Abu Ubaidah menangis. Air matanya bercucuran, karena ucapan Dachdach. Lalu membaca, “Inna Allaaha yuchibbul Muchsiniin." ('Sungguh Allah senang orang-orang yang berbuat baik'). [1]
Lalu
berdoa, “Ya Allah limpahkan shalawat pada Muhammad dan semua Nabi SAW. Demi Allah, Allah mengutus Nabi kita agar melaksanakan ini. Segala Puji bagi Allah atas Petunjuk-Nya pada kita.”
Pada tokoh-tokoh Muslimiin dari Muhajiriin dan Anshar, Abu
Ubaidah berkata, “Mereka
ini para pedagang lemah yang
ditindas. Kami berpandangan sebaiknya
kita berbuat
baik pada mereka. Dan
permohonan damai mereka kita terima, agar hati mereka lega. Jika negeri mereka
telah kita kuasai sepenuhnya, merekalah
yang menguasai pasar yang
menyediakan kebutuhan kita, termasuk di antaranya pakan kendaraan kita. Mereka
juga bisa kita beri tugas melaporkan gerak-gerik musuh.”
Seorang
lelaki menjawab, “Semoga Allah membalas kebaikan baginda, yang berbuat baik pada kaum, yang tempat tinggal
mereka dekat dengan kerajaannya Yuqana. Hanya kami khawatir mereka akan membocorkan rahasia
kita pada raja mereka,
sehingga kita akan mudah diserang. Bukankah baginda sendiri tahu bahwa raja
mereka telah pergi kemari untuk menyerang kita? Bagaimana mungkin baginda
mengabulkan permohonan damai mereka? Bisa jadi ini hanya siasat, karena Kaeb
dan pasukannya telah meninggalkan kita.”
Abu
Ubaidah berkata, “Semoga Allah memperbaiki persangakaanmu. Sungguh Allah akan
menolong Kita mengalahkan lawan. Semoga Allah merahmati orang yang berkata baik
dan yang diam. Kalau begitu, mereka ini akan saya beri syarat harus menolong pasukan Muslimiin.”
Ucapan
Abu Ubaidah, “Saya ingin dalam
perjanjian damai ini, kalian memberi kami seperti yang diberikan oleh kaum
Qinasrin.” Mencairkan ketegangan
30 tamu dari Chalab.
Mereka
menjawab, “Yang mulia, kaum Qinasrin kan lebih kaya, dan jumlahnya lebih
banyak. Penduduk kami sedikit dan harta kami telah dirampas oleh raja kami.
Tetangga kami yang kaya-kaya telah dipaksa berpindah ke dekat kerajaan. Yang
bersama kami tinggal yang miskin-miskin. Terus terang kami minta kebijakan dan
belas kasiah tuan.”
Abu
Ubaidah bertanya, “Lalu kalian akan menyerahkan apa, pada kami?.”
Mereka
menjawab, “Kami hanya mampu menyerahkan setengah yang diserahkan kaum
Qinasrin.”
Abu Ubaidah menjawab, “Saya setuju, dengan syarat jika
kami berperang melawan raja kalian, kalian
harus membantu kami dengan bahan makan dan pakan binatang kendaraan. Hubungan
jual-beli dengan kami jangan ditutup. Selain itu, berita penting yang kami
butuhkan, harus kalian sampaikan pada kami. Jika ada yang memata-matai kami,
harus kalian halang-halangi. Jika raja kalian lari untuk memasuki kerajaannya,
harus kalian halang-halangi.”
Mereka
menjawab, “Mengenai kami harus menghalang-halangi raja kami yang lari pulang
menuju kerajaannya, kami tidak sanggup. Kami takkan mampu melakukan karena
pasukan beliau terlalu banyak dan kuat.”
Abu
Ubaidah mengalah, “Ya sudah, tetapi kalian harus disumpah agar tidak
membocorkan rahasia yang kita bicarakan di sini. Persyaratan yang tadi kami
jelaskan, harus kalian laksanakan.”
Abu
Ubaidah menyumpah tigapuluh tamunya, sesuai sumpah yang mereka yakini. Imbalan
yang mereka minta dalam sumpah itu; agar binatang, anak-anak, wanita, budak, dan
seluruh keluarga mereka, dilindungi oleh pasukan Muslimiin.
Abu
Ubaidah berkata, “Kalian telah bersumpah, berarti kita telah damai. Kalau ada
seorang kalian menyembunyikan keterangan di
mana raja kalian berada, akan kami bunuh dan kami rampas hartanya. Selain
itu, anak-anaknya juga kami tawan. Berarti perjanjian damai kami dengan dia
telah batal dengan sendirinya. Jika kalian melanggar persyaratan yang kami
sampaikan, berarti perdamaian kita batal. Kalian berkewajiban membayar pajak
pada kami, mulai tahun depan.”
Setelah
mereka menyetujui perjanjian damai dan syarat-syaratnya, Abu Ubaidah perintah
seorang agar mencatat nama-nama tigapuluh orang itu, karena akan segera
berpamitan dan pulang ke kampung halaman mereka.
Abu
Ubaidah menawarkan, “Sebentar. Kalian biar diantar oleh pasukan, agar aman
sampai tujuan. Karena kami berkewajiban melindungi kalian.”
Abu
Ubaidah membiarkan mereka pulang tanpa dikawal. Namun lalu hatinya
berdebar-debar, karena memikirkan keselamatan Kaeb dan pasukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar