Ketika pasukan Romawi telah capek dan
gerak mereka mulai melambat, tokoh besar mereka Bathriq (Patriarch) muncul
dengan berkuda, mengenakan baju perang dari besi, dan berhelm besi yang
berkilauan. Di sisinya ada lelaki berkuda yang menaungkan Salib di atas
kepalanya. Bathriq yang memimpin 10.000 pasukan itu memegang tongkat besi
sebesar lengan unta. Dia memacu kudanya agar maju, dan menantang berkelahi
dengan bahasa yang tidak dimengerti, oleh Maisarah dan pasukannya.
Pada penerjamahnya, Maisarah bertanya,
“Apa yang dia katakan?.”
Penerjemah menjawab, “Dia mengaku
sebagai jagoan yang tak terkalahkan, dan menantang berkelahi pada kalian yang
merasa jago.”
Maisarah berteriak, “Siapa berani melawan?!.”
Seorang lelaki dari suku Annakha (النخع) bergegas memacu kuda, untuk mendekat dan
melayani berkelahi. Baju perang yang dikenakan bermodel Romawi. Beberapa
Muslimiin berkata, “Dia dulu memang orang Nashrani, lalu masuk Islam.”
Sang bathriq membentak-bentak dengan
kasar, tetap lelaki dari Annakha itu hanya diam, meskipun tahu maksudnya. Sang bathriq marah dan mengayunkan tongkat besi sekuat tenaga ke arahnya. Tetapi
yang terpukul, “Prak! Grubyuk!” hingga hancur, justru kepala kuda. Karena
kuda ditarik dengan cepat.
Kuda roboh dan tewas, otak dan darahnya berhamburan. Yang
mengendarai bergerak cepat untuk berdiri.
Maisarah berteriak,
“Mundurlah!.”
Lelaki dari Annakha itu mundur
teratur, lalu lari cepat sekali, dikejar bathriq berkendaraan kuda.
Abdullah bin Chudzafah muncul untuk
melindungi lelaki yang sedang berlari untuk bergabung padanya. Abdullah
bergerak cepat, memukulkan pedang atas bathriq yang telah menyiapkan tangkisan
dan serangan. Berkali-kali tusukan pedang Abdullah membentur baju besi sang
bathriq.
Sambaran tongkat besi sang bathriq
berkali-kali ditangkis dengan perisai oleh Abdullah, yang makin lama makin
payah, karena tongkat besi yang ditangkis sangat berat. Pedang Abdullah terayun
menebas cepat ke leher sang bathriq yang ditarik ke belakang. Tetapi tetap saja
putus dan terlempar bersama kepalanya yang terbungkus helm besi, bersimbah
darah, ke arah pasukan Romawi. Abdullah menangkap, sebelum kepala jatuh ke tanah.
Tubuh bathriq terbungkus baju besi
terhuyung jatuh, “Bleg!” Tongkat besinya juga jatuh, “Blang!.”
Pasukan Romawi marah karena tokoh
besar mereka tewas. Apa lagi ketika mereka melihat kuda dan harta yang melekat
pada bathriq itu, diambil oleh Abdullah.
Dalam waktu cepat, berita kematian
tokoh besar itu sampai ke telinga Raja Hiraqla.
Setelah Abdullah pergi, seorang bathriq lainnya maju untuk
membentak, “Kurang ajar! Yang kau bunuh ini orang dekat Raja Hiraqla! Kau harus
saya bunuh atau saya tangkap untuk saya serahkan pada raja, agar
dihukum!.”
Matanya berkaca-kaca, lalu
menumpahkan air mata, bersama ledakan tangisan, ketika melihat kepala
sahabatnya tergolek bermandi darah. Dia berteriak, “Hai kaum Arab! Kalian pasti
akan ditindak oleh Allah, karena telah menganiaya kami! Yang telah membunuh
teman saya ini kemarilah! Akan saya beri hukuman!.”
Pandangan seluruh pasukan terarah pada sang bathriq yang
marah dan menantang perang.
Abdullah telah memacu kuda untuk
mendekati sang batriq. Tetapi Maisarah mencegah, “Jangan! Saya saja yang
melawan!” karena dia sudah lelah.
Abdullah memohon, “Yang mulia, yang ditantang
adalah saya. Kalau anda yang melawan berarti saya dianggap tidak berani.”
Maisarah berkata, “Kau sudah terlalu
capek. Saya kasihan.”
Abdullah memohon, “Masyak yang mulia
mengasihani saya justru karena terlalu capek, untuk menyelamatkan diri dari api
neraka? Demi kehidupan yang pernah dijalani oleh Rasulillah SAW, siapapun tidak
boleh melawan dia, kecuali saya.”
Abdullah memacu kuda rampasan,
mendekati sang bathriq yang menantang berkelahi. Sang bathriq terkejut
ketika melihat kuda, helm, dan pedang temannya yang tewas, telah dikuasai oleh
Abdullah. “Berarti kau yang telah membunuh teman saya!” geramnya.
Pedang Abdullah berkali-kali mematuk
dada sang bathriq yang dilindungi baju besi. Tangan sang bathriq bergerak
cepat sekali untuk menangkap dan menarik tangannya.
Pedang Abdullah lepas, hingga dia
diringkus, untuk diserahkan pada pasukan Romawi. “Ikatlah tanganya dengan
rantai! Dan serahkan pada Raja Hiraqla sekaran juga!” perintah sang
bathriq.
Beberapa orang bergerak untuk mengikat tangan Abdullah
dengan rantai, untuk dilarikan dan diserahkan pada Raja Hiraqla.
Sang bathriq belum puas. Dia kembali ke medan perang untuk
menantang berkelahi lagi. Tiga orang Muslimiin telah bergerak untuk
melawan sang bathriq, tetapi Maisarah berteriak, “Jangan! Yang akan melawan
orang laknat ini saya sendiri.”
Maisarah menyerahkan panjinya, “Peganglah
panji ini! Saya akan melawan dia. Jika menang panji ini akan saya pegang lagi!
Jika kalah, saya justru akan mengambil Pahala Allah!”
pada Said bin Zaid.
Said memegang panji; Maisarah keluar dari barisan sambil
membaca syair:
Sungguh yang Maha mengintai dan Maha
Pemaksa
Tahu bahwa “Hati saya
Terbakar api ketika”
Pemuda yang rutin shalat ketika
Senyum fajar menyapa
Ditangkap oleh musuhnya
Akulah yang akan membalaskannya
Kaum Romawi mengamati dan mendoakan
kemenangan untuk sang bathriq.
Bathriq terperanjat, saat melihat
kepulan debu di kejauhan makin mendekat. Dan bertanya, “Demi kebenaran agamamu,
siapa yang berdatangan membawa panji itu?.”
Bathriq bersumpah, “Demi agamaku,
ucapanmu benar.”
Sebetulnya bathriq berkata begitu, dengan tidak tulus.