Tamim bin Adi tergolong pasukan di bawah komando Abu Ubaidah. Dia berkisah, “Saya pernah di dalam tenda Abi Ubaidah. [1] Saat itu, beliau sedang sholat.
Tiba-tiba beliau mendengar jeritan. Setelah salam, dia berkata ‘laa
chaula wa laa quwwata illaa billaahil Aliyyil Adziim’. Dia mengambil pedang
lalu menata pasukan.
Lalu bergerak ke arah suara gaduh, diikuti oleh pasukannya.
Suara gaduh semakin jelas ketika Abu Ubaidah dan pasukannya
mendekat.
Dia berlari lagi menuju pintu gerbang, menyeberangi kaum berperang. Di sana dia bertakbir keras, diikuti oleh pasukannya. Ledakan takbir yang membahana, membuat kaum Musyrik ketakutan. Menyangka ada ‘bala bantuan Muslimiin’ datang dari belakang.
Dia berlari lagi menuju pintu gerbang, menyeberangi kaum berperang. Di sana dia bertakbir keras, diikuti oleh pasukannya. Ledakan takbir yang membahana, membuat kaum Musyrik ketakutan. Menyangka ada ‘bala bantuan Muslimiin’ datang dari belakang.
Kaum Musyrik mundur dan lari ke belakang, kearah pintu
gerbang. Ternyata justru mereka bertemu Abu Ubaidah dan pasukannnya yang baru
saja datang.
Abu Ubaidah dan pasukannya menyambut kedatangan mereka dengan
pedang ditebas-tebaskan. Tak seorang pun dari mereka disisakan hidup.
Damaskus banjir darah merah. Mayat-mayat berserakan."
Dhirar bin Al-Azwar muncul, berlumuran darah.
Khalid bertanya, “Ada apa denganmu?.”
Dhirar menjawab, “Berbahagialah! Awalnya malam ini, saya hanya
membunuh 150 musuh. Jumlah keseluruhan musuh yang dibunuh oleh pasukanku lebih
banyak lagi. Saking banyaknya, saya tidak bisa menghitung. Pintu gerbang kecil
itu telah saya serahkan, agar dijaga oleh Yazid bin Abi Sufyan. Setelah saya berkeliling menuju beberapa pintu gerbang, jumlah musuh yang saya bunuh,
tak terhitung lagi.”
Khalid tersenyum bahagia. Lalu mengajak berjalan menuju
Syurachbil bin Chasanah.
Di malam terang-bulan itu, Syurachbil telah memenangkan peperangan.
Beribu-ribu lawan tewas, oleh ganasnya pedang pasukanya. Mayat-mayat yang
berserakan ‘banyak’ sekali. Melukiskan bahwa ‘Tuhan Murka’ pada mereka.
Banyak sekali kaum Musyrikiin yang menangis histeris. Banyak
orang ketakutan. Sangat mencekam. Langit Seakan Gelap Gulita.
Di waktu bahagia ‘tapi tegang’ bagi kaum Muslimiin itu;
tokoh-tokoh Damaskus berkumpul di hadirat Tuma. Mereka berkata, “Tuan yang
mulia! Kami telah memohon agar tuan berdamai dengan mereka! Namun tuan tidak
memperdulikan! Padahal kebanyakan pasukan kita telah gugur! Dan pimpinan
tertinggi mereka tidak mungkin bisa kita tangkap! Kalau tuan mau berdamai, kami
kira lebih baik bagi tuan sendiri, bahkan bagi kita semuanya. Kalau tuan bersikeras
tidak mau berdamai, terpaksa kami berdamai dengan mereka, sedangkan tuan
terserah tuan sendiri.”
Dengan ketakutan, Tuma berkata, “Sebentar ! Jangan tergesa-gesa!
Saya mau kirim surat dulu pada Raja Hiraqla, untuk menjelaskan keadaan
sebenarnya.”
Dia segera menulis surat:
Kepada Raja yang bijaksana, dari Tuma menantu tuan, amma
ba’d:
Kaum Arab telah
mengepung kami seperti putihnya mata mengelilingi hitamnya. Mereka lah ‘yang
telah menaklukkan’ kami di dalam perang Ajnadin, secara besar-besaran. Kini mereka
datang untuk mengepung kami. Jumlah pasukan kami yang gugur dalam peperangan
yang baru saja selesai, ‘banyak
sekali’. Saya telah berjuang
mati-matian, namun justru mata saya luka berat. Kini saya akan berdamai dengan
mereka, dengan resiko memberi mereka ‘pajak’. Kalau tidak setuju, sebaiknya tuan
datang kemari, atau mengirimkan
bala-bantuan, untuk menyerang mereka. Namun jika tuan menyetujui ‘rencana
damai’ kami, memang kami sedang kesulitan.”
Surat ditekuk lalu dicap. Lalu diberikan seorang, agar
dikirimkan pada Raja Hiraqla. Saat itu hampir pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar