Dakwah ke Baitul-Maqdis (1)
Baitul-Maqdis wilayah yang sejak zaman kuno diperebutkan oleh berbagai bangsa. Hanya Allah yang tahu pasti
‘telah berapa kali, diperebutkan oleh manusia? Nabi Musa AS juga pernah diperintah
oleh Allah, agar berdakwah dan memerangi kaum Jabbaariin (Amaliqah) yang
tinggal di sana.
Nabi Yusya (Yosua) pengganti
Nabi Musa AS juga pernah memerangi kaum Jabbaariin yang tinggal di sana, dengan
sengit. Waktu itu Yusya AS berkata, “Hai matahari! Kau hamba yang diberi tugas oleh Allah seperti diriku” pada matahari yang hampir tenggelam. Lalu berdoa, “Ya Allah hentikan
matahari, agar tidak tenggelam dulu.”
Subhanallah, matahari benar-benar berhenti selama satu jam.
Telah satu
bulan tinggal di Damaskus (Dimasqa/دمشق),
Abu Ubaidah mengumpulkan tokoh Muslimiin, utuk berkata, “Sebaiknya apa yang saya lakukan setelah ini?.”
Mereka menjawab, “Sebaiknya dakwah ke Qaisariyah (قَيْسَارِيَّة).” [1]
Banyak juga
yang menjawab, “Sebaiknya ke Baitul-Maqdis.”
Abu Ubaidah
bertanya, “Jawablah yang kompak! Kemana?.”
Beberapa orang menjawab, “Baginda orang
kepercayaan, ke manapun pergi, kami pasti akan mengikuti.”
Banyak orang memperhatikan
Muadz bin Jabal berkata pada Abu Ubaidah, “Bertanyalah pada Umar Amiral Mukminiin,
mengenai Baginda harus ke mana? Laksanakan perintahnya, dan berdoalah agar Allah
memberi Pertolongan.”
Abu Ubaidah membenarkan Muadz,
“Usulanmu tepat!.”
Lalu dia mengirimkan surat
untuk bertanya pada Umar RA. Pengantar surat, Afrajah bin Nashich Annakhai (عفرجة بن ناصح النخعي).
Seusai membaca surat, Umar RA
mengajak kaum Muslimiin untuk bermusyawarah mengenai ‘penentuan tugas’ atas Abu
Ubaidah.
Ali RA mengusulkan, “Ya Amiral
Mukminiin, tugaskanlah dia agar berdakwah dan mengepung Baitul-Maqdis, dan
memerangi penduduknya yang tidak mengesakan Allah. Ini yang paling tepat. Jika
Baitul-Maqdis telah direbut, baru pergi ke Qaisariyah. In syaa Allah
Qaisariyah akan segera direbut setelah itu. Rasulullah SAW pernah bersabda padaku
tentang itu.”
Umar membenarkan, “Kau benar,
Ayah Chasan.”
Lalu menulis:
بسم الله الرحمن الرحيم
Surat dilipat lalu diberikan pada Arfajah, agar segera diantarkan pada Abu
Ubaidah yang saat itu sedang di Jabiyah (الجابية).
Abu Ubaidah membuka dan membacakan surat pada pasukan Muslimiin. Mereka berbahagia karena diperintah
ke Baitul-Maqdis. Abu Ubaidah memanggil untuk perintah Khalid, agar membawa
panji dan memimpin 5.000 pasukan berkuda andalan yang disebut pasukan Zachf
(الزحف). Mereka
diperintah agar segera pergi ke Baitul-Maqdis.
Di hari
berikutnya, Abu Ubaidah memanggil dan menyerahkan panji pada Yazid bin Abi Sufyan. Lalu menyuruh dia agar membawa 5.000 pasukan berkuda untuk menyusul
Khalid bin Al-Walid. Sebelum mereka berangkat, Abu Ubaidah berpesan, “Hai putra
Abu Sufyan yang baik hati, jika kau telah sampai Iliyak (إيلياء /Baitullah), bertahlil dan bertakbirlah! Dan berdoalah dengan berwasilah pada wajah nabi, para nabi SAW, dan para
orang shalih! Agar Allah
mempermudahkan menaklukkan penduduknya untuk kita.” [2]
Yazid mengiyakan perintah, dan menerima panji dari Abu Ubaidah. Selanjutnya
menggiring arak-arakan pasukannya menuju Baitul-Maqdis, menyusul Khalid dan
pasukannya.
Di hari
ketiga Abu Ubaidah memanggil Syurachbil bin Chasanah penulis Wahyu Rasulillah
SAW, untuk diperintah ‘membawa panji’ dan dan memimpin 5.000 pasukan berkuda
dari Yaman. Pada Syurachbil, Abu Ubaidah berpesan, “Ajaklah pasukan ini menuju
Baitul-Maqdis! Tapi jangan bergabung dengan pasukan sebelummu!.”
Arak-arakan pasukan berkuda di
bawah pimpinannya mengalir, membuat debu-debu berterbangan, dan
manusia ketakutan.
Di hari keempat, Abu Ubaidah memanggil Marqal bin Hasyim bin Utbah, untuk diserahi panji, dan agar memimpin
lebih dari 5.000 pasukan berkuda. Abu Ubaidah berpesan pada Marqal, “Kau
bertugas mengepung benteng di sana! Dan jangan bergabung dengan
pasukan sebelummu!.”
Marqal dan pasukan berkudanya
berarak-arak panjang sekali. Derap kaki kuda mereka mengusir sepi dan
menerbangakan debu-debu yang tadinya diam.
Panji kelima diserahkan pada
Musayyab bin Najiyah Al-Fazari, pada hari kelima. Musayyab
diperintah memimpin 5.000 pasukan berkuda, untuk menyusul pasukan
sebelumnya. Pasukan dia yang berasal dari Annakha (النخع) dan kabilah lainnya, berak-arak panjang sekali, menyusul
pasukan-pasukan sebelumnya.
Di hari
keenam, panji keenam dipasang oleh Abu Ubaidah, untuk diserahkan pada Qais bin
Hubairah yang akan diperintah memimpin 5.000 pasukan berkuda, menyusul pasukan
yang telah berangkat.
Qais dan pasukannya mengalir
berkelok-kelok menyusuri jalan, dan derap kaki kuda mereka menggemuruh.
Di hari ketujuh, Abu Ubaidah menyerahkan panji pada Urwah bin Muhalhil (عروة بن مهلهل) yang akan disuruh memimpin 5.000 pasukan
berkuda.
Urwah dan pasukannya memacu
kuda mereka. hingga kaum sepanjang jalan yang dilewati ‘terperangah takjub’ atau takut.
Yang pertama kali sampai ke
Baitul-Maqdis, Khalid dan pasukannya, yang menggemakan takbir
dengan bahagia.
Penduduk Baitul-Maqdis
terkejut takut saat mendengar pekikan takbir dari 5.000 pasukan berkuda. Mereka
memanjat benteng untuk menengok pasukan Khalid yang akhirnya mereka anggap ‘sangat
sedikit’. Mereka menyangka pasukan Muslimiin hanya sejumlah itu.
Khalid membawa pasukannya
menuju pintu gerbang Baitul-Maqdis yang bernama Jericho / Aricha (أريحاء).
Di hari kedua, penduduk
Baitul-Maqdis terkejut lagi oleh datangnya Yazid dan 5.000 pasukannya yang
berbondong-bondong, memekikkan takbir dan tahlil ‘menggemuruh’.
Di hari ketiga, mereka
makin terkejut karena Syurachbil dan 5.000 pasukan berkudanya mengalir
berdatangan, dengan takbir ‘menggemuruh’.
Di hari keempat, mereka
bertambah panik karena arak-arakan Marqal dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan
dengan membaca takbir, menggetarkan perasaan.
Di hari
kelima, napas mereka menjadi sesak karena ketakutan saat melihat Musayyab bin
Najiyah dan 5.000 pasukan berkudanya yang gagah berani berdatangan untuk
meledakkan takbir.
Telah beberapa hari pasukan
Muslimiin mengepung, namun tak seorang pun dari penduduk Baitul-Maqdis datang
untuk menanyakan tujuan kedatangan mereka. Tetapi penduduk Baitul-Maqdis
memasang alat pelempar batu yang disebut Majaniq (المجانيق). Membawa pedang dan perisai, dan berhelm perang yang diberi pelindung leher
dari anyaman besi.
Baitul-Maqdis yang indah,
meskipun penduduknya panik dan ketakutan, tetapi bergaya tidak takut. Tidak
seperti kaum-kaum Syam sebelumnya ‘tampak panik’ ketika
melihat pasukan Muslimiin berdatangan. Bahkan pasukan Baitul-Maqdis menambah
jumlah pasukan bersenjata yang berjaga.
Seorang Muslim dari kampung
bertanya pada Syurachbil, “Wahai pimpinan kami! Sepertinya penduduk kota ini tuli, bisu, dan buta!
Sebaiknya mereka segera kita serbu untuk kita habisi!.”
Namun
Syurachbil tidak mengabulkan permintaannya.
Di pagi yang
cerah itu, telah lima hari Baitul-Maqdis dikepung oleh pasukan Muslimiin. Yazid bin Abi Sufyan menghunus pedang dan memacu kudanya untuk
menyeru penduduk Baitul-Maqdis. Melalui penerjemahnya dia berkata, “Katakan pada
mereka ‘pimpinan kaum Arab bertanya maukah kalian diajak ‘Islam dan
benar? Dan mengucapkan laa Ilaaha illaa Allah, Muhammadun
Rasul Allah?’ Agar Tuhan kita mengampuni kesalahan kalian yang telah lalu! Dan agar darah kalian aman!? Jika
kalian menolak! Maka ajukanlah permohonan damai pada kami! Seperti
penduduk-penduduk kota lainnya, yang pertahan mereka lebih kuat daripada
kalian! Jika keduanya ini kalian tolak, maka kalian berhak dirusak dan akan
terjerumus ke neraka’.”
Penerjemah
mendatangi penduduk untuk berkata, “Siapa yang
akan mewakili menjawab kalian?.”
Seorang alim Nashrani mengenakan baju berbahan bulu, berkata,
“Saya yang akan mewakili! Apa maumu?.”
Penerjemah berkata, “Pimpinan
Arab ini berpesan begini-begini. Dan menyuruh kalian agar memilih di antara
tiga:
1. Masuk Islam.
2. Menyerahkan pajak.
3. Berperang.”
Alim Nashrani itu segera
menyampaikan pesan Yazid pada kaumnya. Kaum yang berada di dalam benteng itu
ricuh menggemuruh karena marah. Mereka melafalkan kalimat kafir, dan
berkata, “Kami takkan murtad dari agama kami yang luhur! Kami lebih
baik mati daripada murtad!.”
Penerjemah menyampaikan
jawaban kaum Baitul-Maqdis pada Yazid.
Yazid mendatangi pimpinan Muslimiin lainnya untuk membicarakan jawaban kaum Baitul-Maqdis. Lalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian hanya diam, tidak segera menyerang mereka?.”
Yazid mendatangi pimpinan Muslimiin lainnya untuk membicarakan jawaban kaum Baitul-Maqdis. Lalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian hanya diam, tidak segera menyerang mereka?.”
Rekan-rekan Yazid menjawab,
“Karena Abu Ubaidah tidak perintah agar kita menyerang mereka. Beliau kita
tanya dulu melalui surat, kita harus ‘bagaimana?’ Jika beliau
perintah agar kita menyerbu, baru kita menyerbu.”
Yazid menulis surat untuk Abu
Ubaidah. Melalui surat itu dia menjelaskan jawaban kaum Baitul-Maqdis, dan
bertanya, “Selanjutnya Pimpinan perintah kami agar bagaimana?.”
Abu Ubaidah menjawab dengan
surat, “Seranglah! Saya juga akan segera datang kesitu.”
Setelah surat Abu Ubaidah
dibacakan, pasukan Muslimiin bergembira. Mereka menunggu datangnya subuh.
Di hari keenam, hati kaum
Baitul-Maqdis kacau-balau karena melihat Qais dan 5.000 pasukan berkudanya berdatangan sambil
meneriakkan takbir.
Di hari
ketujuh, mereka hampir tak percaya saat melihat Urwah dan 5.000 pasukan
berkudanya memenuhi jalan sangat panjang, menuju kota mereka yang bernama
Ramlah (الرملة). Mereka memekikkan takbir menggelegar. [3] Semua pasukan Muslimiin telah berdoa, agar Allah menolong
mengalahkan lawan.
In syaa Allah bersambung
[2] Sebagian
ulama berpendapat ‘berdoa dengan wasilah Nabi Muhammad’ haram.
[3] Kota Ramlah masyhur di
kalangan Muhadditsiin, karena Ahmad meriwayatkan nama itu di dalam
kitabnya: مسند أحمد -
(ج 32 / ص 290)
15493 - حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ
قَالَ عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَاه أَبِي عَنْهُ وَهُوَ حَيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا
حُجْرُ بْنُ الْحَارِثِ الْغَسَّانِيُّ مِنْ أَهْلِ الرَّمْلَةِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الْكِنَانِيِّ وَكَانَ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ عَلَى الرَّمْلَةِ أَنَّهُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar