(Bagian
ke-115 dari seri tulisan Khalid bin Walid)
Hutan
lebat di bawah gunung itu diseberangi dengan sulit oleh Said dan pasukannya
yang jumlahnya melaut. Ketika telah menempati tempat yang nyaman, beberapa
orang bertanya, “Ya Said, kami yakin kau telah tersesat jalan. Sekarang
istirahat saja, kami sangat capek karena perjalanan yang berat.”
Said
mengistirahatkan pasukannya di tengah hutan yang bermata air deras sekali itu. mereka
sama minum dan memberi minum kuda serta unta mereka. Kuda-kuda dan unta-unta
sama merumput dan menyantap dedaunan yang disukai. Sebagian Muslimiin yang
memenuhi wilayah luas itu tidur pulas; sebagian lainnya membaca sholawat untuk
Muhammad SAW. Said berada di tempat paling pinggir untuk mengawasi kaumnya
sambil membaca Al-Qur’an yang agung, lalu berdoa agar Allah memberi keselamatan
untuk semuanya.
Said
tidur nyenyak sekali. Di dalam tidurnya dia bermimpi melihat taman indah yang
pohon-pohonannya subur menghijau; buah-buahannya lebat sekali. Said mengambil
dan mencicipi buah dan minum air segar dari sungai yang jernih melimpah. Said
memetik lagi buah-buahan untuk diberikan pada kawan-kawannya agar dimakan. Di
saat dia sedang berbahagia bersuka ria; tahu-tahu dikejutkan oleh seekor singa
jantan besar sekali muncul dari celah-celah pohon. Singa telah loncat cepat ke
arah wajah untuk memangsa Said. Di saat Said dilanda bahaya dan ketakutan;
tiba-tiba dua singa jantan sangat besar datang menyerang singa yang akan
memangsanya. Singa roboh oleh serangan dua singa yang marah. Singa yang roboh
meraung keras sekali hingga Said terkejut takut dan bangun dari tidurnya. Namun
rasa manis dari buah-buahan yang dimakan di dalam mimpi itu masih terasa. Dan
bayangan singa jantan yang meraung dan lari itu hadir di dalam benaknya.
Said
menafsirkan bahwa mimpi itu mengandung arti; dia dan kaum Muslimiin akan menang
dan mendapat rampasan perang banyak. Tetapi ada yang menghalang-halangi
pengambilan rampasan perang itu. Namun akhirnya diberi pertolongan dapat
merebut rampasan perang. Dia berkata, “Taman yang sangat indah itu berarti mati
syahid.”
Said
meneruskan membaca Al-Qur’an dalam keadaan gemetar. Tiba-tiba ada suara keras
yang mengejutkan dari arah kanan jurang:
Hai
golongan penunjuk jalan yang berjalan menuju kebenaran
Jangan
takut dengan keadaan ini lembah yang menakutkan
Di
dalamnya memang banyak jin dan binatang buas
Kalian
akan menggondol kemenangan yang membuat puas
Karena
kasih-sayang yang Maha penyayang
Yang
menyayang
Anak
dan cucu
Yang
meletakkan rasa cinta di kalbu
Allah
akan berbuat untuk kalian
Hingga
kalian dan anak-cucu menikmati hasil kemenangan
Setelah
Said menyimak syair yang menggema itu, bersujud karena bersyukur pada Allah,
dengan gemetat. Gema suara syair itu juga mengejutkan pasukan Muslimiin dari
tidur mereka. Said hafal betul untaian bait sayair itu. Pasukan Muslimiin
berbahagia dan terheran-heran oleh bait syair yang baru saja mereka dengar,
yang menyatakan bahwa mereka akan menang dan mendapatkan rampasan perang.
Di
waktu subuh yang indah itu Said mengimami shalat pada kaumnya. Ketika matahari
menampakkan wajah dan senyuman; Said dan pasukannya meninggalkan hutan untuk
meneruskan perjalanan.
Tak
terasa dalam perjalanan yang panjang itu tahu-tahu telah sampai di Jabal Raqim
(Gunung Raqim), yaitu yang pernah dipergunakan sebagai tempat bersembunyi dan
tidur selama 309 tahun oleh Ashabul-kahfi. Said bertakbir keras karena bahagia.
Mulai dari tempat itu, dia tahu jalan menuju Syam. Pasukan Muslimiin mengikuti
takbirnya hingga suaranya menggemuruh. Beberapa orang bertanya, “Ada apa?.”
Said
menjawab, “Kita telah sampai Syam.”
Kebanyakan
pasukan yang dibawa oleh Said belum tahu kisah Ashabul-kahfi, sehingga
bertanya, “Apakah Raqim itu?.”
Said
berkisah mengenai Ashabul-Kahfi di tengah kerumunan pasukannya. Mereka menyimak
kisah itu dengan takjub. Said mengajak beberapa orang agar masuk ke dalam gua
itu untuk melakukan shalat. Perjalanan diteruskan hingga sampai negri Oman (عمان).
Said
mengajak pasukannya singgah di desa Al-Jinan (الجنان). Ada dua kepala suku yang datang bersama rombongan banyak dari
keluarga besar mereka berdua. Saat itu sudah menjadi kesepakatan antara kaum
Arab dan kaum Romawi yang wilayahnya meliputi desa tersebut, bahwa perang belum
berakhir. Rombongan dua keluarga besar berjumlah banyak sekali itu diserang oleh
pasukan Muslimiin. Sebagian ditawan; sebagian lainnya kabur menuju beteng
menjulang yang kokoh.
Said
dan pasukannya mengejar hingga mendekati beteng untuk berteriak, “Hai keparat!
Kenapa tadinya keluar kini berlari memasuki beteng?.”
Seorang
lelaki menunjukkan wajah dan berteriak, “Hai orang-orang Arab! Tadinya kami
keluar dari beteng karena disuruh oleh penguasa kota Oman agar segera pergi ke
kota untuk bergabung dengan mereka. Namun kami terkejut oleh pasukan kalian
yang jumlahnya banyak sekali. Sekarang apa kalian mau melindungi kami sebagai
dzimmi (dzimmah)?.”
Said
menjawab, “Ya mau!.”
Tokoh
desa Al-Jinan keluar didampingi sejumlah orang untuk berembuk damai dengan
Said. Said menulis surat pernyataan damai dengan syarat kaum Al-Jinan
menyerahkan 10.000 dinar.
Ketika
Said dan pasukannya akan meneruskan perjalanan, tokoh-tokoh masyarakat Al-Jinan
berpesan, “Hai orang-orang Arab, walau kami telah tunduk pada kalian, tetapi
kami takut kaum kami. Ketahuilah bahwa tuan Naqithas (نقيطاس) penguasa negri Oman pasti akan menemui kami dengan marah
besar. Kalau kalian mampu menaklukkan beliau pasti akan lebih baik bagi kami
dan kalian.”
Said
bertanya, “Apa alasannya?.”
Mereka
menjawab, “Karena rampasan perangnya pasti banyak sekali.”
Said
bertanya, “Berapa jumlah pasukannya?.”
Mereka
menjawab, “Limaribu pasukan berkuda. Tetapi mereka telah ketakutan pada kalian,
artinya kalian pasti bisa mengalahkan mereka.”
Said
berteriak, “Hai Muslimiin semuanya! Bagaimana kalau kita menyerang Bathriq
Naqithas penguasa negri Oman?.”
Mereka
manjawab, “Silahkan! Jika kita berhasil mengalahkannya akan bermafaat untuk kaum
Muslimiin dan membuat kaum Musyrik hina.”
Said
bertanya pada penduduk, “Mereka akan lewat jalan mana?.”
Mereka
menjawab, “Jalan
ini.”
Penduduk desa
menunjukkan jalan Amuriyah (عَمُّورِيَّةُ) pada pasukan Said, agar segera bertemu Bathriq Naqithas dan
pasukannya. Pasukan Muslimiin bersembunyi di ceruk dan jurang yang sangat luas
selama sehari semalam.
Di pagi buta
itu Said berkata, “Hai Muslimiin semuanya! Perintah Umar agar kita membantu
pasukan Ubaidah lebih utama dari pada menyerang mereka! Ayo kita laksanakan
perintah beliau! Semoga kalian disayang oleh Allah!
Kalau kita mengerahkan 7.000 pasukan saja mereka ini akan kalah.”
Pasukan
Muslimiin berkata pada pimpinan, “Hai putra Amir (عامر)! Kami yakin mampu mengalahkan mereka! Yang ini kita rampungkan
dulu.”
Tiba-tiba
sekelompok
Qasus (القَسُوسِ/ulama Nasharni) dan rahib-rahib, berpakaian dari bulu,
berdatangan membawa Salib. Mereka yang berkepala gundul tengah itu, ditangkap
dan dihadapkan pada Said bin Amir. Said bertanya, “Siapa kalian?.”
Seorang alim
besar mereka mewakili menjawab: “Kami para rahib dan ulama yang tinggal di
biara-biara. Tujuan kami akan pergi menghadap Raja Qusthanthin (قُسْطَنْطِينَ) putra Raja Hiraqla. Di sana kami akan berdoa agar pasukan Raja Hiraqla diberi kemenangan di dalam Perang Suci ini.”
Said
menjawab, “Berdoalah! Namun doa orang-orang kafir pasti tersesat! Siapa yang
memimpin pasukan di belakang kalian?!.”
Mereka
manjawab, “Penguasa negri Oman. Yang dibawa 5.000 pasukan berkuda Nashrani.”
Said
berdoa, “Ya Allah, pastikan mereka menjadi rampasan perang kami.”
Said
berkata pada pembesar rombongan itu: “Hai syaikh! Sungguh nabi kami melarang
kami menyerang rahib yang tinggal di biaranya. Kalau kalian tidak keluar dan
tidak membawa senjata niscaya tidak kami tangkap.”
Said
perintah agar mereka diikat erat mulai dari bawah tulang belikat, dengan tali
yang dibawa oleh rombongan rahib. Tak lama kemudian arak-arakan panjang pasukan
negri Oman berdatangan, berjalan kaki untuk lewat.
Pasukan
Muslimiin menyambut kedatangan mereka dengan serangan ganas, sambil menyerukan
tahlil dan takbir. Meskipun mereka melawan, namun kalah oleh ganasnya serangan
pasukan Muslimiin.
Sisa-sisa
pasukan yang masih hidup diperintah oleh Bathriq Naqithas agar menyerang
pasukan Muslimiin dengan serangan paling ganas. Peperangan berkecamuk lagi
dengan sengit dan seru, hingga pasukan Muslimiin kewalahan melawan mereka.
Gugurnya
sejumlah pasukan Naqithas yang memenuhi kawasan luas, dan tahlil maupun takbir
pasukan Muslimiin yang membahana, membuat Naqithas dan kaumnya surut ke
belakang. Pasukan Muslimiin mengejar untuk menyerang dan merampas harta. Ketika
Naqithas telah mengumpulkan pasukannya yang cerai-berai untuk melancarkan
serangan mematikan atas pasukan Muslimiin; Zubair bin Al-Awwam dan Fadhl bin
Abbas (الْفَضْل بْن الْعَبَّاسِ) datang menyerang Naqithas. Serangan ganas dari Zubair dan
Fadhl membuat dia tertekan jauh ke belakang. Seribu pasukan yang dibawa oleh
Zubair dan Fadhl mengamuk pasukan Naqithas. Naqithas yang berlindung pada Salib
yang di atas kepalanya, gugur dari kudanya oleh tusukan pedang Zubair.
Said dan
pasukannya datang dalam keadaan terkejut saat menyaksikan Fadhl mengamuk dan membantai
sejumlah pasukan Naqithas. Said sempat menyangka bahwa pasukannya telah
berselisih dan bertikai dengan senjata tajam. Ketika tahlil dan takbir meledak;
Said tahu bahwa kalimat hak itu pasti muncul dari pasukan Muslimiin yang datang
membantu. Said berbahagia ketika mendengar Fadhl berteriak, “Saya putra paman
Rasulillah SAW.”
Hampir
limaribu pasukan Naqithas berserakan tewas memenuhi kawasan luas; yang lain
ditawan.
Said
bertanya, “Ya Fadhl! Apakah ada sahabat nabi SAW yang menyertaimu?.”
Fadhl
menjawab, “Saya bersama Zubair bin Al-Awwam, putra bibi Rasulillah SAW.”
Pasukan
Muslimiin mendapatkan rampasan perang yang banyak sekali. Pasukan Said
bersalaman dengan pasukan Fadhl. Fadhl bertanya pada Said, “Hai putra Amir! Kenapa
kau terlambat datang kemari. Padahal Salim bin Naufal Al-Adawi (سالم بن نوفل العدوي) telah datang dan memberi tahu kami mengenai kedatanganmu
menuju kemari?. Kami sempat mengkhawatirkan keadaan kalian. Abu Ubaidah
perintah agar kami menyerbu negri Oman. Al-Hamdulillah semuanya selamat dan
kaum kafir sama tewas.”
Zubair
perintah agar 4.000 mayat pasukan Oman yang berserakan itu dipotong kepala
mereka untuk ditusuk dengan tombak. Tawanan berjumlah 1.000 orang itu ngeri
melihat kepala teman-teman mereka bertengger di ujung tombak.
Sebelum
berangkat untuk bergabung pada Abu Ubaidah, Said melepaskan para rahib. Said
dan pasukannya berarak-arak menuju Abu Ubaidah yang agung sambil meneriakkan
tahlil dan takbir. Tahlil dan takbir pasukan Said dan pasukan Abu Ubaidah
meledak bersamaan, hingga pasukan Romawi ketakutan.
Pasukan
Romawi bertambah ketakutan ketika menyaksikan 8.000 pasukan Muslimiin
berdatangan membawa 4.000 kepala mayat dengan ujung tombak, untuk bergabung
pada pasukan Ubaidah.
Said datang
ke hadirat Abu Ubaidah untuk melaporkan kemenangannya. Abu Ubaidah bersujud
bersyukur pada Allah. Abu Ubaidah perintah agar 1.000 tawanan disuruh berbaris
dan agar masuk Islam. Ketika semua tawanan bersepakat tidak mau Islam;
pedang-pedang melayang menebas melepas leher dari jasad mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar