Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

2015/03/21

PS 87: Pembebasan Syam






Abu Ubaidah dan pasukannya singgah di kota Syaizar, wilayah bagian dari Qinasrin. Dia ragu-ragu, “Sebaiknya harus pergi ke Chalab (Aleppo) atau ke Anthakiyah?.”
Dia mengumpulkan pasukan untuk bertanya, “Hai semuanya! Berita mengenai Bathriq Luqa penguasa Qinasrin telah sampai padaku. Dia telah melanggar perjanjian damai, dan telah berkirim surat pada Raja Hiraqla (dan seterusnya). Sebaiknya kita harus bagaimana?.”
Mereka berkata, “Wahai pemimpin! Sebaiknya penduduk Qinasrin dan Awashim kita tinggalkan saja! Serbulah penduduk Chalab dan Anthakiyah.”
Abu Ubaidah berkata, “Bersiaplah! Semoga Allah memberi rahmat pada kalian.”

Mestinya perjanjian damai yang disepakati antara kaum Muslimiin dan penduduk Qinasrin, masih berlaku selama sebulan atau kurang. Sebagai orang kesatria, Abu Ubaidah menunggu hingga berakhirnya tempo.

Penduduk Qinasrin menyetorkan buah zaitun, delima, dan lainnya, yang bermutu rendah, sehingga Abu Ubaidah pangling.
Dia memanggil mereka, untuk bertanya, “Kenapa mutu buah yang dibawa kemari sekarang rendah, dan tidak lengkap?.” 
Mereka menjawab, “Wahai pimpinan! Buah bermutu dari pohon-pohon yang tuan maksud, jauh dari kami. Yang kami bawa kemari, yang dekat dari kami.”
Abu Ubaidah berkata, “Semua orang merdeka dan budak yang di kota ini, agar memetik buah yang lezat! Dibawa kemari! Jika tidak dilaksanakan, akan ada tindakan serius.”

Sejak hari itu penduduk Qinasrin memetik semua buah-buhan lezat, untuk disetorkan, sebagaimana di awal tahun perjanjian damai. Bahkan mereka memetik buah-buhan yang jauh dari perkampungan mereka.

Di antara kaum Muslimiin ada yang bernama Sa’id bin Amir (سعيد بن عامر). Dia memiliki budak bernama Muhji’ (مهجع) yang sangat sopan. Muhji’ telah berkali-kali ‘mengikuti perang’ majikannya. Bahkan dia tergolong pemberani di dalam berperang. Dia pula, orang yang berani masuk ke tengah hutan belantara, tanpa teman.

Suatu hari, dia dan teman-teman budak mencari kayu bakar, untuk disetorkan pada majikan mereka. Telah lama sekali, dia tidak pulang ke rumah, hingga Sa’id sangat khawatir.
Sa’id memacu kuda untuk mencari Muhji’. Pencarian yang memakan waktu ‘cukup lama’ itu berakhir, setelah dia melihat sosok manusia yang wajah dan seluruh tubuhnya berlumuran darah, dan penuh luka parah. Ternyata dia adalah Muhji’ yang dicari-cari. Fisiknya sangat lemah, hingga tak mampu berdiri untuk melangkahkan kaki.
Dengan hati berdebar-debar, Sa’id turun dari kuda untuk bertanya, “Siapa yang telah menyerangmu?.”
Muhji’ berkata, “Tuanku! Tinggalkan tempat ini, karena mereka akan menyerang tuan, seperti mereka telah menyerang saya.”
Sa’id berkata, “Orang-orang yang menyerangmu telah pergi jauh.”

Muhji’ berkata, “Tadinya, saya bersama sekelompok teman, mencari kayu bakar di tengah hutan ini. Tiba-tiba datang pasukan berkuda kira-kira berjumlah seribu orang. Mereka orang-orang Arab yang berkalung Salib emas dan perak, membawa tombak. Mengepung dan menyerang kami. Pada teman-teman, saya berteriak ‘bersiaplah melawan mereka!’. Teman-teman menjawab ‘kamu ini bagaimana? Kita jelas takkan mampu melawan mereka yang berjumlah banyak sekali. Jalan paling tepat, kita menyerah agar ditawan’. Saya berkata ‘demi Allah! Saya tidak sudi menyerah pada  mereka! Apapun yang terjadi mereka akan saya lawan’.
Teman-teman melakukan seperti yang saya lakukan. Hanya, serangan mereka yang sangat ganas itu, membuat sepuluh orang teman saya, meninggal. Sepuluh lainnya ditangkap. Saya dikeroyok dan diserang dengan senjata tajam, hingga luka parah, dan tak mampu lagi berdiri. Mereka meninggalkan saya terkapar tak berdaya.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar