Cukup
banyak Hadits Bukhari yang sulit dikaji. Ada lima tokoh yang pernah diberitahu
oleh KH Nurhasan:
1. KH Abdudz Zhohir pernah diberi pesan, "Sepandai apapun
manusia, pasti terkadang keliru, atau tidak tahu, atau tidak mampu."
2. KH Sulthon Auliya’, pernah diberi pesan, “Kemanqulan yang saya
sampaikan asalnya dari Arab dan berbahasa Arab. Jika ada yang keliru atau
kurang, rujukkan pada rujukan yang tepat! Atau dikembalikan pada kaidah
bahasa Arab!."
3. Ustadz Muchsin Blawe, pernah
diberi pesan, “Kalau mengikuti pengajian cepat, yang kamu tulis justru
rujukan, lampau atau sedangnya. Kalau hanya makna lughotnya yang ketinggalan,
bisa ditanyakan.”
4. Ustadz Abdul-Mannan Klaten, pernah diberi
pesan, “Dul, mengajinya orang yang menguasai nahwu dan shorof akan lebih enak
dan lebih menguasai, daripada yang tidak menguasai ilmu itu. Ibaratnya
kamu mencari ikan dengan tangan, lalu di waktu yang lain kamu mencari ikan
dengan jala. Pasti ketika menggunakan jala, hasilnya lebih banyak dan
pekerjaannya lebih ringan. Semua kemanqulan segera saya tuangkan karena yang
lebih penting saat ini, menumbuhkan dan memupuk Jamaah. Jika kemanqulan sudah
dideres, akan sempurna dengan sendirinya. Bagaikan pacul dan parang
yang dibeli dari penempa besi, akan tajam jika telah diasah oleh petani.”
5. KH Ahmad Ibroham pernah diberi pesan, "Manqul yang sempurna
adalah dibacakan, dimaknai, diterangkan hingga paham. Pahamnya bisa
belakangan. Mengaji ialah mengajar, diajar, atau menderes. Menderes ialah
memperdalam pengertian yang dikaji."
Ketika
mengkaji Hadits Bukhari nomer Hadits 5544 dari Ustadz Muchsin, saya belum paham: صحيح البخاري - (ج 18 / ص 413)
5544 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
عَارِمٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ
يُحَدِّثُهُ أَبُو عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُنِي
فَيُقْعِدُنِي عَلَى فَخِذِهِ وَيُقْعِدُ الْحَسَنَ عَلَى فَخِذِهِ الْأُخْرَى
ثُمَّ يَضُمُّهُمَا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا
وَعَنْ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ قَالَ التَّيْمِيُّ فَوَقَعَ فِي قَلْبِي مِنْهُ شَيْءٌ قُلْتُ
حَدَّثْتُ بِهِ كَذَا وَكَذَا فَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ أَبِي عُثْمَانَ فَنَظَرْتُ
فَوَجَدْتُهُ عِنْدِي مَكْتُوبًا فِيمَا سَمِعْتُ
Arti (selain isnadnya):
Usamah bin Zaid RA berkata, “Dulu Rasulullah SAW pernah memegang saya, untuk mendudukkan saya di atas pahanya. Dan mendudukkan Chasan atas pahanya yang
lain. Lalu memeluk (mereka) berdua, lalu bersabda ‘ya Allah, sayangilah mereka
berdua. Sebab sungguh saya sayang mereka berdua’.”
(Selain pada Abdullah),
Bukhari juga berguru pada
Ali, murid Yahya, murid Sulaiman, murid Abi Utsman. Attaimi (Sulaiman) berkata:
“Ada sesuatu (keraguan)
yang bersarang di hati saya.
Saya berkata ‘saya telah
terlanjur menceritakan Hadits itu begini begini. Saya mutlak belum pernah mendengar Hadits itu dari Abi Utsman?’.
Sontak saya mengecek.
Ternyata Hadits itu saya jumpai tertulis di dalam yang telah saya katakan.”
Maksudnya ternyata menurut catatan saya, saya telah mendengarkan Hadits itu
dari Abi Utsman.
Yang
perlu dicatat, “Ada tiga Tabi’iin dalam isnad di atas, semuanya dari
Bashrah:
Usamah lebih tua daripada
Chasan. Ketika Nabi SAW wafat, umur dia 19 atau 20 tahun; Chasan masih berumur 8 tahun. Mungkin karena saat itu sakit, sehingga Usamah dipangku
oleh Nabi SAW. Lalu Nabi SAW memangku Chasan yang datang mendekati mereka
berdua.”
Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Jogjakarta Indonesia
Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Jogjakarta Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar