Al-Waqidi tidak menjelaskan kenapa pasukan Muslimiin mengepung Baitul-Maqdis, dengan perasaan bahagia ? Mungkin karena mereka telah berhasil mengalahkan lautan pasukan Romawi di Yarmuk. Atau karena tahu bahwa Baitul-Maqdis yang istimewa itu telah berkali-kali diperebutkan oleh bangsa-bangsa besar. Banyak sekali Nabi AS yang asalnya dari kota itu. [1]
Waktu longgar, mereka habiskan untuk
shalat dan melihat jejak para Nabi AS. Terkadang di dalam benak mereka terbayang Peperangan Musa AS Melawan Kaum Jabbaariin (Amaliqah). Sehingga di
pagi indah itu; semua pimpinan mengimami shalat subuh, di beberapa
tempat, dengan Bacaan yang sama, “يَا
قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا
تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ [المائدة/21].”
Baca: Yaa
qaumidkhulul ardhal muqaddasatal latii kataba Allaahu lakum walaa tartadduu
‘alaa adbaarikum fatanqalibuu khaasiriin. [2]
Padahal mereka tidak pernah berjanjian akan membaca Ayat itu, di dalam shalat.
Padahal mereka tidak pernah berjanjian akan membaca Ayat itu, di dalam shalat.
Pengaruh dari
Ayat yang dibaca di dalam shalat subuh itu luar biasa, sehingga
orang-orang berkata, “Ayo kita mulai menyerbu, hai pasukan berkuda!.”
Yang
pertama kali menyerang, kaum Chimyar (حمير) dan sejumlah lelaki dari Yaman. Setelah itu banyak sekali yang
menyerbu dengan sengit.
Penduduk
Baitul-Maqdis telah siaga sepenuhnya. Dengan sengit mereka meluncurkan anak
panah bertubi-tubi, yang ditangkis oleh Muslimiin dengan perisai. Peperangan dengan
panah berlangsung mulai pagi hingga matahari tenggelam. Kericuhan berdarah itu
benar-benar mengusir sepi.
Malam
itu, pasukan Muslimiin melaksanakan shalat, istirahat, dan makan malam. Dan membakar
kayu yang mudah didapatkan di sana. Banyak di antara mereka yang membaca
Al-Qur’an; banyak pula yang berdoa. Yang tidur pulas karena terlalu capek juga
banyak.
Di pagi yang
cerah itu pasukan Muslimiin menyerbu lagi dengan menyebut dan menyanjung Allah,
dan membaca sholawat untuk Nabi, sebanyak-banyaknya. Pasukan berpanah maju dan
meluncurkan anak panah bertubi-tubi, sambil menyerukan Nama Allah bersama-sama.
Peperangan
dengan panah berlangsung hingga beberapa hari. Penduduk Baitul-Maqdis menampakkan diri seakan-akan berbahagia, karena beberapa hari serangan pasukan
Muslimiin atas mereka dipatahkan.
Telah
sebelas hari peperangan berkecamuk dengan sengit.
Tiba-tiba panji Abu Ubaidah muncul
dibawakan oleh Salim pelayannya. Di belakang panji itu arak-arakan pasukan
berkuda dan Pahlawan Tauhid Muslimiin berjumlah sangat banyak.
Di bagian
depan barisan, Abu Ubaidah diapit oleh Khalid bin Al-Walid di kanannya, Abdur Rohman bin Abi Bakr di kirinya.
Mereka memekikan tahlil dan takbir bersama-sama. Dunia sekan bergetar.
Mereka memekikan tahlil dan takbir bersama-sama. Dunia sekan bergetar.
Arak-arakan
di belakang mereka; dan Pasukan Muslimiin lain di beberapa tempat, menirukan
membaca tahlil dan takbir hingga suara mereka menggemuruh, seakan-akan
menggetarkan langit.
Penduduk Baitul-Maqdis ketakutan,
tokoh-tokoh dan bathriq-bathriq mereka memasuki gereja teragung yang disebut
Al-Qumamah. [3] Gereja kebanggaan itu peninggalan Hilanah, ibu suri
Raja Qusthanthin, yang hidup sekitar tahun 300 M.
Mereka menemui pimpinan yang mereka agung-agungkan,
karena ledakan takbir dari 35.000 Pasukan Berkuda Muslimiin itu, seakan-akan
menggoncang langit. “Wahai Bapa kami, pimpinan kaum itu telah datang kemari.
Gema yang membahana ini suara mereka,” kata mereka.
Wajah pimpinan memerah dan menjawab,
“Inilah, inilah.”
Mereka bertanya, “Apa maksud Bapa
yang agung?.”
Dia menjawab, “Demi kebenaran Injil,
jika pimpinan mereka telah datang, kita akan segera menderita.”
Mereka terkejut dan bertanya,
“Kenapa?.”
Dia menjawab,
“Menurut ilmu yang kami terima dari orang-orang dulu, yang akan merebut panjang
dan lebarnya dunia, lelaki agak hitam, sahabat
Nabi Muhammad SAW bernama Umar RA. Jika dia telah datang, kalian takkan mampu
melawan. Akan saya periksa dulu bagaimana perawakan dan ciri-ciri orang yang
datang itu. Jika betul dia orangnya, saya harus berdamai dengannya, untuk
mengabulkan keinginannya. Namun jika dia bukan yang saya maksud, saya takkan
sudi menyerahkan kota itu padaya. Karena yang akan mampu menaklukkan kota ini
hanya orang yang telah saya jelaskan pada kalian barusan. Wassalaam.” [4]
Pimpinan
yang menjadi pusat perhatian itu bangkit di hadapan ulama Nashrani, para rahib,
dan para tokoh agama yang disebut Syamamisah (الشمامسة).
Mereka
menaungi pimpinan agung itu dengan Salib; yang lain membaca Injil. Dia
bergerak, dikawal sejumlah bathriq menuju benteng yang di luarnya, Abu Ubaidah.
Dari atas
benteng; lelaki itu mengamati Abu Ubaidah yang dilindungi dan diagung-agungkan
oleh pasukan Muslimiin.
Beberapa
saat kemudian pasukan Muslimiin menyerbu lagi dengan sengit menakutkan.
Serangan mereka yang ganas berhenti setelah ada seruan, “Pasukan Muslimiin
semuanya! Berhenti! Ada pertanyaan penting yang harus segera dijawab!.”
Ketika peperangan berhenti, lelaki
dari Romawi berteriak dengan bahasa Arab, “Ketahuilah bahwa keterangan
lelaki yang akan mampu menaklukkan kota ini! Berada di tangan kami! Kalau
lelaki yang kami maksud adalah piminan kalian, kota ini akan kami serahkan pada
kalian. Tapi kalau bukan, kami takkan sudi menyerahkan kota ini untuk kalian!.”
Beberapa
pasukan Muslimiin memacu kuda menuju Abu Ubaidah untuk melaporkan teriakan yang
telah mereka dengar dari atas benteng.
Abu
Ubaidah memacu kudanya, mendekati benteng yang di atasnya ada penguasa
Baitul-Maqdis.
Penguasa itu mengamati Abu Ubaidah
lalu berteriak, “Bukan ini orang yang mampu menaklukkan kita. Berbahagialah!
Dan seranglah mereka untuk membela negeri, agama, dan wanita kalian!.”
Penduduk Baitul-Maqdis bersorak
menggemuruh, “Yaa!.”
Sebagian mereka berteriak, “Hore!”
Dengan bahagia.
Sebagian yang lain meneriakkan lafal
syirik, lalu melancarkan serangan dengan sengit.
Penguasa Baitul-Maqdis kembali lagi
pada Gereja Qumamah (القمامة), tidak menggubris Abu Ubaidah. Dia
perintah pasukannya agar menyebu Pasukan Muslimiin dengan panah.
Pada Abu Ubaidah yang datang dengan berkuda, Khalid bertanya, “Bagaimana khabarnya?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Yang saya
ketahui hanya ketika saya muncul di bawah benteng, ternyata di atasnya ada
syaitan yang menyesatkan penduduk Baitul-Maqdis. Orang itu hanya mengamati saya
lalu menoleh pada kaumnya. Setelah itu sorak-sorai orang-orang di dalam benteng
riuh menggemuruh, dan dia menghilang dari pandangan.”
Khalid berkata, “Sebentar lagi akan
kita saksikan akan ada apa,” lalu berteriak, “Serbu!” pada pasukan
Muslimiin.
Peperangan yang bergolak pada musim
dingin itu sangat seru. Awalnya kaum Baitul-Maqdis mengira Pasukan Muslimiin
takkan mampu bertahan menghadapi cuaca yang sangat dingin.
Namun ternyata mereka mampu bertahan dalam waktu lama. Pasukan Muslimiin pembawa panah berasal dari Yaman. Mereka tidak banyak berbicara, tetapi panah mereka meluncur bertubi-tubi bagai hujan.
Namun ternyata mereka mampu bertahan dalam waktu lama. Pasukan Muslimiin pembawa panah berasal dari Yaman. Mereka tidak banyak berbicara, tetapi panah mereka meluncur bertubi-tubi bagai hujan.
Pasukan Baitul-Maqdis terkejut dan
berjatuhan dari atas benteng tertembus anak panah mematikan. Yang lain sama
menangkiskan perisai mereka dari serangan anak panah mematikan.
Dhirar bin Al-Azwar bergerak
mendekati pintu gerbang terbesar yang di atasnya ada seorang bathriq agung
bernaung di bawah Salib dari jauhar.
Sejumlah pemuda pembawa busur mengawal bathriq penggerak pasukan Baitul-Maqdis.
Dhirar bersembunyi dan menarik busur
sekuat tenaga, membidikkan anak panah yang segera melesat sangat cepat, ke atas
dinding sangat tinggi.
Muhalhil yang mengamati meluncurnya
anak panah itu terheran-haran, menyaksikan anak panah menembus tepat pada mulut
bahtriq yang sedang terbuka. Bathriq terhuyung lalu jatuh ke bawah benteng.
Lafal, “Haa?!“ Yang keluar dari mulut pasukannya hampir serempak.
Sebetulnya Abu Ubaidah dan semua
Pasukan Muslimiin sangat kedinginan. Namun mereka bertahan dan menyerang dengan
garang.
Peperangan
telah berkecamuk selama 4 bulan penuh. Saat itu pasukan Baitul-Maqdis telah
berputus asa. Mereka datang ke Gereja teragung bernama Qumamah atau Qiyamah,
untuk menemui dan bersujud pada penguasa mereka. Mereka berkata, “Wahai Bapa,
hentikanlah serangan mereka dengan kekuatanmu. Kami ingin kau mengajukan permohonan
bala-bantuan pada Raja Hiraqla. Meskipun kami menyadari bahwa yang mulia Raja
Hiraqla sedang bersedih, karena barusan menderita kekalahan yang sangat besar
di dalam Perang Yarmuk. Kami menyadari bahwa pasukan Arab sangat hobi
berperang. Kami tidak sudi berbicara dengan mereka, karena kami jijik melihat
mereka. Tapi ternyata serangan mereka sangat dahsyat. Kami mohon agar engkau
mendatangi mereka untuk bertanya, apa tujuan mereka. Kalau kemauan mereka bisa
kita kabulkan, kami akan mengabulkan permintaan mereka. Tapi kalau permintaan
mereka berat, kami akan membuka pintu-pintu gerbang untuk menyerang mereka
mati-matian, agar mereka segera menyingkir atau mampus.”
Bathriq
penguasa Baitul-Maqdis mengenakan busana kebesaran, lalu bergerak menuju benteng,
dikawal sejumlah pasukan.
Yang berada di depan barisan, membawa
Salib. Para pendamping yang di sekelilingnya, para Ulama Nashrani dan Rahib.
Sejumlah Injil dibuka untuk dibaca, dan aroma parfum Bakhur semerbak menyengat
hidung.
Arak-arakan
panjang itu mengantar penguasa Baitul-Maqdis untuk naik benteng yang lurus diperkirakan
di bawahnya, Abu Ubaidah.
Seorang
utusan menyeru dengan bahasa Arab fasih, “Hai orang Arab semuanya! Tokoh agama
kami yang mengatur urusan kami telah datang kemari. Pimpinan kalian juga agar
kemari!.”
Beberapa
Muslimiin memacu kuda menuju Abu Ubaidah untuk menyampaikan laporan. Abu
Ubaidah menjawab, “Ya, demi Allah saya akan datang.”
Abu Ubaidah
dikawal oleh sejumlah tokoh, sahabat, dan penerjemah, mendatangi panggilan
bathriq.
Seorang
berteriak, “Apa tujuan kalian datang ke negeri Muqaddasah yang mulia ini? Orang
yang menyerang kami, akan dimurkai dan dibinasakan oleh Allah!.”
Yang diperintah agar menjawab oleh
Abu Ubaidah, penerjemahnya: “Katakan pada mereka ‘memang benar negeri ini
mulia. Dari negeri inilah Nabi kami dinaikkan ke langit dan mendekat pada
Tuhannya kira-kira berjarak dua busur atau lebih dekat. [5] Dan
negeri ini juga tempat tinggal dan tempat para Nabi AS dimakamkan. Kami lah
yang lebih berhak menguasai wilayah ini. Allah akan memberikan negeri ini pada
kami, sebagaimana Allah telah menyerahkan negeri lainnya pada kami.”
Penguasa Baitul-Maqdis bertanya,
“Katakan yang jelas, apa tujuan kalian kemari?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Di antara tiga
pilihan: Katakan ‘laa Ilaaha illaa Allah wahdahu laa syariika laH.
Wa inna Muhammadan AbduHu wa RasuuluH.
Jika kalian mengabulkan ajakan ini, kalian memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan kami’.”
Dia menyela, “Itu kalimat agung yang
telah kami ucapkan. Tetapi mengenai Kerasulan Muhammad, kami tidak mengakui.”
Abu Ubaidah membentak, “Kau bohong!
Hai Musuh Allah! Kau belum bertauhid. Allah yang menjelaskan pada kami di dalam
Kitab-Nya bahwa kalian mengatakan ‘Al-Masih Putra Allah’. Tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah yang jauh lebih Suci dan lebih Kuasa daripada
yang dijelaskan oleh kaum Aniaya.”
Dia menjawab, “Permintaan yang ini,
kami tidak akan mengabulkan, lalu apa yang kedua?.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalian berdamai
dengan kami dengan syarat kalian memberikan pajak, dalam keadaan hina, seperti
penduduk kota Syam selain ini.”
Dia menjawab, “Yang ini lebih berat
lagi, sejak dulu kami tak mau dihinakan.”
Abu Ubaidah berkata, “Kalau begitu
kami akan menyerang kalian hingga Allah memberi kami Kemenangan, untuk
memperbudak anak dan istri kalian. Dan untuk memerangi orang yang berbeda faham
dengan faham Tauhid.”
Dia menjawab, “Kami tidak mungin
menyerahkan kota ini pada kalian, meskipun harus mati semuanya. Kau jangan
bermimpi! Peralatan perang telah kami persiapkan semuanya, pahlawan kami yang
gagah berani juga telah kami kerahkan. Kemampuan kami di atas kaum yang telah
kalian taklukkan, hingga menyerahkan pajak pada kalian itu. Mereka itu
kaum-kaum yang pernah dimurkai oleh Al-Masih. Sedangkan kami, kaum yang tinggal
di kota suci yang dulu; jika Al-Masih berdoa di dalamnya pasti dikabulkan.”
Abu Ubaidah membentak, “Demi Allah
kau bohong! Hai Musuh Allah! Al-Masih bin Maryam, seorang Rasul. Sebelum beliau
juga pernah ada Rasul-Rasul. Ibu beliau wanita Sangat Jujur. Mereka berdua juga
makan makanan seperti umumnya manusia.” [6]
Dia bersumpah, “Saya bersumpah,
meskipun kalian memerangi kami mati-matian hingga 20 tahun, tetap takkan mampu
merebut negeri ini. Yang akan mampu merebut negeri ini, lelaki yang sifatnya
tertulis di dalam kitab kami. Dan orang itu bukanlah kau.”
Abu Ubaidah terperangah dan bertanya,
“Bagaimana sifatnya orang itu?.”
Dia menjawab, “Sebetulnya kami
keberatan membuka rahasia ini pada kalian. Dia sahabat Muhammad SAW yang
bernama Umar, yang disebut-sebut sebagai Al-Faruq. Dia sangat tegas, tak peduli
dicaci dan dicela. Di sini tidak ada orangnya.”
Abu Ubaidah berpikir sambil
tersenyum, lalu berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, negeri ini akan kami rebut.”
Abu Ubaidah bertanya, “Apakah jika
kau melihat orangnya akan mengenalnya?.”
Dia menjawab, “Pasti. Bagaimana
mungkin kami tidak mengenal dia yang sifatnya, umurnya, dalam jumlah tahun dan
hari, tertulis di dalam kitab kami?.”
Abu Ubaidah bersumpah, “Demi Allah
beliau adalah Khalifah dan sahabat Nabi kami SAW.”
Dia berkata, “Jika perkataanmu benar,
berarti kau juga tahu bahwa ucapan kami juga benar. Hentikan peperangan kita!
Sekarang undanglah pimpinanmu itu agar kemari. Jika kami telah menyaksikan dia
yang tertulis di dalam kitab kami, kami akan membukakan negeri kami untuknya.
Kalian tidak perlu bersusah payah, negeri ini akan kami serahkan pada kalian,
bahkan kami akan menyerahkan pajak pada kalian.”
Abu Ubaidah berkata, “Saya akan
memohon agar beliau datang kemari. Sebelumnya peperangan kita lanjutkan apa
kita hentikan?.”
Dia menjawab dengan geregetan, “Kau
ini bagaimana tho?! Saya
menjelaskan rahasia dengan jujur ini, agar peperangan kita berhenti! Tapi
kenapa kalian justu masih ingin menyerang?.”
Abu Ubaidah menjawab, “Memang kami
lebih senang berperang daripada hidup, karena berharap diberi Ampunan oleh
Tuhan.”
Abu Ubaidah bertriak, “Hai semuanya!
Hentikan serangan kalian!.”
Dia dan seluruh pengawalnya kembali
pulang.
Abu Ubaidah mengumpulkan dan memberi tahu
para tokoh, mengenai ucapan pimpinan Baitul-Maqdis. Pasukan
Muslimiin memekikkan tahlil dan takbir karena terlalu bahagia.
Lalu mereka berkata, “Yang mulia, laksanakan permintaan dia. Berilah tahu pada Amirul Mukminiin mengenai ini semua. Agar beliau mau datang kemari untuk merebut negeri ini untuk kita.”
Lalu mereka berkata, “Yang mulia, laksanakan permintaan dia. Berilah tahu pada Amirul Mukminiin mengenai ini semua. Agar beliau mau datang kemari untuk merebut negeri ini untuk kita.”
Mereka diam ketika Syurachbil
berkata, “Sabar dulu! Kami akan berkata pada mereka bahwa sesungguhnya sang
Khalifah telah berada di pertengahan kami. Setelah itu kita menyuruh agar
Khalid yang maju menghadapi mereka. Kalau mereka telah menyaksikan Khalid yang
mirip sekali dengan Baginda Umar, pasti mereka segera membukakan pintu gerbang
untuk kita. Itulah cara paling mudah untuk menipu, agar kita dapat memasuki
negeri ini dengan mudah.”
Di pagi yang indah itu, seorang
penerjemah datang untuk berteriak, “Khalifah telah datang!.”
Arak-arakan Pasukan Berkuda Muslimiin
panjang sekali datang mendekati pintung gerbang sambil berteriak, “Lelaki yang
kalian tunggu telah datang!.”
Beberapa orang di dalam benteng
berlari untuk memberi tahu penguasa mereka. Bathriq penguasa negeri itu menaiki
benteng untuk berteriak, “Mintalah agar beliau maju! Agar kami bisa melihat
beliau!.”
Khalid maju ke depan, diamati oleh
penguasa Baitul-Maqdis.
Setelah mengamati dengan seksama, dia berkata, “Dia mirip sekali, tetapi tanda-tanda lainnya tidak dia miliki.”
Setelah mengamati dengan seksama, dia berkata, “Dia mirip sekali, tetapi tanda-tanda lainnya tidak dia miliki.”
Lalu bersumpah, “Demi kebenaran
agamamu, siapakah kau?.”
In syaa Allah bersambung
[1] Silahkan baca Futuchussyam (فتوح الشام - (ج 1 /
ص 181)).
[2] Artinya: Ya kaumku, masuklah bumi Muqaddasah
yang telah Allah tulis untuk kalian! Jangan kembali atas pantat-pantat kalian,
karena berarti kalian kembali dalam keadaan rugi.
[3] Bathriq (Patriak : Kepala Gereja yang membawahi
minimal 5.000 lelaki dewasa).
[4]
Dalam kitabnya, Al-Waqidi menulis: فتوح الشام - (ج 1 / ص 181)
قالوا: وكيف ذلك؟ قال: لأنا نجد في العلم الذي ورثناه عن
المتقدمين أن الذي يفتح الأرض في الطول والعرض هو الرجل الأسمر الأحور المسمى بعمر
صاحب نبيهم محمد، فإن كان قد قدم فلا سبيل لقتاله ولا طاقة لكم بنواله ولا بد لي
أن أشرف عليه وأنظر إليه وإلى صورته، فإن كان إياه عمدت إلى مصالحته وأجبته إلى ما
يريد، وإن كان غيره فلا نسلم إليه قط لأن مدينتنا لا تفتح إلا على يد من ذكرته لكم
والسلام
[5] Abu Ubaidah dan Anas RA menyangka
yang diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Lalu dia mendekat berjarak dua
busur atau lebih dekat” Nabi mendekat pada Allah. Sedangkan
Aisyah dan lainnya RA meyakini, “Itu Nabi mendekat pada Jibril SAW.”
Bukhari meriwayatkan ucapan Aisyah RA: صحيح البخاري - (ج 11 / ص 12)
2996 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ
ابْنِ الْأَشْوَعِ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَأَيْنَ قَوْلُهُ{ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى فَكَانَ قَابَ
قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى } قَالَتْ ذَاكَ جِبْرِيلُ كَانَ
يَأْتِيهِ فِي صُورَةِ الرَّجُلِ وَإِنَّهُ أَتَاهُ هَذِهِ الْمَرَّةَ فِي
صُورَتِهِ الَّتِي هِيَ صُورَتُهُ فَسَدَّ الْأُفُقَ
Arti (selain
isnad)nya:
Masruq
bertanya pada Aisyah RA, “Lalu di mana kedudukan FirmanNya ‘lalu dia
mendekat. Maka konon (saat itu) berjarak dua busur atau lebih dekat?’.”
Aisyah
berkata, “Itu Jibril AS. Sebelumnya Jibril datang pada Nabi RA di dalam bentuk lelaki.
Namun kali ini sungguh dia di dalam bentuknya yang fisiknya memenuhi ufuk
(langit).”
Mulungan Sleman Yogyakarta Indonesia Ponpes Kutubussittah Mulya Abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar