Cerbung (Cerita bersambung)
“Kami tertegun oleh pemandangan
negeri Anthakiyah yang subur lagi indah. Berudara sejuk, berair melimpah.
Kaum Muslimiin sangat berbahagia, ketika dianugrahi Negeri itu, oleh Allah Taala. Kami sangat ingin beristirahat di sana selama sebulan, tetapi Abu Ubaidah RA hanya tinggaldi situ selama tiga hari.
Pada Umar RA, Abu Ubaidah mengirimkan surat, ‘Salamun alaik. Sungguh saya memuji Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Saya berdoa semoga shalawat tercurah pada nabi SAW. Saya sangat bersyukur atas Anugrah Allah berupa Kemenangan Besar dan Rampasan Perang yang melimpah.
Ya Ammiral Mu’miniin, sungguh tahta Nashrani di negeri Anthakiyah, telah direbut oleh pasukan Muslimiin. Allah telah membuat mereka kalah, dan menolong pasukan kita, Hiraqla lari ke arah laut. Saya tidak mau bermukim di kota ini justru karena udaranya nyaman. Dan mengkhawatirkan kaum Muslimiin akan senang dunia dan melupakan ketaatan pada Allah.
Saya akan pergi ke negeri Chalab (Aleppo), namun menunggu perintah Anda. Kalau Anda perintah agar saya tinggal di sini, ya saya taat. Kalau Anda memberi ijin saya pergi ke Chalab, ya saya akan pergi ke sana. Saya juga melaporkan bahwa kaum Arab telah menyaksikan wanita-wanita Romawi, sehingga berhasrat menikahi mereka. Tetapi saya telah melarang. Saya khawatir jika mereka tidak dilindungi oleh Allah, akan terkena fitnah. Saya minta jawaban segera dikirimkan kemari. Wassallamu alaika wa alaa jamii’il Muslimiin.”
Pada Umar RA, Abu Ubaidah mengirimkan surat, ‘Salamun alaik. Sungguh saya memuji Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Saya berdoa semoga shalawat tercurah pada nabi SAW. Saya sangat bersyukur atas Anugrah Allah berupa Kemenangan Besar dan Rampasan Perang yang melimpah.
Ya Ammiral Mu’miniin, sungguh tahta Nashrani di negeri Anthakiyah, telah direbut oleh pasukan Muslimiin. Allah telah membuat mereka kalah, dan menolong pasukan kita, Hiraqla lari ke arah laut. Saya tidak mau bermukim di kota ini justru karena udaranya nyaman. Dan mengkhawatirkan kaum Muslimiin akan senang dunia dan melupakan ketaatan pada Allah.
Saya akan pergi ke negeri Chalab (Aleppo), namun menunggu perintah Anda. Kalau Anda perintah agar saya tinggal di sini, ya saya taat. Kalau Anda memberi ijin saya pergi ke Chalab, ya saya akan pergi ke sana. Saya juga melaporkan bahwa kaum Arab telah menyaksikan wanita-wanita Romawi, sehingga berhasrat menikahi mereka. Tetapi saya telah melarang. Saya khawatir jika mereka tidak dilindungi oleh Allah, akan terkena fitnah. Saya minta jawaban segera dikirimkan kemari. Wassallamu alaika wa alaa jamii’il Muslimiin.”
Surat dilipat dan dicap. Abu Ubaidah berkata, “Ya kaum Muslimiin! Siapa yang sanggup mengantarkan surat saya
pada Amirul Mu’miniin?.”
Zaid bin Mauhib segera menjawab, “Saya! In
syaa Allah, akan segera menyampaikan pada beliau.”
Abu Ubaidah menolak, “Jangan kau! Karena kau hamba
sahaya! Mintalah ijin dulu pada majikanmu mengenai tugas ini!.”
Zaid bergegas mendekat
dan mencium dua
tangan majikanya bernama Umair bin Said, yang sangat zuhud di dunia dan
mementingkan akhirat.
Umair dengan sengaja hanya memiliki harta berbentuk
pedang, tombak, kuda, unta, gereba besar, piring dan kitab Al-Qur’an. Rampasan
perang miliknya, dishodaqahkan semuanya, pada
kerabat dan kaumnya. Jika masih sisa, dikirimkan pada Umar agar diberikan pada
kaum Muhajiriin dan Anshar yang sama Faqir.
Umair menolak keras, ketika tangannya akan dicium oleh
Zaid, dan bertanya, “Apa yang kau inginkan?.”
Zaid menjawab, “Yang mulia, saya ingin menjadi utusan
kaum Muslimiin, dan memberi khabar gembira pada Umar bin Al-Khatthab
RA.”
Umair menjawab, “Kalau tujuanmu memberi khabar gembira
pada kaum Muslimiin, buat apa saya melarang? Kalau saya melarang justru berdosa.
Silahkan! Dan kau saya merdekakan demi Perhatian Allah Taala. Saya berharap
Allah akan memerdekakan saya dari neraka.”
dengan bahagia, Zaid bergegas menghadap Abu Ubaidah, untuk mengkhabarkan bahwa dirinya telah merdeka, berkat kesanggupan mengantarkan surat pada Umar RA.
dengan bahagia, Zaid bergegas menghadap Abu Ubaidah, untuk mengkhabarkan bahwa dirinya telah merdeka, berkat kesanggupan mengantarkan surat pada Umar RA.
Zaid mengendarai untanya, dan memilih jalan pintas menuju Madinah.
Sesampainya dia ke Madinah, terkejut oleh gema suara kaum Muslimiin berjumlah sangat banyak. Arak-arakan kaum yang panjang itu menuju Baqi dan Quba. Zaid mendekati mereka yang semula dikira akan berperang. Ternyata dari mereka ada pria yang dia kenal. Pria itu dipanggil dan menjawab, “Kau Zaid?.”
Zaid menjawab, “Betul!.”
Dia bertakbir lalu bertanya, “Kenapa kau memacu untamu
agar lari kencang?
Apa ada yang mengejar?.”
Zaid menjawab, “Saya datang untuk melaporkan Kemenangan. Dan kami mendapatkan jarahan berjumlah
banyak sekali. Bagaimana khabar Amirul Mu’miniin Umar RA?.”
Dia menjawab, “Beliau akan haji bersama para istri
Rasulillah SAW dan kaum Muslimiin.”
Zaid menambatkan unta lalu datang dengan bergegas, pada Umar yang sedang berjalan, diiringi hamba sahayanya yang menuntun unta. Umar diapit dua pembesar bernama Ali bin Abi Thalib di sebelah kanan, dan Abbas bin Abdil-Muthallib RA di sebelah kiri.
Yang di belakang juga orang-orang besar yakni kaum Muhajiriin dan Anshar.
Zaid mendekati Umar seraya berkata, “Assalaamu
alaika ya Amiral Mu’miniin. Saya Zaid bin Waheb mantan hamba sahaya
Umair. Saya menyampaikan khabar gembira.”
Jawaban Umar RA, “Semoga Allah juga memberi kau kebaikan.
Apa khabar gembiranya?” membuat berbahagia.
Zaid memberikan surat sambil berkata, “Ini surat dari
wakil baginda yakni Abu Ubaidah. Isinya berita mengenai Allah Telah Menganugrahkan Anthakiyah pada kita,
berkat perjuangan Abu Ubaidah yang mulia.”
Umar RA berbahagia dan bersujud, sebagai pernyaan syukur pada Allah. Sejumlah tanah menempel pada kening, pipi dan jenggotnya yang terlalu bahagia. Beliau mengangkat wajah seraya berkata, “Segala Puji Syukur bagi Allah yang telah menganugrahkan Kenikmatan yang Sempurna. Mana suratnya? Semoga Allah menyayang kau.”
Zaid memberikan surat pada Umar RA yang segera membuka dan membaca.
Umar RA menangis lagi karena terharu.
Umar RA menangis lagi karena terharu.
Ali RA
bertanya, “Kenapa menangis?.”
Umar
menjawab, “Saya terharu karena Abu Ubaidah telah melakukan yang dilakukan oleh
para Muwachhidiin (kaum Bertauhid). Sungguh hawa nafsu suka perintah
pada kejelekan.” Lalu menyerahkan surat itu pada Ali RA, agar dibacakan
pada kaum Muslimiin.
Mereka berkumpul untuk mendengarkan
pembacaan surat menarik, dari Abu Ubaidah.
Ketika tangisan telah reda dan wajahnya telah cerah,
Umar berkata pada Zaid, “Jika kau telah kembali ke sana, bersyukurlah pada Allah sebesar-besarnya.” Lalu
duduk di atas tanah, dan minta pena dan lembaran, untuk ditulisi:
بسم الله الرحمن الرحيم
Saya memuji
pada Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Dan saya berdoa semoga Allah
selalu memberi Shalawat pada NabiNya SAW. Rasa syukur saya panjatkan
pada Allah yang telah menganugrahi Kemenangan untuk Muslimiin. Yang selalu memperhatikan kita.
Mengenai ucapanmu, “Kami tidak
bermukim di Anthakiyah karena udaranya nyaman."
Sesungguhnya Allah azza wajalla tidak mengharamkan kebaikan
untuk kaum Muslimiin yang beramal shalih. Allah berfirman ‘ya para Rasul! Makanlah sebagain yang baik-baik, dan beramal shalihlah! Sungguh Aku
Maha Tahu yang kalian amalkan’. Allah juga berfirman ‘ya orang-orang yang
beriman, makanlah sebagaian dari yang baik-baik, yang telah Kami rizqikan pada
kalian! Dan bersyukurlah pada Allah, jika kalian telah nyata hanya menyembah
padaNya!’ Kau berkewajiban memberi kesempatan istirahat, pada kaum
Muslimiin, untuk menghilangkan rasa capek selama mereka memerangi kaum Kafir.
Mengenai ucapanmu ‘saya menunggu perintahmu’ maka saya perintah agar kau mengejar musuh ke negeri Addurub (الدُّرُوب). Kau yang lebih tahu tentang mereka, karena kau yang terjun ke lapangan. Ceklah kekuatan mereka, melalui mata-matamu! Untuk menentukan pengejaran ini, harus dilakukan atau tidak? Masukilah negeri mereka! Untuk mempersempit ruang gerak mereka. Kalau mereka mengajukan permohonan damai, kabulkanlah! Mengenai laporanmu 'kaum Arab ingin menikahi para wanita Romiawi', kalau memang dia tidak punya istri di negeri Chijaz, biarlah. Yang ingin membeli hamba sahaya juga silahkan, karena untuk menjaga farji mereka agar tidak berzina. Mengenai saya harus 'nasehat pada Filanthanus raja Romawi' yang akan bershodaqah, biarkan saja. Karena dia memang telah sengaja meninggalkan keluarga dan kerajaannya. والسلام عليك وعلى جميع المسلمين.
Mengenai ucapanmu ‘saya menunggu perintahmu’ maka saya perintah agar kau mengejar musuh ke negeri Addurub (الدُّرُوب). Kau yang lebih tahu tentang mereka, karena kau yang terjun ke lapangan. Ceklah kekuatan mereka, melalui mata-matamu! Untuk menentukan pengejaran ini, harus dilakukan atau tidak? Masukilah negeri mereka! Untuk mempersempit ruang gerak mereka. Kalau mereka mengajukan permohonan damai, kabulkanlah! Mengenai laporanmu 'kaum Arab ingin menikahi para wanita Romiawi', kalau memang dia tidak punya istri di negeri Chijaz, biarlah. Yang ingin membeli hamba sahaya juga silahkan, karena untuk menjaga farji mereka agar tidak berzina. Mengenai saya harus 'nasehat pada Filanthanus raja Romawi' yang akan bershodaqah, biarkan saja. Karena dia memang telah sengaja meninggalkan keluarga dan kerajaannya. والسلام عليك وعلى جميع المسلمين.
Umar melipat lalu memberikan surat pada Zaid bin Wahb, dengan pesan, “Cepat sampaikan surat ini! Semoga Allah merahmati kau! Berniatlah agar Umar bergabung dalam pahala perjuangan kalian!.”
In syaa Allah bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar