ بَابُ مَنْ لَمْ يَرَ الْوُضُوءَ إِلَّا مِنَ الْمَخْرَجَيْنِ)
الِاسْتِثْنَاءُ مُفَرَّغٌ وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَرَ الْوُضُوءَ وَاجِبًا مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ شَيْءٍ مِنْ مَخَارِجِ الْبَدَنِ إِلَّا مِنَ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ وَأَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى خِلَافِ مَنْ رَأَى الْوُضُوءَ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْ غَيْرِهِمَا مِنَ الْبَدَنِ كَالْقَيْءِ وَالْحِجَامَةِ وَغَيْرِهِمَا وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ نَوَاقِضَ الْوُضُوءِ الْمُعْتَبَرَةَ تَرْجِعُ إِلَى الْمَخْرَجَيْنِ فَالنَّوْمُ مَظِنَّةُ خُرُوجِ الرِّيحِ وَلَمْسُ الْمَرْأَةِ وَمَسُّ الذَّكَرِ مَظِنَّةُ خُرُوجِ الْمَذْيِ قَوْلُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى أَوْ جَاءَ أحد مِنْكُم من الْغَائِط فَعَلَّقَ وُجُوبَ الْوُضُوءِ أَوِ التَّيَمُّمَ عِنْدَ فَقَدِ الْمَاءِ عَلَى الْمَجِيءِ مِنَ الْغَائِطِ وَهُوَ الْمَكَانُ الْمُطَمْئِنُ مِنَ الْأَرْضِ الَّذِي كَانُوا يَقْصِدُونَهُ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَهَذَا دَلِيلُ الْوُضُوءِ مِمَّا يَخْرُجُ مِنَ المخرجين وَقَوله أَو لامستم النِّسَاء دَلِيلُ الْوُضُوءِ مِنْ مُلَامَسَةِ النِّسَاءِ وَفِي مَعْنَاهُ مَسُّ الذَّكَرِ مَعَ صِحَّةِ الْحَدِيثِ فِيهِ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَقَدْ صَحَّحَهُ مَالِكٌ وَجَمِيعُ مَنْ أَخْرَجَ الصَّحِيحَ غَيْرَ الشَّيْخَيْنِ قَوْله وَقَالَ عَطاء هُوَ بن أبي رَبَاح وَهَذَا التَّعْلِيق وَصله بن أَبِي شَيْبَةَ وَغَيْرُهُ بِنَحْوِهِ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ وَالْمُخَالِفُ فِي ذَلِكَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ قَالُوا لَا يَنْقُضُ النَّادِرُ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ قَالَ إِلَّا إِنْ حَصَلَ مَعَهُ تَلْوِيثٌ قَوْلُهُ وَقَالَ جَابِرٌ هَذَا التَّعْلِيقُ وَصَلَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا وَهُوَ صَحِيحٌ مِنْ قَوْلِ جَابِرٍ وَأَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ مِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى مَرْفُوعًا لَكِنْ ضَعَّفَهَا وَالْمُخَالِفُ فِي ذَلِكَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ قَالُوا يَنْقُضُ الضَّحِكُ إِذَا وَقَعَ دَاخِلَ الصَّلَاةِ لَا خَارِجهَا قَالَ بن الْمُنْذِرِ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ خَارِجَ الصَّلَاةِ وَاخْتَلَفُوا إِذَا وَقَعَ فِيهَا فَخَالَفَ مَنْ قَالَ بِهِ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ وَتَمَسَّكُوا بِحَدِيثٍ لَا يَصِحُّ وَحَاشَا أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِينَ هُمْ خَيْرُ الْقُرُونِ أَنْ يَضْحَكُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ تَعَالَى خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَهَى عَلَى أَنَّهُمْ لَمْ يَأْخُذُوا بِعُمُومِ الْخَبَرِ الْمَرْوِيِّ فِي الضحك بل خصوه بالقهقهة قَوْله وَقَالَ الْحسن أَي بن أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَالتَّعْلِيقُ عَنْهُ لِلْمَسْأَلَةِ الْأُولَى وَصله سعيد بن مَنْصُور وبن الْمُنْذِرِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَالْمُخَالِفُ فِي ذَلِكَ مُجَاهِدٌ وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَحَمَّادٌ قَالُوا مَنْ قَصَّ أَظْفَارَهُ أَوْ جَزَّ شَارِبَهُ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ.

Artinya:
Pernyataan Bukhari:
Bab Orang Berpendapat ‘Tidak Perlu Wudhu Lagi’, Illaa (Kecuali)  Ada yang Keluar dari Dua Lobang.

Illaa (kecuali) dalam judul Hadits di atas, untuk pengecualian secara sempurna. Makna Hadits tersebut, “Ada orang berpandangan ‘tidak berkewajiban wudhu lagi’, bagi yang mengeluarkan sesuatu dari anggota tubuh, kecuali dari qubul (kemaluan) atau duburnya.”
Penjelasan ini menunjukkan, Bukhari menyelisihi ‘sebagaian ulama’ yang berfaham:
“Orang yang mengeluarkan sesuatu melalui ‘selain dua lobangnya’, maka agar wudhu lagi, seperti muntah, keluar darah karena cantuk (bekam), dan lainnya.”
Mungkin hampir bisa dipastikan bahwa ‘Amalan-Amalan yang Merusak Wudhu’, karena ‘(keluar sesuatu dari dua lobang’:
Tidur membatalkan wudhu, karena membuat kentut keluar (dari dubur, ‘tidak terasa’).
Menyentuh wanita, dan menyentuh dzakar, membatalkan wudhu, karena bisa ‘membuat madzi keluar’. 
Dalam bahasan ini, Bukhari merujuk Firman Taala yang artinya ‘atau seorang kalian datang dari WC’. [2] Merujuk ayat ini, berarti 'Allah Mewajibkan Wudhu' atau ‘Tayamum’, ketika tiada air, karena berak (kencing).”
WC yang di dalam ayat diistilahkan Al-Ghaith (الْغَائِط), adalah tempat dari bumi yang nyaman, dibuat khusus untuk buang hajat. Ini merupakan dalil bahwa, ‘karena ada yang keluar dari dua lobang’, Wajib mengulangi Wudhu. Sedangkan FirmanNya yang artinya, “Atau kalian telah bersentuhan dengan wanita.” [3] Sebagai dalil ‘Wudhu Lagi’ setelah bersentuhan (bersenggama) dengan wanita. Secara tidak langsung, dalam Firman tersebut, terkandung makna ‘Wudhu Lagi Karena Menyentuh Dzakar’ berdasarkan Hadits shohih yang membahas hukum tersebut. Sayang, keshohihan Hadits tersebut belum memenuhi ‘syarat shohih’ yang ditetapkan oleh Syaikhoni  (Bukhari dan Muslim). Namun, Imam Maliki dan semua Perowi ‘kitab shohih’ kecuali Bukhari dan Muslim, telah menyatakan ‘Hadits tersebut shohih’.

Pernyataan BukhariAtha berkata, “Tentang orang yang dari duburnya keluar belatung, atau dari dzakarnya, keluar seperti kutu, maka mengulangi wudhu.” 
Atha, adalah ‘Ibnu Abi Rabach’, termasuk tabiin, murid Jabir RA.
Hadits Ta’liq (Mu’allaqah / tanpa isnad dari Atha) ini, dimaushul (sambung)kan, oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ulama Muhadditsiin lainnya. Lafal Haditsnya mirip. Isnad-nya shohih. Namun maknanya diselisihi oleh:
1.     Ibrahim Annakhoi.
2.     Qatadah.
3.     Dan Chamad bin Abi Sulaiman.
Mereka bertiga berkata, “Annadir (Pemanasan) tidak merusak (wudhu).” Ini juga pernyataan Imam Maliki, “Kecuali jika rabaan (pemanasan) sampai ‘membuat terangsang’.”

Bukhari menjelaskan, “Jabir bin Abdillah juga berkata, (‘jika tertawanya di waktu shalat, dia mengulangi lagi shalatnya, namun tidak mengulangi wudhunya’).” Adalah Hadits Ta’liq (tidak diberi sanad). Namun oleh Said bin Manshur, Addaruquthni, dan lainnya, Hadits tersebut dijadikan maushul (sambung) dan shohih, sebagai ‘pernyataan Jabir RA’. Addaruquthni juga mengeluarkan Hadits ini secara marfuk, tetapi menilai dhoif. 
Ulama besar yang menyelisihi makna Hadits tersebut:
1.     Ibrahim Annakhoi.
2.     Al-Auza’i.
3.     Atssauri.
4.     Abu Chanifah (Imam Chanafi), dan murid-muridnya.
Mereka berkata, “Ketika tertawa (tidak bersuara) dilakukan pada waktu shalat, bukan di luar shalat, maka shalatnya tidak batal.” 
Ibnul-Mundzir berkata, “Mereka ber-ijmak (sepakat) ‘tertawa’ di luar shalat, tidak membatalkan shalat.” 
Hukum yang diperselisihkan oleh mereka, ‘Jika Tertawanya di Dalam Shalat’. Orang yang menyelisihi faham tersebut, melakukan ‘Qias dan merujuk Hadits’ yang tidak shahih. Tidak mungkin para sahabat Nabi SAW, sebaik-baik qurun (jamak dari qarn: kaum yang hidup dalam lingkaran waktu seratus tahun), tertawa di hadapan Allah (shalat), di belakang Rasulillah SAW. Yang pasti para Ulama yang menyelisihi faham di atas, tidak mengambil Hadits umum, tentang ‘Tertawa di Dalam Shalat’. Yang mereka maksud ‘Bathal’ sebatas jika ‘Tertawanya (bersuara) Terbahak-bahak’.

Pernyataan Bukhari, “Al-Chasan berkata ‘Jika hanya memotong beberapa rambut, atau kuku-kukunya, atau melepaskan dua muzah-nya, maka tidak berkewajiban wudhu’.” 
‘Al-Chasan’ adalah, ‘Ibnu Abil-Chasan Al-Bashri’.
Hadits Mu’allaqah (digantung tanpa sanad) dari beliau, kembali pada pembahasan awal. 
Said bin Manshur dan Ibnul-Mundzir, me-mausul-kan (menyambung Hadits tersebut), dengan isnad shahih. Namun:
1.     Mujahid.
2.     Al-Chakam bin Utaibah.
3.     Dan Chamad. Menyelisihi faham tersebut.
Mereka bertiga berkata, “Barangsiapa memotong kuku-kuku, atau mencukur kumisnya, maka berkewajiban wudhu.”
Ibnul-Mundzir menukil pernyataan, “Sungguh Ijmak yang berlaku ‘(faham) yang menyelisihi itu’.” Artinya, kalau hanya menotong kuku atau kumis, tidak perlu wudhu lagi. Pen-takliq-an (penggantungah Hadits tanpa sanad) beliau dirujuk, untuk memperjelas 'pembahasan (faham) kedua'. Dan Hadits tersebut dimausulkan (dibuat sambung) oleh Ibnu Abi Syaibah, dengan isnad shohih. Namun:
1.     Ibrahim Annakhoi.
2.     Thawus.
3.     Qatadah.
4.     Dan Atha. Menganggap Hadits tersebut mauquf.

Sulaiman bin Charb, Guru Bukhari, dan Dawud, telah berfatwa mengenai Hadits tersebut. Namun Ulama Jumhur berselisih pendapat mengenai Hadits tersebut. Secara garis besar, perselisihan pendapat mereka terbagi dua:
1.     Mewajibkan mengulang wudhu.
2.     Menganggap mengulang wudhu 'tidak wajib'.

1.     Kaum yang berfaham, “Wajib mengulang wudhu” Berkata ‘dia harus wudhu lagi, ketika tenggang waktu antara wudhu dengan memotong kuku, lama’.
2.     Kaum yang berfaham ‘tidak wajib mengulang wudhu’, berkata, “Dia cukup membasuh dua kakinya.” Dan pengertian ini termasuk faham Madzhab Syafii, yang lebih menonjol. 
Dalam Kitab Muattho, Imam Maliki berkata, “ِAmalan yang lebih menyenangkan saya ‘dia mengulangi wudhu lagi, mulai dari awal’.”
Sebagian Ulama Syafiiyah dan yang lain berkata, “Dia wajib memulai waudhu lagi, ‘meskipun (hukum)’ memotong kuku-kuku, atau mencukur kumis, tidak wajib (hanya sunnah).”
Allaits (gurunya guru besar Bukhari yang bernama Yahya bin Bukair), berfaham kebalikan. Yakni tidak mewajibkan wudhu, bagi orang yang memotong kuku atau rambutnya.
Pernyataan Bukhari, “Abu Hurairah RA berkata ‘tiada berkewajiban wudhu kecuali karena batal’.” Di-mausul-kan oleh Ismail Al-Qadhi, di dalam Kitab Al-Achkam, dengan isnad shohih, dari jalur Mujahid dari Abi Hurairah RA. Hadits ini mauquf.
Hadits tersebut, juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dari jalur Syubah, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah RA, dengan marfuk. Namun di sana Abu Hurairah menambahi lafal, “Atau keluar angin” Yakni ‘tiada kewajiban wudhu kecuali karena batal atau keluar angin (kentut)’. 
Ulasan Bukhari, “Juga dijelaskan dari Jabir RA, ‘Sungguh nabi SAW pernah di dalam Perang Dzatur Riqa. Seorang lelaki dipanah dengan anak-panah. Dia terkena kucuran darah, namun tetap rukuk dan sujud. Bahkan meneruskan shalatnya’.” Adalah Hadits Muallaqah yang di-mausul-kan oleh Ibnu Ishaq, di dalam Al-Maghazi. Dia menjelaskan:
حَدَّثَنِي صَدَقَةُ بْنُ يَسَارٍ عَنْ عَقِيلِ بْنِ جَابِرٍ عَنْ أَبِيهِ.
Dengan dipanjangkan.
Ahmad, Abu Dawud, dan Addaruquthni, juga mengeluarkan Hadits tersebut. Dan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Al-Chaakim, dinilai shahih. Mereka semua juga mengeluarkan Hadits melalu jalur Ibnu Ishaq, murid Shodaqoh yang terpercaya. Sedang perowi bernama ‘Aqil, yang ‘huruf ‘ain-nya’ difathah. Saya belum pernah mengenal murid ‘Aqil, kecuali yang bernama Shodaqoh. Oleh karena itu Mushannif  (pengulas) tidak berani berpegangan Hadits ‘Aqil. Atau mungkin penyebab tidak beraninya, karena ‘Aqil meringkas Hadits tersebut. Bisa juga karena ‘Aqil menyelisihi Ibnu Ishaq.
Pernyataan Bukhari, “Dalam Perang Dzatir Riqa” akan dijelaskan di dalam Kitabul-Maghazi, in syaa Allah Taala.
Mengenai bahasan Bukhari, “Farumia,” (maka dia dipanah). Huruf ‘ro’nya di-dhomah. Berdasar siyaq (kontek) yang dijelaskan. 
Penyebab dan kelengkapan 'kisah berdarah' tersebut:
‘Sungguh Nabi SAW bertempat di lereng’, untuk bersabda, “Siapa yang ‘mau berjaga’ malam ini?.”
Dua lelaki dari kaum Muhajirin dan dari kaum Anshar, berdiri. 
Malam itu mereka berdua berjaga di mulut lereng. Mereka berdua berjaga bergantian. Yang dari kaum Muhajirin tidur duluan; yang dari kaum Anshar berdiri, shalat. 
Seorang musuh datang untuk mengintai lelaki yang shalat. Dan segera memanah dengan anak panah.
Anak panah yang menancap, dicabut. Lalu dia meneruskan shalatnya. Namun ternyata dia dipanah lagi yang kedua kali. Maka dia mencabut anak panah, lalu meneruskan lagi shalatnya. Ternyata dipanah lagi yang ketiga kalinya. Dia mencabut, lalu meneruskan shalatnya. Dan melakukan rukuk, sujud, hingga shalatnya selesai.
Dia membangunkan sahabatnya yang tidur.
Setelah melihat darah bercucuran, sahabatnya menegur, “Kenapa kau tidak membangunkan saya? Ketika dipanah pertama kali?.”
Dia menjawab, “Saat itu, saya sedang membaca surat yang saya senangi. Saya justru senang jika surat yang saya baca, tidak terhenti hanya karena luka-panah ini.”
Baihaqi juga mengeluarkan Hadits ini dalam kitab Dalail, dari versi yang lain. Dia menyebut lelaki Anshar tersebut, ‘Abbad bin Bisyr; lelaki Muhajir tersebut, ‘Amar bin Yasir.
Pernyataan Bukhari, “Fanazafahuddam”  Menurut Ibnu Tharif di dalam kitab Al-Af’al, “ (Secara bahasa) boleh dilafalkan ‘fanazafahuddam’ atau ‘anzafah’.”  Yaitu apabila darah luka yang mengucur, sangat banyak, hingga membuat yang bersangkutan lemas. Orang yang lemah karena darah luka yang mengucur sangat banyak, disebut, ‘Nazif’ atau ‘Manzuf’
Merujuk Hadits ini, Mushannif  (pengulas) membantah faham Madzhab Hanafiyyah:
“Darah mengalir membatalkan wudhu.”
Jika ada pertanyaan, “Bagaimana mungkin lelaki tersebut meneruskan shalatnya? Padahal darah melumuri tubuh atau pakaiannya? Padahal menjauhi najis ketika shalat, hukumnya wajib?.”

1.     Al-Khatthabi menjawab, “Mungkin, darah yang menyembur dari luka, bener-benar bercucuran. Namun tubuh dan pakaiannya tidak terkena darah sedikitpun.” Penjelasan ini jauh, yakni tak mungkin.
2.     Kemungkinan kedua, “Darah yang bercucuran hanya menimpa pakaiannya. Teman dia yang mencabut panah yang menancap. Namun darah yang menimpa tubuhnya hanya sedikit, dan makfu (dimaafkan).”
Akhirnya Hujjah kedua ini menjadi kokoh. Yakni keluar darah tidak membatalkan shalat. Walaupun penjelasan ‘keadaan darah yang keluar’ saat itu, belum jelas. Yang pasti Bukhari memastikan, “Keluar darah di waktu shalat, tidak membatalkan shalat.” Dengan bukti dia menunjukkan ‘atsar’ (sumber akurat), dari Chasan, yakni Al-Bashri:
“Sejak dulu tak pernah berhenti, Umat Islam melakukan shalat, di dalam keadaan luka.”
Dan berita bahwa, “Sungguh Umar RA telah shalat, dalam keadaan darahnya bercucuran,” adalah shohih.

Pernyataan Bukhari:
1.     “Thawus.
2.     Muhammad bin Ali.
3.     Atha.
4.     Dan penduduk Hijaz. Juga berkata, ‘darah keluar, tidak mewajibkan wudhu lagi’.”

1.     Maksud Thawus, di sini, ‘Ibnu Kaisan’. Beliau termasuk Tabiin yang mashur. Atsar dia ini, dimausulkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dengan isnad  shahih. Lafalnya, “Sungguh (Thawus) tidak berpendapat ‘wajib mengulangi wudhu’ untuk membasuh ‘darah yang keluar’, ketika shalat.”
2.     Maksud Bukhari ‘Muhammad bin ‘Ali’, adalah cucu Chusain bin Ali RA. Kuniyah (panggilan kehormatan sehari-hari) dia, Abu Jakfar Al-BaqirAtsar dia kami riwayatkan secara mausul, di dalam kitab Fawaidil-Chafidz. Ditulis oleh Samuaih, dari jalur guru Al-A’masy. Dia berkata, “Saya pernah bertanya pada Abu Jakfar Al-Baqir, tentang ‘darah mimisan’. Dia menjawab ‘kalaupun darah mimisan yang keluar, melimpah’, saya tetap tidak mengulangi wudhu.”
3.     Atha, yakni Ibnu Abi Rabach, juga berpendapat demikian. Atsar dia juga yang barusan ditulis di atas. Dimausulkan oleh Abdur Rozzaq, dari Ibnu Juraij, dari Atha.
4.     Penduduk Hijaz juga berpendapat demikian. Dalam bahasa Arab, disebut, “Athaf ‘am ‘alal-khash.”  Artinya ‘mengaitkan kaum umum, yakni kaum Hijaz yang di nomer keempat, pada tiga Ulama Besar, yang di nomer satu hingga tiga, yang juga penduduk Hijaz. 

Hadits tentang, “Umar RA telah shalat, dalam keadaan bercucuran darahnya.” Sungguh telah diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq, dari jalur Abu Hurairah dan Said bin Jubair. Ibnu Abi Syaibah juga mengeluarkan Hadits tersebut, dari jalur Ibnu Umar dan Said bin Al-Musayyab. Ismail Al-Qadhi juga mengeluarkan Hadits tersebut, dari jalur Abiz Zinad, dari tujuh Fuqaha Madinah. Dan ini juga merupakan 'Faham Paten' Imam Maliki dan Imam Syafii. 
Pernyataan Bukhari, “Ibnu Umar RA pernah memencet hingga jerawatnya berdarah, namun tidak mengulangi waudhu lagi.” Dimausulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad shohih. Namun dia menambah kalimat, “Lalau shalat.”
Yakni Hadits tersebut berbunyi:
“Ibnu Umar RA pernah memencet jerawat hingga berdarah. Lalu shalat, ‘tidak mengulang wudhu’.”

Maksud ucapan Bukhari, “Batsrah (بَثْرَةً).” Dengan huruf ‘fa’ tanpa titik, di-fathah. Dengan huruf ‘tsa’  bertitik tiga, di-sukun. Sebetulnya boleh di-fathah. Artinya ‘bisul kecil’ atau jerawat.
Dalam bahasa (Arab) sehari-hari, “Batsira wajhuh.” Wajahnya berjerawat.

Maksud ucapan Bukhari, “Ibnu Abi Aufa pernah meludah berdarah, lalu meneruskan shalatnya.” Yang dimaksud ‘Ibnu Abi Aufa’, adalah seorang sahabat nabi SAW, putra sahabat nabi SAW. Sebenarnya nama beliau Abdullah. Atsar  dia tulisan barusan, dimausulkan oleh Sufyan Atssauri di dalam kitab Jamik, tulisan dia sendiri. Bersumber dari Atha bin Assaib, yang sungguh pernah menyaksikan, saat Abdullah bin Abi Aufa meludah berdarah. Sufyan mendapat ‘Pelajaran’ ini, sebelum Atha gurunya sering keliru dalam mengajar. Yang pasti isnadnya shohih.

Di tempat dan waktu berbeda, dua tokoh, Ibnu Umar dan Al-Chasan berkata, “Tentang orang cantuk (bekam), tidak berkewajiban membasuh, kecuali pada bekas-bekas luka cantuk tersebut.” Dinukil oleh Bukhari dalam kitabnya.

1.     Yang riwayat Ibnu Umar, dimausulkan oleh Imam Syafii dan Ibnu Abi Syaibah, dengan lafal, “Dulu kalau cantuk, yang Ibnu Umar basuh ‘hanya bekas-bekas luka’ cantuknya.”
2.     Yang diriwayatkan oleh Al-Chasan Al-Bashri, juga dimausulkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Hanya lafalnya, “Ibnu Umar ditanya tentang ‘lelaki yang cantuk’ (setelah wudhu). Apa kewajiban dia? Dia menjawab ‘membasuh bekas-bekas luka cantuknya.” Ini merupakan penyadaran, bahwa ‘darah keluar’, tidak membatalkan wudhu.


Ponpes Mulya Abadi Mulungan

[1] Yang dimaksud ‘ketika berwudhu, muzah yang dipakai, hanya diusap bagian atasnya. Maka jika muzah tersebut dilepas, bukan berarti kakinya harus dibasuh, atau mengulangi wudhu.
[2] { أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ} [النساء: 43].
[3] {أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ} [النساء: 43].

0 komentar:

Posting Komentar