Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/06/16

PS 135: Pembebasan Syam


Dakwah ke Baitul-Maqdis (1)


Baitul-Maqdis wilayah yang sejak zaman kuno diperebutkan oleh berbagai bangsa. Hanya Allah yang tahu pasti telah berapa kali, diperebutkan oleh manusia? Nabi Musa AS juga pernah diperintah oleh Allah, agar berdakwah dan memerangi kaum Jabbaariin (Amaliqah) yang tinggal di sana.
Nabi Yusya (Yosua) pengganti Nabi Musa AS juga pernah memerangi kaum Jabbaariin yang tinggal di sana, dengan sengit. Waktu itu Yusya AS berkata, “Hai matahari! Kau hamba yang diberi tugas oleh Allah seperti diriku” pada matahari yang hampir tenggelam. Lalu berdoa, “Ya Allah hentikan matahari, agar tidak tenggelam dulu.”
Subhanallah, matahari benar-benar berhenti selama satu jam.



Mereka menjawab, “Sebaiknya dakwah ke Qaisariyah (قَيْسَارِيَّة).” [1]
Banyak juga yang menjawab, “Sebaiknya ke Baitul-Maqdis.”
Abu Ubaidah bertanya, “Jawablah yang kompak! Kemana?.”
Beberapa orang menjawab, “Baginda orang kepercayaan, ke manapun pergi, kami pasti akan mengikuti.”
Banyak orang memperhatikan Muadz bin Jabal berkata pada Abu Ubaidah, “Bertanyalah pada Umar Amiral Mukminiin, mengenai Baginda harus ke mana? Laksanakan perintahnya, dan berdoalah agar Allah memberi Pertolongan.”
Abu Ubaidah membenarkan Muadz, “Usulanmu tepat!.”
Dengan senang hati Afrajah dan teman-temannya mengantar surat, ke Madinah.

Seusai membaca surat, Umar RA mengajak kaum Muslimiin untuk bermusyawarah mengenai penentuan tugas’ atas Abu Ubaidah.
Ali RA mengusulkan, “Ya Amiral Mukminiin, tugaskanlah dia agar berdakwah dan mengepung Baitul-Maqdis, dan memerangi penduduknya yang tidak mengesakan Allah. Ini yang paling tepat. Jika Baitul-Maqdis telah direbut, baru pergi ke Qaisariyah. In syaa Allah Qaisariyah akan segera direbut setelah itu. Rasulullah SAW pernah bersabda padaku tentang itu.”
Umar membenarkan, “Kau benar, Ayah Chasan.” 

Lalu menulis:

بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Hamba Allah, Umar bin Khatthab, untuk Abu Ubaidah, pegawainya di Syam. Ammaa bakdu:

Surat dilipat lalu diberikan pada Arfajah, agar segera diantarkan  pada Abu Ubaidah yang saat itu sedang di Jabiyah (الجابية).

Abu Ubaidah membuka dan membacakan surat pada pasukan Muslimiin. Mereka berbahagia karena diperintah ke Baitul-Maqdis. Abu Ubaidah memanggil untuk perintah Khalid, agar membawa panji dan memimpin 5.000 pasukan berkuda andalan yang disebut pasukan Zachf (الزحف). Mereka diperintah agar segera pergi ke Baitul-Maqdis.

Di hari berikutnya, Abu Ubaidah memanggil dan menyerahkan panji pada Yazid bin Abi Sufyan. Lalu menyuruh dia agar membawa 5.000 pasukan berkuda untuk menyusul Khalid bin Al-Walid. Sebelum mereka berangkat, Abu Ubaidah berpesan, “Hai putra Abu Sufyan yang baik hati, jika kau telah sampai Iliyak (إيلياء /Baitullah), bertahlil dan bertakbirlah! Dan berdoalah dengan berwasilah pada wajah nabi, para nabi SAW, dan para orang shalih! Agar Allah mempermudahkan menaklukkan penduduknya untuk kita.” [2]
Yazid mengiyakan perintah, dan menerima panji dari Abu Ubaidah. Selanjutnya menggiring arak-arakan pasukannya menuju Baitul-Maqdis, menyusul Khalid dan pasukannya.

Di hari ketiga Abu Ubaidah memanggil Syurachbil bin Chasanah penulis Wahyu Rasulillah SAW, untuk diperintah ‘membawa panji’ dan dan memimpin 5.000 pasukan berkuda dari Yaman. Pada Syurachbil, Abu Ubaidah berpesan, “Ajaklah pasukan ini menuju Baitul-Maqdis! Tapi jangan bergabung dengan pasukan sebelummu!.”
Arak-arakan pasukan berkuda di bawah pimpinannya mengalir, membuat debu-debu berterbangan, dan manusia ketakutan.

Di hari keempat, Abu Ubaidah memanggil Marqal bin Hasyim bin Utbah, untuk diserahi panji, dan agar memimpin lebih dari 5.000 pasukan berkuda. Abu Ubaidah berpesan pada Marqal, “Kau bertugas mengepung benteng di sana! Dan jangan bergabung dengan pasukan sebelummu!.”

Marqal dan pasukan berkudanya berarak-arak panjang sekali. Derap kaki kuda mereka mengusir sepi dan menerbangakan debu-debu yang tadinya diam.

Panji kelima diserahkan pada Musayyab bin Najiyah Al-Fazari, pada hari kelima. Musayyab diperintah memimpin 5.000 pasukan berkuda, untuk menyusul pasukan sebelumnya. Pasukan dia yang berasal dari Annakha (النخع) dan kabilah lainnya, berak-arak panjang sekali, menyusul pasukan-pasukan sebelumnya.

Di hari keenam, panji keenam dipasang oleh Abu Ubaidah, untuk diserahkan pada Qais bin Hubairah yang akan diperintah memimpin 5.000 pasukan berkuda, menyusul pasukan yang telah berangkat.
Qais dan pasukannya mengalir berkelok-kelok menyusuri jalan, dan derap kaki kuda mereka menggemuruh.

Urwah dan pasukannya memacu kuda mereka. hingga kaum sepanjang jalan yang dilewati terperangah takjub atau takut.


Yang pertama kali sampai ke Baitul-Maqdis, Khalid dan pasukannya, yang menggemakan takbir dengan bahagia.
Penduduk Baitul-Maqdis terkejut takut saat mendengar pekikan takbir dari 5.000 pasukan berkuda. Mereka memanjat benteng untuk menengok pasukan Khalid yang akhirnya mereka anggap sangat sedikit. Mereka menyangka pasukan Muslimiin hanya sejumlah itu.

Khalid membawa pasukannya menuju pintu gerbang Baitul-Maqdis yang bernama Jericho / Aricha (أريحاء).

Di hari kedua, penduduk Baitul-Maqdis terkejut lagi oleh datangnya Yazid dan 5.000 pasukannya yang berbondong-bondong, memekikkan takbir dan tahlil menggemuruh.

Di hari ketiga, mereka makin terkejut karena Syurachbil dan 5.000 pasukan berkudanya mengalir berdatangan, dengan takbir menggemuruh.

Di hari keempat, mereka bertambah panik karena arak-arakan Marqal dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan dengan membaca takbir, menggetarkan perasaan.

Di hari kelima, napas mereka menjadi sesak karena ketakutan saat melihat Musayyab bin Najiyah dan 5.000 pasukan berkudanya yang gagah berani berdatangan untuk meledakkan takbir.

Telah beberapa hari pasukan Muslimiin mengepung, namun tak seorang pun dari penduduk Baitul-Maqdis datang untuk menanyakan tujuan kedatangan mereka. Tetapi penduduk Baitul-Maqdis memasang alat pelempar batu yang disebut Majaniq (المجانيق). Membawa pedang dan perisai, dan berhelm perang yang diberi pelindung leher dari anyaman besi.

Baitul-Maqdis yang indah, meskipun penduduknya panik dan ketakutan, tetapi bergaya tidak takut. Tidak seperti kaum-kaum Syam sebelumnya tampak panik ketika melihat pasukan Muslimiin berdatangan. Bahkan pasukan Baitul-Maqdis menambah jumlah pasukan bersenjata yang berjaga.
   
Seorang Muslim dari kampung bertanya pada Syurachbil, “Wahai pimpinan kami! Sepertinya penduduk kota ini tuli, bisu, dan buta! Sebaiknya mereka segera kita serbu untuk kita habisi!.”
Namun Syurachbil tidak mengabulkan permintaannya.

Di pagi yang cerah itu, telah lima hari Baitul-Maqdis dikepung oleh pasukan Muslimiin. Yazid bin Abi Sufyan menghunus pedang dan memacu kudanya untuk menyeru penduduk Baitul-Maqdis. Melalui penerjemahnya dia berkata, “Katakan pada mereka ‘pimpinan kaum Arab bertanya maukah kalian diajak Islam dan benar? Dan mengucapkan laa Ilaaha illaa Allah, Muhammadun Rasul Allah? Agar Tuhan kita mengampuni kesalahan kalian yang telah lalu! Dan agar darah kalian aman!? Jika kalian menolak! Maka ajukanlah permohonan damai pada kami! Seperti penduduk-penduduk kota lainnya, yang pertahan mereka lebih kuat daripada kalian! Jika keduanya ini kalian tolak, maka kalian berhak dirusak dan akan terjerumus ke neraka’.”

Penerjemah mendatangi penduduk untuk berkata, “Siapa yang akan mewakili menjawab kalian?.”
Seorang alim Nashrani mengenakan baju berbahan bulu, berkata, “Saya yang akan mewakili! Apa maumu?.”
Penerjemah berkata, “Pimpinan Arab ini berpesan begini-begini. Dan menyuruh kalian agar memilih di antara tiga:
1.     Masuk Islam.
2.     Menyerahkan pajak.
3.     Berperang.”

Alim Nashrani itu segera menyampaikan pesan Yazid pada kaumnya. Kaum yang berada di dalam benteng itu ricuh menggemuruh karena marah. Mereka melafalkan kalimat kafir, dan berkata, “Kami takkan murtad dari agama kami yang luhur! Kami lebih baik mati daripada murtad!.”

Penerjemah menyampaikan jawaban kaum Baitul-Maqdis pada Yazid. 
Yazid mendatangi pimpinan Muslimiin lainnya untuk membicarakan jawaban kaum Baitul-Maqdis. Lalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian hanya diam, tidak segera menyerang mereka?.”
Rekan-rekan Yazid menjawab, “Karena Abu Ubaidah tidak perintah agar kita menyerang mereka. Beliau kita tanya dulu melalui surat, kita harus bagaimana? Jika beliau perintah agar kita menyerbu, baru kita menyerbu.”

Yazid menulis surat untuk Abu Ubaidah. Melalui surat itu dia menjelaskan jawaban kaum Baitul-Maqdis, dan bertanya, “Selanjutnya Pimpinan perintah kami agar bagaimana?.”
Abu Ubaidah menjawab dengan surat, “Seranglah! Saya juga akan segera datang kesitu.”

Setelah surat Abu Ubaidah dibacakan, pasukan Muslimiin bergembira. Mereka menunggu datangnya subuh.

Di hari keenam, hati kaum Baitul-Maqdis kacau-balau karena melihat Qais dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan sambil meneriakkan takbir.

Di hari ketujuh, mereka hampir tak percaya saat melihat Urwah dan 5.000 pasukan berkudanya memenuhi jalan sangat panjang, menuju kota mereka yang bernama Ramlah (الرملة). Mereka memekikkan takbir menggelegar. [3] Semua pasukan Muslimiin telah berdoa, agar Allah menolong mengalahkan lawan.


In syaa Allah bersambung

[1] (قَيْسَارِيَّة) sering disebut, “Caesarea.”
[2] Sebagian ulama berpendapat ‘berdoa dengan wasilah Nabi Muhammad’ haram.
[3] Kota Ramlah masyhur di kalangan Muhadditsiin, karena Ahmad meriwayatkan nama itu di dalam kitabnya: مسند أحمد - (ج 32 / ص 290)
15493 - حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَاه أَبِي عَنْهُ وَهُوَ حَيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا حُجْرُ بْنُ الْحَارِثِ الْغَسَّانِيُّ مِنْ أَهْلِ الرَّمْلَةِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الْكِنَانِيِّ وَكَانَ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَلَى الرَّمْلَةِ أَنَّهُ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar