Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/03/29

PS 93: Pembebasan Syam





Abu Ubaidah juga perintah pasukannya, “Hai semuanya! Semoga Allah menyayang kalian! Ketahuilah bahwa Allah akan menolong kalian hingga kebanyakan kaum ini akan berlari! Kota yang penduduknya kita lawan ini berada di pertengahan kota-kota yang telah kita taklukkan! Penduduknya telah mempersiapkan peperangan ini dengan perbekalan, dan memperbanyak pasukan! Kalian jangan grogi! Lawanlah mereka! Seranglah musuh-musuh agama! Dan tolonglah Allah! Agar Allah menolong kalian! Ketahuilah bahwa Allah menyertai kalian!.”
Abu Ubaidah maju. Pasukannya juga maju untuk menyerang. 
Serangan sengit yang membabi-buta itu membuat Harbis dan pasukannya berlari cepat ‘memasuki beteng’, diikuti oleh kaumnya. Tujuh luka parah yang menimpa, mengucurkan darah Harbis.
Seorang bathriq bertanya, “Mana jarahan perang dari kaum Arab?.” 
Harbis menjawab, “Semoga kau dipermalukan oleh Al-Masih! Kau menghina ya!? Pasukanku telah berjuang mati-matian! Saya sendiri luka parah! Justru dihina?.”
Bathriq menjawab, “Bukankah telah saya katakan ‘kalau berani melawan mereka’ pasti akan kalah?.”

Abu Ubaidah menggiring pasukannya menuju Balbek. [1] Dari jauh, kota itu kelihatan agung dan megah. Temboknya tebal, luas, tinggi, dan bagus. Mereka terhalang oleh pintu-pintu gerbang.

Penduduk Balbek mengumpulkan harta dan ternak di tengah kota. Beberapa Muslimiin ada yang bisa melihat jumlah binatang ternak mereka ‘sangat banyak’. Kota Balbek, walau di musim kemarau, rasanya tetap ‘dingin’.

Pada ara sahabat nabi, Abu Ubaidah berkata, “Bagaimana pendapat kalian?.”
Walau awalnya celoteh mereka berbeda, tetapi akhirnya ‘sama’, mengepung penduduk Balbek.
Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل) RA berkata, “Semoga Allah berbuat baik pada kau wahai pimpinan! Saya tahu bahwa sungguh di dalam beteng ini ‘penduduk berjumlah banyak’ sekali. Mereka tidak nyaman, karena berjumlah terlalu banyak. Kalau kita kepung terus, Allah akan memberi kita kemenangan.”
Abu Ubaidah berkata, “Dari mana kau tahu bahwa ‘beteng itu tidak mampu’ menampung mereka?.”
Mu’adz menjawab, “Saya termasuk yang pertama kali datang kemari. Saya menyaksikan mereka lari terbirit-birit bagai banjir mengalir ‘memasuki beteng’ melalui semua pintu gerbang. Beteng ini dipenuhi oleh penduduk Sawad, Al-Qura, dan binatang ternak. Dengarkanlah dengan seksama, suara mereka di dalam beteng, menggemuruh bagaikan hujan lebat. Karena jumlah mereka banyak sekali.”
Abu Ubidah berkata, “Kau benar hai Mu’adz. Demi Allah saya telah tahu ‘kau orang yang dibarokahi dan berpandangan jitu’.”

Malam itu pasukan berjaga-jaga. Paginya, Abu Ubaidah mengirim surat untuk penguasa Balbek :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrach pimpinan pasukan Muslimiin Syam, untuk penguasa Balbek yang membandel. Adapun selanjutnya: Sungguh Allah SWT pemilik segala pujian, telah menjayakan agama dan Kekasih-Kekasih-Nya yang beriman, untuk menaklukkan orang-orang kafir. Bahkan telah memberikan kota-kota, untuk merendahkan orang-orang yang berbuat kerusakan. Surat saya ini, sebagai alasan yang harus disampikan, pada orang-orang dewasa maupun anak-anak remaja. Setahu kami, dalam agama kami ‘tidak ada amalan penganiayaan’. Kami takkan memerangi kalian, sehingga tahu kedaan kalian. Kalau kalian mau ‘memohon damai dan memohon selamat’ seperti penduduk kota lainnya, kami akan mengabulkan. Naum jika kalian ‘memilih hina’ dengan membandel, kami akan menindak keras. Kami berdoa semoga Allah menolong kami memerangi kalian. Cepat jawablah suratku! Semoga keselamatan mengayomi orang yang mengikuti petunjuk. {إِنَّا قَدْ أُوحِيَ إِلَيْنَا أَنَّ الْعَذَابَ عَلَى مَنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى} [طه:48].”  [2]

Abu Ubaidah melipat dan memberikan surat, pada seorang Nashrani, yang diperintah agar mengirimkan ke Balbek. Dan agar segera kembali membawa jawaban.

Lelaki itu menerima surat, lalu pergi untuk mendekati pintu beteng Balbek, untuk berbicara, “Saya utusan kaum Arab, akan menyerahkan surat ini, pada kalian.”
Tali dari atas beteng diturunkan, untuk mengangkat lelaki pembawa surat. Lelaki itu mengikat dirinya dengan tali, agar diangakat ke atas beteng, oleh sejumlah lelaki.

Dia pergi menuju Bathriq Harbis penguasa mereka.
Harbis mengumpulkan pejabat militer untuk membacakan surat Abu Ubaidah RA. Setelah surat dibacakan, mereka terkejut oleh pertanyaan Harbis,“Berilah saya masukan apa yang seharusnya kita lakukan?.”
Seorang bathriq yang akrab dengan Harbis, berbicara, “Saya berpendapat sebaiknya jangan memerangi kaum Arab! Kita takkan mampu melawan mereka! Kalau berdamai dengan mereka, justru kita akan aman, sebagaimana penduduk Arakah, Tadmur, Chauran, Bushro, dan Damaskus! Kalau kita membangkang, mereka akan menyerang, untuk membunuh dan memperbudak kaum lelaki, dan menawan wanita kita. Damai lebih baik daripada perang.”
Mereka terkejut oleh bentakan Harbis, “Semoga Al-Masih tidak memberi kau rahmat! Sejak dulu kau ‘lelaki paling penakut!’ Matilah kau! Bagaimana mungkin kita menyerahan kota ini pada kaum Arab? Padahal kau tahu mereka itu musuh yang memerangi kita? Saya belum melawan mereka ‘karena sedang bersiasat’. Sepertinya ini waktunya kita ‘akan mendapat kemenangan’. Kalau saya telah mengamuk, mereka pasti akan berlari ketakutan!.”
Sang bathriq berkata, “Ketika itu, barisan kiri dan tengah dari pasukan kita ‘takut pada kau’. Sehingga mereka tetap saja menyerang pasukan Arab. Tapi akhirnya dua barisan kita berselisih pendapat dan berdebat, hingga akhirnya menjadi dua golongan. Ada yang ingin berdamai; ada yang bertahan untuk melawan, kan?.”

Harbis marah dan merobek lalu ‘membuang surat’ Abu Ubaidah. Lalu perintah agar pelayan-pelayan ‘menurunkan lelaki’ pengantar surat itu, dengan tali.

Setelah sampai keluar dari beteng, lelaki itu menjumpai Abu Ubaidah RA, untuk melaporkan jawaban Harbis, dan tanggapan para pejabat Balbek. Dia menambahkan, “Wahai pemimpin! Kebanyakan mereka ‘ingin melawan’ pasukan tuan.”
Abu Ubaidah perintah pada pasukan, “Seranglah mereka! Ketahuilah, kota ini berada di pertengahan wilayah kalian! Kalau tidak segera ditaklukkan, akan membahayakan! Karena bisa menghasud kaum-kaum yang telah kita taklukkan! Jalur perjalanan kalian jadi ‘tidak aman’.”  
Para sahabat Rasulillah bergerak, mempersiapkan peralatan perang, untuk bertempur.
Mereka bergerak mendekati beteng. Penghuni beteng menyerang mereka dengan anak panah dan batu-batuan, dari atas.
Luka-luka Harbis masih dibalut kain. Dia membawa pedang, berbaju perang, mengeluarkan singgasananya dari balairung, ke sebuah taman, di wilayah Namlah. Dia mengenakan mahkota bersalib dari jauhari, dikelilingi sejumlah bathriq berkalung Salib emas dan jauhari. Dia membawa perisai berlapis emas dan busur, serta seikat anak panah.

Pengepungan oleh pasukan Muslimiin diperketat.
Anak panah yang melesat dari dalam beteng ‘banyak sekali’ bagaikan hujan. Sejumlah pasukan Muslimiin yang tidak membawa perisai, terkena anak panah.
Sejumlah lelaki berjatuhan dari atas beteng. Di antara mereka ada yang didatangi untuk dibunuh. Dengan ketakutan, orang itu berkata, “Ampun, ampun.”
Para tawanan sama terkejut ketika digertak, “Kalian dijamin selamat! Tapi siapa yang menjatuhkan kalian dari atas beteng?.”
Seorang lelaki menjawab dengan bahasa Romawi, sehingga yang menangkap tidak faham. Amir bin Waheb (عامر ابن وهب) membawa seorang lelaki, ke tenda Abu Ubaidah, untuk memohon, “Ya yang mulia, carikan orang yang bisa berbahasa Romawi. Kaum orang ini saling melempar,”
Abu Ubaidah perintah pada para penerjemah, “Cek dan laporkan pada kami ‘tentang orang ini!’ Kenapa kaumnya saling melempar?.”
Beberapa penerjemah berkata, “Hai orang celaka! Kami telah menjamin kau selamat! Sekarang jujurlah pada kami! Katakan ‘kenapa sebagian kalian’ melempar pada sebagian?.”
Dia menjawab, “Sebetulnya bukannya saling melempar, tetapi memang kami adalah penduduk Al-Qura. Kami berlari memasuki beteng untuk berlindung, ketika kami tahu ‘kalian datang’ kemari. Karena kami tahu di dalam beteng ‘banyak pasukan’. Karena beteng telah penuh, sebagian kami bertempat di beberapa jalan; yang lain di bawah beteng. Ketika kalian menyerang kaum yang di dalam beteng, pasukan tempur mereka maju hingga kami terinjak-injak dan tertabrak oleh mereka. Ketika kualahan melawan serangan kalian, mereka menjatuhkan kami dari atas beteng.”
Abu Ubaidah tersenyum dan berkata, “Saya berharap, semoga Allah ‘menjadikan mereka’ sebagai tawanan kita.”   

Perang berkecamuk dengan sengit, suaranya riuh menggemuruh. Pasukan Muslimiin tidak mampu mendekati beteng, karena bebatuan dan anak panah ‘melesat’ bertubi-tubi. Di hari pertama dari serangan itu, kaum Muslimiin yang terluka, berjumlah duabelas orang. Pasukan Romawi dan penduduk yang tewas di atas beteng, sangat banyak. 

Malam itu pasukan Muslimiin pulang menuju tenda-tenda, untuk menyalakan api unggun, karena udara sangat dingin. Yang lain berjaga pada beberapa sudut. Ketika fajar menyingsing; adzan dialunkan di udara. Kaum Muslimiin berwudhu untuk melakukan shalat subuh.
Seusai salat subuh, muadzin diperintah oleh Abu Ubaidah, agar menyerukan, “Sebelum kita menyerbu kesana! Diharuskan pulang ke tenda! Untuk masak dan makan sarapan! Agar tenaga kaian kuat ketika berperang!.”

Pagi itu tidak seperti biasanya, hari telah siang. Pasukan Muslimiin belum juga muncul ‘untuk menyerang’. Penghuni beteng lega dan mengira ‘pasukan telah lelah dan ketakutan’ menghadapi mereka.
Harbis berteriak, “Semua pasukan agar digerakkan untuk menyerang! Semoga kalian dibarokahi oleh Al-Masih!.”

Para komandan menggerakkan pasukan agar mereka keluar dari pintu-pintu gerbang, untuk menyerang pasukan Muslimiin. Pintu-pintu gerbang dibuka dan pasukan Balbek berjejal-jejal, keluar untuk menyerbu. Ribuan pasukan mengalir mendekati tenda-tenda kaum Muslimiin, sedang asyik memasak dan sarapan pagi.
Teriakan seorang Muslim mengejutkan, “Hai Pasukan Allah! Segeralah menaiki kuda kalian untuk berjihad! Mumpung mereka belum menyerang kalian!.”
Seorang bernama Chamdan bin Usaid sedang memanggang roti untuk dimakan, terkejut oleh teriakan, “Ayo segera berangkat!.”
Chamdan memasukkan roti ke mulut, lalu bergegas mengendari kuda tanpa pelana. Dia memacu kuda, mengikuti pasukan lainnya, melawan musuh, yang datang dari beteng. Dia mengamuk dengan pedang hingga orang-orang Balbek berguguran. Yang lain berlari menjauh ‘ketakutan’.
Di sisi lain, Abu Ubaidah mendirikan panjinya yang kemudian dikelilingi oleh pasukan Muslimiin. Abu Ubaidah berteriak, “Hari ini, hari yang keistimewaannya takkan ada yang membandingi! Ayo serbu terus!.”

Sejumlah pasukan Balbek ada yang serangannya sangat ganas.
Abu Ubaidah dan pasukanya mengepung mereka dari segala penjuru. Pasukan elit pendamping Abu Ubaidah:

2.     Abdur Rohman bin Abi Bakr.
3.     Rabi’ah bin Amir, Malik bin Asytar.
4.     Dhirar bin Al-Azwar.
5.     Dzu Kala (ذو الكلاع). Merekalah yang serangannya dahsyat sekali, membuat pasukan Balbek berlarian kalang-kabut, memasuki pintu-pintu gerbang. Pasukan Muslimiin mengejar, namun pintu-pintu gerbang ditutup rapat.

Pasukan Muslimiin kembali pada tenda-tenda penginapan, untuk menyalakan api unggun, dan mengubur yang gugur sebagai syuhada.
Sejumlah tokoh menghadap Abu Ubaidah, untuk berkata, “Wahai pimpinan, pandangan dan kebijakan yang telah kau putuskan, semoga mendatangkan rahmat.”
Abu Ubaidah menjawab, “Pendapat saya selanjutnya ‘mundurlah dari tempat ini’ sejauh satu Farsakh! Untuk menyusun siasat dan memastikan keamanan tawanan wanita kita! Sebagai upaya mencari Pertolongan dari Allah.”  
Abu Ubaidah memanggil Sa’id bin Zaid bin Amer (سعيد بن زيد بن عمرو), untuk diberi panji, dan disuruh memimpin 500 pasukan berkuda, dan 300 pasukan berjalan kaki. Mereka diperintah agar memerangi kaum Balbek, melalui arah jurang, untuk mengecoh.
Lalu Abu Ubaidah memanggil dan menyerahkan panji. Dan perintah pada Dhirar bin Al-Azwar, agar memimpin 500 pasukan berkuda, dan 100 pasukan berjalan kaki. Mereka diperintah agar menyerang dari pintu gerbang yang ke arah kota Syam. Dia berpesan, “Hai Putra Azwar! Tunjukkan keberanianmu pada pada cucu-cucu Ashfar! (Yakni pasukan Balbek).”    




In syaa Allah bersambung.



[1]  Sebagian riwayat menjelaskan ‘di kota itu’ Nabi Nuh AS membuat perahu.
[2]  Baca: Innaa qad uuchiya ilainaa annal ‘adzaaba ‘alaa man kadz-dzaba wa tawallaaa. Artinya: Sungguh telah diwahyukan pada kami bahwa ‘siksaan benar-benar akan menimpa’ orang yang mendustakan dan berpaling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar