Abu Ubaidah dan pasukannya singgah di kota Syaizar, wilayah
bagian dari Qinasrin. Dia ragu-ragu, “Sebaiknya harus pergi ke Chalab (Aleppo) atau
ke Anthakiyah?.”
Dia mengumpulkan pasukan untuk bertanya, “Hai semuanya! Berita
mengenai Bathriq Luqa penguasa Qinasrin telah sampai padaku. Dia telah melanggar
perjanjian damai, dan telah berkirim surat pada Raja Hiraqla (dan seterusnya).
Sebaiknya kita harus bagaimana?.”
Mereka berkata, “Wahai pemimpin! Sebaiknya penduduk Qinasrin dan
Awashim kita tinggalkan saja! Serbulah penduduk Chalab dan Anthakiyah.”
Abu Ubaidah berkata, “Bersiaplah! Semoga Allah memberi rahmat
pada kalian.”
Mestinya perjanjian damai yang disepakati antara kaum Muslimiin
dan penduduk Qinasrin, masih berlaku selama sebulan atau kurang. Sebagai orang
kesatria, Abu Ubaidah menunggu hingga berakhirnya tempo.
Penduduk Qinasrin menyetorkan buah zaitun, delima, dan lainnya,
yang bermutu rendah, sehingga Abu Ubaidah pangling.
Dia memanggil mereka, untuk bertanya, “Kenapa mutu buah yang
dibawa kemari sekarang rendah, dan tidak lengkap?.”
Mereka menjawab, “Wahai pimpinan! Buah bermutu dari pohon-pohon
yang tuan maksud, jauh dari kami. Yang kami bawa kemari, yang dekat dari kami.”
Abu Ubaidah berkata, “Semua orang merdeka dan budak yang di kota
ini, agar memetik buah yang lezat! Dibawa kemari! Jika tidak dilaksanakan, akan
ada tindakan serius.”
Sejak hari itu penduduk Qinasrin memetik semua buah-buhan lezat,
untuk disetorkan, sebagaimana di awal tahun perjanjian damai. Bahkan mereka
memetik buah-buhan yang jauh dari perkampungan mereka.
Di antara kaum Muslimiin ada yang bernama Sa’id bin Amir (سعيد
بن عامر).
Dia memiliki budak bernama Muhji’ (مهجع) yang sangat sopan.
Muhji’ telah berkali-kali ‘mengikuti perang’ majikannya. Bahkan dia tergolong
pemberani di dalam berperang. Dia pula, orang yang berani masuk ke tengah hutan
belantara, tanpa teman.
Suatu hari, dia dan teman-teman budak mencari kayu bakar, untuk
disetorkan pada majikan mereka. Telah lama sekali, dia tidak pulang ke rumah,
hingga Sa’id sangat khawatir.
Sa’id memacu kuda untuk mencari Muhji’. Pencarian yang memakan
waktu ‘cukup lama’ itu berakhir, setelah dia melihat sosok manusia yang wajah
dan seluruh tubuhnya berlumuran darah, dan penuh luka parah. Ternyata dia adalah
Muhji’ yang dicari-cari. Fisiknya sangat lemah, hingga tak mampu berdiri untuk
melangkahkan kaki.
Dengan hati berdebar-debar, Sa’id turun dari kuda untuk bertanya,
“Siapa yang telah menyerangmu?.”
Muhji’ berkata, “Tuanku! Tinggalkan tempat ini, karena mereka
akan menyerang tuan, seperti mereka telah menyerang saya.”
Sa’id berkata, “Orang-orang yang menyerangmu telah pergi jauh.”
Muhji’ berkata, “Tadinya, saya bersama sekelompok teman, mencari
kayu bakar di tengah hutan ini. Tiba-tiba datang pasukan berkuda kira-kira
berjumlah seribu orang. Mereka orang-orang Arab yang berkalung Salib emas dan
perak, membawa tombak. Mengepung dan menyerang kami. Pada teman-teman, saya
berteriak ‘bersiaplah melawan mereka!’. Teman-teman menjawab ‘kamu ini
bagaimana? Kita jelas takkan mampu melawan mereka yang berjumlah banyak sekali.
Jalan paling tepat, kita menyerah agar ditawan’. Saya berkata ‘demi Allah! Saya
tidak sudi menyerah pada mereka! Apapun yang terjadi mereka akan saya lawan’.
Teman-teman melakukan seperti yang saya lakukan. Hanya,
serangan mereka yang sangat ganas itu, membuat sepuluh orang teman saya, meninggal. Sepuluh
lainnya ditangkap. Saya dikeroyok dan diserang dengan senjata tajam, hingga
luka parah, dan tak mampu lagi berdiri. Mereka meninggalkan saya terkapar tak
berdaya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar