Mahan kembali menuju lautan pasukan yang telah bertambah banyak. Dalam dewan perang itu, sejumlah bathriq, para
rahib, dan para ulama Nasrani,
berkumpul, menemani Mahan makan-makan.
Di
pesta yang dihadiri oleh pejabat tinggi itu, Mahan tak menyentuh makanan sama
sekali. Hatinya gundah karena mimpi yang dialami dan disampaikan dengan
berbisik oleh bathriq itu,
terus hadir dalam benaknya.
Sebetulnya
sejak awal, Mahan lebih senang jika tidak ditunjuk sebagai Panglima Besar, yang
harus memimpin perang lebih dari sejuta pasukan berkuda itu. Dia lebih senang berdamai dengan kaum Arab, meskipun harus membayar pajak dan hina. Tetapi
hampir semua batriq memohon agar
peperangan melawan kaum Arab dilaksanakan.
Sejumlah
petinggi militer dan tokoh besar agama, memberanikan diri mendekati, untuk
bertanya “Apa yang membuat yang mulia tidak berselera makan? Kalau karena tewasnya pasukan tuan yang berjumlah banyak, besok kita akan mengamuk agar menang. Memang terkadang perang dimulai kalah. Kalau pasukan kita telah menyerbu mereka dengan serempak, pasti mereka akan tewas semuanya” pada Raja Mahan.
Perkataan
Mahan, “Saya juga yakin kalian bisa menang. Karena di antara
kalian ada yang tidak memurnikan agama dan berbuat aniaya, maka pasukan Arab bisa
mengalahkan pasukan kita” sangat berwibawa.
Dengan
marah, menangis dan mengejutkan, lelaki bertangan
buntung menyela, “Yang mulia! Saya telah hidup lama, beragama seperti tuan!
Saya pemilik 100 ekor kambing yang digembala oleh anak laki-laki saya! Seorang
bathriq bawahan tuan telah memukulkan tiang dari pagar rumahnya, pada seekor
kambing saya. Untuk memenuhi kebutuhannya. Pasukan bathriq itu menyerang
sisa-sisa kawanan kambing saya yang sedang merumput. Istri saya mengadukan pada
anak laki-laki saya, bahwa semua kambing saya dirampas oleh pasukan bathriq.
Bathriq aniaya itu marah, dan menangkap istri saya, untuk dipaksa masuk ke
rumahnya. Karena lama tidak keluar, anak laki-laki saya mendekati rumah itu.
Ternyata bathriq itu memperkosa istri saya. Anak saya berteriak minta
tolong, namun justru dihajar untuk dibunuh. Saya datang untuk menyelamatkan
anak dan istri, namun justu ditebas pedang. Tangan saya ini putus ketika menangkis pedang itu. Lihat ini potongan tangan saya!.”
Lelaki
itu menunjukkan potongan tangannya pada Raja Mahan.
Kemarahan Mahan meledak menakutkan hadirin. Pada lelaki dari kaum taklukan yang telah
beragama Nashrani itu, Mahan bertanya, “Kau tahu bathriq yang mana yang telah
menganiaya kau?.”
Lelaki
itu berkata, “Ini orangnya” Sambil menunjuk seorang.
Mata Mahan melotot, mengamati si bathriq dengan marah. Si Bathriq marah karena
dilaporkan pada atasannya. Sejumlah bathriq juga marah membela pimpinan, dan karena dilaporkan.
Lelaki
malang bertangan buntung itu dihajar oleh kawanan bathriq. Meskipun telah
terkulai dan bermandi darah, lelaki itu ditebas dengan pedang. Bahkan dipotong-potong, oleh kawanan bahriq yang kesetanan.
Mahan
menyaksikan kekejaman itu dengan matanya. Kemarahannya memuncak dan meledak, “Kalian hina!
Demi kebenaran Al-Masih! Kalian akan rusak! Kalian ingin mengalahkan pasukan
Arab! Namun perbuatan kalian memalukan! Tak takutkah kalian jika besok di hari
kiamat, dikisos?! Allah juga akan menindak dan mengambil kebaikan kalian
untuk diberikan pada kaum yang memerintahkan kebaikan dan menghalang-halangi
kemungkaran?! Demi Allah, kedudukan kalian di hadapanku seperti anjing! Kalian akan merasakan akibat
penganiayaan kalian ini semuanya! Hingga kalian akan mendapatkan kehinaan!.”
Dia berpaling dari mereka dengan wajah dan mata merah.
Majlis
itu telah sepi.
Seorang
bathriq mendekat dan berbicara pada Mahan, “Yang mulia! Demi Allah, pasukan ini akan
bernasib seperti yang tuan katakan! Kita akan kalah! Sungguh semalam saya telah
bermimpi, melihat sejumlah
lelaki turun dari langit, berkendaraan kuda kelabu! Mereka mengelilingi pasukan
Arab dengan membawa pedang istimewa yang terhunus! Kita berada di dekat mereka!
Pasukan kita yang keluar dari barisan,
ditebas pedang oleh mereka! Hingga kebanyakan pasukan kita gugur.”
Mahan terperangah, karena sebelumnya juga ada bahriq yang bermimpi seperti itu. Sejak itu hingga malam
kelam, Mahan kesulitan tidur,
karena berpikir keras mengenai yang harus dilakukan atas pasukan Muslimiin.
Di
pagi yang gelap itu barisan Muslimiin telah rapi. Mereka melihat pasukan Romawi
bimbang dan grogi. Membuat keyakinan mereka akan menang semakin ‘besar’ menguat. Walau begitu
Abu Ubaidah mengingatkan, “Biarkan! Jangan diserang! Menyerang orang lemah
‘kelakuan orang rendah’.”
Empat raja bawahan Raja Mahan berkumpul:
Empat
raja itulah yang diperintah oleh Raja Mahan agar segera memimpin pasukan
berjumlah lebih sejuta. Mereka berempat menunggu kehadiran Raja Mahan yang akan
dimintai ‘Idzin’ memulai menyerang
pasukan Arab.
Jawaban Mahan, “Bagaimana mungkin saya akan menyerang kaum dengan pasukan
yang aniaya? Jika kalian hebat! Seranglah mereka! Untuk membela kerajaan dan menyelamatkan
wanita kalian!” mengejutkan.
Mereka
menjawab, “Hari ini kami bertekat akan menyerang mereka! Demi kebenaran
Al-Masih! Mereka semua akan kami sapu dari kota Syam! Meskipun untuk itu, kami harus mati!
Sumpah dan utuslah kami sekarang juga ‘agar menyerang mereka!’ Jika tuan ingin
melihat mana kami berempat yang lebih lihai dalam memimpin perang! Utuslah kami
bergantian! Agar bisa dinilai! Jika pasukan Arab kalah! Harta mereka akan kami
rampas untuk dikembalikan lagi pada tempat semula! Hanya saja untuk sementara
peperangan diistirahatkan yang lama!
Biar pasukan Arab sengsara dulu!.”
Mahan berkata, “Ya! Permohonan kalian saya terima!
Sekarang istirahatlah,
hingga saya kirim surat pada Raja Hiraqla,
mengenai rencana ini!.”
Amma ba’du:
Yang mulia, saya
berdoa semoga Allah menolong dan memberi kejayaan tuan. Tuan telah mengutus
agar saya memimpin pasukan yang
jumlahnya tidak bisa dihitung.
Saya telah bergerak menuju halaman pasukan Arab untuk memberi makanan, namun
mereka tidak mau menerima. Saya telah minta damai, namun mereka tidak mau. Saya
telah menyuap agar mereka pergi, namun mereka bersikeras. Sungguh pasukan Raja sangat grogi,
saat melihat mereka. Saya
takut jika rasa grogi ini akan berkembang pada kekalahan. Karena pasukan kami
telah melakukan sejumlah penganiayaan. Saya telah mengumpulkan orang-orang
pandai, demi abadinya
kerajaan Tuan, untuk menyatukan
tekat. Akhirnya kami para raja dan lainnya, sepakat:
1.
Akan menyerbu mereka dengan serempak,
dengan serbuan bertubi-tubi,
selama sehari penuh.
2.
Kami tidak boleh lari meskipun harus
mati, menerima Keputusan Allah. Jika
Allah nanti membuat musuh mengalahkan kami, maka terimalah Keputusan Allah itu.
Sadarilah bahwa dunia pasti akan menjauhi tuan. Jangan menyesali yang lepas
dari kekuasaan tuan. Jangan merasa memiliki pada yang tuan kuasai. Sekarang
silahkan tuan mengungsi ke istana dan negeri
tuan yang di Qusthanthiniyah (القسطنطينية / Konstantinopel). Lindungilah rakyat
tuan dengan baik, niscaya Allah berbuat baik pada tuan. Sayangilah rakyat tuan,
niscaya Allah menyayang tuan. Merendahlah karena Allah, niscaya Allah
mengangkat tuan. Allah tidak senang orang-orang yang sombong. Sebetulnya
pimpinan Arab bernama Khalid telah saya panggil untuk dibunuh, tapi akhirnya
saya menyadari bahwa pelaku kecurangan justru akan celaka. Akhirnya saya
menyadari bahwa pasukan Arab telah menang.
karena menegakkan keadilan dan kebenaran. والسلام
Surat
dilipat, lalu diberikan pada sejumlah orang, agar diantarkan pada Raja Hiraqla.
Telah
seminggu peperangan istirahat. Abu Ubaidah menyuruh sejumlah mata-mata, agar
mempelajari penyebab pasukan Romawi tidak melancarkan serangan. Selama sehari
semalam, mata-matanya pergi ke
kubu Romawi.
Mata-mata
melaporkan, “Karena Raja Mahan telah kirim surat pada Raja Hirqla, dan sedang
menunggu jawabannya.”
Khalid
berkata, “Itu berarti Mahan takut kita! Sekarang mari kita serbu!.”
Pasukan
Muslimiin menyaksikan Abu Ubaidah menjawab, “Jangan tergesa-gesa! Tergesa-gesa
pengaruh syaitan.”
Abu Ubaidah sangat penyabar dan sopan.
Setelah
istirahat perang telah delapan hari, Mahan memanggil lelaki dari Lakhm (لَخْم) untuk diperintah, “Menyusuplah pada kaum
Arab itu! Untuk mengumpulkan
berita penting yang harus kau laporkan padaku!.”
Mata-mata
telah masuk ke pertengahan pasukan Muslimiin, untuk mengumpulkan berita, selama
sehari semalam. Tugas bisa dilakukan dengan baik, karena tidak ada yang mencurigai.
Ternyata Jamaah itu mementingkan kedamaian. Yang mereka amalkan: shalat,
membaca Al-Qur’an, dan bertasbih. Tidak ada pertikaian maupun penganiayaan.
Dia
memberanikan diri mendekati Abu Ubaidah RA. Ternyata panglima perang itu justru
kelihatan lemah. Terkadang Abu Ubaidah duduk, terkadang berbaring. Jika waktu
shalat tiba, dia berwudhu; para Muadzin mengumandangkan adzan. Dia mengimami shalat mereka.
Mata-mata
heran ketika melihat gerakan shalat Abu Ubaidah, diikuti oleh jamaah. Lalu
berkata dalam hati, “Ini ketaatan baik yang akan berdampak kemenangan.”
Mata-mata
kembali menghadap Mahan, untuk melaporkan semua yang disaksikan: “Yang mulia!
Ternyata mereka berpuasa di siang hari, shalat di malam hari! Memerintahkan
kebaikan! Dan melarang perbuatan mungkar! Kalau malam seperti rahib! Kalau
siang seperti singa jantan! Mereka menegakkan hukum. Seandainya seorang tokoh
mencuri, pasti telah dipotong tangannya! Kalau ada yang zina pasti
telah dirajam! Nafsu mereka dipaksa agar mengikuti kebenaran! Panglima mereka
justru seperti orang yang tak berdaya! Tapi sangat ditaati! Yang menarik
perhatian, ketika mereka shalat! Jika pimpinannya berdiri; semua berdiri! Jika
duduk; semua duduk! Hobi mereka justru berperang! Cita-cita mereka mati syahid!
Ternyata mereka tidak menyerbu karena menunggu serangan kita.”
Mahan berkata, “Mereka ada kemungkinan menang! Namun saya akan melancarkan tipu
muslihat atas mereka.”
Mata-mata
bertanya, “Apa rencana tuan?.”
Mahan menjawab, “Bukankah kau sendiri yang telah berkata ‘mereka takkan mendahului
menyerang kita?’. Agar kita berbuat aniaya?.”
Mata-mata
menjawab, “Betul.”
Mahan berkata, “Saya takkan menyerang mereka untuk mengulur waktu, agar mereka
lengah. Saat itulah kita akan meyerang mendadak.”
Membagi
panji berjumlah banyak, dan Salib sejumlah 120, memakan waktu lama. Tiap orang
yang diberi Salib, memimpin 10.000 pasukan yang berderet memanjang ke belakang.
§
Qanathir raja yang pangkatnya sama dengan Raja Mahan, menerima Salib pertama kali. Dia ditugaskan memimpin pasukan
sebelah kanan.
§
Salib kedua diberikan pada Raja Dirjan,
yang diperintah agar memimpin kaum Armenia, Najed, Nubia, Rusia, dan
Shaqaliqah.
§
Salib ketiga diberikan pada putra saudara perempuan Mahan yang diperintah memimpin kaum Perancis, Hiraqliyah,
Qayashirah, Yarful, dan Dauqas.
§
Kepada Raja Jablah pemimpin kaum Nashrani dari Lakhm,
Judzam, Ghassan, dan Dhabbah, Raja Mahan memberi panji dan Salib, dan perintah
jika terjadi peperangan ‘agar menyerang pertama kali’.
Pada
Jabalah, Mahan berpesan, “Kalian kaum Arab! Musuh kita kaum Arab! Yang
mematahkan besi, besi yang lebih kuat.”
Lalu Mahan membagi panji-panji pada masing-masing barisan.
Ketika
fajar telah menyingsing, dan ufuk timur memerah, tugas Mahan telah selesai.
Selanjutnya Mahan perintah agar dibuatkan bangunan darurat yang diletakkan di
atas gunung, untuk mengawasi pasukan Muslimiin dan pasukannya sendiri.
Tempat
itu dijaga oleh 1.000 pasukan berkuda di kanannya, memanggul pedang terhunus.
Di sebelah kiri tempat itu, juga dijaga oleh pasukan berkuda,
berjumlah sama dengan yang sebelah kanan, juga berpedang terhunus. Hanya pasukan berkuda
yang di sebelah kiri dari bangunan itu, para pejabat militer yang duduk di atas
kursi.
Mahan berkata, “Pasti pasukan Arab! Benci melihat kehebatan kita ini! Persiapan kita
lengkap! Sedangkan mereka tak memiliki yang patut dibanggakan! Jika kalian
melihat mereka lengah! Seranglah dengan serempak dari segala penjuru! Jumlah
mereka sangat sedikit dibanding jumlah pasukan kita!.”
Pagi
indah datang lagi. Ufuk timur disinari oleh sang fajar. Seorang lelaki
menyerukan iqamat. Abu Ubaidah yang tak tahu bahwa keamanannya terancam itu, mengimami shalat
subuh. Setelah membaca Al-Fatichah, orang yang selalu menyerahkan urusannya
pada Allah itu, membaca surat Al-Fajr.
Dalam
surat Al-Fajr yang agung itu Allah menanyakan pada nabi SAW:
1.
Apakah beliau pernah mengerti kisah kaum
Ad (Iram) yang (saat itu) kekuatannya mutlak tak ada manusia yang membandingi.
2.
Kaum Tsamud yang mampu memotong batu
besar di jurang.
3.
Kaum Firaun yang memiliki pasak-pasak
penyiksa.
Kejahatan
tiga kaum itu telah membuat menderita pada sejumlah penduduk negara. Akhirnya
Tuhan nabi SAW, menuangkan Cambuk
Siksa, atas mereka.
Lalu
Allah menjelaskan, “Sungguh Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Dan
seterusnya.
Bacaan
indah menggetarkan itu aneh sekali. Dalam kekhusukan Abu Ubaidah dan pasukannya yang penuh itu, ada suara:
“Kalian akan menaklukkan lawan! Demi Tuhan Kejayaan! Siasat yang mereka lancarkan takkan
bermanfaat sedikikitpun! Allah memberi kabar gembira ‘kalian akan menang’
melalui Surat yang dibaca oleh Imam kalian ini!.”
Abu
Ubaidah dan pasukan Muslimiin menjalankan shalat dengan merinding dan
kekhusukan maksimal.
Di
rakaat kedua Abu Ubaidah membaca Al-Fatichah dan surat As-Syams. Pembacaan yang
dilantunkan dengan memukau itu menggetarkan semua Jamaah shalat subuh. Surat
As-Syams berisi Sumpah Allah:
Lagi-lagi,
Abu Ubaidah dan pasukan Muslimiin yang sedang bergetar khusuk di dalam shalat
subuh, terkejut oleh suara:
“Kalimat harapan itu
sempurna! Dan tindakan akan segera terwujud! Ini sebagai pertanda yang pasti!.”
Seusai
shalat subuh, pasukan Muslimiin riuh. Abu Ubaidah bertanya, “Apa kalian mendengar kalimat tadi?.”
Dengan serempak, mereka menjawab, “Mendengar!”
Ada
yang berkata, “Kami mendengar perkataan dalam dua rekaat (‘begini begini’).”
Abu Ubaidah berkata, “Ini bisikan kemenangan! Berbahagialah dalam menyambut Petolongan Allah! Demi Allah! Allah akan
menolong kalian dengan menghujankan Cambuk Adzab atas mereka! Sebagaimana dulu
Allah pernah mengadzab bangsa kuno yang durhaka.”
Pasukan
Muslimiin memperhatikan Abu Ubaidah berkata, “Semalam saya bermimpi yang saya
takwilkan; perang ini akan kita menangkan, karena kita akan dibantu
oleh para malaikat.”
Muslimiin
sama bertanya, “Mimpi itu bagaimana? Semoga Allah berbuat baik pada tuan.”
Abu Ubaidah berkata, “Dalam mimpi itu saya melihat kita di dekat musuh. Tiba-tiba
kita didatangi oleh sejumlah pasukan
berwajah tampan berbusana putih. Busana mereka membiaskan cahaya menyilaukan
mata. Mereka bersurban hijau, membawa panji-panji berwarna kuning, berkuda
kelabu. Mereka berkata ‘kalian mampu mengalahkan mereka! Allah akan menolong
kalian’.
Sejumlah
pasukan kita dipanggil untuk diberi minum dengan gelas yang mereka bawa. Begitu pasukan
kita menggempur; pasukan Romawi porak-poranda dan berlarian.”
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا
(1) وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا (2) وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا (3) وَاللَّيْلِ
إِذَا يَغْشَاهَا (4) وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا (5) وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا
(6) وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10) كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا
(11) إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا (12) فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ
وَسُقْيَاهَا (13) فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ
فَسَوَّاهَا (14) وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا (15).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar