(Bagian
ke-126 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Hari Atta’wir
(التعوير)
Syurachbil
bin Chasanah menyerahkan panji pada seorang sambil berpesan, “Berhentilah di
tempatku ini!. Jika saya gugur, serahkan panji ini pada Abu Ubaidah agar
diserahkan pada orang kepercayaannya. Jika saya menang panji ini akan saya bawa
lagi!.”
Lelaki itu
menerima panji; Syurachbil menjalankan kudanya kearah raja Allan sambil membaca
syair:
Ku
akan menyerang untuk menumpas Banil Aadi (بني الأعادي)
Dengan
segala upaya dengan tajamnya besi
Betapa
bahaya bagi yang malas berjuang
Melawan
pasukan Romawi yang garang
Raja Allan
mendengar syair itu tapi tidak memahami, karena dia hanya mengetahui sedikit
dari bahasa Arab. Dia bertanya, “Kau ini membaca apa?.”
Syurachbil
menjawab, “Sudah menjadi kebiasaan orang Arab membaca syair sebelum perang,
agar perangnya bertambah garang, dan bertambah yakin pada pertolongan Allah
yang disampaikan oleh nabi kami.”
Raja
bertanya, “Apa janji yang telah disampaikan oleh nabi kalian?.”
Syurachbil
menjawab, “Beliau menjelaskan bahwa Allah menjanjikan pada kami, bumi akan kami
kuasai, dari panjang dan lebarnya. Negeri-negri Syam juga akan kami kuasai.
Kami akan menjadi kaum penakluk berkat pertolongan Allah.”
Raja membantah,
“Allah takkan menolong kalian yang telah menganiaya kami dan telah merampas hak
kami!.”
Syurachbil
menjawab, “Kami diperintah oleh Allah agar memerangi kalian. Dan bumi akan
diwariskan pada hamaba-Nya yang Dia kehendaki. Dan final dari perang ini akan
dimenangkan oleh orang-orang taqwa. Saya tahu kau bisa berbahasa Arab. Jika kau
meninggalkan menyembah Salib dan masuk agama Islam, kau tergolong ahli surga
dan beruntung.”
Raja Allan
membantah, “Saya takkan meninggalkan agama Al-Masih hingga kapanpun, karena
agama dia benar.”
Syurachbil
menjawab, “Kalau begitu jangan kau katakan dia adalah Tuhan yang wajib
disembah, dan jangan mengatakan dia telah wafat di atas Salib. Karena
sebetulnya dia telah dihidupkan oleh Allah di dalam bumi hingga umur tertentu,
lalu diangkat ke langit.”[1]
Raja Allan
berkata, “Saya takkan merubah pendirian saya.”
Lalu
mengeluarkan Salib yang menggelayut di lehernya untuk diangkat di depan
matanya, dan berdoa agar diberi kemenangan.
Syurachbil
marah karena melihat perbuatan syirik. Dan menggertak, “Celaka kau dan orang
yang menyertaimu, dan orang yang sefaham denganmu.”
Syurachbil
menyerang dia yang telah siap menangkis dan melawan. Peperangan dua tokoh yang
seru itu menarik perhatian orang banyak. Pasukan Muslimiin mendoakan semoga
Syurachbil menang.
Syurachbil
menghindar dan memacu kudanya agar menjauh. Musuhnya mengejar dengan kuda,
namun lalu terkejut oleh tombak Syurachbil yang terayun cepat sekali ke arah
lehernya. Tombak Syurachbil mematuk ruangan kosong lalu ditarik cepat karena
dihindari.
Dia berkata,
“Hai orang Arab, ternyata kau hanya pura-pura takut.”
Syurachbil
menjawab, “Goblok!. Perang boleh berpura-pura, bahkan bersiasat adalah
penting.”
Musuhnya
menghina, “Sayang tipuanmu tak berhasil.”
Dua orang itu
saling menyerang dengan garang hingga pedang mereka berdua patah. Mereka berdua
berkelahi dengan seru di atas kuda masing-masing. Yang musyrik tinggi besar;
Syurachbil kurus karena sering berpuasa. Yang musryik mendekap sekuat tenaga
untuk membunuh Syurachbil di depan orang-orang yang menonton.
Dhirar marah
karena tahu bahwa Syurachbil hidupnya terancam. Hatinya mencela pada dirinya,
“Hai Dhirar! Kenapa kau membiarkan penulis wahyu Rasulillah SAW itu akan
dibunuh musuh?.”
Lalu berjalan
cepat sekali sambil menghunus belatinya untuk ditusukkan pada punggung Raja
Allan. Allan jatuh; Syurachbil lepas dari sekapannya. Syurachbil turun dari
kuda untuk mengambil yang dimiliki raja yang telah tewas.
Dhirar
menaiki kuda lalu kembali bergabung pada pasukan Muslimiin bersama Syurachbil.
Di sana Syurachbil mendapat ucapan selamat, dan Dhirar menerima ucapan syukur
atas jasanya membunuh Allan. Syurachbil dan Dhirar berebut rampasan perang dari
Allan.
Dhirar
berkata, “Ini hak saya, karena saya yang membunuhnya.”
Syurachbil
membantah, “Saya kan yang mengambil dari sana.”
Lalu mereka
berdua datang pada Abu Ubaidah agar diadili. Karena mereka berdua tidak terima
dengan hukum Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah
melaporkan pada Umar RA melalui surat:
Wahai Amirul
mukminiin, sungguh seorang pria telah berkelahi melawan orang kafir dengan
kesulitan. Tiba-tiba ada lelaki yang menolong membunuh orang kafir itu. Salu
siapa di antara keduanya yang lebih berhak mendapatkan rampasan musuh itu?.
Jawaban dari
Umar RA: “Yang berhak mengambil rampasan itu yang telah membunuh.”
Abu Ubaidah
menarik rampasan perang itu dari Syurachbil untuk diberikan pada Dhirar, lalu
membacakan ayat yang artinya, “Itulah kefadholan Allah yang Allah berikan pada
orang yang dikehendaki.”[2]
Setelah Raja
Allan tewas, pasukan Romawi sangat marah. Seorang dari mereka yang gagah berani
muncul berkendaraan kuda, untuk menantang perang satu lawan satu.
Zubair bin
Al-Awwam muncul untuk menyerang dengan garang hingga menang. Lelaki itu tewas
dan harta yang dimiliki dirampas.
Ada lagi
lelaki kedua yang muncul dengan marah untuk menantang perang. Namun serangan
Zubair yang ganas membuat dia tewas.
Ada lagi
lelaki bersenjata ketiga yang muncul untuk menantang, tetapi dia terkejut
karena serangan Zubair terlalu dahsyat. Tahu-tahu dia terlempar tewas oleh
pedang Zubair yang tajam.
Lelaki
keempat muncul untuk menantang perang, namun dalam waktu cepat tewas oleh
tebasan pedang Zubair.
Khalid
melaporkan pada Abu Ubaidah, “Sungguh Zubair sendirian telah membunuh beberapa
jagoan dari Romawi, untuk mencari keridhoan Allah. Saya yakin kini dia terlalu
capai.”
Abu Ubaidah
berteriak agar Zubair mundur dan istirahat. Zubair mundur menuju tempatnya
semula.
Seorang
bathriq Romawi yang menjadi raja negri Rusia muncul untuk menantang perang.
Dialah menantu raja Allan yang telah dibunuh oleh Dhirar dengan belati. Raja
yang bermahkota gemerlapan itu dilawan oleh Khalid dengan serangan beruntun
ganas sekali hingga roboh dan tewas. Hartanya, mahkotanya, ikat pinggangnya,
Salibnya, dan baju-perangnya, laku dijual 15.000
dinar.
Setelah Mahan mendapat laporan bahwa dua raja tewas,
marah dan berkata, “Kurang ajar! Dalam sehari dua raja kami tewas. Berarti Al-Masih takkan menolong kami.”
Lalu perintah para jago panah agar meluncurkan anak
panah dengan serempak. Sejumlah
100.000 anak panah meluncur cepat hampir bersamaan, ke
arah pasukan Muslimiin. Jumlah
anak panah yang melukai pasukan Muslimiin cukup banyak; yang membutakan mata; 700 anak
panah.
Hari itu disebut Hari Atta’wir (التعوير) yang artinya membuat mata buta
sebelah. Tokoh-tokoh penting yang matanya terkena anak panah: 1), Al-Mughirah
bin Syubah. 2), Said bin Zaid bin Amer. 3), Abu Sufyan Shakhr bin Charb. 4),
Rasyid bin Said. Dan lainnya.
Ketika mata mereka terkena anak panah, terkejut dan mengaduh, “Oh mataku!.”
Beberapa orang setelah itu bertanya pada temannya,
“Matamu terkena apa?.”
Ada yang menjawab, “Jangan menjawab ‘mushibah’, yang benar ‘ujian dari Allah’.”
Pasukan
Muslimiin menarik tali kendali kuda untuk mundur kebelakang. Mahan perintah
pasukan berpanah agar menghujankan anak panah lagi. Pasukan Romawi yang
disatukan dengan rantai diperintah agar maju menyerang; pasukan Muslimiin
terdesak kebelakang. Apalagi setelah petinggi Romawi: Raja Jarjir, Raja
Qanathir, dan Raja Qurin turun tangan di medan perang. Apalagi setelah Raja
Mahan pimpinan tertinggi berteriak, “Serang terus!. Hujani mereka dengan anak
panah!.”
Luarbiasa,
anak-panah berhamburan banyak sekali membuat pasukan Muslimiin mundur dan
menangkiskan perisai mereka.
Pasukan yang
disatukan dengan rantai maju kedepan membawa gada besi gemerlapan untuk
menyerang. Suara gaduh dan riuh bersaut-sautan mengusir sepi. Pasukan Muslimiin
dikepung lautan pasukan Romawi berjumlah sekitar sejuta lebih.
Sebagian
pasukan Romawi juga menyerang hingga pasukan Muslimiin yang jauh lebih sedikit,
mundur ke belakang.
Abad bin Amir
membaca, “Laa chaula wa laa quwwaa illaa bi Allah Al-Aliyyil Adliim. Ya
Allah, turunkanlah atas kami perolonganMu yang pernah Kau pergunakan menolong
kami di tempat-tempat semuanya.”[3]
Lalu beriak pada orang-orang Chimyar, “Kenapa kalian lari dari surga menuju
neraka?. Apa kalian mau namanya tercoreng?. Lalu bagaimana kalian nanti di
sisi Al-Jabbar (yang Maha pemaksa)?. Dia Maha Tahu segala rahasia, tahu
kalau kalian lari dari kaum kafir!.”
Tetapi tidak
ada yang menjawab ucapannya yang keras itu, karena semua Muslimiin sedang
kesulitan menghadapi lawan.
Abad bin Amir
berteriak lagi untuk memanggil tetangga-tetangga kampungnya, namun semuanya
diam karena peperangan terlalu berat. Lalu dia memperbanyak membaca, “Laa
chaula walaa quwwata illaa bi Allah Al-Aliyyil Adliim.”
Ternyata
akhirnya Pertolongan dari Allah turun. Perolongan Allah turun di saat sebagian
pasukan Muslimiin berlarin ke belakang naik gunung. Para pembawa panji lah yang
berperang mati-matian melawan pasukan Romawi.
Abdullah bin
Qurth Al-Asadi termasuk tokoh Perang Yarmuk menyampaikan penyaksian:
Selama perang
berlangsung, yang paling berat adalah Hari Atta’wir (التعوير) yang artinya membuat mata buta sebelah. Barisan pasukan
berkuda Muslimiin mundur kebelakang; sejumlah pimpinan dan para pembawa panji
Muslimiin bertahan mati-matian.
Abu Ubaidah,
Yazid bin Abi Sufyan, Amer bin Al-Ash, Al-Musayyab bin Najibah, Abdur Rohman
bin Abi Bakr, Al-Fadhl bin Al-Abbas, berperang dengan garang melawan pasukan
yang jumlahnya banyak sekali.
Saya berkata
di dalam hati, “Pasukan kita yang berani melawan musuh tinggal sedikit.”
Beruntung
sekali para wanita Muslimaat yang zaman dulu mengikui nabi SAW berperang untuk
mengobati luka dan mencarikan air, ikut membantu kami berperang. Bahkan wanita
Muslimaat yang ikut berperang jauh lebih banyak daripada ketika zaman nabi atau
ketika Perang Yamamah di bawah pimpinan Khalid.
Justru ketika
pasukan Muslimiin sama berlari, para Muslimaat turun dari gunung untuk melawan
pasukan Romawi. Mereka mengayun-ayunkan pedang hingga musuh berhamburan dan
berguguran. Yang memimpin mereka adalah para Muslimaat yang dulu bergabung
hijrah bersama Rasulillah SAW.
Para tokoh
wanita itu berteriak menyebut nama keluarga besar dan nama panggilan sejumlah
orang, untuk menggerakkan Muslimaat lainnya yang ada. Mereka bertekat perang mati-matian
melawan musuh Allah. Sebagian lagi sama memukul wajah kuda pasukan Muslimiin
yang lari kebelakang; sebagian lagi sama mengangkat anak-anak sambil berkata,
“Belalah kami dan anak kita!.”
Ternyata
kepedulian para Muslimaat membuat pasukan Muslimiin maju lagi dengan kuda
mereka untuk menyerbu musuh. Sejumlah wanita Muslimaat dari Lakhm, Judzam, dan
Khaulan mundur akan lari.
Tokoh-tokoh
mereka: Khaulah binti Al-Azwar, Ummu Chakim, Salma binti Luai (سلمى بنت لؤي), maju untuk memukul sejumlah Muslimiin yang lari agar maju
lagi. Kaum Muslimin pun kembali lagi menyerang dengan tekat bulat harus menang
meskipun diri mereka harus mati.
Yang berada
di depan kaum Muslimaat, Ummu Chakim binti Al-Chrits berkendaraan kuda. Dia berteriak,
“Hai Muslimaat Arab! Tebaslah musuh dengan pedang kalian!.”
Asma
menggandengkan kudanya dengan kuda Zubair suaminya, mempergunakan tali. Untuk
membantu suaminya menyerang musuh.
[1] Di dalam: http://www.mulungan.org/index.php/component/content/article/38-kajian-quran/130-2011-04-bedah-nahwu-dan-makna-nisa-155-15
dijelaskan bahwa Allah menyalahkan pada kaum Yahudi yang mengaku telah membunuh
Isa bin Maryam AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar