Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2016/11/19

PS 143: Pembebasan Syam



Image result for ‫جيش المسلمين‬‎


Pasukan Muslimiin dari Kindah berperang mati-matian mengerikan. Dari mereka yang gugur berjumlah 100 orang

Di luar dugaan, pasukan Yuqana yang serangannya sangat ganas, muncul dari persembunyian.
Walau begitu Kaeb memacu semangat agar pasukannya tidak mundur. Dia membawa panji sambil berteriak, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Ya Nashrallah! Semua Mualimin jangan berlari! Sebentar lagi kita mendapat pertolongan hingga menang!.” [1]

Pasukan Muslimiin berkumpul lagi dalam keadaan luka. Yang gugur telah bertambah menjadi 170 orang. Di antara mereka yang terpenting: Abad bin Ashim, Zufar bin Umi Radhi, Chazim bin Syihab, Sahl bin Asy-yam (
سهل بن أشيم), Rifaah bin Michshan, Ghanim bin Bard. Dan Suhail bin Muflij (veteran Perang Salasil, Tabuk, dan Yamamah). 

Gugurnya Suhail menyandang 40 luka serius, dan bermandi darahnya sendiri, membuat Muslimiin sangat sedih. Sebelum dia gugur, sejumlah pasukan Muslimiin mengamuk, membunuh beberapa lawan dengan garang. Serangan mereka menggila membuat pasukan Yuqana grogi hingga hampir berlari. Langkah mereka terhenti oleh bentakan, “Celaka kalian! Mereka hanya seperti lalat! Kalau diserang pasti lari! Kalau dibiarkan pasti sombong!” dari Yuqana.

Kaeb sangat sedih karena melihat pasukannya gugur sangat banyak. Dia turun dari kuda untuk mendobeli baju perang dan mengenakan ikat pinggang. Untuk persiapan perang mati-matian. Dia mengusap wajah dan hidung kudanya yang akan dibunuh, agar tak berharap pulang lagi. 
Kuda tampan yang pernah dibawa berperang berkali-kali bernama Hatthal (الهطال), ditebas lehernya dan roboh. Pada kudanya yang sakarat, Kaeb berkata, Hai Hatthal, inilah harimu yang baik.”
Lalu bergerak untuk berperang mati-matian, mencari Perhatian Allah. Walau kelihatan menakutkan, sebetulnya dia sedih karena kawannya banyak yang gugur.

Pasukan Abu Ubaidah yang ditunggu belum tampak, karena dia sedang menerima tamu penduduk Chalab, yang memohon Damai. Para tamu itu tokoh-tokoh Chalab bagian ujung, dan tokoh-tokoh Rusia, yang telah berembuk sebelumnya :
“Kalian tahu sendiri bahwa kaum Arab yang akan menyerang ini, telah menundukkan pemeluk agama Nashrani penyembah Salib. Kini banyak kaum Nashrani yang mengikuti agama mereka, karena orang yang melawan mereka, pasti merugi. Sebaiknya kita menghadap pada Amiral Mukminiin, untuk memohon damai, untuk keluarga dan bangsa kita. Beliau minta harta seberapa, kita beri. Jika nantinya kaum Arab menaklukkan Bathriq Yuqana; kita telah aman sebelumnya. Kalau Bathriq Yuqana berdamai dengan kaum Arab; kita telah duluan berdamai sebelumnya” kata mereka. 

Utusan kaum berjumlah 30 lelaki, berencana datang pada Umar melalui jalan yang tidak dilalui oleh Yuqana dan pasukannya, tetapi terlambat: Umar telah pergi. 
Di depan pasukan Muslimiin, mereka berteriak, “Al-Ghouts! Al-Ghouts!.” Maksud mereka minta diamankan.
Abu Ubaidah berpesan, “Mereka yang mengatakan ‘Al-Ghouts! Al-Ghouts’ jangan dibunuh! Agar di hari kiamat nanti, kalian tidak disidang oleh Allah. Dan tidak dikecam oleh Umar!.”
Tigapuluh orang Chalab itu akan diantar, menuju Abu Ubaidah yang didampingi oleh Khalid. 
Khalid berkata, “Tujuan mereka minta damai untuk keluarga dan bangsanya.”
Abu Ubaidah menjawab, “Kalau memang mereka minta damai, akan saya kabulkan, in syaa Allah.
Abu Ubaidah tidak tahu, bahwa Kaeb dan pasukannya kesulitan menghadapi serangan pasukan Yuqana yang sangat banyak, karena sedang menerima rombongan tamu pembawa obor yang telah dimatikan itu. Beberapa Muslimiin membaca Al-Qur’an di dalam shalat. Beberapa lainnya berkata, “Dengan amalan inilah kita akan Ditolong oleh Allah.”

Sejumlah penerjemah melaporkan pada Abu Ubaidah, mengenai maksud tujuan para tamu. 
Abu Ubaidah berkata, “Kami kaum yang Ditolong oleh Allah Sesembahan kami, dan kami senang berperang.”
Penerjemah menyampaikan jawaban Abu Ubaidah pada mereka.
Abu Ubaidah bertanya, “Kalian ini siapa?.”
Mereka menjawab, “Kami tokoh-tokoh dan saudagar negeri Chalab. Tujuan kami kemari untuk minta damai.”
Abu Ubaidah menjawab, “Bagaimana mungkin kami mengabulkan permohonan damai kalian? Padahal raja kalian telah mempersiapkan serangan untuk kami. Dia telah memperkuat pertahanan istananya, bahkan telah menimbun bahan makan untuk hidup bertahun-tahun? Bahkan telah mengumpulkan pasukan berjumlah sangat banyak? Kami tidak bisa mengabulkan permintaan damai kalian.”
Mereka ikhlas menyerahkan sumbangan informasi rahasia, “Raja kami telah pergi untuk memerangi kalian" Karena berharap Permohonan Damai mereka dikabulkan.
Abu Ubaidah terkejut dan bertanya, “Kapan dia berangkat?.”
Mereka menjawab, “Di pagi buta beliau berangkat bersama pasukan. Kami ke sini setelah beliau pergi. Dan melewati jalan yang tidak beliau lewati. Sesungguhnya kami justru ingin raja kami terbunuh dalam peperangan ini, karena dia jahat dan tidak senang berdamai. Bahkan beliau lebih senang mengikuti hawa-nafsunya.”
Abu Ubaidah terkejut karena teringat Kaeb yang diutus membawa pasukan, agar berdakwah pada Raja Yuqana. 
Abu Ubaidah membaca, “Laa chula walaa quwwata illaa billaahil Aliyyil Adziim’ (Tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali oleh karena Allah yang Maha Tinggi Maha Agung). Demi Allah, apakah Kaeb dan pasukannya terancam?.”
Abu Ubaidah menundukkan wajah.
Beberapa tamu berkata pada para senior mereka, “Mintalah pada beliau agar permohonan damai kita dikabulkan.”
Dengan gertakan, “Tidak ada perdamaian untuk kalian!" Abu Ubaidah menjawab mereka. 
Tokoh tamu terkejut ketakutan. Dan memohon, “Kami mewakili kaum berjumlah sangat banyak. Kalau baginda mengabulkan permohonan kami, kami akan merumat sawah ladang untuk baginda, agar kami menikmati keadilan dan pengayoman baginda. Kalau baginda menolak permohonan damai kami, pasti orang-orang akan menjauhi baginda dan berpindah mencari tempat aman di ujung negeri ini. Dan berita bahwa baginda tidak mau mendamai kami akan segera tersebar. Itu akan berakibat baginda dijauhi oleh manusia.”
Seorang penerjemah menyampaikan keinginan mereka pada Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah mengamati mereka yang merendah ketakutan.
Tiba-tiba ada lelaki berkulit merah yang pandai dalam bidang Hukum dan Hikmah, berdiri. Lelaki bernama Dachdach (
دحداح) itu berkata, “Yang mulia! Terimalah masukan yang akan saya sampaikan pada yang mulia, yang telah dibawa oleh NabiSAW.”
Abu Ubaidah berkata, “Katakan! Kalau betul itu Ilmu para Nabi, pasti kami mengetahui. Jika bukan dari para Nabi, kami takkan menggubris, apalagi mengamalkan.”
Dia memohon, “Yang mulia, sungguh Allah Taala menurunkan Wahyu pada para Nabi AS:
‘Aku Tuhan Maha Sayang. Aku telah membuat Rahmat yang Kutempatkan pada Hati Kaum Iman. Aku takkan menyayang orang yang tidak bisa menyayang. Aku berbuat baik pada orang yang berbuat baik, dan mengampuni orang yang mau mengampuni. Barang siapa mencari Aku, pasti akan mendapatkan. Barang siapa melindungi orang yang membutuhkan perlindungan, pasti Aku menyelamatkan dia di hari kiamat nanti. Rizqinya Aku bentangkan, Umurnya Aku barakahi, Pendukungnya Aku perbanyak, dan Aku tolong mengalahkan musuhnya. Barang siapa mensyukuri kebaikan orang yang berjasa, berarti dia telah bersyukur padaKu’.
Kami yang kebingungan ini, benar-benar membutuhkan perlindungan. Saya menganjurkan sebaiknya permohonan kami, baginda kabulkan. Agar kami lega dan tenang. Dalam kesempatan baik ini, berbuatlah baik pada kami.” [2]





[1] Teriakan dia, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Ya Nashrallah!,” adalah sandi.
[2] Al-Waqidi mencatat perkataan Dachdach di atas: فتوح الشام (1/ 241)
أيها الأمير اسمع ما ألقيه إليك من العلم الذي أنزل الله في الصحف على الأنبياء قال أبو عبيدة: قل: لنسمع فإن كان حقا علمناه وأن كان غير حق لا نسمعه ولا نعمل به وكان اسمه دحداح فقال: أيها الأمير أن الله سبحانه وتعالى أنزل على انبيائه يقول: أنا الرب الرحيم خلقت الرحمة وأسكنتها في قلوب المؤمنين وإني لا أرحم من لا يرحم من أحسن أحسنت إليه ومن تجاوز تجاوزت عنه ومن عفا عفوت عنه ومن طلبني وجدني ومن أغاث ملهوفا أمنته يوم القيامه وبسطت له في رزقه وباركت له في عمره وأكترث له أهله ونصرته على عدوه ومن شكر المحسن على احسانه فقد شكرني وأنا قد أتيناك ملهوفين خائفين فأقل عثراتنا وآمن روعاتنا وأحسن إلينا.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar