Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/02/11

PS 55: Pembebasan Syam





Tamim bin Adi tergolong pasukan di bawah komando Abu Ubaidah. Dia berkisah, “Saya pernah di dalam tenda Abi Ubaidah.  [1] Saat itu, beliau sedang sholat. Tiba-tiba beliau mendengar jeritan. Setelah salam, dia berkata ‘laa chaula wa laa quwwata illaa billaahil Aliyyil Adziim’. Dia mengambil pedang lalu menata pasukan.
Lalu bergerak ke arah suara gaduh, diikuti oleh pasukannya.
Suara gaduh semakin jelas ketika Abu Ubaidah dan pasukannya mendekat. 
Dia berlari lagi menuju pintu gerbang, menyeberangi kaum berperang. Di sana dia bertakbir keras, diikuti oleh pasukannya. Ledakan takbir yang membahana, membuat kaum Musyrik ketakutan. Menyangka ada ‘bala bantuan Muslimiin’ datang dari belakang.

Kaum Musyrik mundur dan lari ke belakang, kearah pintu gerbang. Ternyata justru mereka bertemu Abu Ubaidah dan pasukannnya yang baru saja datang.
Abu Ubaidah dan pasukannya menyambut kedatangan mereka dengan pedang ditebas-tebaskan. Tak seorang pun dari mereka disisakan hidup.
Damaskus banjir darah merah. Mayat-mayat berserakan."


Dhirar bin Al-Azwar muncul, berlumuran darah.
Khalid bertanya, “Ada apa denganmu?.”
Dhirar menjawab, “Berbahagialah! Awalnya malam ini, saya hanya membunuh 150 musuh. Jumlah keseluruhan musuh yang dibunuh oleh pasukanku lebih banyak lagi. Saking banyaknya, saya tidak bisa menghitung. Pintu gerbang kecil itu telah saya serahkan,  agar dijaga oleh Yazid bin Abi Sufyan. Setelah saya berkeliling menuju beberapa pintu gerbang, jumlah musuh yang saya bunuh, tak terhitung lagi.”

Khalid tersenyum bahagia. Lalu mengajak berjalan menuju Syurachbil bin Chasanah.
Di malam terang-bulan itu, Syurachbil telah memenangkan peperangan. Beribu-ribu lawan tewas, oleh ganasnya pedang pasukanya. Mayat-mayat yang berserakan ‘banyak’ sekali. Melukiskan bahwa ‘Tuhan Murka’ pada mereka.


Banyak sekali kaum Musyrikiin yang menangis histeris. Banyak orang ketakutan. Sangat mencekam. Langit Seakan Gelap Gulita.


Di waktu bahagia ‘tapi tegang’ bagi kaum Muslimiin itu; tokoh-tokoh Damaskus berkumpul di hadirat Tuma. Mereka berkata, “Tuan yang mulia! Kami telah memohon agar tuan berdamai dengan mereka! Namun tuan tidak memperdulikan! Padahal kebanyakan pasukan kita telah gugur! Dan pimpinan tertinggi mereka tidak mungkin bisa kita tangkap! Kalau tuan mau berdamai, kami kira lebih baik bagi tuan sendiri, bahkan bagi kita semuanya. Kalau tuan bersikeras tidak mau berdamai, terpaksa kami berdamai dengan mereka, sedangkan tuan terserah tuan sendiri.”

Dengan ketakutan, Tuma berkata, “Sebentar ! Jangan tergesa-gesa! Saya mau kirim surat dulu pada Raja Hiraqla, untuk menjelaskan keadaan sebenarnya.” 

Dia segera menulis surat:

Kepada Raja yang bijaksana, dari Tuma menantu tuan, amma ba’d:
Kaum Arab telah mengepung kami seperti putihnya mata mengelilingi hitamnya. Mereka lah ‘yang telah menaklukkan’ kami di dalam perang Ajnadin, secara besar-besaran. Kini mereka datang untuk mengepung kami. Jumlah pasukan kami yang gugur dalam peperangan yang baru saja selesai, banyak sekali. Saya telah berjuang mati-matian, namun justru mata saya luka berat. Kini saya akan berdamai dengan mereka, dengan resiko memberi mereka ‘pajak’. Kalau tidak setuju, sebaiknya tuan datang kemari, atau mengirimkan bala-bantuan, untuk menyerang mereka. Namun jika tuan menyetujui ‘rencana damai’ kami, memang kami sedang kesulitan.”
Surat ditekuk lalu dicap. Lalu diberikan seorang, agar dikirimkan pada Raja Hiraqla. Saat itu hampir pagi.




In syaa Allah bersambung.





Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi Mulungan Sleman Jogjakarta Indonesia



[1] Bagi bangsa Arab: Abu, Aba, dan Abi, adalah ‘sama’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar