Saat Ishthokhor datang, Abu Ubaidah RA sedang mengimami shalat
asar. Ishthokhor dan rombongannya terperangah, mengamati mereka shalat berjamaah.
Setelah shalat selesai, sejumlah Muslimiin mendatangi mereka untuk bertanya,
“Kalian siapa? Dari mana?.”
Ishthokhor menjawab, “Saya seorang yang diutus menyampaikan
surat.”
Mereka mengantar Ishthokhor dan rombongannya menghadap Abu Ubaidah. Ishthokhor bersiap-siap sujud untuk menghormat; Abu Ubaidah mencegah,“Kita sama-sama Hamba Allah! Hanya ada yang beruntung, ada yang celaka.
‘Adapun orang-orang yang celaka, maka di dalam neraka. Bagi mereka teriakan dan
tersengal. Mereka kekal di dalamnya, selama beberapa langit dan bumi tetap’(Qs
Hud: 106-107).” [1]
Ishthokhor terperangah mendengar jawaban Abu Ubaidah. Beberapa
saat mulutnya terkunci, hingga pertanyaan Khalid mengejutkan, “Tujuanmu apa?
Dan kau utusan siapa?.”
Dia Menjawab, “Ishtshokhor! Apakah kau pimpinan kaum ini?.”
Sambil menunjuk Abu Ubaidah, Khalid menjawab, “Bukan! Inilah
pimpinan kami.
Isthokhor berkata, “Saya utusan pimpinan dua kota Qinasrin dan
Awashim,” lalu mengeluarkan surat untuk Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah menerima dan membaca surat di pertengahan kaum Muslimiin.
Khalid menyimak pembacaan surat itu dengan serius. Dalam surat itu
dijelaskan Keadaan Kota, Jumlah Pasukan Berkuda yang banyak, Ancaman
atas Muslimiin, dan Akan Datangnya Bala Bantuan dari Raja Hiraqla.
Pada Abu Ubaidah dan kaum Muslimiin, Khalid berkata keras, “Demi
yang telah menolong dan telah menjadikan kami sebagai umat Muhammad SAW yang
suci (الطاهر)! Sungguh arah
kalimat yang tersusun dalam surat ini, bukan untuk mengajak damai! Bahkan
justru ingin berperang!.”
Pada Ishthokhor dan rombongannya, Khalid RA menggertak, “Kalian
telah merencanakan ‘pengkhianatan’ pada kami. Jika pasukan gubernur kalian
telah siap! Kalian yang pertama kalian menyerbu kami! Jika kami menang kalian
lari pada Hiraqla raja kalian! Kalau betul tujuan kalian demikian! Kami
juga mempersiapkan perang atas kalian! Sementara, perjanjian damai dengan
kalian selama setahun ‘bisa dikabulkan!’ Kalau pasukan dari Hiraqla datang,
kami siap melawan! Ketika itu, golongan kalian yang tetap tinggal dikota,
berarti benar-benar ingin damai dengan kami.”
Ishthokhor menjawab, “Sungguh kami menyetujui usulan kalian!
Sekarang juga tulislah perjanjian antara kita.”
Khalid menjadi perhatian, saat meminta pada Abu Ubaidah, “Wahai
pimpinan! Tulislah ‘pernyataan damai’ atas mereka, selama setahun penuh, mulai
dari bulan Dzul-Qo’dah tahun 14 Hijriyah.”
Abu Ubaidah melaksanakan usulan Khalid, menulis ;surat
pernyataan berdamai’ untuk penduduk Qinasrin dan Awashim. Setelah penulisan
surat selesai, Ishthokhor berkata pada Abu Ubaidah, “Wahai yang mulia,
tentukanlah batas kota di antara kita. Di sisi kota kami adalah kota Chalab.
Jangan keliru menyerang penduduk kota kami.”
Abu Ubaidah menjawab, “Saya akan perintah seorang, agar
menentukan batas-batas wilayah kalian.”
Isthokhor berkata, “Wahai yang mulia, kami akan menggambar Raja
Hiraqla di perbatasan wilayah, yang tidak boleh kalian masuki.”
Abu Ubaidah menjawab, “Silahkan,” lalu memberikan suratnya.
Pada kaum Muslimiin, Abu Ubaidah menyeru, “Barang siapa di
antara kalian, melihat panji bergambar seorang! Jangan memasuki wilayah itu!
Yang diserbu penduduk kota Chalab saja! Saudaranya yang belum tahu ‘agar diberi
tahu!’.”
Ishthokhor pulang, menemui bathriq Luqa penguasa Qinasrin,
menyampaikan laporan, dan menyerahkan surat dari Abu Ubaidah. Yang paling
membuat Ishthokhor tersinggung, ucapan Khalid saat mendampingi Abu Ubaidah.
Bathriq penguasa Qinasrin merasa senang karena surat ‘permohonan
damai’ dikabulkan. Sang bathriq perintah agar seorang ‘menggambar Raja Hiraqla’,
untuk dipasang di atas tiang yang tinggi. Panji bergambar Raja Hiraqla di atas
tahta, berkibar-kibar tertiup angin besar.
Pasukan Muslimiin menyerbu kota Chalab, Amaq, dan Anthoqiyah.
Mereka menghindari kota Qinasrin dan Awashim yang sudah diberi batas, ‘panji
bergambar’ Raja Hiraqla.
Sa’du bin Ubadah (سعد
بن عبادة) berkata, “Syarat perdamaian ‘penduduk
Qinasrin dan Awashim ‘memberikan 4.000 dinar uang Romawi, 100 auqiyah (mata uang
Arab), [2]
1.000 pakaian, perkakas dari Chalab, dan 1.000 wasaq (satuan takaran Arab) bahan makan.” [3]
[1] Yang dibaca oleh Abu Ubaidah: {فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ
وَشَهِيقٌ*خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ} [هود 106, 107].
[2] Ibnu Chajar menulis: ومقدار
الأوقية في هذا الحديث أربعون درهما بالإتفاق. Artinya: krus satu auqiyah dalam ini Hadits, 40 dirham.
Penjelasan ini tidak diperselisihkan.
[3] Tentang Ausuq, Ibnu Chajar menulis: أوسق جمع
وسق بفتح أوله وسكون ثانيه وحكى كسر أوله وهو ستون صاعا.
Artinya: Ausuq, jamak dari wasq (difathah huruf awalnya dan disukun
huruf keduanya. Ada yang menjelaskan dikasroh huruf awalnya), yaitu 60 shok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar