Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2016/11/20

PS 146: Pembebasan Syam




Yunus menjawab,“Sungguh dataran rendah dan pegunungan negeri Syam telah anda rebut, berkat Pertolongan Allah. Thaghut-thaghut dan pendamping-pendamping mereka yang kafir juga telah tewas. Sisa-sisa mereka, tinggal yang berada di gunung-gunung terjal yang sulit dijangkau. Sebetulnya mereka telah ketakutan atas Pertolongan Allah pada kita. Kita harus segera menyerang mereka yang berada di istana megah yang sangat besat itu. Kita harus menyerang mereka sekuat tenaga, hingga penduduk yang bertempat di dekat sungai Furat (الفرات). Meskipun perbekalan mereka banyak, namun tetap terbatas.” 
Khalid menyimak usulan itu lalu tersenyum, dan berkata, “Demi Allah ini pandangan cemerlang, namun saya menambahi: serangan untuk istana agar diperkuat, mumpung bala bantuan dari Romawi belum datang kemari.” 
Abu Ubaidah menjawab, “Ayah Sulaiman, usulanmu tepat dan bagus.” 
Abu Ubaidah perintah agar penyerbuan menuju istana segera dipesiapkan. 
Pasukan Muslimiin turun dari kuda untuk menembus jalan sulit, yang diberi beberapa penghalang rumit. Para tokoh besar dan hamba sahaya, berjalan bersama, menuju istana.
Untuk mencari yang masih berhubungan keluarga, mereka memanggil kakek mereka. Akhirnya arak-arakan Muslimiin yang berjalan kaki itu, berkumpul pada keluarga besar mereka masing-masing.

Masruq bin Malik (مسروق بن مالك) veteran Perang Chalab berkata:
Peperangan Syam terdahsyat, Perang Chalab (Aleppo). Kami mengepung kerajaan Chalab, mirip seperti roda berputar mengelilingi poros. Di hari awal serbuan, sejumlah pahlwan Muslimiin dari Yaman menyerang dengan anak panah bertubi-tubi. Sejumlah tokoh Muslimiin dari Mudhar dan Rabiah juga menyerbu dengan anak-panah, bahkan berusaha menaiki benteng, namun tak menemukan jalan. Mereka berlari menghindari batu-batu yang dilemparkan dari atas benteng dan dari alat pelontar batu yang disebut Majaniq. [1] Saya dan teman-teman berlari karena batu dari atas dan dari dalam benteng berjumlah banyak, menyerang kami. Banyak yang terluka berat oleh benturan batu. Bahkan banyak juga yang gugur. Di antara mereka yang gugur: Amir bin Ashla Arrabi (عامر بن الأصلع الربعي), Malik bin Khazil Arrabi (مالك بن خزعل الربعي), Chassan bin Chanzhalah (حسان بن حنظلة), Marwan bin Abdillah (مروان بن عبد الله), Sulaiman bin Farigh Al-Amiri (سليمان بن فارغ العامري), Atthaf bin Salim Al-Kilabi (عطاف بن سالم الكلابي), Suraqah bin Muslim bin Auf Al-Adawi (سراقة بن مسلم بن عوف العدوي), dan sejumlah lelaki Yaman, keturunan Amir dan Kilab. Ada lagi tujuh orang Yaman dari Bani Abdillah.
Di hari yang menegangkan itu, Abu Ubaidah mendirikan panjinya di luar istana Chalab, lalu menyeru pasukan Muslimiin yang segera berdatangan menghadap. 
Abu Ubaidah perintah, “Sekarang silahkan mengubur para Syuhada! Dan pulang ke barak, untuk beristirahat dan mengobati luka!."

Pasukan Chalab bersuka ria, karena pasukan Muslimiin menghentikan serangan. Pada pasukannya, Yuqana berkata, “Sungguh setelah ini, kaum Arab takkan berani mendekat istana saya. Jika mereka berani mengepung istana lagi, saya akan melancarkan makar atas mereka.”

Beberapa bathriq dan jago tempur berjumlah 2.000 orang, diperintah, “Jika obor pasukan Arab telah padam! Segeralah turun untuk menyerbu mereka yang di belakang! Dan jarah harta mereka! Hanya semuanya agar waspada!” oleh Yuqana.
Yang diperintah memimpin, wakil Yuqana.
Obor-obor telah padam dan Muslimiin telah pulang ke tenda penginapan. 

Wakil Yuqana memimpin sejumlah pasukan, turun dari istana, menyerang pasukan Muslimiin yang lengah dan payah. 
Pasukan Muslimiin yang berada di bagian belakang, kaum Yaman dari Murad, Kilab, dan sejumlah hamba sahaya. Mereka terkejut oleh pasukan Chalab yang mendadak membentak dan menyerang. Sebagian pasukan Muslimiin memacu kuda, menghindari serangan. Pasukan Muslimiin yang di belakang telah berguguran oleh tebasan pedang. 
Beberapa Muslimiin berteriak, “Lari! Ada serangan dari belakang!.” 
Pasukan Muslimiin berlari menuju tenda, melaporkan, “Yang mulia, pasukan kita yang di belakang diserang dan berguguran.” Sontak Abu Ubaidah, beberapa tokoh, bergerak cepat menuju tempat kejadian. 
Wakil Raja Yuqana berteriak, “Hai semuanya! Tinggalkan rampasan perang dan larilah!.” 
Pasukan Chalab berlari memasuki istana, membawa tawanan 50 orang Muslimiin yang kebanyakan dari kaum Rabiah dan Mudhar. 
Khalid dan pasukannya bergerak cepat menyerbu mereka dengan sengit. 
Seratus pasukan 
Chalab berguguran oleh tebasan pedang Khalid dan pasukannya. 
Wakil Yuqana dan pasukannya telah memasuki istana dan pintu gerbang ditutup. 
Ketika fajar menyingsing, 50 tawanan Muslimiin dihadapkan pada Yuqana dengan tangan terikat. Mereka ditunjukkan pada pasukan Muslimiin. Mereka berkata, “Laaa Ilaaha illaa Allah Muhammadun Rasulullaah,” lalu dibunuh semuanya. 

Pada pasukan Muslimiin, Abu Ubaidah perintah, “Setiap kalian berkewajiban menjaga dirinya sendiri. Dan agar peperangan lebih semangat, jangan berbicara kecuali seperlunya.” 
Pasukan Muslimiin mengepung istana. 
Mata-mata Yuqana yang pandai bahasa Arab kesulitan mencuri berita, karena Muslimiin tidak berbicara dengan temannya kecuali hanya yang perlu.
Beberapa bathriq datang ke hadirat Yuqana, melaporkan bahwa pasukan Muslimiin mengepung istana dengan sengit. Dan banyak mata-mata yang tertangkap. Seorang mata-mata datang dan berkata pada Yuqana, “Yang mulia, kalau tuan akan melancarkan muslihat atas mereka, sekarang ini waktu yang tepat.” 
Yuqana bertanya, “Kenapa?.” 
Dia berkata, “Pasukan Arab yang ditugaskan mengurusi pakan binatang dan bahan makan, akan berbelanja pada beberapa desa di dataran rendah sana. Jumlah mereka yang berpakaian jelek itu hanya sedikit.” 
Yuqana mendengarkan laporan dengan serius, lalu bergerak untuk mengumpulkan 1.000 pasukan, untuk diperintah, “Bersiap-siaplah! Demi kebenaran Al-Masih, kaum Arab akan saya persulit dalam melewati jalan menuju tujuan. Kalian yang saya tugaskan melaksanakan gagasan saya!.”
Di malam yang sepi itu,  pintu gerbang istana dibuka untuk keluar pasukan. Pasukan berjumlah banyak itu berjalan di kegelapan. Mereka menjumpai seorang penggembala mengiring sejumlah sapi, akan pulang dari tempat gembalaan yang jauh. Penggembala terkejut oleh datangnya pasukan Chalab berjumlah banyak. “Kamu berpapasan dengan kaum Arab?," tanya mereka. 
Dia menjawab, “Betul, saya bertemu mereka tadi sore, ketika matahari sedang tenggelam. Jumlah mereka 100 lelaki, berkendaraan kuda. Mereka menggiring sejumlah unta dan kuda bagal, mencari bahan makan ke pedesaan, yang penduduknya telah berdamai dengan mereka.” 
Komandan pasukan berkata, “Kalau kita bertanya pada penduduk ini, pasti mereka merahasiakan pada kita. Jalan satu-satunya kau harus menjelaskan pada saya ‘demi Al-Masih! Mana jalan yang dilewati oleh mereka?’.” 
Penggembala berkata, “Melewati jalan itu,” sambil menunjuk jalan.
Komandan yang bathriq itu melewati jalan bersama pasukannya, mencari pasukan Muslimiin yang mencari bahan makan. Hampir subuh, mereka baru menjumpai pasukan Muslimiin berkuda di bawah pimpinan Munawisy bin Addhacak (مناوش بن الضحاك). 
Pada pasukannya, Munawisy berkata, “Hai semuanya, ada bathriq yang menggiring pasukan untuk menyerang kita. Semua agar siaga, lawanlah dengan gigih dan tabah untuk meraih surga!.” 

Pertempuran berkobar dengan sengit. Munawisy, Al-Gharthif bin Tsabit (
الغطريف بن ثابت), Mani bin Tsabit (منيع بن ثابت), Mani bin Ashim (منيع بن عاصم), Kahlan bin Murrah (كهلان بن مرة), dan lainnya, berjumlah 30 orang, dari kota Thayyi, gugur. Yang masih hidup lari semuanya, meninggalkan harta yang mereka miliki, di atas binatang kendaraan, dijarah oleh pasukan Chalap (Aleppo). 
Pada pasukannya, Seorang bathriq perintah, “Buanglah beban ini dan sembelihlah binatangnya! Yang lain kita giring pulang, dengan bawaannya! Kita akan bersembunyi di atas gunung, agar tidak diserang pasukan Arab. Mereka bisa bergerak cepat hingga tahu-tahu muncul kemari. Ayo segera kita sembelih lalu bergerak ke sana! Jika malam telah kelam, kita pulang menuju istana untuk berlindung.” 
Dengan gerak cepat, mereka membuang beban, lalu menyembelih dan memotong-motong binatang kendaraan. Lalu bergerak cepat naik gunung. Di atas gunung mereka menunggu datangnya malam yang makin kelam. Agar bisa istirahat dengan tenang, mereka membayar orang agar berjaga.

“Saat itu saya bergabung di dalam pasukan Muslimiin yang dipimpin oleh paman saya, Munawisy. Kami yang hanya sedikit diserbu dengan sengit oleh pasukan berkuda Chalab, berjumlah banyak. Kami kabur menuju pasukan induk. 
Abu Ubaidah menyambut kami dan bertanya, “Ada apa kalian?.” 
Kami menjawab, “Diserbu musuh, Munawisy dan sejumlah pasukan Muslimiin berguguran. Bahan makan dan binatang kita dirampas oleh mereka.” 
Abu Ubaidah berkata, “Kenapa kalian diserang oleh kaum yang telah kita kepung? Setahu kami tidak ada pasukan yang keluar dari istana.” 
Kami menjawab, “Kami sendiri tidak tahu asal pasukan itu dari mana. Tiba-tiba muncul seorang bathriq bersama pasukan berkuda berjumlah sangat banyak, menyerbu kami. Amir kami dan sejumlah Muslimiin lainnya dibunuh, dan milik kami berupa binatang dan bahan makan, dirampas semuanya.”
Pada Khalid, Abu Ubaidah memanggil, “Ya Ayah Sulaiman, urusan ini saya serahkan pada Allah, lalu padamu. Saya memohon semoga Allah memberi kita Kodar Paling Baik. Berangkatlah segera! Semoga Allah memberi kau Barokah! Ajaklah Muslimiin yang kau kehendaki! Saya berdoa semoga kau dapat mengejar mereka. Carilah di mana mereka lari! Dan balaskanlah Muslimiin yang telah gugur. Hanya saja, desa tempat kejadian perkara itu, penduduknya telah damai dengan kita. Kita harus damai dengan mereka, kecuali jika mereka telah berkhianat pada kita. Ayo segera berangkat!.”
Khalid bergerak cepat menujui tendanya untuk mengambil pedang lalu berkuda. Hampir saja Khalid memacu kudanya untuk pergi sendirian. 
Abu Ubaidah bertanya, “Mau kemana?.” 
Khalid menjawab, “Melaksanakan perintahmu mengejar musuh.” 
Abu Ubaidah perintah, “Ajaklah Muslimiin yang kau kehendaki!.” 
Khalid menjawab, “Saya tidak ingin ditemani seorang pun.” 
Abu Ubaidah berkata, “Bagaimana mungkin kau sendirian? Padahal musuh berjumlah banyak sekali?.” 
Khalid menjawab, “Mereka seribu atau duaribu, akan kalah dengan seorang yang ditolong oleh Allah.” 
Abu Ubaidah berkata, “Saya percaya, tetapi tetap harus berteman.” 
Yang dipilih oleh Khalid agar menemani, Dhirar dan orang-orang yang keberaniannya sebanding dia. Khalid dan pasukannya bergegas naik kuda, menuju tempat kejadian. 
Mayat-mayat Muslimiin yang berserakan dikerumuni dan ditangisi oleh masyarakat setempat. Mereka takut pada kemarahan pasukan Muslimiin. Mereka terkejut ketika melihat Khalid dan pasukan berkudanya berdatangan. Tangisan mereka bertambah keras dan mereka bersimpuh ketakutan. Mereka makin takut ketika Khalid membentak, “Siapa yang telah membunuh para sahabat kami ini?.” 
Mereka menjawab, “Yang membunuh bukan kami, kami kaum yang telah berdamai dengan kalian.” 
Khalid menyumpah, “Demi Allah kalian tidak bergabung dalam pembunuhan ini semua?.”
Mereka menjawab, “Demi Allah kami tidak bergabung dalam pembunuhan mereka ini.”
Khalid bertanya, Siapa yang memimpin pembunuhan ini?.” 
Mereka menjawab, “Seorang bathriq utusan tuan Yuqana yang membawahi seribu pasukan berkuda paling kejam. Memang Raja Yuqana memiliki mata-mata berjumlah banyak yang melaporkan segala gerak-gerik kalian.” 
Khalid bertanya, “Mana jalan yang dilalui oleh mereka?.” 
Mereka menunjuk dan berkata, “Jalan ini.” 
Khalid bertanya, “Siapa yang bisa memberikan keterangan lebih lengkap?.” 
Mereka menjawab, “Orang 
Chalab (Aleppo) ini. Dengan dia lah kaum tuan membeli bahan makan. Kalau tuan terlambat datang kemari, kami tidak bisa memberi keterangan pada tuan mengenai yang membunuh ini semua.” 
Khalid bertanya pada lelaki pedagang itu, “Betulkah mereka lewat jalan ini?.” 
Lelaki itu menjawab, “Betul, saya melihat mereka memacu kuda menuju gunung itu.”
Khalid berkata, “Mereka pasti berpikir bahwa mengejar mereka membutuhkan kuda, dan pasti mereka telah bersembunyi. Kalau telah malam, in syaa Allah mereka akan kembali ke istana.” 

Khalid mengurungkan pengejaran. Dia perintah beberapa lelaki penduduk setempat, agar mengikuti Khalid mencari pasukan Chalab. Dia bertanya pada seorang, “Apakah mereka mempunyai jalan selain ini menuju istana?.” 
Dia menjawab, “Betul, tetapi sebaiknya tuan bersembunyi di sekitar sini saja. In syaa Allah tuan nanti akan bertemu, ketika mereka lewat sini.”
Khalid dan pasukannya bersembunyi di jurang, sambil menunggu pasukan Chalab. 

Ketika malam telah kelam, derap kaki kuda arak-arakan 
pasukan Chalab mengusir sepi. Di depan mereka, seorang bathriq yang menyuruh agar mereka berlari cepat.
Ketika arak-arakan itu telah dekat sekali, Khalid membentak keras lalu loncat, diikuti oleh pasukan Muslimiin. Dengan pedang, Khalid membelah bathriq menjadi dua, lalu mengamuk pada pasukan bathriq dengan sengit, bertubi-tubi. Semua pasukan bathriq berguguran kecuali yang oleh Allah dikehendaki berumur panjang.
Mereka memacu kuda secepat-cepatnya. Harta mereka dirampas oleh Muslimiin, dan kepala bathriq dipotong untuk ditusuk dengan tombak. Darah kepala bathriq menetesi kaki beberapa orang. Mereka yang ketakutan dan tidak mampu melawan ditahan
Khalid dan pasukanya bertahlil dan bertakbir; yang lain menirukan. Lawan yang ditawan 300 orang, yang terbunuh dan dipotong kepalanya 700 orang. Para tawanan disuruh masuk Islam, namun menolak, “Kami akan membayar denda saja.”
Khalid berkata, “Mereka akan kita bunuh di dekat istana, untuk menghina Musuh Allah.”
Dia berpikir lalu berkata, “Mestinya kita ini mengepung istana, tapi kenapa justru pasukan kita dibunuh oleh mereka dan binatang kendaraan kita dirampas? Berarti kita harus memasang mata-mata pada semua ruas jalan, untuk mempermudahkan gerak kita, dan mempersulit mereka keluar dari istana.” 
Abu Ubaidah bersyukur, “Jazakallohu khoira (semoga Allah membalas kebaikan padamu). Pandanganmu tepat sekali,” pada Khalid.  

Di pagi yang menegangkan itu Abu Ubaidah mengimami shalat subuh, lalu memanggil Abdur Rohman bin Abi Bakr, Dhirar, Said, Qais, dan Maisarah, untuk memimpin  beberapa pasukan yang akan mengepung istana. Mereka diperintah agar menutup semua jalan menuju istana Yuqana. 
Abu Ubaidah memperbolehkan pulang ke tenda, setelah Muslimiin berjaga dalam waktu lama, namun tidak menghasilkan yang diharapkan. 
Abu Ubaidah menarik pasukannya menuju desa Nairab yang jauh, sambil menunggu kelengahan lawan di dalam istana. 
Yuqana tidak turun dan tidak membuka pintu gerbang istana. 
Abu Ubaidah berpikir keras, lalu berkata, “Ya Ayah Sulaiman, mata-mata Yuqana Musuh Allah, mengetahui banyak tentang kita. Mereka melaporkan pada Yuqana. Telitilah di dalam pasukan kita! Siapa tahu ada mata-mata yang menyusup” pada Khalid.
Khalid perintah agar pasukan Muslimiin meneliti dan menangkap orang yang dicurigai. Khalid berkeliling untuk mengamati barangkali ada orang yang dicurigai. Ada lelaki Nashrani mencurigakan berbusana abaya dibalik. Lelaki itu ketakutan ketika didekati oleh Khalid. Dia makin takut ketika Khalid membentak, “Hai! Kamu dari mana?.” 
Dia menjawab, “Dari Yaman.” 
Khalid bertanya, “Yaman mana?.” 
Rencana dia akan bohong dibatalkan, “Dari Ghassan.” 
Dia pucat ketika ditangkap dan dibentak, “Hai Musuh Allah! Kamu memata-matai kami!” oleh Khalid.
Dia mengelak, “Saya bukan orang Nashrani, saya Muslim.” 
Khalid membawa lelaki itu, untuk dilaporkan, “Yang mulia, lelaki ini mencurigakan. Saya melihat dia baru hari ini, di sini. Dia mengaku berasal dari Ghassan. Saya yakin dia penyembah Salib” pada Abu Ubaidah.
 
Abu Ubaidah perintah, “Dites saja!.” 
Khalid bertanya, “Bagaimana cara mengetes dia?.” 
Abu Ubaidah perintah, “Suruhlah membaca Al-Qur’an dan shalat! Kalau tidak bisa berarti kafir.” 
Khalid perintah, “Shalatlah dua rakaat, dengan bacaan dikeraskan!.” 
Mata-mata yang bisa berbahasa Arab itu kebingungan. Kebingungannya memuncak ketika dibentak, “Hai Musuh Allah! Kamu memata-matai kami,” oleh Khalid. 
Dengan ketakutan mata-mata itu mengakui sebagai mata-mata. 
Khalid membentak, “Kamu sendirian?.” 
Dia menjawab, “Kami bertiga, yang dua sedang pergi menghadap tuan Yuqana di istana, untuk melaporkan tentang kalian. Saya di sini untuk memata-matai kalian sebagai bahan laporan.” 
Muslimiin mengamati Abu Ubaidah berkata, “Kamu memilih dibunuh atau masuk Islam?” pada mata-mata yang segera menjawab, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad Utusan Allah.” 

Abu Ubaidah kembali lagi, mengepung istana hingga lelah. Telah empat atau lima bulan isana itu dikepung, namun Yuqana belum menyerah. 

Umar selaku Amirul Mukminiin di Madinah, tidak tahu yang terjadi pada Abu Ubaidah dan pasukannya di kota 
Chalab (Aleppo). Beliau menulis surat untuk Abu Ubaidah:
Dari Hamba Allah bernama Umar, untuk pegawainya bernama Abu Ubaidah. Sungguh saya memuji pada Allah satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Saya juga mendoakan shalawat untuk Nabi-Nya, Muhammad SAW. Ketahuilah hai Abu Ubaidah, karena kau lama tidak menulis surat untukku, maka hatiku gundah dan fisikku menjadi lemah, karena memikirkan kalian sebagai saudara Muslimiin. Malam dan siang yang saya pikir selama ini, kau dan pasukanmu. Saya sedang sedih karena, kau menyurati saya, hanya jika menang perang dan mendapatkan rampasan perang. Saya berdoa agar kau diberi kemenangan. Saya merindukan kalian seperti seorang ibu rindu pada anaknya. Jika suratku telah kau baca, segeralah berjuang membela Muslimiin.

Surat segera dikirimkan pada Abu Ubaidah yang sangat berbahagia menerima suratnya. Hatinya makin bahagia setelah membaca surat itu. Dia berkata, “Hai Muslimiin semuanya! Ternyata Amirul Mukminiin Umar RA, mendoakan dan merasa senang dengan perjuangan kita semua. Ini sebagai pertanda bahwa Allah akan segera menolong kalian mengalahkan lawan.” 
Pasukan Muslimiin senang mendengar pernyataan Abu Ubaidah. Semangat yang tadinya hampir pupus, kini tumbuh lagi menjadi menguat. 

Abu Ubaidah menulis surat jawaban untuk Umar:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Untuk Hamba Allah yang mulia, Umar, selaku Amirul Mukminiin. Dari pegawainya di Syam, bernama Abu Ubaidah. Salamun alaik. Sungguh saya memuji Allah Taala dan membaca shalawat untuk Nabi-Nya. Adapun setelah itu, wahai Amirul Mukminiin, Allah Pemilik segala Pujian, yang telah menolong kami merebut kota Qinasrin. Penduduk Chalab (Aleppo) telah minta damai dengan kami, namun di istananya, raja mereka bernama Yuqana, yang pasukannya banyak sekali, bersikeras tidak mau menyerah. Raja yang pandai bersiasat perang itu telah berkali-kali bermakar atas kami. Dia yang kejam itu telah membunuh adiknya sendiri bernama Yuchana yang telah mengucapkan syahadat. Dia telah membunuh sejumlah pasukan Muslimiin peraih derajat Syuhada (Muslimiin yang gugur dilaporkan oleh Abu Ubaidah). Namun Allah mengamati gerak-gerik mereka. Telah berbulan-bulan kami berupaya menaklukkan mereka, tetapi tidak berhasil. Saya akan menarik pasukan saya menuju negeri yang berada di antara Chalab dan Anthakiyah (Antioch), namun jika anda menyetujui rencana ini.  
والسلام عليك وعلى جميع المسلمين

Yang diberi tugas mengantar surat, Abdullah bin Qurth dan Jadah bin Jubair (جعدة بن جبير). Mereka berdua bergegas pergi ke Madinah. Di tengah perjalanan, mereka berdua terkejut oleh lelaki berbaju perang, mengenakan helm perang berkilauan. Lelaki bertombak itu seperti akan menyerang. Mereka berdua menyaksikan lelaki bertombak itu memacu kuda untuk mendekat. Ternyata lelaki itu mengucapkan salam dan bertanya, “Kalian dari mana, mau kemana?.”
Mereka berdua menjawab, “Kami utusan Abu Ubaidah, akan menghadap Umar bin Al-Khatthab RA. Kau siapa?.” 
Dia menjawab, “Nama saya Hilal bin Badr Atthai (هلال بن بدر الطائي).” 
Mereka berdua bertanya, “Kenapa kau membawa senjata terhunus?.”
Dia menjawab, “Saya bersama sejumlah sahabat saya memang bertujuan perang, karena perintah Umar RA. Saya sengaja menghadang kalian, untuk bertanya bagaimana keadaan kalian. Para sahabat saya berada di belakang, akan segera kemari.”
Hilal membelokkan dan memacu kuda menuju para sahabatnya yang berjumlah banyak. Pada mereka Hilal bercerita tentang pertemuannya dengan dua sahabat Rasulillah SAW, bernama Abdullah dan Jadah. Wajah mereka ceria setelah mendengarkan penjelasan Hilal. Arak-arakan pasukan itu meneruskan perjalanan menuju Syam.

Abdullah dan Jadah memasuki Masjid Rasulillah SAW, mengucapkan salam pada Umar dan Muslimiin. Lalu menyerahkan surat Abu Ubaidah, agar dibaca. Wajah Umar menjadi cerah setelah membaca surat. Lalu tangannya diangkat ke atas sambil berdoa, Allahumma, lindungilah Muslimiin dari kejahatan apa saja yang memiliki kejahatan.” Lalu perintah pada Muadzin agar menyerukan shalat berjamaah.
Di tengah jamaah, Umar membacakan surat Abu Ubaidah.
Kaum dari Chadramaut, kaum Hamdan pinggiran kota Yaman, kaum Madan, dan kaum Marib, berdatangan ke Madinah, untuk memohon agar diperbolehkan membantu perang kaum Muslimiin di Syam. 
Pada pimpinan rombongan, Umar bertanya, “Berapa jumlah pasukan yang datang kemari? Semoga Allah memberi Barakah pada kalian.”
Mereka menjawab, “Jumlah kami sekitar 400 pasukan berkuda, dan 300 binatang kendaraan, yang dikendarai berboncengan dan bergantian. Selain itu banyak pula yang berjalan kaki, dengan harapan Amirul Mukminiin meminjami kendaraan untuk ke sana.”
Umar bertanya, “Jumlah yang berjalan kaki berapa?.” 
Mereka menjawab, “Seratus empatpuluh orang.” 
Umar bertanya, “Apa ada orang yang dari pedesaan dan dari kalangan hamba-sahaya?.” 
Mereka menjawab, “Betul! Tetapi tuan mereka telah memberi ijin.”
Umar perintah putranya bernama Abdullah, “Pergilah menuju harta shadaqah! Mengambil 70 binatang kendaraan. Agar dikendarai bergantian dan dipergunakan membawa bekal oleh mereka ini!.” 
Abdullah bin Umar mengeluarkan dan menyerahkan binatang kendaraan untuk mereka, dan berkata, “Semoga Allah menyayang kalian, segeralah berangkat.” 


In syaa Allah bersambung



[1] Terkadang Manjaniq atau Majaniq diistilahkan katapult atau ballista. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar